Malam Jumat, pada jam
yang sama, di hari yang sama, saya harus berhadapan dengan proses tindakan
rahim. Kali ini saya harus kehilangan
janin yang berusia 3 minggu. Lagi-lagi
bermasalah dengan rahim, pertama ada kista di indung telur yang kiri, lalu
proses melahirkan dengan cara cesar dan yang ketiga proses kiret.
Beberapa minggu kebelakang,
beberapa barang banyak yang hilang. Dari
sapu, handphone, sepatu, sendok anak (ini sampai berkali-kali beli dan bongkar
kado kiriman pelayat saat melahirkan anakku yang pertama), kaos kaki anak,
pulpen, pensil, mainan sampai puncaknya kehilangan janin. Untuk yang terakhir, apa yang bisa saya lakukan
selain duduk di halaman mini market sambil minum susu ultra dingin dan brownies
menikmati pagi dan permainan gerombolan burung menembus pagi. Saya kira, anakku telah pergi terbang bersama
burung-burung itu, terbebas dari beban dunia yang begini dahsyat. Tapi hari itu saya bertekad, bahwa hidup
haruslah terus berjalan, berubah dan selalu memperbaiki diri sekalipun
sulit. Saya tidak ingin situasinya
begini terus, monoton dan tidak ada perubahan.
Perlahan, sungguh-sungguh, sabar namun pasti.
Lalu pikiranku
berkembang kemana-mana, menurut ustad Danu bahwa penyakit yang ada di dalam
tubuh manusia itu semua berasal dari hati.
Maksudnya penyakit hati, dari rasa marah, iri, kesal yang tidak
terungkapkan maupun kemarahan yang tak terkendali. Lalu,
yang saya ingat semua penyakit yang berhubungan dengan rahim yaitu karena kelakuan
tidak baik kita terhadap ibu atau apapun yang berhubungan dengan kekesalan pada
ibu.
Akhirnya, sayapun
memberanikan diri untuk membicarakan hal ini dengan amih. Diawali dengan penyakit-penyakit yang sering
berhubungan dengan rahim, dari kista, proses hamil yang bermasalah hingga
keguguran. Tiga hal yang berlangsung
selama tiga tahun ini selalu berhubungan dengan rahim. Sebelumnya tentu saya minta maaf sama beliau
dan mau mencoba intropeksi diri jika ada sesuatu yang membuat amih tidak enak
hati, apa ketika dia melihat saya marah sehingga efeknya dia melihat saya
mengeluarkan mood yang tidak enak sehingga membuat dia tidak nyaman selama
ini. Ternyata apa jawabanya.
Amih tidak pernah mendoakan
untuk keburukan saya atau apapun yang membuat amih kesal terhadap anaknya bahkan
sampai keluar doa yang tidak baik meskipun kesal. Mana ada orang tua yang begitu, jangankan
manusia, binatang juga selalu menggiring anak-anaknya saat berjalan
bersama. Rupanya, amih selalu kesal
kalau saya bekerja terlalu keras, dari beres-beres, ngepel rumah dari ruang
tamu sampai belakang, bersih memang tapi amih khawatir. Bahkan pernah lihat saya gendong Alif, sambil
bawa cucian padahal lagi hamil muda dan amih melarang saya melakukan itu. Tapi lagi-lagi saya tidak menghiraukan
permintaanya. Amih ingin saya dan suami,
makan apa yang ada dan sudah disediakan di rumah bukanya jajan di luar atau
beli makanan di luar bahkan sampai masak.
Katanya lagi, mestinya saya bersyukur mempunyai ibu yang sudah tua tapi
sehat, setidaknya tidak merepotkan sekalipun sudah tidak bisa gendong anak saya
tapi masih bisa mengurus untuk hal yang lain.
Dan satu lagi, amih mengambil bi sanah untuk beres-beres rumah sekalipun
caranya bebersih tidak terpakai setidaknya saya tidak perlu cape-cape kerja
sendiri Memang sih saya sering pening
sendiri dengan pola kerja bi sanah yang seenaknya, kurang inisiatif dan sering
kali dari cuci piring saja masih terasa licin dan masih kotor. Dan ini yang membuat saya sering turun tangan
bahkan lebih cape dari biasanya dan selalu terpancing emosi.
Akhirnya, sayapun
mencoba untuk menahan diri dan menelan semua tuturannya. Meskipun seperti biasa ada pembenaran yang
ingin disampaikan karena saya berbeda dengan apa yang difikirkan Amih. Satu sisi saya ingin berusaha mengurus Amih
dalam bentuk yang lain dan membalas budi baik amih selama ini. Bayangkan dimana muka saya harus dilipat
ketika, jangan bicara yang dulu-dulu, sejak melahirkan anakku yang pertama
deh. Saat itu usaha kami sedang sangat
kolaps, banyak sekali masalah yang muncul ketika hamil pertama sehingga
tabungan kami sangat minim. Ternyata,
kami harus berhadapan dengan proses melahirkan dengan cesar. Amih memang sudah jauh-jauh hari bilang
katanya uang untuk melahirkan sudah ada.
Saya harus tenang dan fikirkan masalah kesehatan. Terus terang, tindakan amih ini bukanya
membuat saya jadi tenang tapi membuat saya jadi semakin gelisah. Ada perasaan yang tidak enak, karena dengan
ringan hati mengeluarkan dana untuk melahirkan sejumlah Rp.14 juta. Tadinya mau saya ganti, tapi amih menolak
dengan keras dan malah tersinggung dengan sikap saya. Aneh sekali.
Berkali-kali amih bilang agar saya jangan merasa tidak enak karena semua
kakak-kakak saya pun tidak lepas dari bantuan amih, katanya lagi, apa yang dia
keluarkan untuk saya tidak sebanding dengan apa yang dia keluarkan untuk
kakak-kakak saya yang lain. Jadi untuk
hal ini, berhenti merasa bersalah.
Lagi-lagi, setelah
melahirkan amih sudah merencanakan kekah untuk cucunya-anak kami. Saya mohon pada dia, agar tunggu sebentar
sampai kami mempunyai uang, Lagi-lagi
dia bilang, sudah amih persiapkan, jadi tenang saja. Saya lobi lagi, tunggu beberapa pekan ke
depan, bagaimanapun saya ingin dari uang sendiri dan setidaknya setengahnya
untuk acara ini. Amih hanya tersenyum
dan akhirnya sepakat meskipun akhirnya dia keukeuh telah menentukan hari kekah,
menyusun menu dan sudah pesan nasi kotak.
Aku mengalah dan berdoa sangat kuat.
Ajaibnya, satu hari menjelang hari kekah ada pembayaran proyek, tidak
banyak tapi setidaknya bisa nambah-nambah sedikit untuk beli cemilan. Dan ini cukup bisa mengobati rasa bersalah
saya karena merasa telah menjadi beban.
Semua situasi terasa
tarik menarik, hingga malam tadi tepatnya hari Selasa setelah proses kiret
tiba-tiba seharian itu saya panas dingin, pusing, dan baru merasakan sangat
lemas. Amih jelas khawatir dan
menyalahkan karena beberapa hari setelah kiret, saya sudah ngepel rumah dan
gendong anak balita saya. Amih marah
tapi saya tahu ini karena khawatir dan kesal karena saya sulit nurut untuk
berhenti bersih-bersih rumah. Tapi
sekalipun kesal karena saya tidak menjaga diri terhadap tubuh, dia mengeluarkan
uang lembaran untuk berobat tanpa kami minta dan sudah sedikit kami tolak, tapi
dia keukeuh memberi uang itu menuju tangan saya.
Malamnya, kami-saya,
suami dan anak berangkat ke dokter kandungan.
Amih keukeuh agar anak kami tidak diajak, alasanya logis karena malam
dan mendung. Tapi di rumah cuma ada amih
dan ponakaknku yang masih SMA. Tapi saya
ragu-ragu jika Alif dititip di keponakanku, walaupun sudah SMA tapi sifat
kekanakannya cukup kuat. Jadi lebih baik
dengan diam-diam dia diajak serta ke dokter saat amih sedang shalat
magrib. Saya tahu, amih pasti kecewa.
Sesampai di tempat
praktek dokter, cukup banyak pasien yang ngantri. Ada pasangan perempuan bule dan suaminya orang
Indonesia, mereka ternyata lebih heboh lagi.
Diantar oleh ibu-bapaknya dari pihak perempuan maupun laki-lakinya. Kebayang bergerombolnya dan semua orang
tuanya pasti ingin terlibat lebih banyak untuk mengurus cucunya tercinta dengan
bekal perbedaan budaya dalam satu rumah.
Hmmm…
Akhirnya saya merasa
geli sendiri dan pemandangan itu mendinginkan pikiran kusut saya selama berhari-hari kebelakang ini, seolah semua terurai kembali setelah melihat rombongan orang tua dari kedua belah pihak
suami istri itu. Istrinya terlihat
kusut, terburu-buru menuju tangga klinik.
Sementara rombongan orang tuanya turun melalui lift. Heheh…
Ternyata ada yang lebih heboh menghadapi kelahiran dan menjaga
cucunya. Tadinya saya merasa bingung mengahadapi amih yang ikut memperhatikan pola hidup saya di rumah, bahkan ingin
ikut mengantar ke dokter tapi saya larang baik-baik, waktu mau melahirkan kami
diam-diam ke rumah sakit dan beres melahirkan baru memberitahunya. Lalu amih merasa sangat bersalah karena tidak
menemani saya waktu melahirkan dan terus menerus menjadi bahan pembicaraan. Itulah Amih, walaupun sudah renta tetap saja
selalu ingin merasa berdaya, memberi, mengurus yang terbaik untuk anak-anaknya
meskipun kadang-kadang sikapnya ini berlebihan.
Oh, orang tua… orang
tua… seringkali kasih sayang kalian begitu menggoda tapi juga membuat kami
merasa selalu seperti anak kecil. Saya
tahu perhatian amih sebuah bentuk perhatian tapi seringkali membuat saya begitu
tertekan dan serba terbatas.
Terimakasih banyak Amih, kali ini
saya akan coba lebih nurut.