Suasana pandemi corona di jalan Oto Iskandar Dinata sepi, biasanya ramai dan macet oleh wisatawan di untuk berkunjung ke Pasar Baru Bandung.
Ramadhan hari ke-20 di situasi pandemi corona di Indonesia, hari-hari kian hening, matahari tampak jelas dan udara jernih. Daun gerak pelan tertiup angin, beberapa warnanya semakin hijau. Jalan-jalan reda dari dengung mesin dan degup orang-orang. Hingar tidak lagi di jalan, gedung, lapang, pertokoan bahkan di rumah ibadah, tapi hati jadi ramai.

Rumah-rumah kini riuh, tak hanya interaksi fisik namun hati terlibat kian dalam. Dia berbisik hingga memenuhi ruang hening yang tak berbatas. Meski diantara kita muncul rindu pada situasi sederhana yang dulu terabaikan. Ruang-ruang kecil, interaksi sederhana menjadi istimewa. Perlahan belajar pada situasi sempit, lama-lama meluaskan jiwa, menumbuhkan energi untuk tetap hidup. Seperti tunas-tunas kecil bertumbuhan yang selama ini kerap kecil tak terlihat. Kini, mata, hati semakin terjaga, menjaga, terbiasa. 



Sore di Terminal Ledeng Bandung.

Lalu apa yang terjadi sama diri? Kian hari harus di rumah karena pandemi, aku nyaman, meski tidak awalnya. Cemas, khawatir dan merasa berada di situasi yang tak biasa. Pandemi ini aneh. 14 hari pertama masih terasa asing dengan situasi social distancing, jaga jarak, memakai masker kemana-mana, berbagai aturan menjaga diri dari proses penularan. Masuk pada 14 hari berikutnya, hidupku baik-baik saja. Terbatas segala sisi, iya, tapi harus diakui hidupku lebih terisi dan tenang. 



Halaman parkir RS Santosa Bandung.

Awal masuknya virus ke Indonesia, muncul rasa khawatir, serba tak jelas tentang situasi mengatasi pandemi. Mengharuskan diri berjarak dengan berbagai kehidupan biasa jadi tidak biasa. Meski selama ini, ruang hidup saya 90% dikerjakan di rumah dan sesekali mengharuskan keluar untuk hal penting. Kehidupan normal saya memang seperti ini, bekerja yang dilakukan di rumah. Bedanya, dulu sesekali undangan liputan blogger, datang ke acara pameran lukisan, rapat, lebih luwes. Bisa intuitif keluar kapan saja tanpa perlu merasa khawatir, bisa sesekali makan lontong sayur, roti bakar dan ngopi di pinggir jalan. Kadang menikmati kota di atas jembatan bareng Ayah, ngajak main anak-anak ke taman, sekarang tidak lagi. 


Ruang tunggu apotek RS Santosa Bandung.
Biasanya ramai pasien dan pengantarnya.  Institusi membuat aturan, pasien tidak boleh di besuk dan hanya 1 orang penunggu. 

Untuk persoalan rezeki pun, kami sering berada dalam situasi yang serba tidak pasti, sering tak jelas alurnya karena saya penulis blog biasa-biasa dan Ayah pelukis. Terlebih ketika Ayah sakit, pola rezeki kami lebih aneh dan ajaib. Namun dari awal menikah, mensikapi persoalan rezeki ini, kami selalu yakin pada ayat “rezeki yang tidak diduga-duga”. Meski begitu, dalam menjalaninya cukup mendebarkan, memicu adrenalin. Situasi pandemi ini membuat jiwa lebih terjaga, lebih tenang dengan memperkuat sinyal pada Penjaga dan Penjamin Hidup.


Suasana Jalan Cipaganti Bandung,
Pandemi corona pada Maret 2020

Saat ini hilir mudik berbagai kejadian, cukup membuat polusi , menciptakan luka. Namun di tengah situasi itu banyak sekali tangan-tangan yang terus berbuat dan membasuh luka-luka. Mereka adalah orang-orang yang kerap saling memberi, saling memberi perhatian sesuai kapasitas masing-masing, seperti membuat tulisan, gambar, share info yang berenergi, barang, uang hingga tenaga.

Pergerakan ini membuat saya semakin mengabaikan orang-orang yang kerap melampiaskan lelah, protes melampaui kenyataan, lalu menambah rumit keadaan pandemi sekarang ini. Berputar-putar pada pemikiran yang sama, seperti kucing yang mengejar ekornya. Ternyata situasi ini mengering sendiri, atau mungkin tetap ada tapi aku abaikan. Memilih fokus pada yang ada, pada yang hadir, pada yang menumbuhkan dan orang-orang yang menciptakan solusi. 



Suasana Gang Bapak Eni, Ledeng,
Bandung, Pandemi corona 2020


Kita semua sama-sama berjuang dengan cara masing-masing. Seperti beberapa musisi yang melakukan live konser di instagramnya sambil menggalang dana, pelukis yang menjual lukisannya untuk berbagi pada sesama seniman, pembaca puisi yang live puisi di instagramnya untuk menggalang dana untuk membeli beras untuk masyarakat sekitar, ada yang menggalang dana dengan membuat masker, dan banyak lagi. Situasi pandemi yang menumbuhkan ruang-ruang cinta manusia untuk merawat kehidupan.

Saya sendiri lebih mengolah apa yang paling bisa, menciptakan kegiatan se-normal mungki lalu diterapkan di daam rumah. Jadwal lebih tertib namun luwes mengingat situasi ini sudah cukup menekan karena anak-anak tidak bisa keluar rumah. Kegiatan mulai dari bangun tidur, tetap membiasakan mandi pagi, olah raga, mengerjakan tugas, bersih-bersih rumah, mengaji, shalat jamaah, membaca buku, menulis, menggambar, hingga masak bersama. Ada beberapa jadwal yang yang harus dilakukan di pagi, siang, sore dan malam yang bisa mengolah motorik halus dan motorik kasar. Rumah menjadi rahim, harus disupply berbagai vitamin untuk mengolah tubuh, sukma dan pikir. 



Lengang di Jalan Pasteur, bawah
jalan layang Paspati pada bulan April 2020.

Berbulan-bulan kita melewati situasi yang istimewa. Ini hari ke-66 kita di rumah aja. Lama sekali semua ruang gerak fisik menjadi terbatas. Namun lama-lama aku terbiasa, aku nyaman, seperti meredakan lelah dari segala desir yang saling berburu. Melalui situasi ini, saya belajar banyak dari orang-orang yang memanfaatkan ruang gerak terbatas menjadi meluas. Fasilitas dunia maya lebih terolah dalam bentuk-bentuk kegiatan produktif yang mengasah kreativitas, seperti, diskusi, pelatihan, launcing buku online, pameran lukisan, jual-beli produk, ruang berbagi resep dan interaksi sehat lainnya. Dinding, jarak jadi tidak ada artinya lagi.

Semua aktivitas itu membuat cemas memuai, kini reda lalu bersatu dalam genggamanNya. Setiap orang berproses dalam melebur segala kesempitan dalam bentuk yang berbeda. Tubuh, jiwa, pikiran, mata hati seolah mengalir bersama doa, menghadirkan ruang hidup dan mengikuti genggaman cintaNya.


Koleksi foto pribadi milik Ima @2020

Tentang #dirumahaja #lockdown atau apapun itu.  Saya pernah menjalani itu selama 5 tahun.  Ya, kurang lebih selama itu lah.  Jangan bilang hebat, karena engga hebat-hebat amat, payah sebenarnya.  Saya sampe kena psikosomatik yang berefek ke lambung.  Udah lama pengen bikin status ini, tapi cari tuturan yang tepat biar tidak berkesan heroik atau tampak soleh 🤪😅.  Engga gitu.  

Saat awal suami sakit berhari-hari, berminggu eh ternyata berbulan lalu bertahun-tahun, rasanya semua pintu-pintu rezeki tertutup. Lockdown aslina.  Saya engga bisa kemana-mana, harus ngurus suami dan anak-anak tapi kebutuhan bertambah banyak. Edun, lieur pisan, dilematis aslina.  

Efek benda yang menempel di syaraf otak kiri Ayah ini bikin semua fungsi fisik Ayah engga bisa beraktifitas lagi menjadi seorang desainer grafis. Engga boleh deket sama laptop, handphone dan bersosialisasi. 😅 Lockdown dumay dan nyata!

Mengganti fungsi Ayah untuk kerja keluar rumah pun tidak mungkin, karena suami dan anak-anak hanya bisa diurus langsung oleh saya.  Sementara saya harus mencari celah aliran rezeki materi yang bisa dikendalikan dari rumah: celah itu dapat! Meneruskan hobi saya menulis di blog dan meng-optimasi fungsi media sosial jadi salah satu kesempatan saya paling mungkin dikerjakan.  

Apa memenuhi kebutuhan rumah tangga dengan kondisi suami yang kebutuhan medisnya tidak terprediksi dari pemasukan aktivitas menulis? Engga juga, sebagai penulis blog biasa-biasa ini juga udah uyuhan pisan lah bisa bertahan.  




Ketika pada titik berhenti berharap pada manusia, kami kerap di supply langsung oleh Allah melalui pintu-pintu rezeki yang tidak diduga-duga.  Allah selalu menggerakan hati yang dikehendakiNya disaat yang tepat untuk menjadi jalan dan memudahkan jalan kami di tengah kesulitan.  Banyak keindahan yang saya lihat dari sudut ini. Eh, iya, Allah teh deket pisaaaan. 

Iya, saya tetap ikhtiar denan menulis, tetap jualan, tetap ngurusin berobat sana sini, tetap mengurus urusan domestik rumah tangga yang berlapis-lapis, kalau berdasarkan perhitungan manusia, rezeki materi/pemasukan seringkali memenuhi kebutuhan bulanan yang jumlahnya sering tidak terduga.   Bahkan jauh lebih besar dari upaya kami dulu  yang kerja siang malam waktu sebelum sakit.

Setiap saya memulai hari (bikin obat, ngasih obat, beberes, masak, dll), mulai menulis, membuka medsos dengan niat shadaqoh, bekerja, minta jadi berkah, mendapat ilmu yang bermanfaat, dan segala niat baik lainnya, Allah seringkali "membayar"/memberi gaji dari upaya itu lewat cara-Nya yang engga bisa diterima oleh logika kita sebagai manusia, tapi sangat mungkin dilakukan oleh Allah.  

Kejadian yang super bikin shock ini rupanya melatih saya berhenti berharap/meminta terhadap siapapun bahkan terhadap diri sendiri dan suami.  Meski kondisi mental ini naik turun, tarik ulur.  Ketika kegelisahan itu muncul karena tubuh saya capek, mental kacau, hingga kurang uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang menipis, harus keluar masuk rumah sakit tiap bulan, melakukan perjalanan antar kota, yang saya lakukan adalah bilang langsung sama Allah. 

Iya, bilang, ngomong langsung, curhat seperti yang sedang berusaha pinjem uang ke seseorang atau sedang curhat ke seseorang atau seperti yang curhat ke teman ketika hati kita disakiti seseorang.  Kalau sedang insyaf, saya sering terbangun oleh kalimat ini, bahwa Allah itu lebih dekat dari urat leher. Dekat sekali.  

Apa dengan menuntut/berharap kebaikan manusia akan jadi solusi?  Engga selalu jadi jalan keluar, malah nambah beban hati dan menumpuk pikiran ketika mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan kita.  

Duh, saya ngomong apa sih?  Intinya, ditengah pandemi yang bikin aktifitas kita jadi terbatas secara fisik, lakukan apa yang paling kita bisa, lakukan saja tanpa banyak perhitungan, kalau mulai berhitung cepat sadar, lalu lepaskan segala urusan sama Allah, semua kejadian ini atas izin Allah kok.  Pasti ada hikmahnya, pasti ada sesuatu yang baik bagi kehidupan kita.  Jadi biarkan Allah ngasih rezeki dengan caranya dan biarkan Allah memberi ruang rahmat dengan caraNya.

*efek hujan, secangkir kopi dan iteawon class 🤪🤣