Siapa yang tidak kenal Manohara belakangan ini muncul di permukaan karena kasus KDRT (Kekerasan dalam rumah tangga) oleh suaminya. Walaupun belum ada bukti nyata, tapi kita sering sekali mendengar tentang kasus KDRT selalu kalah dan lemah di pengadilan. Dalam persoalan KDRT perempuan-perempuan ini selalu mendapat posisi yang lemah karena persoalan pembuktian yang lemah apalagi jika menyangkut KDRT dalam bentuk mental. Manohara adalah perempuan sangat cantik menikah berusia muda (16 tahun), orang tuanya bercerai dan mau menerima pinangan seorang laki-laki kaya dari golongan kerajaan. Orang-orang tentunya akan berfikir, siapa yang tidak akan tertarik pada status sosial seperti ini dengan kekayaan yang berlimpah dan masa depan yang terjamin.
Beberapa bulan ini orang-orang tertarik dengan kisah Manohara karena ibunya datang pada media, menjadikan masalah ini begitu menarik untuk disimak. Informasi yang dituturkan ibunya dari awal penculikan hingga penyiksaan yang dilakukan oleh suaminya dari golongan kerajaan Kelantan-Malaysia. Orang-orang lalu berfikir, ”masa iya orang terhormat sanggup berlaku kasar seperti itu”?.
Pertanyaan saya, kenapa ibunya (Desi Fitri) mengangkat masalah ini ke media bukanya lapor ke polisi atau departemen luar negeri. Apakah ini sebuah simbol keputusasaan Desi Fitri atas pemerintah kita yang sering sekali tidak tanggap atas keluhan publik? Apakah ini adalah sebuah upaya membentuk kekuatan dalam melawan kekuasaan kerajaan yang super atau bentuk tidakpercayaan Desi pada pemerintah kita. Karena sering tidak tanggap, terbukti dengan tingginya publikasi yang dilakukan oleh Desi tapi pemerintah kita tetap adem ayem.
Lepas dari laporan yang dilakukan oleh Desi benar atau salah, jujur atau berbohong tapi pada kenyataanya pemerintah kita tidak ada gerakan sebelum di gembar gembor oleh pihak media.
Pelayanan publik ini tidak hanya laporan kejahatan pada polisi kelewat administratif, harus kelihatan rusak dulu atau bahkan sampai meninggal barulah mereka bertindak. Tapi kalau masih kelihatan baik-baik saja dan tampak kuat, mereka hanya memandang masalah dengan sebelah mata. Saya sedikit kecewa dengan pernyataan orang yang berpengaruh di negeri ini, yang mengatakan bahwa ini adalah masalah keluarga dan sebaiknya diselesaikan dengan baik-baik. Lalu apa jadinya jika Manohara sampai bunuh diri karena tidak dapat mengendalikan depresi dalam menghadapi suaminya? Apakah beliau akan mengatakan ini masalah keluarga sementara keputusan dewan tentang KDRT begitu jelas, bahwa kita masyarakat tinggi-menengah-bawah berada dalam perlindungan negara. Apakah karena dia perempuan berstatuskan istri harus menerima apa adanya kondisi mental suaminya. Buat apa dia lari di tengah kemegahan dan kemudahan administratif yang bagi masyarakat seperti saya sulit mendapatkannya kecuali kita punya uang. Bukankah tugas negara melindungi rakyatnya ketika mereka ada di negeri orang apapun masalahnya, apakah dia buron , pengedar narkoba, masalah kekerasan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang rentan terjadi, pendidikan, pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga dan lain sebagainya. Ini bukan hal sepele.
Lalu orang-orang mulai sedikit nyiyir karena dia seorang perempuan cantik, menarik, model yang baru dikenal kemudian mulai dilirik para produser, agen-agen karena nilai jual kisah hidupnya? Tidak ada yang ingin menjadi terkenal jika dia harus melewati persoalan yang tidak diundangnya. Lalu dimana harga dirinya jika dia harus merusak muka kerajaan Kelantan untuk mendapatkan ketenaran. Saya fikir Manohara dan ibunya terlalu berani jika sampai melakukan hal itu hanya untuk ketenaran.
Sekarang pihak Deplu dan jajaran pemerintah kita seperti kebakaran jenggot. Mereka tidak berbesar hati mengakui, rendah hati atau bahkan intropeksi atas salah satu persoalan publik yang terkuak di media. Kalau kita kumpulkan keluhan-keluhan publik yang senada, barangkali jumlahnya akan banyak sekali.
Lihatlah kasus lumpur lapindo yang tidak juga selesai, jalan-jalan bolong di Bandung yang semakin parah, polusi kendaraan bermotor yang tidak terkendali, perizinan pabrik yang sembarangan, apartemen-apartemen mewah yang meraja dimana-mana, pelayanan pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang ruwet, kebijakan-kebijakan usaha (mall-mall) yang tidak seimbang dengan kondisi lingkungan, pelaporan kasus pencurian yang tidak selesai dan banyak lagi. Semua ini akan selesai jika si-pemilik masalah mempunyai posisi yang bagus di kalangan masyarakat, memiliki kekuasaan dan tentunya uang dimuka.
Lalu ada yang lebih lucu, tengoklah kasus Prita. Dia ditangkap karena mengeluh atas pelayanan publik rumah sakit omni internasional atas perawatannya saat dia sakit. Lalu pihak rumah sakit melaporkannya pada pihak berwajib dan menjadikan sebuah kasus pencemaran nama baik. Prita tidak berdaya bahkan tidak punya kesempatan untuk mendapatkan pembelaan, tidak mendapatkan pelayanan dan upaya pembelaan dari pemerintah sebagai pihak netral. Logikanya, persoalan ini menyangkut kedua belah pihak masyarakat (konsumen dan produsen) yang mestinya mendapatkan pembelaan yang seimbang. Dia dilepaskan dari penjara selama 3 (tiga) minggu (lagi-lagi) setelah digembar gembor oleh pihak media, atas dukungan dari JK agar melepaskan Prita dan juga kunjungan Megawati ke Lapas. Aneh, negeri ini sepertinya akan selalu bergerak jika orang nomer satu atau orang yang berpengaruh turun tangan. Lepas bahwa JK dan Megawati memanfaatkan kondisi untuk mendukung strategi politiknya, saya fikir pengelola negara ini punya pribadi yang lemah.
Begitu juga dengan kasus Tisna Sanjaya beberapa tahun yang lalu dengan pihak pemerintah Kota Bandung yang membakar karya seninya. Tisna sebagai masyarakat biasa menuntut pemerintah, minta pertanggung jawaban atas pembakaran ini. Tidak ada yang berbesar hati menerima ini sebuah kekeliruan penilaian pembakaran atas karya seni atau sampah. Mereka semakin keras kepala dan mempertahankan harga dirinya sebagai pe(tukang)merintah, hasilnya? Bagi yang tidak tahu kasus ini anda pasti bisa menebaknya dengan jelas pihak mana yang menang.
Huffff.... jadi, lagi-lagi siapa yang berkuasa, disana pelayanan publik yang nomer satu akan kita dapatkan. Tapi tidak perlu sedih menghadapi ini, bukanya kita sudah biasa mengunyah persoalan-persoalan seperti ini, bahkan antibody-nya juga sudah super. Sebagai masyarakat biasa, kita terbiasa gigit jari bukan dalam mengadapi persoalan pelayanan publik yang tidak maksimal. Hehehehee... Saya nulis begini bakal ditangkap tidak ya seperti halnya ibu Prita? Huhuhuk....
Ima I 6 Juni 2009
Beberapa bulan ini orang-orang tertarik dengan kisah Manohara karena ibunya datang pada media, menjadikan masalah ini begitu menarik untuk disimak. Informasi yang dituturkan ibunya dari awal penculikan hingga penyiksaan yang dilakukan oleh suaminya dari golongan kerajaan Kelantan-Malaysia. Orang-orang lalu berfikir, ”masa iya orang terhormat sanggup berlaku kasar seperti itu”?.
Pertanyaan saya, kenapa ibunya (Desi Fitri) mengangkat masalah ini ke media bukanya lapor ke polisi atau departemen luar negeri. Apakah ini sebuah simbol keputusasaan Desi Fitri atas pemerintah kita yang sering sekali tidak tanggap atas keluhan publik? Apakah ini adalah sebuah upaya membentuk kekuatan dalam melawan kekuasaan kerajaan yang super atau bentuk tidakpercayaan Desi pada pemerintah kita. Karena sering tidak tanggap, terbukti dengan tingginya publikasi yang dilakukan oleh Desi tapi pemerintah kita tetap adem ayem.
Lepas dari laporan yang dilakukan oleh Desi benar atau salah, jujur atau berbohong tapi pada kenyataanya pemerintah kita tidak ada gerakan sebelum di gembar gembor oleh pihak media.
Pelayanan publik ini tidak hanya laporan kejahatan pada polisi kelewat administratif, harus kelihatan rusak dulu atau bahkan sampai meninggal barulah mereka bertindak. Tapi kalau masih kelihatan baik-baik saja dan tampak kuat, mereka hanya memandang masalah dengan sebelah mata. Saya sedikit kecewa dengan pernyataan orang yang berpengaruh di negeri ini, yang mengatakan bahwa ini adalah masalah keluarga dan sebaiknya diselesaikan dengan baik-baik. Lalu apa jadinya jika Manohara sampai bunuh diri karena tidak dapat mengendalikan depresi dalam menghadapi suaminya? Apakah beliau akan mengatakan ini masalah keluarga sementara keputusan dewan tentang KDRT begitu jelas, bahwa kita masyarakat tinggi-menengah-bawah berada dalam perlindungan negara. Apakah karena dia perempuan berstatuskan istri harus menerima apa adanya kondisi mental suaminya. Buat apa dia lari di tengah kemegahan dan kemudahan administratif yang bagi masyarakat seperti saya sulit mendapatkannya kecuali kita punya uang. Bukankah tugas negara melindungi rakyatnya ketika mereka ada di negeri orang apapun masalahnya, apakah dia buron , pengedar narkoba, masalah kekerasan TKI (Tenaga Kerja Indonesia) yang rentan terjadi, pendidikan, pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga dan lain sebagainya. Ini bukan hal sepele.
Lalu orang-orang mulai sedikit nyiyir karena dia seorang perempuan cantik, menarik, model yang baru dikenal kemudian mulai dilirik para produser, agen-agen karena nilai jual kisah hidupnya? Tidak ada yang ingin menjadi terkenal jika dia harus melewati persoalan yang tidak diundangnya. Lalu dimana harga dirinya jika dia harus merusak muka kerajaan Kelantan untuk mendapatkan ketenaran. Saya fikir Manohara dan ibunya terlalu berani jika sampai melakukan hal itu hanya untuk ketenaran.
Sekarang pihak Deplu dan jajaran pemerintah kita seperti kebakaran jenggot. Mereka tidak berbesar hati mengakui, rendah hati atau bahkan intropeksi atas salah satu persoalan publik yang terkuak di media. Kalau kita kumpulkan keluhan-keluhan publik yang senada, barangkali jumlahnya akan banyak sekali.
Lihatlah kasus lumpur lapindo yang tidak juga selesai, jalan-jalan bolong di Bandung yang semakin parah, polusi kendaraan bermotor yang tidak terkendali, perizinan pabrik yang sembarangan, apartemen-apartemen mewah yang meraja dimana-mana, pelayanan pembuatan KTP (Kartu Tanda Penduduk) yang ruwet, kebijakan-kebijakan usaha (mall-mall) yang tidak seimbang dengan kondisi lingkungan, pelaporan kasus pencurian yang tidak selesai dan banyak lagi. Semua ini akan selesai jika si-pemilik masalah mempunyai posisi yang bagus di kalangan masyarakat, memiliki kekuasaan dan tentunya uang dimuka.
Lalu ada yang lebih lucu, tengoklah kasus Prita. Dia ditangkap karena mengeluh atas pelayanan publik rumah sakit omni internasional atas perawatannya saat dia sakit. Lalu pihak rumah sakit melaporkannya pada pihak berwajib dan menjadikan sebuah kasus pencemaran nama baik. Prita tidak berdaya bahkan tidak punya kesempatan untuk mendapatkan pembelaan, tidak mendapatkan pelayanan dan upaya pembelaan dari pemerintah sebagai pihak netral. Logikanya, persoalan ini menyangkut kedua belah pihak masyarakat (konsumen dan produsen) yang mestinya mendapatkan pembelaan yang seimbang. Dia dilepaskan dari penjara selama 3 (tiga) minggu (lagi-lagi) setelah digembar gembor oleh pihak media, atas dukungan dari JK agar melepaskan Prita dan juga kunjungan Megawati ke Lapas. Aneh, negeri ini sepertinya akan selalu bergerak jika orang nomer satu atau orang yang berpengaruh turun tangan. Lepas bahwa JK dan Megawati memanfaatkan kondisi untuk mendukung strategi politiknya, saya fikir pengelola negara ini punya pribadi yang lemah.
Begitu juga dengan kasus Tisna Sanjaya beberapa tahun yang lalu dengan pihak pemerintah Kota Bandung yang membakar karya seninya. Tisna sebagai masyarakat biasa menuntut pemerintah, minta pertanggung jawaban atas pembakaran ini. Tidak ada yang berbesar hati menerima ini sebuah kekeliruan penilaian pembakaran atas karya seni atau sampah. Mereka semakin keras kepala dan mempertahankan harga dirinya sebagai pe(tukang)merintah, hasilnya? Bagi yang tidak tahu kasus ini anda pasti bisa menebaknya dengan jelas pihak mana yang menang.
Huffff.... jadi, lagi-lagi siapa yang berkuasa, disana pelayanan publik yang nomer satu akan kita dapatkan. Tapi tidak perlu sedih menghadapi ini, bukanya kita sudah biasa mengunyah persoalan-persoalan seperti ini, bahkan antibody-nya juga sudah super. Sebagai masyarakat biasa, kita terbiasa gigit jari bukan dalam mengadapi persoalan pelayanan publik yang tidak maksimal. Hehehehee... Saya nulis begini bakal ditangkap tidak ya seperti halnya ibu Prita? Huhuhuk....
Ima I 6 Juni 2009