Belum selesai nulis tentang kegilaan, ada yang lebih gila (baca: bodor).  Kejadiannya gini, selesai nonton bareng (gratiz) di XXI Ciwalk judulnya Sang Penari.  Keluar dari studio sambil menyisakan perasaan yang menyesakan dada, gelisah atas jalan cerita yang disuguhkan tentang pergeseran budaya, sejarah yang sering kita lupakan, masyarakat yang dipolitisasi, ronggeng yang dimanfaatkan keadaanya oleh masyarakat maupun politik.

Tidak ada sesi diskusi, tapi ketika keluar studio sudah disambut oleh pemain utama perempuan Prisia Nasution, Teuku Rifnu sebagai pemain pembantudan Shanty sebagai produsernya.  Hampir semua penonton mencoba mengajak para pemain untuk berfoto-foto.  Kami berada dikerumunan itu tak sengaja seorang produser film tersebut mendekati lalu terlibat sebuah obrolan yang menyenangkan, perbincangan mengalir dan interaksi cukup asik.  Tak habis-habisnya saya hujani ungkapan pujian, karena film ini cukup bisa menghipnotis dan mengguncangkan perasaan saya, tentang bagian dari tanah air saya dan secorek sejarah yang tercecer.  Harga sebuah jiwa, nyawa di desa terpencil. 

Ditengah obrolan itu, tiba-tiba ada sepasang laki-laki dan perempuan mendekati suami saya, Cholis, dia menyapa dan memperkenalkan diri.
"Hai, maaf... perkenalkan saya kakaknya Ifa, apa kabar?" Laki-laki itu menyapa Cholis penuh santun.  Terlihat wajahnya sumringah dan penuh harap.
"oh, iya... baik,baik... terimakasih." Jawab Cholis.
"Boleh foto bareng?" Pertanyaanya cukup membuat saya bertanya-tanya, saya fikir mereka adalah kakak salah satu murid di tempat suami saya mengajar. 
"Boleh." Jawab suamiku sambil bersiap untuk berfoto.  Sayapun sedikit mengambil posisi menjauh karena mereka akan berfoto berdua. Pertama, laki-laki si penyapa yang mengenalkan diri sebagai kakaknya Ifa berfoto bersama dengan Cholis.  Selesai di foto, teman perempuanya menawarakan diri,
"Boleh saya yang difoto dengan anda?" Perempuan itu penuh semangat mengambil posisi foto bersama Cholis.Lalu si-laki-lakinya mulai memoto mereka dengan serius.
"Terima kasih yah." Jawab mereka penuh santun.
"Sama-sama." Merekapun bersalaman, Cholis kembali pada saya dengan wajah senyam senyum.  Sementara mereka berjalan ke pinggir lalu berdiri di dekat dinding sambil terus menerus memperhatikan kami.

"Lis, siapa?"  Bisikku.
"Engga tahu, katanya kakaknya Ifa." Ekspresinya seolah menyembunyikan sesuatu.
"Ifa yang mana, murid Cholis?" Tanyaku
"Engga tahu.  Yuk, cepat kita pulang." Terlihat wajahnya menyimpan sesuatu.
"Jadi Cholis ga tahu Ifa yang dia maksud?" Bisikku.
"Ga tau nih, wajah gue wajah artis kali yah.  Orang mah berfoto sama artis, mereka malah minta foto sama gue.  Nasib wajah pasar nih, udah mah dibilang mirip Ki Joko Bodo, Limbad, Man Jasad dan sederet lainnya sejenis itu lah... haduuuh nasib orang ganteng."  Sambil menarikku segera keluar dari kerumunan.  Sambil berjalan cepat saya mengeluarkan flyer film Sang Penari.  
"Ngg... sebentar, penasaran nih, soalnya mereka tampak antusias seolah-olah kenal banget sama kamu." Sambil jalan saya lihat susunan pemain tercantum disana, lalu ada casting, perekam suara... bla... bla... bla.... dan Dor! diujung susunan nama pendukung terdapat nama sutradara bernama Ifa Isfansyah.
"Lis."  Saya menghentikan jalan sambil memandang wajah Cholis.  "Ifa itu sutradara film ini. Lihat nih... Jangan-jangan Ifa yang mereka maksud sutradara film ini lho."  Saya menunjukkan tulisan di flyer tersebut. 
"Iyah, bener... bener... Soalnya mereka yakin gitu dan kayanya happy banget."  Suami saya celingak celinguk sambil lihat ke belakang.
"Bener Lis, jangan-jangan teman-nya Si-Ifa itu model-model kaya kamu gitu lah. Hahahhaaa..."
"Buru balik, gawat nih kalau ketemu lagi. Hahhaaaaaa..."
Kamipun segera kabur sambil tertawa-tawa tanpa melihat kebelakang.  Kabur!


Membayangkan angin, pasir, debur ombak, burung camar, ikan bakar, tawa, senyum … seperti potongan-potongan foto. 
Seperti juga hidup.
Pertemuan, degup langkah, desing mobil, tawa, kepul rokok, kerumunan orang, umpatan tak terduga, seperti tanda yang memberi banyak jawaban atas banyak peristiwa.  Pertemuan dengan teman dimasa lalu, langkah-langkah, bacaan, kekeraskepalaanku pada ibu, hening diantara gejolak orang-orang.  Menggoreskan banyak sisa dan debur tentang pilihan yang aku buat dulu dan hari ini.  Aku mengerti, dulu hanya ada keinginan, langkah, tanpa mampu menjelaskan semua peta, hanya ada dalam peta.  Tapi kini aku mengerti, meskipun melewatinya secepat angin. 
Tak ada yang mampu diulang ketika pagi menembus dedaunan, beburung mempermainkan angin, sore bersegera dilahap malam.  Karena langkah teruslah harus berjalan, jari haruslah terus begerak, mata haruslah terus belajar, mengeja setiap kata, setiap situasi yang tak tuntas, hati haruslah terus belajar pada setiap tanda-tanda;  kebisuan dan teriakan yang tak henti-henti.  Hanya cinta yang mampu menenggelamkan semua kelelahan, karena cinta yang mampu membuatmu terus bergerak dan berjalan.  Seperti Jumat yang tak lelah kembali datang karena cinta pada manusia-manusia yang tak lelah datang di tengah hari yang gontai. 
Untuk semua teman yang datang dan pergi dengan penuh cinta
Matakubesar, 21 oktober 2011
Malam Jumat, pada jam yang sama, di hari yang sama, saya harus berhadapan dengan proses tindakan rahim.  Kali ini saya harus kehilangan janin yang berusia 3 minggu.  Lagi-lagi bermasalah dengan rahim, pertama ada kista di indung telur yang kiri, lalu proses melahirkan dengan cara cesar dan yang ketiga proses kiret. 
Beberapa minggu kebelakang, beberapa barang banyak yang hilang.  Dari sapu, handphone, sepatu, sendok anak (ini sampai berkali-kali beli dan bongkar kado kiriman pelayat saat melahirkan anakku yang pertama), kaos kaki anak, pulpen, pensil, mainan sampai puncaknya kehilangan janin.  Untuk yang terakhir, apa yang bisa saya lakukan selain duduk di halaman mini market sambil minum susu ultra dingin dan brownies menikmati pagi dan permainan gerombolan burung menembus pagi.  Saya kira, anakku telah pergi terbang bersama burung-burung itu, terbebas dari beban dunia yang begini dahsyat.  Tapi hari itu saya bertekad, bahwa hidup haruslah terus berjalan, berubah dan selalu memperbaiki diri sekalipun sulit.  Saya tidak ingin situasinya begini terus, monoton dan tidak ada perubahan.  Perlahan, sungguh-sungguh, sabar namun pasti.
Lalu pikiranku berkembang kemana-mana, menurut ustad Danu bahwa penyakit yang ada di dalam tubuh manusia itu semua berasal dari hati.  Maksudnya penyakit hati, dari rasa marah, iri, kesal yang tidak terungkapkan maupun kemarahan yang tak terkendali.    Lalu, yang saya ingat semua penyakit yang berhubungan dengan rahim yaitu karena kelakuan tidak baik kita terhadap ibu atau apapun yang berhubungan dengan kekesalan pada ibu. 
Akhirnya, sayapun memberanikan diri untuk membicarakan hal ini dengan amih.  Diawali dengan penyakit-penyakit yang sering berhubungan dengan rahim, dari kista, proses hamil yang bermasalah hingga keguguran.  Tiga hal yang berlangsung selama tiga tahun ini selalu berhubungan dengan rahim.  Sebelumnya tentu saya minta maaf sama beliau dan mau mencoba intropeksi diri jika ada sesuatu yang membuat amih tidak enak hati, apa ketika dia melihat saya marah sehingga efeknya dia melihat saya mengeluarkan mood yang tidak enak sehingga membuat dia tidak nyaman selama ini.  Ternyata apa jawabanya.
Amih tidak pernah mendoakan untuk keburukan saya atau apapun yang membuat amih kesal terhadap anaknya bahkan sampai keluar doa yang tidak baik meskipun kesal.  Mana ada orang tua yang begitu, jangankan manusia, binatang juga selalu menggiring anak-anaknya saat berjalan bersama.  Rupanya, amih selalu kesal kalau saya bekerja terlalu keras, dari beres-beres, ngepel rumah dari ruang tamu sampai belakang, bersih memang tapi amih khawatir.   Bahkan pernah lihat saya gendong Alif, sambil bawa cucian padahal lagi hamil muda dan amih melarang saya melakukan itu.   Tapi lagi-lagi saya tidak menghiraukan permintaanya.  Amih ingin saya dan suami, makan apa yang ada dan sudah disediakan di rumah bukanya jajan di luar atau beli makanan di luar bahkan sampai masak.  Katanya lagi, mestinya saya bersyukur mempunyai ibu yang sudah tua tapi sehat, setidaknya tidak merepotkan sekalipun sudah tidak bisa gendong anak saya tapi masih bisa mengurus untuk hal yang lain.  Dan satu lagi, amih mengambil bi sanah untuk beres-beres rumah sekalipun caranya bebersih tidak terpakai setidaknya saya tidak perlu cape-cape kerja sendiri  Memang sih saya sering pening sendiri dengan pola kerja bi sanah yang seenaknya, kurang inisiatif dan sering kali dari cuci piring saja masih terasa licin dan masih kotor.  Dan ini yang membuat saya sering turun tangan bahkan lebih cape dari biasanya dan selalu terpancing emosi. 
Akhirnya, sayapun mencoba untuk menahan diri dan menelan semua tuturannya.  Meskipun seperti biasa ada pembenaran yang ingin disampaikan karena saya berbeda dengan apa yang difikirkan Amih.  Satu sisi saya ingin berusaha mengurus Amih dalam bentuk yang lain dan membalas budi baik amih selama ini.  Bayangkan dimana muka saya harus dilipat ketika, jangan bicara yang dulu-dulu, sejak melahirkan anakku yang pertama deh.  Saat itu usaha kami sedang sangat kolaps, banyak sekali masalah yang muncul ketika hamil pertama sehingga tabungan kami sangat minim.  Ternyata, kami harus berhadapan dengan proses melahirkan dengan cesar.  Amih memang sudah jauh-jauh hari bilang katanya uang untuk melahirkan sudah ada.  Saya harus tenang dan fikirkan masalah kesehatan.  Terus terang, tindakan amih ini bukanya membuat saya jadi tenang tapi membuat saya jadi semakin gelisah.  Ada perasaan yang tidak enak, karena dengan ringan hati mengeluarkan dana untuk melahirkan sejumlah Rp.14 juta.  Tadinya mau saya ganti, tapi amih menolak dengan keras dan malah tersinggung dengan sikap saya.  Aneh sekali.  Berkali-kali amih bilang agar saya jangan merasa tidak enak karena semua kakak-kakak saya pun tidak lepas dari bantuan amih, katanya lagi, apa yang dia keluarkan untuk saya tidak sebanding dengan apa yang dia keluarkan untuk kakak-kakak saya yang lain.  Jadi untuk hal ini, berhenti merasa bersalah.
Lagi-lagi, setelah melahirkan amih sudah merencanakan kekah untuk cucunya-anak kami.  Saya mohon pada dia, agar tunggu sebentar sampai kami mempunyai uang,  Lagi-lagi dia bilang, sudah amih persiapkan, jadi tenang saja.  Saya lobi lagi, tunggu beberapa pekan ke depan, bagaimanapun saya ingin dari uang sendiri dan setidaknya setengahnya untuk acara ini.  Amih hanya tersenyum dan akhirnya sepakat meskipun akhirnya dia keukeuh telah menentukan hari kekah, menyusun menu dan sudah pesan nasi kotak.  Aku mengalah dan berdoa sangat kuat.  Ajaibnya, satu hari menjelang hari kekah ada pembayaran proyek, tidak banyak tapi setidaknya bisa nambah-nambah sedikit untuk beli cemilan.  Dan ini cukup bisa mengobati rasa bersalah saya karena merasa telah menjadi beban.
Semua situasi terasa tarik menarik, hingga malam tadi tepatnya hari Selasa setelah proses kiret tiba-tiba seharian itu saya panas dingin, pusing, dan baru merasakan sangat lemas.  Amih jelas khawatir dan menyalahkan karena beberapa hari setelah kiret, saya sudah ngepel rumah dan gendong anak balita saya.  Amih marah tapi saya tahu ini karena khawatir dan kesal karena saya sulit nurut untuk berhenti bersih-bersih rumah.  Tapi sekalipun kesal karena saya tidak menjaga diri terhadap tubuh, dia mengeluarkan uang lembaran untuk berobat tanpa kami minta dan sudah sedikit kami tolak, tapi dia keukeuh memberi uang itu menuju tangan saya.
Malamnya, kami-saya, suami dan anak berangkat ke dokter kandungan.  Amih keukeuh agar anak kami tidak diajak, alasanya logis karena malam dan mendung.  Tapi di rumah cuma ada amih dan ponakaknku yang masih SMA.  Tapi saya ragu-ragu jika Alif dititip di keponakanku, walaupun sudah SMA tapi sifat kekanakannya cukup kuat.  Jadi lebih baik dengan diam-diam dia diajak serta ke dokter saat amih sedang shalat magrib.  Saya tahu, amih pasti kecewa.
Sesampai di tempat praktek dokter, cukup banyak pasien yang ngantri.  Ada pasangan perempuan bule dan suaminya orang Indonesia, mereka ternyata lebih heboh lagi.  Diantar oleh ibu-bapaknya dari pihak perempuan maupun laki-lakinya.  Kebayang bergerombolnya dan semua orang tuanya pasti ingin terlibat lebih banyak untuk mengurus cucunya tercinta dengan bekal perbedaan budaya dalam satu rumah.  Hmmm…
Akhirnya saya merasa geli sendiri dan pemandangan itu mendinginkan pikiran kusut saya selama berhari-hari kebelakang ini, seolah semua terurai kembali setelah melihat rombongan orang tua dari kedua belah pihak suami istri itu.  Istrinya terlihat kusut, terburu-buru menuju tangga klinik.  Sementara rombongan orang tuanya turun melalui lift.  Heheh… 
Ternyata ada yang  lebih heboh menghadapi kelahiran dan menjaga cucunya.  Tadinya saya merasa bingung mengahadapi amih yang ikut memperhatikan pola hidup saya di rumah, bahkan ingin ikut mengantar ke dokter tapi saya larang baik-baik, waktu mau melahirkan kami diam-diam ke rumah sakit dan beres melahirkan baru memberitahunya.  Lalu amih merasa sangat bersalah karena tidak menemani saya waktu melahirkan dan terus menerus menjadi bahan pembicaraan.  Itulah Amih, walaupun sudah renta tetap saja selalu ingin merasa berdaya, memberi, mengurus yang terbaik untuk anak-anaknya meskipun kadang-kadang sikapnya ini berlebihan.
Oh, orang tua… orang tua… seringkali kasih sayang kalian begitu menggoda tapi juga membuat kami merasa selalu seperti anak kecil.  Saya tahu perhatian amih sebuah bentuk perhatian tapi seringkali membuat saya begitu tertekan dan serba terbatas.

Terimakasih banyak Amih, kali ini saya akan coba lebih nurut.  
Pernah jalan kaki di daerah Babakan Siliwangi Bandung?  Saya pernah, dari jaman masih ada restoran, pembakaran karya seni, sampai terjadi tarik menarik kepentingan untuk dijadikan apartemen.  Tapi pada akhirnya Babakan Siliwangi dijadikan hutan kota.  Saya sebagai warga bandung, khususnya dari jaman sekolah SMP sampai SMA, melewati jalan ini dari Ledeng menuju sekolah di daerah Jl. Panatayuda, kini merasa senang.  Setelah proses cukup alot yang dilakukan kelompok pecinta lingkungan hidup, seniman-seniman, wilayah ini dijadikan hutan kota bahkan menjadi hutan kota pertama di Indonesia.  Urang Bandung patut bangga dan bernafas lega karena di tengah pembangunan mall yang tak terbendung serta polusi mesin bermotor, ada paru-paru kota menyeimbangkan situasi kota yang semakin ruwet.  Ini diakibatkan Bandung memiliki daya pikat belanja dan kuliner yang lezat, sehingga memancing orang-orang memburu Bandung sebagai kota tujuan wisata.

Itu yang terjadi di Bandung, sangat berbeda dengan kondisi Bandung pada tahun 90-an.  Kita bisa merasakan udara Bandung yang sejuk, pagi-pagi halimun menyelimuti setiap sudut kota. Bahkan kendaraanpun seolah masih bisa dihitung oleh jari dan sangat jarang ditemukan jalan yang macet.  Tentunya kondisi sekarang sangat jauh berbeda, semakin semrawut, tidak tertata. Khususnya pembangunan pertokoan, rumah makan, apartemen, perumahan seolah kota ini tidak mempunyai rencana kota yang rapi.  Bagi saya, sangat malas keluar rumah pada hari Sabtu, Minggu, apalagi jika ada hari libur panjang. Jangan harap perjalanan akan lancar, setiap belokan pasti macet karena terpotong orang-orang yang menuju tempat hiburan.  Disitu ada tempat wisata, perjalanan pasti terhambat.

Barangkali kondisi ini yang menjadi alasan para aktivis peduli lingkungan dari berbagai komunitas memperjuangkan Babakan Siliwangi sebagai hutan kota.  Tidak mudah tentunya, karena berhubungan dengan berbagai kepentingan pemilik “modal”. 
Minggu lalu, kami sekeluarga (bertiga, maksudnya) jalan-jalan ke hutan kota ini.  Di belokan Babakan Siliwangi ini ada tempat parkir sepeda, lalu ada logo “bdg” yang simple dan mampu mencuri mata.  Lalu ada pagar yang manis membuat kita bisa berdiri sejenak menikmati dedaunan rindang yang menentramkan hati.  Lebih menarik lagi, disana ada perpaduan tangga dan jembatan yang dibuat berkelok, menelusuri lorong pepohonan besar.  Seolah kita menelusuri lorong pepohonan, sayangnya jaraknya hanya sedikit tapi cukup memberi kejutan dan menentramkan hati.  Sambil berdiri diatas, kita melihat beberapa orang yang berjalan di bawah sambil bersepeda dan sekelompak anak-anak yang dipandu gurunya untuk menanam pohon.

Bagi sekelompok orang yang sadar bahwa alam dan manusia saling bergantung sehingga harus saling menjaga.  Usaha ini merupakan berita yang menyenangkan, ada kebahagiaan yang sulit diucapkan.  Dulu sempat ada nada pesimis karena pemerintah kita kurang memahami pentingnya melestarikan lingkungan, sekarang saya merasa takjub dan kagum atas upaya teman-teman aktivis yang tidak pernah lelah kini membuahkan hasil.
Keep Bandung Beautifull

Setiap orang memiliki standar hidup yang membuat dirinya senang, nyaman dan merasa berkecukupan.  Tapi apa yang  terjadi ketika kita harus berhadapan dengan sebuah institusi yang memang mengharuskan kita mengeluarkan uang yang tidak sedikit.  Setiap orang merasa berhak dan membutuhkan sebuah pendidikan, tapi pada akhirnya harus mampu menahan diri karena harga pendidikan yang semakin menjulang.  Lalu ketika kita sakit dan harus menghadapi perawatan, kita harus dengan rela menahan rasa sakit dan pelayanan kelas tiga. 
Harga sebuah kemiskinan adalah kematian.  Kalimat yang seolah sederhana namun menyeramkan.  Tapi kenyataan seperti itu yang sering terjadi di tengah-tengah kita. 
Hari ini aku, kami kehilangan calon bayi yang baru berusia 3 minggu.  Saat pertama kali tes, ternyata hasilnya positif.  Anak kami akan memiliki seorang adik, entah perempuan atau laki-laki yang jelas kami telah menyiapkan sebuah nama.  Lamaya, nama sorang pembuat buku Atlas Islam.  Lalu sayapun memerikasakan diri ke dokter sebagai upaya preventif agar kondisi kesehatan bisa terjaga.  Aku pulang dengan senyum dan ajaibnya badanku bugar, tidak seperti waktu kehamilan anak pertama.
Karena kondisi badan yang segar, aku tidak mengukur diri.  Berhari-hari semua pekerjaan rumah dilakukan sendiri, seperti nyapu, ngepel, nyetrika, masak, gosok wc, jalan-jalan bareng dan lain-lain.  Aku menikmatinya, sangat.  Hingga suatu subuh, perut terasa melilit tapi tak dihiraukan.  Bisa jadi karena biasa mengalami rasa sakit jadi tidak terlalu dianggap penting.  Aktifitas pagipun bisa dilakukan, seperti memasak, menyapu, ngelap meja, gendong dan mandikan anak.  Tak lama setelah suami pergi mengajar, tiba-tiba keluar darah dan tidak sedikit, begitupun siangnya.  Akupun segera tidur, meluruskan tubuh dan tertidur sambil menyusui anak.  Ketika bangun, rupanya pendarahan semakin banyak dan kembali keluar bersamaan dengan air seni.  Aku segera menghubungi dokter, dia bilang nanti malam segera datang ke tempat prakteknya dan kalau kantung janinya masih bagus akan dipertahankan tapi jika sebaliknya harus segera di kiret (dibersihkan).  Pembersihan ini dilakukan agar tidak terjadi pengaratan dan infeksi dalam.
Setelah magrib kami pergi ke tempat praktek dokter, ternyata hasil USG terlihat janinya sudah rusak dan harus segera di kiret.  Malam itu, hujan, saya, suami diajak memakai mobil dokter bersama ke rumah sakit.  Selama perjalanan, dokter mengatakan bahwa aku akan diberi harga khusus.  Pembersihan, obat, biaya rumah sakit diusahakan mendapat harga yang minimal.  Tak ada pilihan lain, mau tidak mau aku harus pinjam uang ke kakak karena uang yang diberi ibuku tidak pula mencukupi.  Aku segera melupakan rasa malu dan hanya satu yang aku fikirkan, aku harus melewatinya sekalipun dengan rasa malu.  Proses pembersihan tidak lebih dari 5 menit, semua berlangsung begitu cepat.  Kebahagiaan dan kesedihan begitu cepat berganti, janin berwarna kehitaman itu kini telah beralih di ember kecil. Terbang menuju langit ke tujuh bersama burung-burung yang cantik di pagi harinya, pergi merenggut sebagian jiwaku.
Calon anak keduaku tidak bertahan, adalah sebuah keajaiban pula dia bisa bertahan selama 2 minggu dengan kondisi rahim yang tidak kuat.  Ibuku menyarankan agar tidur satu malam saja di rumah sakit, aku menerima sarannya.  Tidur satu malam saja di hotel rumah sakit kelas tiga.  Hanya untuk tidur dan sekedar melepas sedikit rasa lelah dan penat.  Akupun dibawa ke ruangan, tak lama beberapa suster yang lain datang. Mereka mengatakan, bahwa aku diberi harga khusus dan dokter bilang aku sudah boleh pulang malam itu juga, jadi sebaiknya aku tidak bilang ke dokter kalau aku menginap di rumah sakit.  Secara halus seolah-oalah sebaiknya aku pulang jam 06.00 pagi.  Aku cukup mengerti arah pembicaraan ini, mereka khawatir aku bertemu dengan dokter dipagi harinya karena tugas kontrol ke pasien-pasien lain.  Bagiku ini terdengar seperti sebuah bentuk nego dan pengusiran yang halus.  Katanya lagi, kalau bilang ke dokter, nanti dianggapnya aku mempunyai uang dan harus menambah Rp. 500.000 sebagai biaya kontrol bagi dokter.  “Memang mau gitu nambah segitu?” Ucapnya setengah mengancam, bagi pandanganku yang setengah sadar dari hasil bius.  Aku tidak mau mengambil pusing, aku langsung setuju dengan nego meraka yang berkesan menekan namun pembawaanya sangatlah halus.  Jika memang demikian, aku ingin tahu apakah paginya akan mendapatkan sarapan pagi. 
Malam kian larut, aku tidak dapat tidur.  Entah karena obat entah karena amnesia.  Akhirnya akupun membaca buku antologi Story Cake For Ramadhan yang sengaja dibekal.  Ternyata buku ini bisa membangun imajinasi, membawa perasaanku kembali adem dan tertawa geli.
Pagi hari, disela kemalasan, aku akhirnya berbenah menyiapkan diri untuk pulang.  Aku kembali bertanya, apakah akan diberi sarapan.  Hmmm… benar dugaanku, tak ada sarapan pagi, tak ada sabun, tak ada sikat gigi maupun pasta yang biasa mereka siapkan untuk pasien rumah sakit.  Jangan-jangan di rumah sakit itu tidak tertulis namaku sebagai pasien rawat inap. Di dapur maupun kebutuhan lainnya.
Aku memutuskan untuk segera berbenah diri dan pulang.  Aku tidak ingin kembali ke rumah sakit itu.  Ada sisa luka yang terlalu dalam, kehilangan dan kesakitan.  Di halaman rumah sakit, langit bitu begitu ramah, pepohonan menyambut dengan derai tawa yang sejuk, kamipun memutuskan berjalan sebentar.  Menikmati tanah dan udara pagi.  Kembali merenungi sikap para suster, harga sebuah kematian, kehilangan, kesehatan yang begitu mahal.