Personal Immunity

Foto: Ima. 2021

Pernah pada suatu titik yang berulang-ulang saya merasa buruk rupa dan tidak bisa berharap pada siapapun. Karena buruk rupa dan tidak ada yang bisa diandalkan, saat itu saya merasa harus memperjuangkan sesuatu yang membuat saya bahagia dan berharga. Yaitu memperjuangkan bidang yang saya suka dan saya harus mendapatkan pasangan hidup yang menerima saya apa adanya, menganggap saya manusia yang ada.

Bisa jadi proses imun itu hadir karena sejak kecil saya kurang apresiasi, sering dibandingkan sebagai subjek yang kalah, lemah, jelek, bodoh. Tapi satu sisi sebagai anak bungsu, saya juga sering mendapat prilaku iri dari sekeliling. Situasi yang kontradiktif. Harus lemah ditengah kalang kabut rasa percaya diri yang kusut. Sesekali mendapatkan rezeki atau prestasi atau apapun yang baik-baik, rasanya jadi biasa saja, meski sesekali saya mencuri-curi untuk merasa senang dan bangga sebentar saja.

Kita tidak pernah minta dilahirkan melalui orang tua mana maupun hidup dilingkungan mana. Karena kita tidak pernah tahu ada misteri apa dibalik pintu dan jalan yang kita tempuh. Hingga lama-lama saya percaya setiap keanehan, kekacauan, situasi dalam tiap tahap proses hidup menjadi personal immunity (kalau boleh meminjam istilah itu).

Satu hal yang menyelamatkan saya adalah bacaan. Saat sekolah hingga kuliah (bahkan sekarang), tempat “bersembunyi” dari kekacauan mental saya adalah perpustakaan dan toko buku. Datang diam-diam, membiarkan tubuh dan mata terkoneksi pada kebutuhan hati. Setiap buku yang saya ambil dan habiskan biasanya menyembuhkan infeksi pada hati saya. Setiap kata, kalimat dalam quran, buku, komik, majalah, puisi, potongan quote perlahan menumbuhkan kembali ranting-ranting yang terpatahkan satu persatu.

Lambat laun masing-masing akan memahami bahwa setiap proses kejadian yang baik-buruk menjadi imun tersendiri. Tak perlu lagi berharap orang selain diri bersikap seperti yang diharapkan, terus saja bertahan lalu cari jalan yang membuat diri berharga. Itu cukup.

Jadi, simpulkan sendiri lalu tumbuhlah.

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv