Punya teman dan saudara yang sehati itu menyenangkan, rasanya apapun ingin kita bagi.  Dari hal yang menyenangkan hingga yang tidak enak.  Saya jadi inget jaman kecil, suatu hari di televisi ada konser Michael Jackson, kakak Ima-Ila- ketuk kamar Ima sampai benar-benar bangun biar kita bisa nonton bareng.  Dari iklan, acara televisi, berita-berita, pas salah satu sedang nonton pasti kita bakal memanggil dengan antusias,”Ini ada acara A.” atau “Cepet sini, iklannya keburu habis.”  Kalau kita sama-sama nonton rasanya senang, karena bisa menikmati dan itu dia berbagi kesenangan.  Pernah juga kejadian, pas kakak saya-Agus- suka pergi ke pasar, setiap malam dia mengirimkan ayam pesanan pelanggan Bapak ke rumah makan-rumah makan.  Biasanya ada saja pelangan Bapak suka ngasih nasi dan ayam kecapnya yang sedap.  Sekitar jam 00.00 WIB ke atas, Agus suka mampir sebentar ke rumah dan tentu saja kami sudah tidur, kami dibangunkannya yang senang tidur di kursi depan televisi,”Hey, hudang, buruuuu…. Ieu aya hayam jeung sangu haneut, buru dahar heula sakeudeng, ngenah, geus itu sare deui.”*  Kami pun bangun, sambil ngantuk kami makan dan disuapi oleh Agus.  Beres makan, Agus pun kembali ke pasar meneruskan pekerjaannya dengan Bapak.  Momen masa kecil yang setiap saat merasa harus berbagi.


Ruang Baca Popo Iskandar
“GSPI.”  Begitu teman-teman menyebut Griya Seni Popo Iskandar saat mengajak saya untuk melihat performance art dan pameran karya seni di tempat itu.  Waktu jaman kuliah, sekitar tahun 1996 keatas dan senang bermain teater, di GSPI sering ada pameran seni rupa, performance art maupun workshop.  Datang ke acara-acara seperti ini, banyak membantu melatih kepekaan rasa terhadap lingkungan, sudut pandang dan memancing semangat berkarya.  Kebetulan lokasi GSPI ini di jalan Setiabudi Bandung, tak jauh dari rumah saya yang di belakang terminal Ledeng, hanya memakan waktu 2 menit kalau naik angkot dan bisa juga jalan kaki.  Sekarang tempat ini sudah berubah wujud jadi hotel dan GSPI pindah ke seberang terminal Ledeng, masuk jalan kecil sedikit.  Tempat yang sekarang sebetulnya tidak asing lagi, malah saya merasa lebih akrab dengan griya yang sekarang yang saya tahu rumah putih ada gambar bulatan hitam dan persegi panjang miring berwarna merah.  Logo ini membayang dan terekam kuat di ingatan masa kecil saya yang sering lewat di wilayah rumahnya. 
Seumur-umur, saya tidak pernah punya kendaraan sendiri, kecuali punya Amih-Bapak dan pinjam kakak.  Alasannya, selain tidak punya cukup uang untuk membeli sendiri,hehe… tidak ada motivasi untuk punya sendiri karena tidak bisa mengendarainya.  Kalau punya uang lebih, saya dan suami lebih memilih untuk traveling dan makan.  Barangkali karena waktu itu kami belum punya anak, jadi feel free aja.  Sampai akhirnya, dorongan ingin punya motor timbul ketika punya anak pertama-Alif- yang sering menjadi ‘penonton’ pengguna motor yang lewat di depan rumah.  Lama-lama, dia bilang “Mah, pengen itu.”  Maksud ‘itu’ adalah motor.  Watir pisan lihat ekspresi dan nada Alif ini pas bilang begitu, rasa bersalah itu muncul, ah menyebalkan.  Saya sampai berfikir apakah perlu kredit motor, kan lama-lama juga lunas, karena tadinya kami pengen punya motor bukan dengan cara kredit.  Jadi saya fikir, selama ada angkot ya manfaatkan saja, kami seperti pecinta angkot atau angkotan umum atau bahasa inggrisnya public transportation biar kesannya gaya.  Yah, sama saja artinya kendaraan umum.  Kami kemana-mana lebih memilih angkot walupun suka ngetem,  jalannya bak naik jet coaster dan suka di rem mendadak.  Alasan lain tidak punya mobil/motor, yak karena tidak ada keinginan punya motor maupun mobil, aneh, ya?  Saya juga heran sendiri padahal kan gaya, yah. 


Dulu, waktu masih kecil, menyambut hari raya Idul Fitri identik dengan pakaian baru dan perangkat baru lainnya.  Rumah dibersihkan bahkan di cat ulang, halaman rumah di rapi kan, pepohonan dipercantik, kue-kue kecil disiapkan, menu makan besar pun di rancang.  Beli baju baru untuk hari raya seperti sudah diwajibkan, bahkan bisa beli beberapa helai untuk berbagai acara, seperti baju untuk takbiran di masjid, baju tidur, baju shalat ied lalu baju setelah shalat ied.  Jadi ngerasa lucu kalau inget ini.  Malam takbiran, saya dan teman-teman biasanya bermain dan ikut takbiran di masjid, lalu besoknya setelah pulang shalat ied kami berlarian ke rumah masing-masing untuk ganti pakaian.  Dan waktu itu, kami senang sekali pamer memperlihatkan keistimewaan masing-masing pakaian baru, aneh sekali, kalau dipikir sekarang, kenapa harus begitu ya?  Sungguh tidak penting.  Hehhee…  


Eh, tapi, ritual beli baju baru ini bisa jadi termasuk langka dan menyenangkan.  Kalau dulu, pusat perbelanjaan menjadi lebih penuh dari biasanya, sekarang pun sama penuh tapi mulai terpecah dengan adanya teknologi toko online yang semakin menjamur.  Meskipun ritual hangout tetap dijalankan, karena, di momen ini, kami sekeluarga bisa pergi bersama ke satu tempat lalu memilih baju, saling meminta pendapat tentang baju yang kami pilih.  Biasanya, beli sesuai selera yang bisa nantinya saling tukar baju dan bisa saling mix max baju.  Modus biar bisa saling pinjam baju.

Serunya menjelang Idul Fitri, dari anak hingga cucu biasanya pergi bersama, bisa dibayangkan Amih biasanya menggiring anak-anaknya.  Oke, saya punya kakak 15 orang, saat masih kecil sekitar tahun 1985-1990-an, beberapa kakak sudah menikah dan sebagian lain sudah remaja dewasa, sementara saya masih setingkat SD-SMP-lah.  Anak-anak yang belum menikah seperti saya, Dede, Ila, Agus, Usep, Teh Bibo, ke toko baju dekat rumah atau ke alun-alun.  Biasanya, kami mengandalkan Teh Bibo sebagai tes selera, pilihan dia biasanya suka keren dan nyeni.  Seleranya bisa diandalkan, lah.  Kalau tidak bawa Teh Bibo kami biasanya suka jadi tidak pede memilih baju.  Haha… Biasanya, pas lagi asik memilih ada beberapa kakak yang sudah berkeluarga yang tiba-tiba “tersesat” ditempat kami belanja, seolah-olah ketemu di tempat kami belanja padahal mereka sudah tahu hari itu kami punya jadwal belanja.  Maksudnya, modus biar nebeng beli baju dan dibayarin Amih.  Amih memang ibu budiman, dia mah seru-seru aja, yang penting anak-anaknya senang.  Udah.

Nah, kalau sekarang kayanya engga begitu, ya.  Baju baru jadi tidak terlalu penting.  Ada pakaian yang masih layak pakai dan bersih dan masih terlihat bagus, masih oke juga dipakai buat hari istimewa ini.  Alasannya bisa macam-macam,  termasuk malas berpenuh-penuh ria di pertokoan yang pasti mulai dijejali manusia untuk berbelanja, lebih kalem menghadapi perayaan dan efektifitas anggaran keluarga, hehe...  Untuk urusan pilihan berbelanja, kini saya seringkali melirik toko online sebagai pilihan berbelanja.   Di toko ini, banyak pilihan yang menggoda dan lucu-lucu, seperti pakaian, sepatu, kerudung, pashmina, kaos kaki, kacamata, kue, makanan-makanan, baju anak, peralatan rumah tangga, dan banyak lagi.  Hal ini lebih memudahkan buat orang-orang yang seringkali tak punya waktu untuk berbelanja.  Dari smartphone yang kita tenteng kemana-mana, sudah bisa belanja apa saja.  Kita tinggal tunggu di rumah dan jreng! Jreng!, produk dipesan sampai di tempat. 

Kalau pengalaman beli-beli produk cara online ini, saya sendiri  cukup puas bahkan suka merasa amazing.  Produk suka pas sesuai pesanan, sambil melakukan sesuatu saat ada waktu kosong sedikit bisa memilih produk, misalnya pakaian lalu klik! Ikutin semua petunjuknya dan produk sampai di rumah.  Waktu 24 jam menjadi waktu yang sangat lapang karena bisa melakukan banyak hal.  Cukup efektif dan asik.    

Bandung, 21 Juni 2015
Imatakubesar

#CatatanRamadhan2015
Hari ini tidak terlalu baik, sepertinya saya cape sekali dan tiba-tiba saya mengeluarkan emosi yang tidak biasa sampai saya lari sambil menangis ke dapur dan menyiram muka sendiri agar tenang.  Awalnya sederhana, anak-anak saya rebutan seperti biasa, saya berhasil melerainya.  Situasi rebutan ini berkali-kali, salah satu teriak dan menangis, biasanya saya menarik nafas panjang, berfikir apa yang harus dilakukan dan menggendong salah satu agar tidak terjadi pertumpahan emosi.  Tapi memang kebetulan di rumah banyak anak-anak tetangga juga yang sedang main ke rumah.  Biasanya saya biasa saja, malah lebih tenang kalau kondisi rumah ramai.  Siang tadi berbeda, ketika saya sedang membuat pesawat terbang dalam rangka membujuk agar tidak berebut, anak saya yang kecil mukul sepupunya dan sepupunya ini teriak sambil menangis.  Tiba-tiba, saya spontan teriak sampai saya sendiri lari sekuat tenaga menarik tubuh saya agar pergi dari situasi itu dan mencuci muka.  Tubuh dan hati masih berada dalam tanda-tanda amarah, saya pegang tangan dan leher, terasa tegang, saya sendiri aneh.   Aduh, ini tidak beres, langsung Bayan yang tengah menangis saya gendong dan cepat-cepat dititip ke Ceu Emi yang bantu beres-beres di rumah.  Saya segera lari ke rumah Teh Ida dan tiba-tiba saya menangis sejadi-jadinya. 

Foto: Ima

Ramadhan tahun 2015 ini, saya baru saja menginjakan hari ke-2 di usia ke-37 tahun.  Amih dan kakak bilang, dia fikir usia saya masih 25 tahun, jangan dulu protes, bukan karena awet muda tapi dia selalu menganggap anaknya atau adiknya ini masih anak remaja yang bandel.  Padahal sudah menjelang 40 dan sudah punya anak, sambil bercanda kakak saya bilang,”Hirup teh tereh eungeusan,nya.”* Bagi mereka, saya selalu menjadi anak kecil, mungkin karena saya adik yang paling kecil, saya tidak pernah memusingkan hal ini yang penting tetap saling sayang.  Usia kakak saya ada yang sudah mencapai 65 tahun, 60 tahun, 59 tahun, 55 tahun, 50 tahun… hmmm… waktu cepat sekali lewat, rasanya baru kemarin kami melewati banyak hal, tawa, muda, makan, becanda, berantem, iri-irian, pundung, marah, kesel, sayang lagi.

When The Loves Began, Drawing By Cholis
Hari MS

Hari Rabu tanggal 27 Mei 2015, saya datang terlambat, sekumpulan orang dengan memakai kaos berwarna orange tengah mendengarkan tiga pembicara di muka.  Saya mendatangi acara Peringatan Hari Multiple Sklerosis (MS) Sedunia di Bandung Indah Plaza (BIP) tanggal 27 Mei 2015.  Semua tampak serius menyimak para pembicara di muka, berdiri pun di belakang kursi-kursi peserta tepat ketika Mba Kanya Puspokusumo memberi statement ini:

“Jalankan hobimu dengan sungguh-sungguh, karena dengan melakukan hobi kamu akan merasa bahagia, dengan bahagia kamu akan terbebas dari stress, jika kita bebas dari stress maka imun tubuh pun akan membaik.  Karena MS ini belum ada obatnya jadi belum bisa disembuhkan, cara menanganinya adalah mengendalikan emosi dan menjaga kondisi tubuh agar membaik.”


Pengidap dan dokter MS