Selembar poster pertunjukan monolog berjudul “Inggit”
ditulis oleh Ahda Imran yang disutradarai oleh Wawan Sofwan dan sebagai
pemainya Happy Salma, tertempel lekat di dinding gang dekat rumah. Garis grafis Pidi Baiq terlihat dramatis dan
menyimpan banyak teka teki dan kesungguhan.
Saya tergerak untuk segera menghubungi tempat pemesanan tiket. Harus segera, saya tahu saya akan mendapatkan
sesuatu dari pertunjukan ini.
Siapa yang mengenal Inggit Garnasih? Tidak banyak yang mengenalnya karena tidak
ada sejarah yang menorehkan namanya di buku-buku sejarah, sayapun sedikit tahu
dari ibu saya yang sudah sepuh. Disana
yang berkuasa, disana pula yang menguasai sejarah. Warga Bandung hanya sedikit mengenal namanya
dari daerah Ciateul yang disematkan namanya menjadi nama sebuah jalan. Jalan
Inggit Garnasih.
Hari itu tiba, 22 Desember bersamaan dengan hari ibu. Siapa dan bagaimana Inggit seharusnya menjadi
bagian dari pahlawan sejarah, perempuan yang mengantarkan Indonesia menuju
gerbang kemerdekaan. Kolaborasi kuat
tiga orang berlatar belakang berbeda yaitu penulis, peramu dan pemain
menjadikan monolog yang berdurasi 93 menit ini begitu memukau. Saya, khususnya, tidak beranjak sedikitpun
dari tempat duduk dan menikmati setiap tuturan kalimat, intonasi, gesture,
permainan dramatis solo itu memikat. Menciptakan imajinasi bagi penonton dan ikut terobang ambing dalam
setiap babaknya.
Alur dimulai dari kisah cinta antara Bung Karno, Inggit dan
Kang Sanusi, lalu berjalan pada pergerakan politik, situasi perlawanan pada
pihak kolonialisme, Inggit yang selalu menemani dan ikut saat masa pembuangan yang
berpindah-pindah. Sampai titik cerita Inggit
harus melepaskan Bung Karno ketika di akhir pembuangan di Bengkulu. Disanalah pertemuan antara Fatmawati sebagai
anak angkat pasangan Inggit dan Bung Karno dengan Bung Karno terjadi. Bung Karno dan Fatmawati saling jatuh cinta
dan akhirnya Inggit harus merelakannya di ujung kemerdekaan Negeri karena
Inggit enggan di madu.
Semua diceritakan dengan apik, sabar, tenang dan berenergi. Beberapa moment sempat membuat seluruh tubuh
saya merinding. Adegan-adegan yang di
bawakan secara minimalis, mampu membangun imajinasi sejarah, setting rumah,
keramaian ruang diskusi di kediamannya, proses perjuangan Inggit dalam
mendukung kekuatan Bung Karno.
Untuk monolog yang sedemikian panjang adalah sebuah situasi
yang berat. Kebanyakan pertunjukan solo
seperti itu hanya memakan waktu 20 menit saja sudah cukup. Jika
alur cerita tidak menarik dan aktornya tidak terolah dan tidak lihai memainkan
tiga unsur penting seorang aktor yaitu sukma, tubuh, vokal bisa membuat
penonton jenuh. Namun saya sendiri
merasa mendengarkan tuturan dongeng dengan berkarakter kuat. Tak ada lagi sosok Happy Salma yang saya
kenal sebagai artis televisi dan film.
Tapi saya melihat sosok Inggit dalam tubuhnya. Energinya begitu kuat dan fisiknya stabil,
tak ada penurunan emosi atau sekedar jeda karena kelelahan berakting.
Menurut penulisnya, Ahda Imran, naskah monolog ini terdiri
dari 30 halaman. Dan Happy mampu
menghafalkan naskah tersebut dalam waktu 4 (empat) hari dan bloking 4 (empat)
hari. Proses memakan waktu 2
minggu. Bisa dibayangkan jika proses
dilakukan selama 1 (satu) bulan, barangkali bisa lebih matang. Walaupun dengan proses sesingkat itu beberapa
adegan membuatku sering terbawa suasana.
Kematangan proses di panggung tidaklah main-main, karena pengolahan tiga
unsur aktor bukanlah sulap. Perlu
dilatih dalam waktu yang cukup intens, konsisten dan disiplin tinggi.
Penonton yang datang membludak, entah Happy Salma atau tokoh
Inggit yang ingin mereka kejar atau bahkan bisa jadi karena penulis maupun
sutradaranya menjadi tujuan para penonton.
Pertunjukanpun dimulai, sang aktor berhasil membuat mata saya tidak
berkedip sedikitpun. Tapi Happy bisa
menjadi magnet dalam menyampaikan sebuah sejarah penting negeri ini yang
prosesnya dilupakan. Sehingga terlau
banyak dilukai dan dikhianati oleh para pemimpinya sendiri. Terlalu banyak permainan politik yang justru
merusak rakyat dan alamnya.
Pada suatu titik, pertunjukan ini menyimpulkan bahwa sejarah
haruslah selalu diingatkan. Karena
negeri ini sering dilanda penyakit lupa.
Termasuk saya, pada akhirnya tertarik untuk menelusuri kembali referensi
tentang Inggit di website. Negeri ini
selalu melipat sejarah dan menyimpannya hingga busuk, sehingga banyak generasi
yang lupa akan akarnya.
i.am.ima, Bandung, 24 Desember 2011