Jembatan di tengah hutan Gunung Puntang. |
Bersama anak-anak calon anggota stuba, saya melakukan olah sukma atau semacam meditasi. Menikmati cuaca Puntang yang dingin, desir pepohonan, suara binatang, tawa anak-anak. Sangat menenangkan. Ada kesadaran penuh, bahwa tubuh ini, kaki ini berdiri, melangkah, merasa. Nafas ini mengisi setiap rongga paru, menyusur ke seluruh sel tubuh.
Gunung Puntang. Layaknya kopi yang dilahirkannya, lekat, kokoh sekaligus anggun. Hutan pinus berjajar tentram, menari pelan dimainkan angin, dingin, daun-daun pun riuh. Satu persatu bajing berlari dari pohon ke pohon, sementara jangkrik memainkan suaranya seakan menyambut sore selepas hujan.
Bertahun-tahun tidak berdekatan dengan hutan, pepohonan rindang, desir jernih sungai. Hari itu langit menjadi begitu akrab, hanya sekali hujan menyapa lalu matahari sore mendekap erat menghangatkan pohon pinus dan beringin yang rimbun. Mereka seolah menyambut kami dengan ribuan rindu.
Seperti mendapat hadiah akhir tahun, kami berkesempatan menikmati alam terbuka selama 2 hari, 23-24 Desember 2018, saat anak-anak mulai libur sekolah. Semua keputusan dilakukan dengan tiba-tiba, seorang teman mengajak kami ikut acara Diklat Alam yang dilakukan oleh STUBA (Studi Teater Unisba) angkatan 29. 29? Dari sana saya tersadar bahwa kami terpaut jauh sekali hingga 21 angkatan. Bisa jadi ada orang tua mereka seumur kami, calon kakak-kakaknya.
Sebelum saya punya anak, artinya sekitar 10 tahun, setidaknya setahun sekali kami kemping. Tidak hanya mengikuti acara, tapi “hadiahnya” berupa self healing. Otak dan hati serasa mendapat segelas vitamin saat kaki bersentuhan dengan alam, tubuh terlentang menatap langit, pepohonan, menghirup udara, menyentuh ilalang, menangkap angin.
Menuju Puntang
Awalnya kami dapat undangan di whatsapp grup dari mahasiswa pengurus STUBA, kalau mereka akan mengadakan Diklat Alam di Bumi Perkemahan Gunung Puntang. Tadinya saya hanya sekedar tertarik saja ingin datang ke acara tersebut, rupanya Yudi Buls dan Iskandar merespons baik. Mereka mengajak Ayah untuk datang ke acara diklat alam. Saya dan Ayah pun akhirnya mau datang, lagi pula Iskandar bawa mobil dari Cibinong jadi kami ikut nebeng.
Obrolan di Whatsapp pun jadi rame, koordinasi teknis pertemuan dan keberangkatan. Akhirnya diputuskan kalau Iskandar mau menginap dulu hari Sabtu di rumah saya, sementara Yudi buls dan Ariq (anaknya Yudi) juga Ardhi berangkat duluan di hari Sabtu menggunakan motor. Barulah hari Minggu pagi kami berangkat bersama ke Puntang.
Karena tidak bersama anak-anak, persiapan dilakukan malam hari. Saya dan suami hanya membawa sepasang baju ganti, mukena, handuk, alat mandi, obat-obatan pribadi, lotion, alat makan, handphone dan powerbank, hanya senter yang tak terbawa. Ada beberapa barang lain yang PENTING dibawa, yaitu: alat seduh kopi, seperti teko dan V60. Kami mau ke hutan, sayang sekali tidak menikmati teduhnya hutan dengan segelas kopi.
Sambil berangkat, saya minta mampir dulu di mini market untuk beli beberapa camilan. Meskipun kata teman yang sudah ada di lokasi perkemahan, disana pun ada warung nasi dan jajanan lainnya. Tapi kita tidak tahu kondisi alam seperti apa, jadi saya bawa camilan padat seperti marie, permen, cokelat, teh, minuman cokelat seduh, keripik dan roti sobek. Biasanya kalau cuaca dingin dan kumpul dengan teman-teman, maunya ngemil-ngemil dan ngopi bareng sambil ngobrol. Cuma saya lupa bawa jagung mentah untuk dibakar di lokasi.
Tips saya kalau pergi berkemah tipis-tipis, bawalah baju ganti secukupnya. Setidaknya baju ganti digunakan kalau kena air hujan dan kena nanjis. Bawa makanan pun secukupnya saja, setidaknya untuk memenuhi kebutuhan tubuh kita selama kita di gunung. Cari menu makan yang bergizi dan paktis agar tubuh kita tetap bugar.
Lokasi Puntang
Gunung Puntang letaknya di Desa Puntang, Kecamatan Cimaung, Banjaran, Bandung, kalau dari arah Bandung kota kita bisa masuk lewat jalan tol Pasteur mengikuti jalur Soreang. Rupanya di pertengahan jalan ada 2 sign sistem yang menunjukan Soreang ke kanan dan Soreang-Pangalengan ke kiri. Waktu berangkat kami mengikuti Soreang ke kanan maka keluarnya lewat gerbang tol Kopo. Dari sini kami melewati jalan perkotaan, bukan tol lagi. Lain lagi kalau ambil jalur Soreang Pangelangan ke arah kiri, kita akan diarahkan keluar gerbang tol Soreang sehingga lebih memotong waktu perjalanan.
Dari Soreang kamu bisa mengikuti petunjuk arah ke arah Pangalengan, manfaatkan masyarakat setempat sebagai petunjuk atau gunakan GPS. Untuk beberapa provider tertentu, masuk keketinggian di pegunungan Puntang jaringan mulai hilang, tapi begitu kita masuk ke jalan yang memang sudah ke arah Gunung Puntang, kita sudah aman kok, karena tidak ada jalur atau belokan lain yang membingungkan kita untuk memilih jalan.
Nah, kalau kamu memilih menggunakan transportasi umum, bisa naik angkot dengan tujuan akhir Soreang atau Dayeuh Kolot. Setelah itu, perjalanan dilanjutkan lagi dengan naik angkutan umum yang menuju ke arah Cimaung dan turun di Bumi Perkemahan Gunung Puntang. Perjalanan dari Bandung kota menuju lokasi sekitar 1 jam 30 menit dalam keadaan lancar dan tidak banyak berhenti.
Suasana di Gunung Puntang
Begitu masuk ke gerbang Gunung Puntang, kita akan ditarik tiket Rp. 25.000/orang. Bisa jadi tarif agak tinggi karena waktu liburan. Tingkat wisatawan yang datang cukup banyak, kiri kanan banyak sekali tenda yang berdiri. Warna-warni, lengkap dengan alat masak dan beberapa kayu bakar yang sudah dipersiapkan untuk menyiapkan waktu malam. Sekelompok anggota keluarga dan sekelompok remaja liburan di alam terbuka. Ada tawa, permainan gitar, beberapa tengah jalan kaki sambil menggunakan ponco. Jalanan agak becek, sepertinya baru selesai hujan. Menyenangkan sekali. Kami sampai cukup kesulitan mencari tempat parkir.
Akhirnya mobil Iskandar pun parkir di dekat warung-warung yang berajajar di dekat perkemahan. Beberapa adik stuba menyambut kami, hangat. Beberapa pengurus perempuan tengah memasak menyiapkan makan siang untuk para calon anggota.
Kami diarahkan untuk melapak tenda, tepat di sebelah tenda pengurus. Sebetulnya agak lucu juga sih, tenda yang kami pasang hanya berjarak sekitar 20 meter ke arah warung dan toilet umum. Jadi jangan dibayangkan kita berada di hutan yang sepi, jauh kemana-mana dan harus membuat toilet darurat. Lokasi kami sangat dekat dengan anak sungai, bahkan toilet yang terbilang bersih untuk posisi di perkemahan. Bahkan kalau mendadak lapar, bisa jalan ke warung untuk beli nasi bungkus, telur dadar dan bala-bala.
Meskipun sudah banyak warung dan tersedianya toilet, di perkemahan ini menarik, ada sungai-sungai deras dan mengalir ke anak-anak sungai yang bersih dan bening. Air sungai ini yang dimanfaatkan penduduk dan para wisatawan untuk mandi, cuci, kakus yang disalurkan ke toilet umum. Air bersihnya terus mengalir, sehinga kalau kamu mau mandi sepuasnya pun tidak akan habis-habis. Airnya dingin sekali seperti baru keluar dari dalam kulkas. Meskipun dingin, tapi saya merasa sangat bersih buat cuci tangan, wudhu sampai mandi. Hhmmm... tidak berani sampai mandi juga, sih. Heheheee...
Disekitar kami tempat mendirikan tenda, ada bekas reruntuhan bangunan seperti bekas sebuah pemukiman. Reruntuhan bangunan itu batunya besar-besar, khas bangunan yang dibuat oleh orang Belanda. Bisa jadi sisa reruntuhan itu tadinya bekas rumah pengelola stasiun radio Hindia Belanda terbesar pada zamannya. Karena susunan reruntuhan itu serupa bangunan rumah berbentuk persegi. Saya jadi membayangkan suasana saat itu.
Ditengah perjalanan, saya bertemu dengan para calon anggota dan pengurus tengah melakukan pengarahan di bawah pohon beringin. Indah. Seketika hujan cukup deras tapi airnya tertahan oleh pohon yang lebat. Hanya sebentar, hanya 1-2 menit saja. Lalu disusul oleh cahaya matahari sore. Seperti percampuran teh baru diseduh dengan air panas, warna coklat muda keluar lembut. Dia memankan warna dan kehangatan sore melalui celah-celah dedaunan. Mereka begitu hidup, begitu nyata.