Tampilkan postingan dengan label Catatan Kecil. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Catatan Kecil. Tampilkan semua postingan


Pembahasan Blank spot di sini bukan mengenai wilayah tanpa jaringan, tapi tentang bidang ilmu yang tidak ada peminatnya. Lalu apa yang bisa kita lakukan ketika kita menyadari bahwa potensi, minat dan kemampuan kita berada di dalam kategori blank spot. Sebetulnya situasi ini kesempatan untuk terus asah kemampuan, lama-lama kita akan bertemu dengan orang-orang dengan antusias yang sama dan bidang lain yang membutuhkan kolaborasi untuk saling menguatkan.

Kembali pada tahun 1996-an, salah satu bidang seperti jurnalistik dan seni rupa, kurang banyak peminat. Saat itu orang-orang takut mengambil jurusan tersebut karena ada anggapan masa depannya tidak jelas. Kini, ilmu-ilmu jurnalistik dibutuhkan untuk mengisi berbagai platform, media sosial sebagai upaya menyebaikan informasi. Kemudian, jurusan perfilman maupun desain komunikasi visual pun sama, dulu hanya bagian kecil dari mata kuliah di jurusan teater dan fakultas komunikasi.

Sering kita beropini, bahwa bidang-bidang yang tidak jelas, maka masa depannya juga tidak jelas. Padahal namanya ilmu itu sangat luas, bukan bidangnya yang tidak jelas tapi belum terkelola celah dari potensi ilmu tersebut. Kita sering terjebak bahwa kesuksesan bisa diperoleh secara instan. Padahal apapun kalau dipelajari ada prosesnya, disana akan menemukan celah manfaat. Setiap ilmu yang dipelajari dengan sungguh-sungguh, akan menemukan jalur manfaatnya sendiri.

Bagi sebagian orang, berada dalam bidang blank spot jadi mudah melempem dan terpatahkan oleh opini orang. Situasi ini sering kita temukan dalam berbagai bidang, oleh karenanya kita harus bisa belajar mengelola mindset agar kreatif dan yakin pada pilihan bidang yang kita pelajari.

Dalam menjalani sebuah bidang, ada beberapa fase yang akan terlewati. Yaitu fase antusias, lelah, ragu-ragu, yakin, konsisten. Dalam fase-fase ini, biasanya kita akan dipertemukan dengan berbagai pengetahuan dan bidang lain yang lebih memikat. Apalagi kalau dikaitkan dengan karir, profesi, penghasilan zona nyaman. Di tengah proses biasanya kita akan dihadapkan pada kegelisahan dan berbagai pertanyaan mengenai pilihan hidup yang kita ambil, melanjutkan proses, beralih pada bidang yang berbeda atau berhenti.

Biasanya pandangan kita akan jauh terbuka ketika banyak orang yang berhasil pada bidang yang ditekuninya. Seperti halnya sekarang, kita melihat bidang-bidang ilmu yang menjadi blank spot pada masa 1996-an, justru menjadi bidang yang memikat, berkembang dan dibutuhkan pada tahun 2010-an.

Dulu kesadaran mempelajari bidang-bidang tersebut biasanya harus autodidak atau belajar ke luar negeri. Tapi saat ini banyak para ahli yang menyadari, sehingga beberapa fasilitas pendidikan membuka jurusan yang jadi blank spot.

Bila kita mempelajari situasi di Indonesia selama 28 tahun berjalan ini, seringkali kita terpatahkan oleh ketakutan dan keraguan opini pribadi, opini orang-orang sekitar bahkan pemerintahannya sendiri. Dalam menghadapi situasi tersebut, perlu adanya visi misi dan prinsip yang kuat, keberanian memulai, konsisten, dan terus berkembang di bidang tersebut. Dengan sendirinya pelan-pelan kita akan membuka satu persatu jendela kehidupan.

Bedanya dengan tahun 2010-an ini, manusia dimudahkan dengan berbagai informasi dan teknologi. Kita bisa mengakses dan membuka jaringan untuk mengembangkan bidang blank spot melalui percepatan teknologi. Meski begitu, situasi tahun 90-an maupun sekarang di era kemudahan informasi, selalu saja ada bidang yang kategori bank spot. Ada yang terus bertahan atau ditinggalkan karena alasan-alasan finansial dan alasan logis lainnya.

Munculnya teknologi sambil terus berkiprah di bidang blank spot memiliki tantangan tersendiri. Akan membantu jika si-manusia-nya mau belajar dan memanfaatkan teknologi sebagai media belajar dan mengembangkan diri.

Seperti halnya bidang seni rupa, biasanya hasil karya bisa terjadi transaksi jual beli di galeri. Dengan perkembangan teknologi, kita bisa melihat beberapa seniman yang melek teknologi dapat membuat konten tentang teknik menggambar, ilustrasi dan sebagainya. Tidak hanya itu, saat ini ada beberapa pilihan flatform online untuk menjual karya seni, seperti: Etsy, eBay, artspace, dll. Baik lukisan orisinal, maupun dalam bentuk print. Bahkan bisa membuat privat menggambar online tak kenal jarak.

Oleh karena itu, kalau kita yakin dengan pilihan bidang dan mengenal potensi diri. Apapun bidang ilmu yang kita pelajari akan menemukan ritme dan dunianya. Karena setiap bidang ilmu yang kita pelajari dan tekuni akan menemukan jalurnya sendiri.

Tahun lalu, dua ribu dua puluh tiga, menjadi tahun kembali pada panggung, kembali berkesenian sekaligus menjadi tahun kehilangan yang beruntun.  Kehilangan Ibu juga kehilangan payudara kiri.  Ibu dan bagian tubuh aku yang diambil oleh pemilikNya.  Iya, keduanya diambil kembali oleh Pemilik Kehidupan.

Melepas Ibu dan melepas payudara menjadi fase berpisah yang tidak mudah. Tentu tidak mudah, sesuatu yang sudah biasa melekat dari sejak lahir.  Melewati fase shock, denial, perlahan menata pecahan yang tercecer.  Sampai pada titik menyadari penuh bahwa tubuh, hati, pikiran, segala sesuatu yang melekat dengan tubuh dan di luar tubuh, dari yang tampak hingga kasat mata, semua adalah milik Allah SWT-Maha Pemilik seisi bumi dan langit. Ya, termasuk aku.  Aku adalah milikNya.  Kelak, entah kapan, aku pun akan kembali.  Membawa segala langkah baik dan buruk. 


Saat aku berhenti menjalani hari-hari bersama Amih, ketika Amih pulang pada Pemiliknya, aku bingung.  Ketika masih ada Amih, hampir tidak ada waktu untuk diri sendiri.  Bahkan hampir setahun aku tidak ada waktu mendampingi Bayan belajar.  Menulis juga menggambar hampir tidak ada waktu, ketemu teman benar-benar mencuri waktu, semua serba terburu-buru.  Kadang mencuri waktu untuk minum kopi sejenak di Ind*mart depan rumah sambil sekalian beli pampers dewasa.  


Sekarang ketika banyak waktu, justru bingung.  Entah berkarya, aktivitas apapun menjadi tidak ada energi. Saat itu apapun yang aku lakukan selama ini terasa seperti sia-sia.  Apalagi yang bisa aku upayakan untuk Amih?  Waktu seperti ikut berhenti, sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku masih harus terus hidup.  Mulai berobat yaitu kemo, operasi, mengisi hati kembali, merapikan pola pikir, juga memperbaiki tujuan hidup. 


Saat aku sedih dan merasa kehilangan, aku ingat saat Rasulullah kehilangan orang-orang tercintaNya sehingga disebut tahun berduka.  Jadi aku pikir, aku rasa, aku tidak apa-apa bersedih dan tidak ada energi hidup.  Saat tahun berduka itu, Rasulullah sampai diajak Allah melakukan perjalanan Isra Mi'raj, diperlihatkan segala kekuasaan Allah dalam satu malam.  Mungkin itu sebabnya, ketika kita berduka, saat itu kita pun sepertinya sedang diajak untuk berdekatan dengan Allah SWT.


Kalau disadari, kita sebagai manusia sama seperti pegunungan, pepohonan, bunga, bebatuan, air, tanah, tumbuh-bergerak sesuai fungsinya.  Sama-sama makhluk Allah.  Bedanya catatan hidup kita yang sudah tertuliskan di Lauh Mahfidz itu bisa kita imani atau kita tolak.  Kita diberi otak untuk memelihara hidup menjadi lebih baik atau sebaliknya.  Dalam diberi ujian suka dan duka, kita diajarkan untuk terus percaya dan bergantung penuh pada Allah SWT sebagai pemilik isi bumi dan isi langit. 


Dalam proses melepas ini, aku seperti, hmmm, apa ya, hmmm... diajarkan untuk mensifati air.  Terus bergerak, terus berbuat, terus belajar menerima apapun si-aku yang keras kepala-keras hati ini.  Mengikuti semua aliran yang bergerak membentuk air yang lambat, deras, berdiam, menjadi es, menguap, menetes.  Mengikuti alurNya dengan tenang dan yakin pada cara Allah mengelola kita.  Ternyata jika berhenti pada rasa takut dan terus mempertanyakan kesalahan diri/mempertanyakan perbuatan baik yang sudah aku lakukan hanya berakhir pada rasa letih.  Menyalahkan diri sendiri atau bahkan sombong.  Dua sisi yang terus tarik menarik yang tidak memberi jalan keluar sama sekali selain letih dan gelisah.


Melepas tidak mudah, tapi rasa tidak mudah ini tidak perlu dibiarkan terlalu lama.  Karena setiap diri dan apapun yang melekat pada diri adalah milik Allah.

  


Ternyata sudah 16 tahun kami menikah, kadang sampai sekarang saya masih belum menyangka kalau kami bisa menikah.  Karena kami tadinya berteman, teman proses dalam teater kampus.  Kadang saya jadi aktor dia jadi pimpinan produksi, saya jadi pimpinan produksi dia jadi asisten sutradara, saya jadi aktor dia jadi pemusik, saya jadi aktor dia jadi sutradara, saya jadi aktor dia bagian artistik, saya bagian make up dia sutradara, begitu seterusnya.  Situasi seperti ini yang membuat kami terus terhubung. 


Hingga 8 tahun kami berteman, dia menyatakan sikap dengan mengajak menikah.  Kejutan.  Tentu saja karena hubungan kami tidak lebih dari teman, ya, teman baik.  Jangankan teman-teman kami, kami pun sampai sekarang sering tidak percaya kalau kami pasangan suami istri.   


Dalam hubungan suami istri, kami sangat luwes.  Seperti mimpi saya, saya ingin memiliki hubungan yang setara.  Salah satu alasan saya menerima Holis, ketika dia mengatakan bahwa dia membutuhkan partner hidup.  PARTNER.  Setiap hurufnya sengaja saya tebalin dan besar semua.  Kata ini yang saya cari dari lelaki yang berniat meminang saya menjadi istrinya.


Mungkin karena kepercayaan diri Holis cukup tinggi dan dia percaya pada saya, banyak situasi yang membuat saya justru lebih leluasa paska menikah.  Saya lebih mudah dapat izin bekerja, ikut kelas-kelas pelatihan/workshop, bertemu dengan teman-teman, tetap berkarya, bahkan melakukan kegiatan yang bisa mengasah hal-hal baru tanpa merasa bersalah karena dipercaya.


Banyak terjadi, perempuan yang sudah menikah biasanya memiliki ruang yang terbatas untuk berkreasi setelah menikah.  Kondisi saya setelah menikah justru sebaliknya.  Sebelum menikah, saya sulit punya sikap, sulit memberi pendapat dan sulit mendapat izin.  Justru setelah menikah banyak kesempatan, mendapat kepercayaan, apapun bisa disampaikan dengan cara-cara yang baik tentu saja dan bebas bersikap dengan nyaman.  


Mungkin karena Holis percaya, saya pun jadi lebih percaya diri dalam melakukan banyak hal. Tepatnya, Holis memiliki peran banyak menumbuhkan rasa percaya diri dan mengapresiasi pada apapun yang saya lakukan.  Dia selalu menganggap apapun yang saya lakukan itu keren dan bagus.  Tidak mudah buat saya mendapat apresiasi seperti ini yang bisa menumbuhkan rasa percaya diri seperti ini.  Karena selama ini saya kurang mendapat apresiasi dan dukungan dari lingkungan terdekat.


Banyak situasi terjadi yang harus dihadapi dalam proses rumah tangga. Mulai dari masalah keuangan, masalah keluarga besar, masalah anak, masalah kesehatan dan pekerjaan yang disikapi berdua.  Semua dimulai dari keterbukaan dalam berkomunikasi lalu langkah ini membentuk sikap berdua.


Masalah terberat pun pernah dilewati, kadang suka merasa ngeri sendiri kalau ingat situasi ke belakang.  Dari tidak mengerti hingga belajar banyak dari masalah itu sendiri.  Tidak mudah menjalaninya. Tapi efeknya sekarang lebih banyak bersyukur atas apapun.  Tidak tergesa dalam bersikap, mengambil keputusan dan menyadari penuh bahwa jiwa/ruh ini ada pemiliknya, bahwa ketika kita berserah penuh, maka Pemilik Hidup akan memberi jalan terbaikNya untuk kita.


Terima kasih 16 tahun, saya belajar banyak hal tentang penerimaan dan memaafkan.

Jam dua satu empat puluh lima, di ruang makan Amih tidur sambil batuk-batuk.   Kepalanya tidur di bantal yang ditata sedemikian rupa di lengan sofa merah.  Dari kemarin malam hingga sekarang, Amih lebih banyak tidur.  Polanya sama, bangun lalu pergi ke toilet, solat, makan, tidur lagi di sofa.  Begitu berulang, seharian banyak dihabiskan untuk tidur. 



Hampir setiap hari saya kendalikan rasa khawatir karena kondisi fisik Amih naik turun cukup drastis.  Sesekali terlihat segar, beres-beres kamar, pergi cuci tangan ke dapur, lalu bisa tidur seharian.  Di ruang tengah, juga dapur terasa sunyi.  Tidak ada yang bisa saya lakukan selain membantu segala kebutuhan fisiknya yang semakin melemah. 


Berbeda keadaannya ketika kakak-kakak saya (anak-anaknya) datang mengunjunginya, garis wajahnya terihat lepas dan ringan.  Kalau rumah sepi, matanya terlihat redup.  Meskipun ada saya dan anak-anak saya di rumah itu.  Bukan hanya kami yang dia “butuhkan”, dia selalu ingin menunggu kedatangan kakak-kakak saya.  Dulu saya selalu merasa Amih selalu  merindukan, membanggakan kakak-kakak, saya hanya sekadar diperlukan memelihara rumah dan Amih.


Saya si pemimpi yang dari kecil ingin keluar dari rumah, keliling Indonesia dan dunia, punya banyak harapan selalu berhenti dan kembali ke rumah.  Amih selalu menjadi alasan atas apapun.  Pun ketika Holis mengajak menikah,  permintaan Amih pada Holis agar kami tinggal serumah dengan Amih.  Begitu menikah, sekuat apapun kami berencana pergi, pindah rumah, selalu ada alasan lebih kuat untuk tetap tinggal.


Seumur hidup saya hidup serumah dengan Amih.  Saya si petualang, si banyak mimpi, si senang alam,  tetapi Amih tidak memberi peluang itu.  Sampai SMA saya mengikuti larangan Amih, begitu masuk kuliah, proses berorganisasi dan berbagai kesempatan pekerjaan saya ambil dengan resiko mendapat kemarahan Amih setiap pulang ke rumah.


Sampai beberapa bulan lalu, saya masih berani mencoba ikut magang di salah satu sekolah alternatif di usia lebih dari 40 tahun.  Konsep pembelajaran yang menarik dan menstimulasi kreatifitas saya.  Saya pikir, terpenting Holis dukung, karena izin sepenuhnya ada pada suami.  Tapi setelah mengikuti magang ternyata saya gagal, saya tidak diterima di sekolah itu disampaikan oleh pimpinan sekolah dengan 4 alasan. 


Beberapa hari lalu saya tahu dari Teteh, katanya, Amih berdoa agar saya tidak diterima di sekolah tersebut.  Dugaan saya selama ini benar.  Kalau setiap saya minta izin untuk sebuah pekerjaan, apakah itu liputan atau kesempatan lain, selalu ada saja sesuatu yang menyebabkan saya tidak lolos. 

Melalui berbagai fase ini saya mencoba mengerti, kenapa saya tidak pernah berhasil mendapatkan pekerjaan yang dilakukan di luar rumah dengan jam kerja yang tetap.  Bahkan untuk membuat usaha dengan jam kerja dari pagi hingga malam pun selalu patah di tengah jalan.  Tidak hanya patah, retak, remuk.  Sehingga saya si petualang dan si tidak bisa diam ini, kerap menciptakan pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah. 

Mulai dari membuat kegiatan harian, mengolah diri mulai dari merawat rumah, mengasah diri di bidang literasi yang kegiatannya bisa dilakukan di rumah.  Begitu masuk pandemic,  kegiatan lain bertambah, selain menulis lepas di web blog, sekarang saya punya hobi baru yaitu menggambar.  Saya seperti menemukan “cinta” masa kecil dan remaja. 


Intinya, terus bergerak menjalani apapun yang paling mungkin dan paling bisa dilakukan.  Lalu kemudian nanti akan membawa karya-karya itu kemana dan akan menjadi apa, disyukuri dan dinikmati saja.

Dulu bentuk gambar yang sering saya bikin seperti vignette juga doodle, sekarang ini ada istilah lain yaitu zentangleart.  Semua proses tangan, hati, alat gambar mengalir dan menjadi  sesuatu.  Untuk proses kali ini, saya biarkan saja mengalir pada setiap kesempatan yang serba terbatas.  Sebagai bentuk rasa syukur pada apa yang saya bisa untuk memberi isi pada sesuatu yang paling bisa.




Dulu, dulu dugaan tentang bidang yang saya jalani yang dilakukan di luar rumah tidak direstui Amih ini hanya dugaan, tapi ternyata itu benar adanya.  Apakah harapan Amih agar aku tetap beraktifitas di rumah cara Allah menyelamatkan atau sebaliknya?  Saya sendiri tidak tahu.  Allah yang paling tahu.  Karena proses penerimaan ini bertahap sampai akhirnya saya mengerti caraNya sehingga bisa menerima penuh, terutama ketika Amih dalam situasi butuh perhatian lebih dan perawatan penuh.  


Aku si pemimpi dan si petualang ini meskipun tidak banyak harapan mendapat "restu" Amih,  tetap memelihara yang paling bisa dan paling mungkin dilakukan.  Karena hidup perlu disyukuri. 








Tidak dapat dipungkiri, bahwa setiap manusia akan terus bergerak sampai waktu ditentukanNya. Waktu dan usia akan terus bergerak membawa kita pada berbagai kisah. Setiap kisah menjadi fase bagaimana diri beradaptasi dan mengelola dalam menghadapi berbagai situasi. Hal ini dapat mempengaruhi kondisi tubuhnya, garis muka dan pembawaan diri.

Melewati usia 40 tahun membuat saya menyadari bahwa melewati usia tersebut merupakan fase yang paling istimewa sehingga tertulis dalam kitab suci. Fase matang karena melewati perjalanan hidup paling “istimewa”. Pada usia ini, biasanya manusia mengalami kejadian yang paling berat kemudian akan terus berproses dengan berbagai hal yang disikapi dengan ringan hati.

Perasaan ringan hati dilalui secara bertahap, mulai menolak hingga menerima berbagai situasi. Sampai suatu titik membuat diri merasa ajeg pada pilihan dan keyakinan, bahwa berbagai tempaan dan berbagai perubahan sebagai bentuk syukur.

Rasa syukur ini kerap membuka kejadian dan berbagai pertemuan yang membuat hidup bertambah menarik. Kita tidak bisa menghentikan waktu, yang perlu kita kelola yaitu bagaimana kita mengelola waktu dengan menghargai keberadaan diri dan kehidupan. Bentuk syukur itu berproses, bahkan bisa jadi tadinya belum disadari bahwa bersungguh-sungguh dalam proses menjadi bagian dari rasa syukur itu.

Rasa syukur itu ternyata perlu disadari penuh. Proses penyadaran ini seringkali unik dan tidak disangka-sangka. Saat saya membuka folder foto, saya temukan beberapa foto saya saat masih remaja SMA, kuliah juga foto saat punya anak pertama. Ingatan mental saat itu terbangun kembali, saat itu saya tidak pernah merasa cantik karena kulit muka yang tidak bagus. Tapi begitu saya lihat saat ini, pada usia berlipat-lipat, saya seperti melihat sosok perempuan yang harusnya saat itu merasa cantik. Karena ternyata wajah saya cukup menarik juga.

Akhirnya saya coba lebih menyukuri apa yang sudah menerap/kejadian tubuh dan wajah saya sekarang ini. Caranya, saya coba untuk lebih memelihara dan menghargai tubuh yang sudah diciptakanNya. Mau membuka diri untuk mencari tahu cara merawat agar kulit saya yang sudah sering terpapar radikal bebas akan lebih bahagia menjalani hidupnya.

Memelihara diri dalam usia seperti sekarang ini terus dipelajari, karena saya bertekad mau lebih berbuat baik dan mensyukuri apa yang ada dan apa yang saya miliki sekarang ini.




Pertemuan dengan Scarlet Serum

Dulu saya asing dengan serum kulit muka. Saat ini saya menyadari, merawat kulit muka itu penting. Banyak contohnya yang berhasil merawat diri dengan baik dan disiplin bisa membuahkan hasil.

Pertama, harus disadari dulu bahwa apa yang tersimpan di dalam hati akan berpengaruh pada garis muka dan sorot mata. Semua syaraf di hati akan tarik menarik dengan segala unsur syaraf kerut wajah, sorot mata, garis bibir lalu berbagai hormon emosi akan menyampaikan pada berbagai sudut tubuh. Hal ini yang menyebabkan garis-garis halus lebih banyak.

Kedua, kenali kebutuhan tubuh dan wajahmu. Kalau kulit kita berjerawat, berarti wajah perlu perawatan rangkaian face care. Kalau seperti saya membutuhkan serum yang membuat kulit wajah jadi cerah dan menyamarkan garis-garis halus di wajah.

Ketiga, olah raga yang sesuai dengan usia saya sekarang yaitu yoga, jalan kaki dan senam ringan.

Ketiga, mengolah hati dengan beribadah dan baca buku.

Keempat, lakukan hobi, terus berlatih lalu belajar dari orang memiliki keahlian yang bagus.






Saat ini saya menyadari pentingya rutin melakukan face care terutama setelah melakukan perjalanan jauh. Namun rutinnya setiap pagi sesudah mandi pagi. Ah, tidak apa-apa baru menyadari dan diusahanan untuk terus merawat kulit wajah.

Informasi Face Care Scarlett muncul di berbagai beranda media sosial. Saya tertarik untuk mencoba sampai akhirnya terus menggunakan sampai saat ini. Terutama sabun muka, toner, serum dan cream malam. Saya memutuskan menggunakan rangkaian face care dari Scarlett karena cocok dan terasa ringan di kulit muka. Kalau tidak cocok, kulit wajah saya reaksinya cepat, seperti tiba-tiba muncul jerawat, gatal-gatal, kulit kering.

Saat ini serum Scarlett sudah habis, terasa sekali kalau pakai serum kulit wajah jadi terasa lebih lembut dan tidak gatal-gatal karena sering tertutup masker. Rupanya Scarlett mengeluarkan serum baru, yaitu Glowtening Serum Scarlett. Berdasarkan info dari berbagai media, kalau serum ini memberi banyak manfaat, diantaranya:
  • Membantu mencerahkan kulit wajah.
  • Membantu kulit wajah jadi glowing.
  • Membantu memudarkan bekas-bekas jerawat.
  • Menyamarkan garis-garis halus dan flek hitam pada wajah.
  • Menenangkan dan memperbaiki skin barier.

Sebelum memutuskan menggunakan face care Scarlett, saya coba perhatikan secara teliti mulai dari izin dari pemerintah dan memperhatikan bahan-bahan yang terkandung dalam produk tersebut.

Contohnya seperti ini, saya tertarik untuk membeli Glowtening Serum Scarlett karena serum ini baru dikeluarkan oleh Scarlett. Alasan saya membeli dan menggunakan produk tersebut diantaranya:
  • Teruji bebas Mercuri dan Hydroquinone.
  • Registered by BPOM
  • Saya membutuhkan serum agar kulit wajah lebih sehat, terawat dan bersih.

Jadi, tidak ada kata terlambat untuk terus merawat diri. Ini langkah-langkah sederhana tapi rutin yang bisa dilakukan untuk terus merawat perubahan tubuh tetap sehat dalam usia yang terus bertambah.


***Mencari info keaslian produk melalui link: 
https://verify.scarlettwhitening.com/

***Agar lebih aman mendapatkan produk asli, lebih baik order melalui:
https://linktr.ee/scarlett_whitening



Foto: Besti Rahulasmoro

Aku kirim proses sunyi yang berisi gemuruh diantara gemuruh yang memenuhi tiap sudut ruang. Sebuah buku yang dipenuhi berbagai gambar sebagai proses refleksi penemuan dan berdamai dengan diri. Saat proses melakukannya tanpa tujuan atau tak ada pencapaian yang sifatnya membesarkan diri, tapi merasa bahagia saja sudah merasa cukup. Lalu biarkan saja dia menemukan jalannya.

Langkah ini dilakukan sebagai upaya menerima jalan semesta. Sebagai bentuk menghormati diriku sendiri pada setiap proses yang kerap mencari dan memecahkan setiap kesunyian.

Sunyi itu pelan-pelan dipahami sebagai caraNya berkomunikasi dengan diri. Hingga si jiwa menemukan dunia yang menjadi akrab. Dunia laku, kata-kata, nada hingga garis. Setiap kata dibalik kertas, layar, suara menjadi energi yang terus mengalir dan mengisi di setiap sudutnya.

Suatu musim aku dipertemukan kembali dengan si garis yang pernah aku simpan lama. Seperti bertemu sahabat lama, tanganku terus bergerak menggaris membentuk lekuk, titik, lingkaran, segitiga pelan-pelan meredakan setiap luka. Selesai menggaris membuat setiap ingatan luka yang berlapis-lapis pulih begitu saja. Bahwa tubuh dan jiwa ini selalu merasa cukup dan menemukan tempatnya. Semua diri memiliki fungsi masing-masing.

Setiap musim bergerak dan terus berganti, proses sunyi bergerak menangkap setiap tanda. Kadang berjeda, kadang tidak mengenal waktu, setiap garis dan kata menemukan tempatnya sendiri. Lalu perlahan bertumbuh, berbunga lalu berbuah.

Sesaat di balik jendela bayang matahari bermain-main mengajak kita keluar untuk berhenti bergerak. Mengikuti hawa panas dan menjadi bayang. Seolah proses yang dijalani seperti menulis di atas air, lenyap mengikuti alir. Namun seseorang berbisik dibalik setiap ranting, teruslah bergerak, karena Pemilik Semesta tidak pernah tidur.

Lalu aku pun memilih terus bergerak, karena setiap kejadian apapun ternyata baik. Saat dipatahkan, dilukai, dialiri air, menjadi tempat hinggap ternyata dapat menjadi bagian dari proses memelihara dan menumbuhkan. Pemilik Waktu tahu setiap detil bagian dari proses pemeliharaan. Meskipun terkadang berat, nanti akan faham bahwa semua proses merupakan bagian fase bertumbuh. Bahwa setiap kejadian akan menjadi baik dan menambah setiap lapis dirimu.

Semoga gemuruh itu bertemu dengan siapapun yang mengapresiasinya.







Sabtu sore ini menjadi ruang hening yang berharga. Ditemani segelas kopi Vietnam drip dan sepotong bolu marmer. Di halaman rumah anak-anak muda berlatih teater, di bawah rimbun pepohonan, langit sendu sedikit gerimis. Lagu Yesterday nya The Beatles jadi tidak terlalu menyayat hati lagi, ya, hari kemarin tidak lagi dirindukan. Saat ini, hari ini memberi ketentraman tersendiri disebabkan hiruk pikuk hari-hari lalu penuh gelombang. Rasa tentram yang dilalui proses “mahal”.

Saat ini saya rindu Holis. Padahal baru beberapa jam lalu dia pergi ke Galeri Pusat Kebudayaan YPK untuk menghadiri pembukaan pameran Marakayangan Drawing. Saya tidak ikut karena Amih tidak ada yang menemani. Biasanya kalau saya harus pergi, kakak saya-Teh Ida-akan menemani Amih di rumah. Tapi hari ini Teh Ida cukup sibuk karena ada 2 orang yang pesan nasi tumpeng, saya fikir dia pasti lelah. Jadi saya memutuskan tidak ikut Holis untuk menemani Amih dan anak-anak.

Lagi pula seminggu kemarin, tiap hari keluar rumah mengikuti proses magang di Rumah Belajar Semi Palar. Bahkan Jumat sore kami kedatangan pasangan #duoraji Kak Wawa dan Kak Satto dari Tangerang bersilaturahmi ke rumah lalu mereka mengajak kami makan malam di luar. Sebetulnya selain makan, lebih banyak menghabiskan waktu dengan diskusi, ngobrol sampai lupa nyeruput segelas kopi.

Obrolan bergulir banyak sekali, terutama proses mereka mengelola komunitas Blogger Crony. Bagaimana kaitan proses hidup yang terjadi sebetulnya dipersiapkan untuk pilihan hidup dia hari ini atau bahkan lebih banyak hidup yang memilihnya.

“Sebetulnya apa yang kita lakukan saat saya jadi jurnalis, EO dan sebagainya menjadi bekal apa yang saya lakukan dalam mengelola komunitas ini. Banyak sekali manfaatnya. Saya selalu percaya, apapun yang kita kerjakan hari ini sudah dipersiapkan di masa lalu.” Ungkap teman.

Saya juga cerita banyak tentang dapat kesempatan magang di Rumah Belajar Semi Palar. Hal yang menakjuban justru karena kesempatan itu hadir di usia saya saat ini. Di tengah persyaratan umum di tengah penerimaan pegawai, usia sering menjadi batasan.

Itulah sebabnya bertahan menikmati menulis dan menggambar sebagai proses memelihara diri. Kedua aktifitas ini tidak mengenal batasan usia, saya menikmatinya. Situasi yang kerap patah tumbuh ini saya serahkan pada semesta, saya fikir selama kita masih dikasih kesempatan hidup ya artinya terus belajar dan mengasah diri berapapun usia kita.

Kejutan lain, proses itu ternyata membuat saya dapat kesempatan ikut pameran Bandung Artist's Book. Saya ikut open call pameran ini karena konsepnya menarik, media yang dipamerkan berupa buku yang berisi berbagai coretan, doodle, permainan kata-kata dan konsep berkarya dari seniman itu sendiri. Kebetulan konsep pameran yang ditawarkan ini sesuai dengan aktifitas yang saya “buat” selama ini. Projek bahagia untuk diri sendiri. Buku ini saya beri judul Jurnal Healing Ima: See. Hear. Feel. Isinya proses latihan menggambar zenart/zentangle atau sekilas orang-orang menyebutnya doodle.

Lagi-lagi, buat saya ini pameran pertama di usia saat ini dan proses panjang menemukan diri di tengah gegap gempita dunia seni rupa. Sangat mungkin akan muncul berbagai persepsi dan berbagai pendapat karena saya bukan seniman spesifik. Saya hanya menjalankan kesempatan untuk memelihara tubuh dan jiwa dengan memilih menulis dan menggambar. Buat saya, proses ini bagian dari penemuan diri dan memberi kesempatan untuk mencintai diri sendiri.

Saya tidak tahu akan tidak mudah atau mungkin akan sangat mudah menghadapinya. Saya yang sekarang rasanya lebih baik-baik saja merespons apapun itu tanpa merasa terbebani. Karena sadar bahwa proses menulis dan proses menggambar ini membuat saya bahagia.

Hal ini disadari ketika banyak hal terjadi hingga satu titik bersetuju untuk berhenti berharap orang lain memberi kebahagiaan, memberi penghargaan dan menaruh perhatian. Diri sendirilah yang membuka kesepatan itu. Merasa cukup dan terus berlaku tanpa menaruh banyak harap. Berapapun besar kesempatan yang ada, kalau kamu tidak percaya pada kemampuan diri dan Pemilik Diri, kita hanya tubuh yang stagnan dan jiwa yang lelah.

Ketentraman yang diberikan segelas kopi Sunda Hejo sore ini, menjadi gambaran panjang proses hidup. Rasa pahit yang dihadirkan kopi membuat segar dan bersemangat. Begitupun hidup, seringkali proses pahit yang dijalani dimasa lalu menjadi energi dan bekal untuk menghadapi hidup saat ini.



Mengenal Diri dari Inner Child

“Tidak mungkin kita bisa menjalin hubungan hangat dengan orang lain, kalau kita belum bisa menjalin hubungan hangat dengan diri sendiri.” - Diah Mahmudah , S. Psi

Saya lahir dari keluarga besar dalam artian jumlah. Banyak pengalaman positif maupun negatif yang didapat dari proses hidup. Saat tumbuh remaja, rasanya makin hari situasi bertambah rumit. 

Kakak saya 15 orang, bahkan ada yang sudah menikah lalu memiliki anak saat saya belum lahir. Saya anak bungsu yang berteman dengan keponakan juga beberapa kakak yang masih sekolah. Sementara kakak-kakak saya yang udah berkeluarga terkuras perhatiannya dengan proses membangun keluarga kecilnya.

Saya kecil ingin banyak tahu dan aktif. Selain mendapat pengalaman batin yang menyenangkan tentu saja mendapat pengalaman buruk pula. Baik dalam lingkungan keluarga maupun luar lingkaran keluarga yang berpengaruh pada iklim suasana pertumbuhan diri. Saya kecil hingga tumbuh dewasa, kerap melihat, mendengar, merasa berbagai masalah. Sehingga saya bisa cepat merasakan suasana kemarahan, permusuhan maupun pengabaian. Mungkin karena itu saya sering mengalihkan pikiran dan perasaan dengan membaca dan duduk di atas atap.

Selain itu, seperti halnya keluarga besar lain dengan ilmu pengasuhan orang tua yang turun menurun. Kami sering mengalami pengasuhan dengan cara dibandingkan, dinilai secara fisik, hingga perlakuan perhatian, sampai kurang apresiasi. 

Sehingga muncul perasaan-perasaan iri, cemburu, menahan amarah, muncul pergesekan dan persaingan satu sama lain yang membentuk masing-masing memiliki sikap, karakter dan kepribadian berbeda-beda. Ada yang mengelolanya menjadi kekuatan namun ada yang menjadi lemah. Meskipun setelah dewasa baru bisa memahami dan menerima, bahwa cara itu “dianggap” salah satu cara orang tua untuk memotivasi.

Proses pengalaman saling dukung, suka bercanda, pergesekan, saling bersaing antar saudara, menjadi referensi mental dalam membentuk pola pikir dan tentu saja mengasah pergulatan diri. Hal ini mempengaruhi pengalaman kehidupan bertumbuh saya. Baik yang diintervensi dari orang tua, kakak-kakak, kakak-kakak ipar hingga keponakan. Semua kejadian dari masa kecil, seperti slide film yang terus menerus mempengaruhi dalam proses naik turun dalam mengelola diri.

Seringkali, saya dihadapkan pada situasi untuk mengambil keputusan. Ternyata, meskipun sudah memaafkan bahkan melupakan, ternyata di alam bawah sadar, seringkali luka dan suka di masa lalu mempengaruhi sudut pandang dan tingkat keberanian/ketakutan dalam melihat masalah.

Bisa jadi ketika masalah muncul, seperti membongkar luka batin maupun rindu kehangatan di masa lalu. Beberapa situasi saat ini memunculkan berbagai emosi, ada yang tepat namun ada yang salah dalam menempatkan emosi. Rupanya semua itu dipengaruhi oleh inner child atau ada masa lalu yang belum pulih.



Memulihkan Inner child




Inner child adalah sekumpulan peristiwa masa kecil yang baik atau buruk yang membentuk kepribadian seseorang. Kompleksitas mental yang mempengaruhi kepribadian itu dipaparkan secara lepas dalam acara Bincang ISB pada hari Sabtu kemarin, 19 Maret 2022.

Saya dan teman-teman ISB (Indonesia Social Blogpreneur) mendapatkan pengetahuan tentang jiwa dan proses batin perilaku manusia yang dipengaruhi oleh inner child. Dengan narasumber pasangan psikolog, Diah Mahmudah , S. Psi dan Dandi Birdy, S. Psi (Psikoterapi dan founder biro psikologi Dandiah) yang dipandu langsung oleh Ani Berta (Blogger dan founder komunitas ISB).

Selama ini prioritas kita mengelola hidup saat ini untuk mendapatkan masa depan yang baik. Namun dalam perjalannya, seringkali sikap, sifat dan prilaku kita dipengaruhi oleh emosi masa lalu.  Ingatan itu, baik rasa maupun pikiran, terus menggelantung dalam ingatan kita. Meskipun saat ini sudah berperan sebagai orang tua, konselor dan profesi lainnya, ternyata akan kesulitan jika kita masih belum membasuh, mengobati dan belum menyelesaikan luka masa lalu.

Emosi yang belum diperbaiki ini akan berpengaruh pada kualitas mindfullnes diri. Seringkali tubuh ada disini, namun pikiran membelah kemana-mana. Situasi semakin rumit dan kacau ketika tubuh ada di sini namun pikiran terbelah ke masa lalu, memikirkan masalah yang terjadi pada saat ini, lalu bercabang pada masa depan.

Mindfullness ini berpengaruh pada cara berinteraksi dan sudut pandang dalam menghadapi hidup. Banyak faktor yang mempengaruhi kualitas mindfulness kita, salah satunya yaitu inner child.

Pada dsarnya, anak perlu tahu dan mengalami berbagai macam rasa/emosi. Baik senang, bahagia, sedih, marah, dan perasaan lainnya sebagai referensi emosi yang berpengaruh pada interaksi dalam hidup. Jika perasaan ini diperoleh lalu dapat mengelolanya, maka kita bisa memiliki kendali yang bagus dalam mengendarai kehidupan. Tentu saja mengelola emosi ini bagian penting dari proses belajar berinteraksi dengan lingkungan.

Mengenal inner child tidak melulu tentang diri yang terluka, bukan hanya sisi gelap saja. Kita dapat memaknai fase ini dengan benar, sungguh-sungguh sehingga kepribadian kita utuh dan penuh dalam menyambut tujuan di masa depan. Berikut kalimat yang pas dari Gus Baha:

“Manusia diberi masalah agar menjadi pintar.”

Inner child ini adalah masalah yang perpengaruh pada pergolakan pikir dan batin manusia yang membentuk karakter. Namun jika kita mampu mengelola inner child dari sisi positif, akan menjadi kekuatan tersendiri dengan melakukan:

Forgiveness (memaafkan)

Empowering

Keberdayaan

Gratefull (bersyukur)




Tujuan mengenal inner child agar kita bisa terus berjalan ke depan.  Tapi ketika pergerakan itu masih ada ganjalan di hati tentu akan menjadi sulit. Karena ketika inner child itu belum dikelola dengan baik, akan membuat tubuh kita tidak sesuai dengan usianya. Meskipun usia kita 40 tahun, namun usia mental kita bisa jadi masih 10 tahun. Yang terjadi, kita kesulitan dalam menghadapi tantangan.

Jika kita tidak dapat mengelola mental sesuai usia tubuh, hal ini akan berpengaruh buruk dalam melakukan hubungan sosial, baik dalam pekerjaan, interaksi dengan pasangan, hingga proses pengasuhan. Ketika usia mental kita masih anak-anak, akan menghadirkan:

1. Egosentris (berpusat pada diri). Sifat ini kerap menuntut orang lain untuk berprilaku baik kepadanya. Seperti:

- Kamu yang kasih, nanti aku kasih

- Kamu yang berubah, nanti aku berubah

- Kalau kamu berbuat baik, aku juga akan berbuat baik padamu



2. Bad angger management

Anak-anak akan mudah terluka batinnya jika diasuh oleh orang tua yang punya kualitas angger management buruk. Oleh karenanya, kenali emosi marah kita lalu kendalikan sesuai proporsinya.

Masalah akan terus hadir sesuai usia dan kemampuan diri, baik dalam bentuk suka maupun luka. Intervensinya dari lingkungan terdekat kita, yaitu orang tua, saudara, teman-teman dan lingkungan sekitar. Menjalani semua proses interaksi itu akan mempengaruhi mental dan sikap kita. 

Situasi yang menyebabkan suka maupun luka akan menjadi kekuatan atau melemahkan tergantung bagaimana sudut pandang kita melihat masalah itu.  Setiap kejadian pasti ada maknanya dengan cara dicari ilmunya agar kita dapat memahami setiap kejadian.

Karena, kita tidak bisa menuntut mengembalikan masa kecil sesuai harapan.  Juga kita tidak bisa terus menerus menyalahkan salah pengasuhan, salah orang tua dan orang lain. Tapi kita bisa memulai dari menerima situasi dan memperbaiki yang ada di dalam diri dengan mengubah sikap dan paradigma berfikir kita. Sikap itu domainnya ada 3:

1. Mengelola mindset dalam melihat masalah

2. Feeling: konten positif atau konten destruktif

3. Acting: Laku. Mindset dan feeling tidak akan terjadi jika masih negative thinking dan negative feeling

Menyelesaikan luka inner child itu bukan untuk mengubah takdir, bukan untuk menyalahkan orang tua. Tapi untuk mengubah reaksi dan sudut pandang kita pada takdir. Karena tetap yang bertanggung jawab memulihkan berbagai hal yang melukai mental kita adalah diri kita sendiri

Saya percaya, setiap orang sebetulnya ingin hidup tenang.  Lelah dengan mengingat sesuatu yang buruk, lelah dengan penyesalan, lelah dengan rasa-rasa negatif dan ingin lepas dari pikiran-pikiran buruk.  

Ternyata kuncinya ada di diri kita, mengubah persepsi dan mengelola hati secara positif.  Mengubah persepsi luka batin masa lalu direspons dengan positif.  Mau menerima berbagai respons negatif dimaknai positif.  Rupanya tidak hanya batin lebih tenang, tubuh pun terasa lebih sehat.

 




Di tengah keadaan pandemic yang cukup menekan, sebetulnya ada momen yang paling saya rindukan jika wabah sudah benar-benar hilang. Saya merasa suasana di tengah pandemic seperti dibawa kembali pada masa kecil dan remaja. Terutama masalah cuaca dan rendah polusi.

Setiap pagi cahaya matahari tajam menembus kabut, dedaunan hijau segar, hujan putik sari berjatuhan begitu angin menempa lembut. Setiap pagi tongeret memainkan suaranya menyelinap diantara peophonan. Kali ini tupai berlari tidak seekor tapi dua hingga tiga ekor tupai tampak melompat. Bahkan ada tiga tokek menetap di tiga sudut rumah bersahutan, pagi, sore dan malam.

Dua tahun sudah pandemic terlewati dengan cerita sedih dari setiap beranda. Berita kematian di toa masjid seperti pengumuman barang hilang di tempat wisata. Begitupun sirine ambulance, bolak balik hilir mudik semakin menyadarkan ada sesuatu yang tidak aman. Meskipun kematian semakin banyak sering, bukan berarti jadi biasa, kematian tetap saja menyisakan luka dan kesedihan.

Situasi awal tahun 2022 lebih baik bahkan mulai biasa dengan keadaan. Jalanan kembali penuh, tempat-tempat wisata alam menjadi tujuan menghela nafas dari situasi yang serba terbatas.

Meski di halaman rumah saya rimbun dan ramai binatang yang bersarang di sana, jalanan utama kembali riuh dan padat. Sekarang situasi yang serba terbatas itu pelan-pelan melonggarkan ikatannya. Awalnya saya sedikit menggerutu asap knalpot dan jalanan kembali penuh. Tapi, ya, situasi pandemic yang memaksa kita harus menjauhkan diri dari keramaian betul-betul membuat berbagai sisi tertekan. Terutama masalah mental dan pendapatan.

Melakukan perjalanan keluar rumah, menikmati jalan, lihat pepohonan, bertemu kawan, bekerja temu muka dan menikmati makanan di luar bisa melepas berlapis-lapis kepenatan. Ya, tentu sebagai mahluk sosial, pertemuan dan perjalanan memberi energi tersendiri.

Melalui pandemic, saya jadi banyak waktu “belajar” sama Gus Baha, Hanan Attaki, Nadirsyah Hosen, dan … suami saya. Mereka selalu mengajarkan, bahwa setiap kejadian itu cara Allah mengajarkan kita sesuatu. Bahkan yang kita anggap buruk, menekan bahkan musibah, bisa jadi sesuatu yang bakal kita syukuri dikemudian hari. Memang, beberapa masalah membutuhkan waktu buat kita belajar bertahan bahkan jadi “pintar” untuk menjadi merasa cukup dan menerima penuh berbagai keadaan. Karena, seringkali cara Allah menyelamatkan kita itu sulit dimengerti tapi suatu hari pasti membuat kita mengerti dan menerima.

Selamat datang 2022 semoga tahun ini kita bisa menjalankan hidup dalam keadaan lebih baik dalam berbagai sisi. Belajar apa kamu selama pandemic?-Imatakubesar


Sejak pandemi, prokes (protokol kesehatan) menjadi proses yang wajib dilakukan.  Selama ini kita selalu abai dan kurang memperhatikan kebersihan tangan dan kebersihan lainnya.  Lihat saja lingkungan masyarakat kita yang masih seenaknya membuang sampah, kurang memperhatikan pola hidup sehat, makan sembarangan lalu merasa pola hidup selama ini dianggap baik-baik saja.

Sampai akhirnya kita "ditegur" dengan cara yang sangat ekstrim: pandemi covid 19 yang penularannya sangat mudah.  Ternyata untuk mencegahnya dengan cara menjaga prokes yang selama ini sering dikampanyekan, yaitu: cuci tangan pakai sabun.  Oh, well!  

Cuci tangan pakai sabun udah mesti deh tidak ada tawar-tawar lagi kalau kamu tidak mau tertular oleh mahluk super duper kecil yang lincah ini.  Mahluk kecil yang memporak porandakan sistem hidup sosial manusia.  Sistem hidup paling dasar: bertemu, berbicang, berpelukan, berpegangan, bersalaman, bersentuhan, berkumpul.  

Tentu proses sosial ini tidak hanya menghentikan aktifitas silaturahmi secara tatap muka tapi berbagai aktifitas yang berkaitan dengan kesehatan, kegiatan keagamaan, kegiatan pendidikan, kegiatan kesehatan, kegiatan perdagangan dan banyak lagi.

Meski begitu, saya tetap baik-baik saja lalu membangun perasaan dengan menjaga prokes adalah aktifitas baik dan barsahabat.  Semua ini mudah kok, seperti:

1.  Keluar rumah dengan memakai masker, membawa sabun cair, dan hand sanitizer.
2.  Begitu sampai di rumah, menggantung masker di tempatnya sesuai nama pemiliknya.
3.  Membeli masker kain dan masker medis.
4. Membuat gantungan khusus masker yang sudah dipakai agar tidak disimpan dimana saja.
5. Membuat tempat cuci tangan dari galon dan menyediakan sabun tangan.
6. Menyediakan sabun tangan di tempat cuci piring.
7. Segera melepas dan mencuci baju bekas pakai dari luar.  Bila tempat yang didatangi beresiko tinggi penularan.  Seperti: rumah sakit, pasar dan tempat latihan.
8. Setiap hari mengepel lantai rumah menggunakan cairan yang mengandung disinfektan.
9. Setiap barang yang dibeli, bungkusnya segera dipisahkan ke dalam tempat sampah.
10. Mencuci tangan dengan sabun setiap habis memegang barang yang beresiko tinggi penularan.  
11. Tamu dipersiapkan kursi di teras rumah.
12. Buat tamu yang tetap masuk rumah, disiapkan hand sanitizer dan masker sekali pakai.  Karena ada saja tamu yang tidak percaya virus covid lalu biasa saja peluk dan salam sama Amih.  
13. Menemani (baca: menjaga) Amih (89 tahun) ketika ada tamu yang langsung masuk dan bersikap seenaknya.  Biasanya saya rapikan masker Amih lalu berusaha bersikap biasa.  Ketika tamu pulang, segera tangannya saya beri hand sanitizer.
14. Anak-anak tetap bermain dan belajar di rumah/halaman rumah.
15. Jika harus keluar dan jajan, harus pakai masker walaupun teman-temannya abai prokes.  
16. Bungkus jajan harus dicuci terlebih dahulu atau segera dipindahkan isinya ke tempat yang lain lalu bungkusnya dibuang ke tempat sampah.
17. Tangan dan kaki sesampai di rumah harus dicuci pakai sabun.
18. Menjemur jaket atau baju yang kiranya tidak terlalu berinterakasi dengan lokasi yang beresiko.
19. Memperhitungan frekuensi keluar rumah dengan prinsip "kalau harus keluar mesti sekalian sambil melakukan yang penting" dan kalau tidak penting, cari solusi lain.
19. Segitu saja lalu jalani dengan baik-baik saja.


Sebetulnya prokes ini mengubah pola hidup baik yang bisa memelihara kesehatan kita.  Kalau virus ini dapat teratasi, saya fikir pola hidup ini bagus juga terus dijalani, terutama masalah cuci tangan dan kaki, mencuci barang-barang dari luar, menjemur jaket.  Ini sebagai bentuk keramahan pada diri sendiri.  

Lalu, apakah kita bisa betul-betul berhenti, rebahan, duduk-duduk santai selama di rumah saja?  Tentu tidak, setidaknya kita tetap harus menunggu tukang sayur lewat dan pergi ke ATM untuk melakukan bayar listrik dan beli roti untuk teman ngopi.  

Demi menikmati hidup ditengah pandemi, ya saya nikmati saja.  Meski sudah biasa di rumah saja, tentu beradaptasi menjadi merasa biasa berproses juga.  Ya, berproses mengendalikan rasa takut, rasa khawatir, rasa lebih hati-hati dalam melakukan aktifitas yang mengharuskan keluar rumah dan menyentuh beberapa barang yang berada di ruang publik, seperti di mini market, supermarket, apotek, ATM, duduk dan bayar ongkos angkot, mendapatkan paket dari ekpedisi.  

Saya pribadi betul-betul mengolah situasi ini menjadi "baik-baik saja" dengan beradaptasi dari situasi yang "tidak baik-baik saja".  Artinya prokes ini sebagai fase yang bersahabat dan sebagai bentuk berdamai dengan keadaan.  

Jadi berbagai situasi di rumah dinikmati saja, menyaring berbagai informasi dengan melakukan apa yang paling saya bisa.  Membuka mata lebar-lebar, mengingat-ingat kembali apa yang bisa dilakukan, sentuh lagi hati apa yang ingin dipelajari, diolah, tapi selama ini dilupakan atau bahkan ditumpuk oleh rasa malas. 
Self Love. Foto: Ima

Hei, manusia kecil.  Menjadi kecil bukan berarti hidupmu terbatas.  Menjadi kecil bisa melihat berbagai keindahan dan keluasan hidup dari berbagai sisi dan detil. 

Nuhun karena selalu bertahan dan perpegangan melewati berbagai fase.

Nuhun atas apapun yang sudah kamu lakukan selama 43 tahun ini.

Aku memaafkan kamu.  Peluk diri.

Hey, nuhun sudah bertahan menjadi diriku.  Apapun kamu kini, sangat berarti.

Luaslah jiwa.  Luaslah pikiran.  Luaslah langkah.

 

Kalimat di atas merupakan ungkapan self love pada hari ulang tahun saya.  Saya lakukan ini sebagai bentuk apresiasi pada diri sendiri dibanding menyesali situasi.  Apresiasi ini saya buat dengan kesadaran, menerima penuh proses dan keputusan hidup yang membuat proses jatuh bangun-patah tumbuh pembentukan yang tidak disadari.  Karena saya percaya, apapun yang terjadi pada hidup kita merupakan cara Allah berkomunikasi dan cara Allah memberi kita ilmu hidup.

Dulu-dulu saya masih belum bisa menerima dan sering merasa upaya yang dilakukan biasa saja.  Perasaan ini hadir begitu melihat pencapaian teman-teman yang terlihat baik secara status sosial maupun kedudukan dalam bidang pekerjaannya.  Sementara saya yang teguh pada pilihan hidup berkesenian, penulis paruh waktu, dan memilih menjadi ibu penuh waktu merasa pencapainnya biasa saja. 

Saya melewati fase yang cukup panjang untuk mencintai diri sendiri.  Perasaan yang tarik menarik antara yakin dan tidak yakin cukup mengganggu dan menghabiskan banyak waktu.  Seperti, sering merasa tidak baik-baik saja dengan keadaan fisik, pencapaian yang diperoleh, cukup sering membandingkan pencapaian diri dan orang lain, sering merasa kurang dan suka mengeluh.  Ini sungguh perasaan insecure (lebih tepatnya menyebalkan) yang menyebabkan semangat mudah terpatahkan dan hilangnya rasa syukur.  Gelombang naik turun rasa yakin dan percaya dengan pilihan hidup kerap membuat saya mudah goyah.  Tapi satu sisi, saya punya prinsip yang menyebabkan sering mengambil pilihan hidup tidak aman secara financial. 

Berdasarkan prosesnya, berbagai fase hidup selalu hadir, baik-buruk, naik-turun, berat-ringan, besar-kecil, menjadi proses mengolah banyak sisi mental, membuka sudut pandang saya terhadap berbagai keadaan dalam menjalani proses hidup, memaknai sukses dan pencapaian hidup.  Lama-lama saya menyadari bahwa terpenting dalam hidup adalah terus berusaha, berdoa dan merasa “cukup” berapapun kita dapatkan dan kita berikan ternyata dapat mencukupkan nilai diri.  Lalu menyadari bahwa setiap manusia mempunyai fungsi dan tempatnya masing-masing.  Masalah besar, hebat, keren bukan urusan manusia lagi tapi urusan Allah yang menilai. 



Self love adalah kondisi dimana kita menghargai kita sendiri, menghormati proses dengan cara memaknai setiap laku yang dikerjakan dengan tulus dan sungguh-sungguh.  Setiap detil adalah ilmu, setiap langkah adalah berkah, sehingga kita semakin memperhatikan dan menyadari banyak hal yang penting tapi tidak kita sadari.  Menghargai diri sama saja dengan menghormati dan menyukuri Sang Pencipta.  Ada beberapa cara yang dapat kita lakukan untuk memelihara diri dengan cara mengelola tubuh, jiwa dan spiritual menjadi lebih baik.

 

Pertama: Kenali Diri Sendiri

Kalau saya sedang kehilangan arah atau tidak merasa aman dengan pilihan hidup kita.  Saya biasanya mulai kembali menuliskan satu persatu bidang yang saya suka dan tidak saya suka.  Lalu merunut kembali berbagai pengalaman yang sudah dikerjakan selama ini.  Nanti akan terlihat berapa banyak pengalaman yang kamu kerjakan, baik yang berkesan hingga kamu dapat sesuatu dari kegiatan itu.  Baik berupa nilai materi ataupun nilai hidup.  Proses ini akan membagun ingatan bahagia bahkan mungkin ingatan menyedihkan namun akan muncul rasa syukur.   

Cara ini dilakukan agar diri menghormati dan menghargai setiap proses diri yang pernah dikerjakan.  Karena sering kali kita lupa bahkan menganggap biasa atau terasa sangat bodoh, namun bisa jadi semua proses itu bisa jadi sangat menarik dan bermanfaat dikemudian hari.  Cara ini cukup bagus untuk mengontrol diri dari pengaruh atau pandangan lingkungan yang membuat kamu jatuh dan merasa tidak berguna.   

Selain itu, langkah ini dapat membangun kesadaran bahwa setiap orang punya potensi masing-masing dan memberi manfaat bagi kehidupan dengan cara yang berbeda.  Bayangkan kita bisa menikmati makanan enak dari orang-orang yang pintar masak.  Bisa menikmati cerita dari orang-orang lihai menulis, bisa menggunakan pakaian yang keren dari para ahli fashion dan seterusnya. 



Atensi dan hati bergerak pada bidang yang sesuai kemampuan minat dan kemampuannya.  Kalau kemampuan ini disadari, keahlian ini bila digabungkan akan menjadi sistem yang menghadirkan energi budaya kehidupan yang berenergi.  Jadi tidak ada yang unggul, karena setiap orang punya kontribusi atau keahlian masing-masing menghadirkan sebuah bentuk.

Katakanlah sebuah mobil, dibutuhkan ahli mesin, begitu mesin bisa meluncur, maka dibutuhkan orang desain agar mesin itu bisa digunakan secara pantas dan menarik.  Tak hanya orang desain, kita membutuhkan ahli interior agar pengguna mobil bisa nyaman duduk melakukan perjalanan di dalam mobil.  Agar investor mobil dapat keuntungan dan pekerja dapat untung, maka dibutuhkan ahli keuangan untuk menghitung berbagai cash flow dana.  Begitu seterusnya.  Jadi setiap manusia itu penting. 

 

Kedua: Mengolah Jiwa dan Fisik

Ketika tubuh dalam keadaan sehat, seringkali kita abai.  Makan, minum dan beraktifitas tanpa kendali yang lama-lama tubuh pun lemah.  Kalau tubuh lemah maka aktifitas pun dapat terhenti.  Oleh karena itu, kita perlu memberi perhatian pada tubuh dengan cara olah raga dan memperhatikan pola makan sehat. 

Hormati dan rawat tubuh dengan memberi nutrisi yang baik.  Selain itu kamu bisa coba berkomunikasi dengan tubuhmu sendiri dengan memberi ucapan terima kasih dan permintaan maaf pada setiap organ tubuh kita.  Dengan begitu, kita menyadari bahwa setiap unsur tubuh kita sangat berharga dan penting. 

Tubuh ini ibarat pohon, kalau tanahnya subur akan membuat pohon tumbuh besar, sehat, berkembang dan berbuah.  Begitupun dengan tubuh, beri cinta yang banyak untuk tubuh kita dengan memperhatikan nutrisi dan ungkapan-ungkapan yang baik. 

Cobalah beri ucapan terima kasih  mata, mulut, wajah, tangan, rambut, kaki, perut, jari, lutut, dan organ tubuh lain.  Bagaimanapun bentuknya, warnanya, berhenti terpengaruh oleh standar cantik maupun ganteng.  Setiap hari.  Dengan sendirinya hati akan terasa ringan dan bahagia bahwa tubuh ini sangatlah berharga.  Hidup kamu akan jauh lebih berharga dan lebih keren dari yang kamu sadari.

Jadi berhenti merasa insecure dengan pencapaian orang lain yang tampak mulus dan menganggap hidup kamu tidak seberuntung orang lain.  Karena sebetulnya setiap orang berjuang melawan dirinya dan berjuang memelihara hidup dengan cara dan kemampuannya masing-masing.  Setiap orang bergerak sesuai keahlian, kesukaan dan kapasitas dirinya.  Tidak semua orang sama, baik tingkat kenyamanan, tingkat kebahagiaan dan integritas masing-masing orang berbeda.  Selain itu, proses pencapaian dan kepuasan seseorang itu tidak ada yang instan.  Kita semua bergelut dengan proses-proses panjang belajar dari kekurangan-kesalahan-keberhasilan, terus berlatih, terus mengolah diri dan mengisi semua waktunya untuk berkarya. 

Jadi, kenali diri, kenali mimpi, raba jiwa kita lalu berbuat apa yang paling kita bisa dengan kesungguhan hati lalu biarkan semesta bergerak untukmu.

Air.  Foto: Ima

Hidup adalah proses berdialog menangkap Langit.  
-Ima

Harapan besar? Banyak hal baik yang terlintas, membuat saya jatuh hati, dan menetap dalam hati saya. Tentu berkaitan tentang pencapaian materi, kebermanfaatan pilihan hidup dan pengakuan. Bertahun-tahun dipertahankan, diperjuangkan, sampai hampir titik puncak harus dilepaskan. Melangkah lagi, terus begitu hingga ambruk, jatuh, berulang-ulang. Harapan itu belum juga terwujud.

Sampai pada suatu titik, saat ini saya kesulitan memahami harapan besar saya apa. Bahkan sesekali saya menduga, jangan-jangan harapan itu tidak disukai oleh Allah. Sehingga yang muncul bukannya kebahagiaan dan kesuksesan, namun patah dan runtuh berulang-ulang. Ketika tema one day one post kali ini tentang harapan-harapan besar saya apa, mendadak kosong karena sekarang ini saya pada fase merasa cukup dan mempertahankan sisa-sisa keikhlasan (pinjam judul lagunya Payung Teduh).

Pertanyaan harapan besar ini nadanya sama dengan pertanyaan saya tentang kenapa harus saya yang harus tinggal di rumah ini? Saya yang punya harapan keluar dari rumah ini, segala upaya dilakukan untuk pindah, keluar, ternyata berbagai situasi selalu menarik saya kembali tinggal di rumah ini. Lagi-lagi, jangan-jangan harapan besar itu harus digali disini, di rumah ini. Jangan-jangan banyak yang harus diperbaiki dulu, rumah ini ibarat hati yang harus sering-sering dipelihara, dirawat dan diperbaiki.

Harapan itu ada, dia hadir seperti akar yang terus menerus mengalirkan energi ke setiap unsur sel otak dan hati. Kadang begitu realis tapi begitu surealis, keduanya hadir kadang-kadang semu kalau tidak ingat kekuatan Allah. Ya, tentu saja saat muncul harapan itu, sesekali kehabisan bahan bakar, kehabisan akal sehat, kehilangan frekuensi dengan Allah. Hidup saya selalu dikondisikan oleh semesta, ibarat benda yang bergantung pada hembusan angin dan aliran air. Mengalir mengayuh mengikuti setiap denyut jantungnya, bergerak menyatu menjadi bagian dari pergerakan itu.

Saat ini saya (kembali) belajar tidak mudah tergoda untuk mengerjakan yang lain. Cukup melakukan sesuatu yang saya bisa lalu terus melangkah menggunakan kemampuan yang ada. Apalagi yang bisa dilakukan oleh manusia selain terus berusaha. Meski kondisi saya tidak berlebihan tidak juga kekurangan (lebih banyak kekurangannya sih sebetulnya) tapi yang saya suka, hati saya tetap tenang.

Saat ini kami sedang menguatkan pikiran dari kekhawatiran yang dimunculkan oleh diri sendiri dan penilaian orang lain. Mengambil keputusan bergerak di dunia seni secara utuh, awalnya membuat saya panas dingin. Tentu hal ini berkaitan memenuhi kebutuhan pendidikan, sandang, pangan dan papan keluarga. Kehidupan kami sebelum Ayah sakit, meski masih beririsan dengan dunia kesenian namun ada usaha lain yang bisa mengimbangi kekurangan biaya.

Menangkap awan.  Foto: Ima

Ketika Ayah sakit, kami seolah diajarkan untuk fokus bergerak pada bidang yang kita kuasai dan biarkan semesta mengarahkan jalur-jalur dan pintu rezekinya seperti apa. Bertahun-tahun, saya dan Ayah tidak punya banyak pilihan, situasinya selalu kembali pada saya menulis dan Ayah menggambar..  Kesempatan usaha lain betul-betul tidak ada.  Sejak saat itu, saya selalu merasa bahwa harapan itu ya saat ini, percaya kita hanya perlu sadar setiap manusia memiliki fungsi dan keahlian masing-masing. Hal ini yang membuat manusia merasa cukup, ketika rasa cukup itu hadir selalu ada jalur yang dibuka. Masalahnya, kita ambil lalu bersikap amanah atau menolak jalur tersebut.

Saya harap Ayah bisa pameran karya drawing ke berbagai kota dan beberapa Negara. Mungkin diberi kesempatan juga bisa menggali ilmu lagi dengan cara apapun melalui jalan yang dibuka seperti apa. Seperti residensi atau apapun itu. Sementara saya sendiri menuliskan setiap proses keilmuannya, konsep dan berbagai dokumentasi lainnya. Semoga dicukupkan, menularkan manfaat dan menjadi amal yang terus mengalir hingga kehidupan kami kelak. Entah bagaimana, Allah maha tepat perhitunganNya.

Sebelumnya, saya mempunyai harapan bisa mewujudkan pameran drawing tunggal Ayah. Tidak hanya pameran, ingin dilengkapi dengan catatan proses art therapi yang kurang lebih 4 tahun dilakukan oleh Ayah. 

Saya ingin mewujudkan pameran ini diperuntukan bagi orang-orang baik yang terus mengalir, menambal setiap jalur kami yang ambrol dan bolong. Sebuah rasa syukur dan bentuk terima kasih, kebaikan yang teramat banyak yang tidak bisa kami balas dalam bentuk apapun. Dengan kami bertahan hidup, Ayah yang kembali sehat dan berkarya menjadi bentuk terima kasih yang ingin bisa segera kami wujudkan. Tanpa hati yang dianugerahkan pada mereka, rasanya tidak mungkin kami bisa bertahan sejauh ini.

Untuk saya sendiri, saya punya harapan meluaskan manfaat menulis sehingga bisa menjadi mata pencaharian yang mencukupkan segala kebutuhan anak-anak dan meluaskan kehidupan. Meski masih berjalan pelan menjalani proses menulis di blog dan media sosial, harapan saya langkah ini dapat menguatkan fondasi kehidupan kami. 

Kalau difikir-fikir proses hidup kami unik dan berliku, meremas dan tarik menarik berbagai unsur hati. Namun lama kelamaan, situasi ini membawa kami percaya bahwa setiap proses yang menghasilkan sesuatu yang menggembirakan ataupun yang mengecewakan sebagai bentuk mengolah mengaitkan rasa. Rasa yang terus mengait dan menggenggam Pemilik Hidup. Harapan itu ada, setiap proses yang dijalaninya memberi nilai hidup yang mahal. Ketika sampai, menjadi cukup, bukan kita yang kuasa tapi Dia yang menjadikannya.
Foto: Ima


Mengatur keuangan menjelang Lebaran selalu penuh kejutan, bikin hati senang namun juga membuat hati ketar ketir. Apalagi di tengah pandemi seperti sekarang.  Pemasukan dan kondisi keuangan yang serba tidak pasti, sementara kebutuhan dan biaya yang harus dibayar tetap jalan.  

Meski begitu, maunya hari Lebaran ini tetap diperlakukan spesial. Bagaimana kami bisa menggunakan baju yang istimewa, makanan yang lezat, menyediakan segala macam kudapan, minuman khas Lebaran dan rumah yang lebih bersih wangi. Artinya kita harus menyisihkan anggaran lebih untuk merayakan hari raya serta berbagi kebahagiaan bersama saudara dan tetangga.

Lalu bagaimana sih kita mengatur keuangan menjelang Lebaran? Sebetulnya mudah sih mengatur keuangan asal mau disiplin dan sepakat dengan pasangan kita. Karena seringkali ada pembelian diluar rencana padahal bisa jadi jamuan untuk hari raya sudah cukup. Saking senangnya merayakan hari Lebaran, sepertinya ada saja ingin nambah ini dan itu sehingga membeli sesuatu padahal tidak terlalu butuh. Cung yang seperti ini? (sayaaa…)

Nah, buat kita-kita yang tidak bergantung pada gaji dan THR, harus dicatat segala kebutuhan hari raya dan paska hari raya. Karena seringkali yang kita pikirkan adalah beli semua untuk Lebaran, bagi-bagi uang buat anak-anak, dan jalan-jalan/silaturahmi sambil bawa kiriman.  Seminggu kemudian tinggal makan serba tumis, makanan yang dihangatkan berkali-kali, kalau benar-benar habis baru beranjak pada semangkuk mie instan. Sepertinya kejadian seperti ini klise, ya.

Kudapan saat hari raya. Foto: Ima




Lalu apa yang harus dilakukan, sih? Hmmm, saya menulis ini bukan karena jago mengatur keuangan, ya, tapi berbagi pengalaman karena sering kebobolan karena ulah sendiri. Nah, untuk menghindari kekeliruan dalam menyediakan segala untuk menyambut hari raya bisa mencoba cara ini:

Pertama, catat menu makan untuk hari raya.

Catat mulai dari makanan berat, kudapan, teh, kopi, air galon. Setelah dapat menu makan, lanjut merinci biaya bahan baku yang dibutuhkan. Dari sini kita mendapatkan angka. Lalu simpan uang tersebut untuk sajian makanan. Perkirakan harga bahan baku lebih mahal dari hari-hari biasa untuk menghindari kekurangan anggaran.  Terlebih saat pandemi yang tidak menentu ini, atur menu yang tampak spesial namun jatuhnya akan lebih murah.  

Kedua, pertimbangkan lagi, apa perlu beli baju untuk kamu, pasanganmu dan anak-anak? Cek lemari baju, kalau untuk orang dewasa kaya saya dan suami, sepertinya bisa mix max baju lama jadi terlihat baru sudah cukup ya. Tinggal cuci bersih, kasih pewangi. Beres!

Tapi saya sendiri ingin membelikan baju buat anak biarpun hanya sepasang. Ingin membuat mereka terlihat bagus dan pantas saat merayakan hari yang spesial. Kalau hanya mau membeli baju untuk anak-anak, alokasikan berapa dan upayakan sesuai dengan yang kita siapkan.

Ketiga, rinci kebutuhan kebersihan rumah dan kesehatan. Catat mulai dari sabun mandi, sabun cuci tangan, pembersih lantai, sabun cuci, lap pel, lap piring, lap meja, hingga pewangi badan dan pewangi pakaian.

Keempat, hitung hari raya hingga 2-3 bulan berikut, biaya apa saja yang harus dikeluarkan. Cara ini sebagai bayangan agar kita harus melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kelima, anggarkan biaya kebutuhan untuk buka dan sahur disesuaikan dengan dana yang ada.

Pada dasarnya mengatur keuangan menjelang hari raya harus lebih disiplin. Meskipun keuangan rumah tangga, tetap harus menggunakan buku catatan. Nanti akan kelihatan keluar masuk keuangan agar lebih terkontrol pengunaan uang tersebut memang sesuai kebutuhan atau banyak digunakan diluar kebutuhan. Karena kita seringkali membeli jajanan yang harganya kadang terlihat murah. Tapi ternyata setelah dikalkulasi pengeluaran harian kita lebih banyak untuk jajan atau beli kebutuhan yang tidak perlu.

Beli sesuatu yang menyenangkan boleh saja, seperti beli minum botolan dan kripik.  Tapi kalau setiap hari dilakukan, anggaran jajan ini totalnya bisa sama untuk anggaran beli sayuran, teh bahkan setengah kilo gram telur. Dengan dicatat kita bisa memantau apa saja yang pernah kita beli dan merasa cukup. Setidaknya bisa nge-rem keinginan jajan lagi dan merasa cukup dengan makanan yang ada.

Jadi intinya, catat perkiraan setiap kebutuhan harian, kebutuhan untuk hari raya dan hari-hari setelah hari raya. Ketika ada sisa anggaran, uang itu bisa digunakan untuk jajan di luar atau beli camilan di mini market sebagai teman nonton atau ngemil selepas sahalat taraweh.  Semoga sesuai yang dibutuhkan, ya.

Saya baru dengar istilah burnout begitu Komunitas ISB memberi tema untuk one day one post (ODOP) hari ketiga. Ini apa, ya, sejenis makanan, kah? Bukan, bukan. Ternyata begitu cari-cari saya dapat penjelasannya. Burnout syndrome adalah kondisi stress kronis akibat pekerjaan yang ditandai dengan rasa lelah, kesal dengan pekerjaan dan merasakan ketidakpuasan. Kondisi ini bisa dirasakan secara fisik maupun emosional. 


Kalau membaca dari beberapa referensi yang terpercaya, sepertinya saya pernah mengalami hal yang serupa. Dalam kondisi tertentu, otak saya jadi agak sulit mencerna sesuatu yang baru. Pernah saya mencoba ikut kelas asuransi, semua materi seperti mantul entah kemana. Tapi begitu dipelajari lagi kemudian dalam keadaan hati dan pikiran lebih slow, ternyata apa yang disampaikan di kelas itu materi yang sangat mudah. Saat itu, ketika saya pelajari dalam keadaan tertekan, rasanya cepat lelah, cemas, merasa tertekan, ingin muntah dan dada terasa pengap. Menyadari pilihan yang saya ambil ditolak oleh tubuh sendiri akhirnya memutuskan untuk berhenti dan mengerjakan pekerjaan yang saya suka dan kuasai.

Lalu apa sih kaitannya burnout di tengah pandemi? Situasi pandemi banyak memungkinkan memicu burnout. Alasannya, pertama, kita harus beradaptasi bekerja dari rumah, kegiatan yang menimbulkan kerumunan diberhentikan, mengajarkan anak-anak belajar di rumah, dengan berbagai perubahan pola interaksi. Setiap hari begitu, berulang. Manusia terbiasa berinteraksi langsung dengan manusia, biasa bertemu tatap muka, kemungkinan besar akan kesulitan beradaptasi mengatasi perubahan pola hidup. Begitupun orang-orang yang masih harus bekerja keluar, mengalami dilemma antara mengerjakan kewajiban dan cemas dengan kondisi kesehatannya.

Sebetulnya saya tidak merasakan burnout selama pandemi, justru saya merasa lebih menerima mengikuti semua protokol kesehatan ditengah pro kontra dan tarik menarik situasi pandemi. Bukan menikmati ketegangannya, hanya saja semakin merasa baik-baik saja bekerja di rumah saja tanpa perlu perlawanan lagi. Meski beberapa situasi pandemi ini cukup menekan, jadi saya fikir yang perlu kami lakukan yaitu mengerjakan sesuatu yang menggembirakan, yang paling mungkin, yang paling bisa. Nikmati apa yang paling bisa dikerjakan dalam berbagai situasi yang serba terbatas.  Ya, mirip-mirip konsep bermain sambil belajar, bermain sambil bekerja. 

Kami berdua, saya menulis dan Ayah menggambar.  Setiap anak-anak belajar,  kami pun ikut belajar bersama anak-anak, saat kami merawat rumah maka anak-anak pun ikut terlibat juga. Agar suasana rumah bervariasi, kami melakukan berbagai kegiatan yang disepakati bersama.

Semesta seperti membuka jendela hidup bahwa bekerja, bermain, menikmati hal sederhana jadi istimewa dari rumah itu sangat mungkin. Walaupun sering kotar katir kekurangan, tapi ya kan rezeki kita semua sudah dijamin sama Allah. Jadi ya sudah keep it on aja, terus menulis, terus menggambar, terus mempromosikan usaha orang-orang lewat tulisan saya. Percaya The power of aksara dan the power of medsos bisa jadi bagian dari amal jariah yang terus mengalir (amin) dan rezeki mah insyaAllah ada, Allah pasti mengapresiasi semua usaha kita. Jadi gimana nih, tentang burnout? Oke, sebentar.

Katanya stress itu wajar, karena dengan stress membantu otak kita berfikir cepat dan bersegera mengambil langkah/keputusan-keputusan. Namun jika stress terus menerus tanpa jeda, lama-lama sistem syaraf akan terluka. Dalam kondisi kita bekerja pada bidang yang kita cinta pun ada masanya mengalami burnout. Saya fikir wajar, tapi akan menjadi tidak wajar jika situasi burnout berlarut-larut dan tidak segera teratasi.

Jadi saya mau berbagi sedikit pengalaman upaya self healing untuk menyelamatkan dari burnout yang ya mungkin bisa saja cocok sama teman-teman:

1. Beri jeda antara diri sendiri dengan pekerjaan kita.

Beri waktu pada diri untuk bernafas lega dengan cara mengalihkan pikiran pada hal lain. Caranya, olah nafas, lalu kerjakan sesuatu yang membuat kamu rehat sebentar. Katakanlah kamu sudah merasa enek ditengah pekerjaan yang tak kunjung selesai, maka hentikan saja, beri waktu 30 menit untuk betul-betul buat diri sendiri.

Katakanlah ambil kopi arabika kesukaan kamu, lalu seduh kopi, nikmati dengan menyadari penuh rasa kopi, pada proses seduh membayangkan pegunungan pepohonan kopi, lalu duduk tenang menikmati pepohonan di teras rumah. Sambil tutup mata dan nikmati berbagai suara di sekita tanpa perlu melawan atau merespons balik

                                         

2. Kerjakan hobi yang kamu suka.

Hobi setiap orang beda-beda, ada yang nonton film, merawat bunga, membaca buku, membuat kue, menggambar, membuat puisi, olah raga, dll. Lakukan tanpa perlu merasa bersalah, tubuh kamu butuh “nutrisi” agar bisa beraktifitas dengan riang gembira dan penuh energi.

Kalau kamu suka jalan kaki, maka lakukan. Nikmati diri sendiri sambil bawa handphone. Ketika jalan kaki menemukan objek menarik, maka tak perlu segan mengambil fotonya, dengarkan keinginan tubuh dan hati kamu. Ketika merasa sudah cukup puas, pulang dan susun lagi rencana hari itu, lalu kerjakan satu satu pekerjaan. Dengan kesadaran penuh bahwa lama-lama semua pekerjaan itu akan selesai juga.

3. Bersyukur atas tubuh yang sehat

Di tengah pandemic seperti ini apa yang paling kita syukuri? Ya, udara dan tubuh yang mampu mengerjakan sesuatu. Baik itu pekerjaan orang ataupun pekerjaan rumah. Tidak semua orang mendapat kesempatan seperti itu. Hari ini berarti, lalu kerjakan apapun sisa-sisa yang kita bisa kita lakukan.

4. Tulis atau ingat-ingat hal menyenangkan meski sederhana

Seringkali kita merasa lelah dan perasaan cemas lainnya karena berfikir berlebih bahkan berfikir pada sesuatu yang belum tentu akan terjadi. Cobalah untuk mengingat kejadian lucu, asik, sederhana namun sering kita abaikan karena ingatan negative kerap menguasai pikiran. Misalnya anak-anak bisa mandi sendiri dan menyimpan baju kotor di tempatnya, lalu ketika beli sayur mendapat diskon 1000, senang bisa menjemur badan sambil ngobrol dengan Ibu, senang karena berhasil membersihkan kulkas, dan sebagainya. Tanpa disadari ternyata persoalan kita hanya 1 dan situasi yang menyenangkan bisa jadi lebih banyak.

5. Tidur

TIdur? Iya, tidak semua orang bisa tidur dalam keadaan banyak masalah. Maka upayakan tidur sekitar 30 menitan saja. Nyalakan alarm agar tidak terlalu lama. Katanya, tidur adalah obat meredakan stress yang paling mujarab, karena syaraf kita akan dibuat istirahat.

6. Lakukan permainan anak-anak

Gunting, batu, kertas! Bikin permainan anak-anak dengan orang rumah, gunakan waktu secukupnya, biarkan jiwa anak-anak kamu keluar lalu gunakan kesempatan untuk bergembira.

7. Berhenti ingin di apresiasi oleh rekan kerja

Lakukan saja pekerjaan kamu semampu kita, karena tanpa kamu semua itu tidak akan terwujud.

Ketika pikiran kita kembali santai dan sederhana, pekerjaan yang setumpuk dan penuh tekanan itu jadi terasa ringan dan kembali berenergi. Perlu disadari juga, bahwa setiap manusia memiliki fungsi masing-masing. Ketika salah satu berfungsi, maka tujuan bersama akan terwujud dengan baik. 


Foto: Ima


Seorang guru ngaji saya pernah bilang, bahwa ilmu yang kita ketahui itu ibarat setetes air di lautan. Saya mendengar petuah ini saat masih sekolah dasar, belum ngerti maksud Kang Guru itu apa. Karena pernyataannya ini unik dan menimbulkan imajinasi visual di kepala. Lama saya selalu ingat kalimat ini, “Setetes di lautan, setetes di lautan,” saat melamun kalimat ini cukup sering mengusik sistem syaraf ingatan saya.

Ternyata kalimat ini maknanya luas sekali, tidak sekadar bermakna ilmu yang kita tahu itu sangat sedikit dibandingkan ilmu yang terkandung di alam semesta ini. Tapi kalimat ini mengajarkan pula untuk meneguhkan diri agar tetap buka hati, buka mata, buka telinga untuk memahami segala sisi. Karena kita bisa belajar dari siapapun ketika berada dalam lingkungan sosial yang beragam. Disini hati kita diuji untuk menangkap setiap “ilmu” dari siapapun itu.

Kadang-kadang merasa remuk karena merasa sudah belajar banyak, rupanya semakin melangkah lebih jauh, ilmu ini seperti tak berbatas. Selalu ada yang baru, selalu ada situasi yang mengejutkan yang menyadarkan bahwa bumi ini sungguh luas. Sepertinya tak ada ruang untuk membanggakan diri, tidak juga merendahkan diri atau bahkan merasa paling berilmu.  

Foto: Ima



Kebetulan saya pernah aktif dalam organisasi teater saat kuliah dulu, sehingga sampai sekarang komunikasi masih terjalin untuk sesekali berbagi pikiran. Melalui teman-teman pengurus itu, saya menemukan bagaimana mereka mengelola masalah dan memecahkan solusi dalam bentuk karya. Energi ini seperti menular dan selalu mengingatkan saya agar terus berkarya berapapun usia dan kondisi kita saat ini. Melalui pergerakan dan program kegiatan yang mereka lakukan, saya sering menemukan ilmunya yang luas dan meluaskan, pergerakannya selalu segar dan inspiratif. Pelan-pelan saya pelajari dan serap disesuaikan dengan kondisi saya saat ini.

Lalu saat kami membangun studio desain bersama teman-teman Ayah yang lebih muda, kami belajar memiliki sikap saat harus bekerja sama dalam mengeksekusi pekerjaan. Meski usia terpaut cukup jauh, pola komunikasi kami terasa cair. Karena komunikasi cair, proses kreatif lebih dikerjakan dengan professional dan menyenangkan. Tidak ada yang merasa lebih tua maka dia lebih jago begitupun sebaliknya. Semua proses dan ide dikomunikasikan untuk mendapatkan kesan hasil desain yang disepakati bersama.

Begitupun ketika saya masuk pada dunia tulis menulis, saya belajar banyak dari penulis yang usianya lebih muda namun kaya ilmu menulis. Saya menyadari hobi menulis saya tidak disertai dengan ilmu kepenulisan. Sehingga ketika pelan-pelan masuk dunia blog lalu menemukan komunitas blogger, disini berbagai “tuntutan” keilmuan menulis, etika bermedia sosial, keahlian mengambil foto, mengatur aplikasi blog, membangun branding, memelihara disiplin berkarya dan banyak lagi cabang lain harus dipelajari. Melalui beberapa teman yang lebih muda, saya belajar teknis mengelola blog dan bagaimana mensikapi dunia blogger yang dinamis dan penuh kejutan.

Situasi yang sering terjadi ketika kita tahu ada lingkungan lain dengan percepatan ilmu yang kita miliki, kita memilih berhenti. Atau tak jarang merasa tidak perlu belajar lagi karena sudah merasa lebih dulu berkiprah. Keadaan ini yang membuat kita terjebak karena merasa cukup banyak tahu dan besar sendiri.

Perlu disadari, pertumbuhan dan pergerakan ilmu di era sekarang ini sangat cepat. Oleh karena itu, mau tidak mau, buat saya yang melewati fase belum ada internet hingga fase informasi itu ada di smart phone menjadi tantangan tersendiri untuk membuka diri untuk terus belajar pada siapapun. Bagaimana dulu kita kesulitan mencari referensi, sekarang anak-anak muda jauh lebih memahami bagaimana mendapatkannya dan mengelolanya menjadi industri. Pergerakan hobi lalu mengoptimasi menjadi penghasilan menjadi pergerakan sosial yang lumrah. Jadi, dalam mempelajari sesuatu tidak ada kata terlambat meski dari anak muda, masalahnya adalah mau atau tidak.