Biasanya kami, saya, Teh Embay, Suami, Alif dan Joya berangkat ke Meridien Akupunktur di Depok setiap hari Senin, Rabu dan Jumat.  Namun karena situasi hari Senin ini darurat, Teteh berangkat ke Depok mengantar oksigen untuk Apak (bapak mertua), karena dikhawatirkan ada kejadian yang harus ada tindakan cepat.  Akhirnya saya pun pergi ke rumah sakit, untuk yang ketiga kalinya, mengambil tes MRI kepala suami.  Tes MRI pertama ke tes MRI kedua terjadi pembesaran.  Tapi tes MRI ketiga ini rupanya cukup menenangkan, pembengkakan berkurang, ukuran tumornya masih sama tapi cairan di dalam tumornya tidak padat lagi.  Usaha kami melakukan cara pengobatan alternatif tumor otak melalui akupunktur (7 bulan), obat-obat herbal (hampir 1 tahun), minum kangen water dan pola makan food combining ternyata bekerja, meskipun belum sepenuhnya menghilangkan tumor di otak suami.  Analisa awam saya hasil tes MRI itu cukup mengejutkan, pembengkakan di otak berkurang dan kondisi lainnya baik.


Foto: Imatakubesar

Hari ini, Senin, sebetulnya banyak waktu menulis, tapi tidak bersemangat seperti biasanya.  Meskipun terus menerus hati diajak dzikir dan mengajak bicara sama diri sendiri,”Tenang, Ma, Allah bersama kita.  Bersama masalah diikuti dengan kemudahannya.  Tenang, tenang.”  Tadi pagi lihat-lihat foto di instagram, ada yang upload foto dengan tulisan “Never, ever, ever, ever give up,” dengan bacgroud warna merah dari akun Jakarta Vintage.  Saya baca berulang-ulang, cukup lama mata bertahan di poto itu.  Kemudian saya capture untuk dijadikan poto profil di bbm dan whatsup.  Oke, never give, up, Ma, apapun yang terjadi.   Akhirnya saya pun baru menulis jam 21.35 WIB. 


Sumber: @JakartaVintage

Foto:  Imatakubesar


Pagi ini saya membaca dongeng di rubrik Nusantara Bertutur, judulnya “Hutan Donoloyo” karya Fransiska Rina Miliansi.  Isinya bagus, tentang warga yang terbuai oleh seorang laki-laki kota yang berani membeli pohon dengan bayaran yang mahal.  Sampai tak disadari hutan itu gundul dan saat musim kemarau tiba, mereka kurangan air.  Air sumur tak keluar dan udara terasa sangat panas.  Padahal selama ini mereka tidak pernah kekurangan air.  Sampai akhirnya disadari keputusan mereka menjual pepohonan adalah sebuah bentuk kesarakahan yang bisa merugikan diri mereka sendiri.  Akhirnya, penduduk Donoloyo menanam kembali hutan gundulnya.

Dikaitkan dengan kondisi alam yang sudah berlangsung lama seolah tidak ada solusi.  Dari banjir, kekeringan, longsor terajadi di kondisi alam tropis.  Alam yang mestinya stabil.  Banjir di Jakarta seolah sudah biasa dan dianggap reaksi alam saja.  Padahal kalau mau mengkoreksi diri sediri, kepemimpinananya, bisa jadi bencana terjadi karena kurangnya penyerapan pohon, selokan-selokan tidak terawat, bangunan yang semakin padat dan tata ruang tak terkontrol.  Seolah pembangunan hanya terpusat pada pembangunan fisik yang menghasilkan keuntungan materi seperti mall, apartemen, perumahan, dll.  Pembangunan yang menyeimbangkan alamnya diabaikan, dianggap hal yang klise, tidak menarik dan tidak memberi keuntungan. 

Sering saya temukan saat harus ke luar kota, pegunungan yang dilewati pohonnya jarang-jarang.  Mesin-mesin traktor tengah mengggerogot tanah sehingga sudah tak lagi berbentuk gunung.  Di satu sisi manusia butuh hidup layak, tapi di sisi lain ada yang dikorbankan: alam.  Tapi kalau materi tidak menjadi tujuan, tentu sifat pembangunan ini akan jauh lebih arif.  Ada yang dihilangkan, ada yang ditumbuhkan, ada yang dirawat.  Oke, kita butuh materi, tapi bukan berarti mengorbankan banyak hal sehingga kita sendiri yang akan kena imbasnya.  Padahal dalam karya, dalam materi, dalam ilmu, dalam setiap nafas yang kita hirup, ada hak orang lain disana.  Hak berbagi untuk keseimbangan.

Seringkali kita lupa, bahwa manusia dan alam saling bergantung.  Kalau mau ingat-ingat lagi pelajaran saat sekolah dulu di SD, SMP, SMA mata pelajaran IPA (Ilmu Pengetahuan Alam), manusia dan alam saling terkait dengan rantai makanan.   Rantai makanan ini sangat berperan kuat membuat manusia bertumbuh sehat, sehat tubuh dan sehat psikis.  Baik dalam bergerak dalam bentuk fisik maupun dalam berfikir sehat dalam menjalani tiap rantai sosialnya.  Alam dan manusia adalah kesatuan yang membuat kita seimbang.
 
Cerita yang sederhana ini mengandung banyak makna dan penyadaran.  Buat orang tua yang membacakannya maupun buat anak yang diberi pemahaman sejak dini.  Bahwa kita harus menjaga dan memelihara lingkungan.  Meskipun, menjaga dan memelihara lingkungan ini tidak semudah penuturannya, butuh kolaborasi antara ketangguhan mental, ilmu pengetahuan, penyadaran yang penuh dan cinta pada kehidupan.  Ilmu pengetahuan kunci utama merawat dan hidup bersama dengan alam.  Manusia dan alam satu kesatuan, menyelamatkan alam, menyelamatkan diri sendiri.

@imatakubesar
15 Februari 2015
#TantanganMenulisHariKe2

Ima di invite ke grup facebook namanya HaikuKu.  Anggota di grup itu aktif sekali posting puisi, yang isinya 3 baris dengan kata-kata yang sederhana namun maknanya dalam, kontemplatif dan reflektif.  Saya semakin penasaran, ini jenis puisi apa, yah, ko unik, sedikit-sedikit tapi isinya dalam dan langsung mengena di hati.  Saya semakin penasaran tentang jenis puisi ini, lalu baca seksama, di pelajari dengan seksama dan coba posting.  Saya bukan ahli penulis puisi, tapi senang menulis saja, tapi coba memberanikan diri untuk posting.  Taraaa… 2 kali posting ternyata salah, padahal semua petunjuk sudah coba saya pahami.  Aduh, saya tolol sekali.  Saya baca berkali-kali, pahami lagi setiap haiku yang diposting di wall.  Aduh, semua indah dan ingin sekali bisa membuat haiku.  Akhirnya dua orang teman, menolong saya di kolom komentar haiku yang saya posting.  Sejak mereka membuat penjelasan, saya pun mulai menggila.  Cerahlah hati!


Photograph dan Haiku: Imatakubesar



“Creativity is a gift. It doesn't come through if the air is cluttered.” 


Berawal dari Baca
Saya sering bertanya dalam hati, kenapa kami harus pindah sementara ke Serpong, kenapa ‘harus’ tinggal di rumah pasangan Wa Alwis dan Teh Embay (kakaknya Cholis).  Allah pasti sedang memberi pesan, ada maksud dibalik semua ini.  kami seolah di 'paksa' oleh Allah untuk tinggal di rumah ini, di Serpong. Bayangkan Serpong, Tangerang Selatan, budaya dan kondisi yang berbeda dengan di Bandung.  Saya fikir, pasti ada misteri yang harus dikuak, ada sesuatu dan ilmu yang harus diperdalam.  Mendapat kesempatan tinggal di kota ini pasti ada hikmahnya, saya tidak mau kehilangan momen dan waktu.  Saya harus melakukan sesuatu dan menghasilkan karya.  Saya harus mempelajari sesuatu dan menggunakan kesempatan semaksimal mungkin.  Apa yang bisa saya lakukan di rumah ini, di Serpong, untuk keluarga ini.  Sekali lagi, pasti ada sesuatu yang harus saya pelajari dengan maksimal agar kelak bisa bermanfaat.  Untuk apa?  Saya tidak tahu.

Saya butuh masukan materi, rasanya tidak mungkin bekerja di luar rumah, lalu merunut kembali  pengalaman dan kemampuan yang saya miliki.  Apa yang paling mungkin dan paling bisa dilakukan sambil mengurus suami dan anak.  Selalu terselip tanda dari setiap kejadian,”  Lalu, saya mulai duduk di depan rak buku kakak.  Saya lihat-lihat dan pilih beberapa buku.  Salah satunya buku “Oh, My Goodness, Buku Pintar seorang Creative Junkies dari Yoris Sebastian.”  Buku ini cetakan kedua tahun 2010.  Rupanya, aku jatuh cinta dengan buku ini, adrenalin hidup saya tumbuh lagi.  Disinilah dimulai misteri itu.


Kamu pasti pernah berkunjung ke rumah seseorang akan mendapati wangi yang khas.  Setiap rumah dan susunan furniturnya memberi kesan setiap penghuninya.  Begitupun ketika kita bersalaman dan memeluk seorang saudara ataupun sahabat, kita akan mendapati wangi yang berbeda dan menumbuhkan aura pribadinya.  Lalu dari wangi itu muncul suasana yang pernah dilalui bersama di masa lalu dan ada energi tertentu yang menumbuhkan memori tertentu.  Ada rasa rindu dan kesan yang tertanam disana.


Foto:  Ima, Lokasi: Empirica SCBD Jakarta



Tanggal 15 Januari 2015, jam 09.00-12.00 WIB, ada kesempatan untuk menghadiri sebuah seminar “Nusantara Bertutur” dengan tema “Menggali Jati Diri Bangsa”, tempatnya di Auditorium Gedung Elnusa, Jl. Simatupang, Jakarta Selatan.  Dari judulnya saya langsung ngeh, pasti ini ada hubungannya dengan mendongeng dan budaya kita.  Pembicaranya pun bagus-bagus, pada sesi  pertama mengulas “Karakter Masyarakat Indonesia” ada Prof. Dr. Kacung Marijan MA, Dr. Megawati Santoso, Garin Nugroho, Prita Kemal Gani, Gilarsi (moderator).  Sementara pada sesi kedua mengulas “Menuju Bangsa yang Bermartabat”, ada Dr. Ratna Megawangi, Maya Noviasari, Farhan, Januarani Razak dengan moderator Chris Pudjiastuti.  Ternyata efek dongeng dan budaya dongeng ini digali sangat dalam, bagaimana dongeng memberi pengaruh pada karakter pendengarnya (anak) dan bisa melahirkan jati diri bangsanya. 

Semua pembicara memberi banyak pandangan yang menarik sesuai dengan latar belakang bidangnya.  Seluruh pembicaraan sungguh menarik dan membuka sudut pandang kita terhadap pentingnya karakter anak untuk mempertajam karakter sebuah bangsa.  Saya merasa bahwa kita hidup di negeri yang menarik sekali dengan keberagaman garis pendidikan, tontonan sehingga pemahaman terhadap hidup yang berbeda.  Namun memiliki garis merah yang sama yaitu senang  bercerita.  Dengan pembiasaan bercerita ke anak inilah, kesempatan kita bisa membangun karakter dan jati diri mereka.  Kenapa bertutur ini begitu penting?  Ini pembahasannya.