Hening pagi ini, menepi pada sudut-sudut rumah
Menyimpan sunyi pada segelas roti hangat
Secangkir kopi hadirkan senyum diri
Menjeda pada alunan para pemimpi
Hening Pagi 2020
Hening di awal-awal masa pandemi, menggiring saya menghadirkan beberapa bait musikalisasi puisi. Adalah musikalisasi puisi kedua yang saya buat, sementara instrumennya diolah Ayah. Sementara yang pertama membuat Musikalisasi Puisi pertama saat mau sumbang isi acara penutupan online Anak Bumi yang diikuti oleh anak kami di Eco Camp Dago. Rupanya proses ini hasilnya indah meski sederhana lalu memancing kami untuk bikin lagu lagi.
Gelisah yang sama, semangat yang sama, pemilihan diksi yang penuh energi menjadi bagian menarik. Rupanya proses dan langkah ini menyadarkan bahwa apa yang pernah dilakukan di masa lalu tetap bersisa dan memberi energi pada setiap karya yang kita buat. Hanya saja seringkali keadaan yang membuat kita tetap menjalankan, belok atau berhenti. Saya seperti menelusuri diri dan mengembalikan "cinta".
Setelah sekian lama meninggalkan kegiatan seni teater, ternyata setiap kesempatan kerap beririsan kembali dengan teman-teman yang pernah berkegiatan bersama. Bahkan semakin menyadari bahwa kegiatan yang saya lakukan ikut memberi “isi” pada apapun yang saya lakukan. Lebih dari itu, ternyata proses yang kami jalankan di masa lalu, ikut memelihara energi pada teman-teman untuk bertahan menggapai mimpinya dan tidak berhenti berkarya.
Mereka banyak yang terus bergerak pada bidang yang mereka cinta, tapi saya berhenti atau dihentikan. Beriring dengan waktu, pertemuan membawa kami pada ruang yang sama. Pertemuan ini seperti kembali mengenal diri, memahami diri melalui teman-teman yang pernah bergiat bersama bahwa setiap proses di masa lalu begitu mempengaruhi dan membekas pada profesi mereka kini. Saya tidak menyadarinya sampai satu persatu mengungkapkannya. Hingga hati ini rasanya penuh dan pengap, senang sekaligus takut. Semoga energi baik yang mereka raup.
Hening pagi di tengah pandemi menjadi momen panjang berlama-lama minum kopi sambil berbincang dan refleksi dengan Ayah (suami). Mulai dari berbincang situasi politik, tentang manusia, masa lalu, anak-anak, dan tentu tentang cinta. Saya beruntung punya teman hidup yang asik berbincang apa saja. Termasuk teman nonton drama Korea, film serial. Kami menyiapkan segala untuk nonton, mulai dari kopi, mie instan dan kripik. Upaya ini cukup memelihara perjalanan jiwa hari demi hari kehidupan situasi di rumah saja.
Memelihara iklim di rumah (saja) sudah lama dijalani ketika suami sakit tahun 2014-2017. Adaptasinya cukup lama yang menggoda perasaan. Saat itu kondisi suami dan anak-anak sulit sekali ditinggalkan, saya ambil pilihan aktivitas meraih rezeki yang bisa dijalankan di rumah. Bertahan menjalankan dunia menulis menjadi pilihan karena dapat dilakukan sambil merawat keluarga. Saya berusaha fokus yang dekat dengan diri, hal yang paling saya punya, baik modal fisik maupun hal yang paling saya bisa. Rupanya hasil rangkuman dari sekian list yang ada, beririsan dengan dunia tulis menulis dan seni. Sehingga ketika pandemik muncul, kami meneruskan aktivitas biasa namun lebih hati-hati saja ketika harus beraktivitas di luar.
Hidup 9 bulan di tengah pandemi, menggiring kita untuk menafsir dengan hati-hati cara pandang langit. Masa ini jadi momen memahami kembali lipatan masa lalu juga harapan. Setiap kejadian baik menurut kita belum tentu baik menurut Allah, begitupun sebaliknya.
Melalui situasi ini, saya belajar beragam karakter setiap orang tampak satu persatu. Ada yang mementingkan diri sendiri, ada yang berusaha keras tetap berbagi, ada yang terus bertahan untuk mempertahankan penghuni sampan. Ada yang memanfaatkan momen ini untuk menyembuhkan luka, pun ada yang menebaskan luka. Belajar dari diksi yang diurai dan beragam hal yang dilontarkan di ruang silaturahmi digital: media sosial.
Allah punya cara yang unik dalam memberi kejutan pada tiap jalan yang dipilih. Melaluinya membukakan beragam ilmu dengan cara mengolah fikir dan mengolah jiwa. Agar kita lebih faham, lebih mengerti dan mudah menjalani setiap pola iman.
Proses fase penolakan, mempertanyakan keadaan atas kejadian menjadi bagian krisis untuk menggali, mencari untuk mengambil keputusan-keputusan. Pertanyaan-pertanyaan itu kerap menggiring pada proses perang melawan diri sendiri. Sampai rasanya babak belur kemudian mengerti bahwa kejadian apapun menjadi proses berdamai dengan luka karena harus kehilangan rencana yang tengah dibangun bahkan hancur berantakan. Kehilangan, beragam situasi membuat jiwa lemah, kuat, terus begitu sampai akhirnya lebih mudah berdamai dengan qadha dan qodar.
9 bulan mengikuti protokol kesehatan seperti membawa kembali mengenal diri, mengisi dan memahami apa yang selama ini tak tersentuh, tak terlihat, tak terasa padahal dekat. Selama ini denyut pagi terasa bergerak terburu-buru, kini terasa lebih mengalun dan bergerak mengikuti pergerakan partikel bumi. Ketika nafas, gerak, langkah dibatasi dengan sungguh-sungguh kita semua seolah bergerak di atas sampan dengan “bekal” laku di masa lalu. Pandemi menjadi momen yang tepat mengenali kembali diri, orang-orang terdekat, rumah dan seisi rumah.
Banyak situasi yang saya syukuri melalui tahun 2020 ini, mulai dari bertambah dekat dengan seisi rumah, hingga berbagai kegiatan online yang menarik. Semakin mengerti dan menerima situasi tidak enak di masa lalu bahwa setiap kejadian di masa lalu, dipersiapkan untuk melewati masa-masa saat ini. Di tengah situasi serba “terhimpit” ini, saya mengalami jiwa dan situasi yang diluaskan. Pelan memahami melalui matahari, awan, langit yang bersih.
Pandemi ini alam terus bergerak dan beradaptasi dengan keadaan, semetara manusia yang bertanggung jawab atas kehidupan seperti diberi jeda untuk memahami fungsi diri. Situasi kali ini Allah seperti memperkuat sinyal dialog dalam menuturkan ilmuNya yang digurat pemilik hidup kali ini terasa dekat dan semakin dekat.
Allah punya cara yang unik dalam memberi kejutan pada tiap jalan yang dipilih. Melaluinya membukakan beragam ilmu dengan cara mengolah fikir dan mengolah jiwa. Agar kita lebih faham, lebih mengerti dan mudah menjalani setiap pola iman.
Proses fase penolakan, mempertanyakan keadaan atas kejadian menjadi bagian krisis untuk menggali, mencari untuk mengambil keputusan-keputusan. Pertanyaan-pertanyaan itu kerap menggiring pada proses perang melawan diri sendiri. Sampai rasanya babak belur kemudian mengerti bahwa kejadian apapun menjadi proses berdamai dengan luka karena harus kehilangan rencana yang tengah dibangun bahkan hancur berantakan. Kehilangan, beragam situasi membuat jiwa lemah, kuat, terus begitu sampai akhirnya lebih mudah berdamai dengan qadha dan qodar.
9 bulan mengikuti protokol kesehatan seperti membawa kembali mengenal diri, mengisi dan memahami apa yang selama ini tak tersentuh, tak terlihat, tak terasa padahal dekat. Selama ini denyut pagi terasa bergerak terburu-buru, kini terasa lebih mengalun dan bergerak mengikuti pergerakan partikel bumi. Ketika nafas, gerak, langkah dibatasi dengan sungguh-sungguh kita semua seolah bergerak di atas sampan dengan “bekal” laku di masa lalu. Pandemi menjadi momen yang tepat mengenali kembali diri, orang-orang terdekat, rumah dan seisi rumah.
Banyak situasi yang saya syukuri melalui tahun 2020 ini, mulai dari bertambah dekat dengan seisi rumah, hingga berbagai kegiatan online yang menarik. Semakin mengerti dan menerima situasi tidak enak di masa lalu bahwa setiap kejadian di masa lalu, dipersiapkan untuk melewati masa-masa saat ini. Di tengah situasi serba “terhimpit” ini, saya mengalami jiwa dan situasi yang diluaskan. Pelan memahami melalui matahari, awan, langit yang bersih.
Pandemi ini alam terus bergerak dan beradaptasi dengan keadaan, semetara manusia yang bertanggung jawab atas kehidupan seperti diberi jeda untuk memahami fungsi diri. Situasi kali ini Allah seperti memperkuat sinyal dialog dalam menuturkan ilmuNya yang digurat pemilik hidup kali ini terasa dekat dan semakin dekat.
Setiap luka akan sembuh, setiap "cinta" akan mengembalikan dirinya seberapa jauh kamu melepasnya. Tulisan ini semacam refleksi dan dialog dengan diri sendiri, entar benar atau salah, wallohualam.