Suasana di Pasar Baru. Foto: Ima |
Covid Test gencar dilakukan pada warga Jakarta. Alat tes kesehatan yang diperbincangkan di tengah pandemi covid 19 mendapat respon beragam. Ada yang menerima ada juga yang menolak dalam melakukan Covid Test Jakarta. Para ahli kesehatan dan relawan masif mensosialisasikan menjaga diri dan mencegah penularan covid 19 ini, namun reaksi masyarakat berbeda-beda.
Berbagai upaya dilakukan oleh tenaga kesehatan untuk mengontrol peta jalur penularan yang dideteksi melalui Rapid Test. Dengan cara ini, tenaga kesehatan dan pemerintah mengetahui kondisi imun dan mendeteksi adanya virus covid dalam tubuh. Mengingat sebagian masyarakat masih tetap diharuskan beraktifitas di luar rumah dan sebagian masyarakat lain ada juga yang tetap beraktifitas seperti biasa di tengah pandemi. Kedua alasan ini berpotensi penularan covid 19.
Rupanya ada alasan yang mendasari penolakan masyarakat pada Rapid Tes ditengah kerja keras tenaga kesehatan, seperti berita-berita hoax tentang Rapid Test dan ketakutan itu sendiri yang membuat penolakan masyarakat. Sehingga mau tidak mau kita dihadapkan pada meningkatnya grafik penderita covid 19 di pelbagai daerah.
Wabah covid 19 telah berlangsung berbulan-bulan sebelum menular ke masyarakat negara kita. Sampai akhirnya bulan Maret 2020, Indonesia pun dinyatakan salah satu negara yang terkena virus corona. Masyarakat (mestinya) mau tidak mau harus menghentikan segala aktifitas yang melibatkan interaksi sosial secara fisik, kecuali beberapa fasilitas kebutuhan pangan dan kesehatan. Belajar pada negara yang tertular corona, faham akan pelbagai resiko aktifitas sosial fisik terpaksa dihentikan. Bahkan layanan fasilitas kesehatan harus melalui protokoler baru.
Di rumah sakit jumlah pasien rawat jalan dikurangi, kursi tunggu pasien diatur agar berjarak dengan pasien yang lain. Lalu ketika masuk ke ruang rawat jalan, posisi meja dokter dengan pasien diberi jarak hingga 1 meter. Begitupun ketika proses konsultasi dan pemeriksaan, tidak ada pemeriksaan sentuhan fisik, namun dokter memeriksa pasien dengan detil bertanya ciri-ciri keluhan pada fisik si pasien. Bahkan beberapa pasien dianjurkan untuk konsultasi secara online atau terhubung dengan menggunakan fasilitas alat komunikasi. Langkah ini tentu bentuk upaya mengurangi resiko penularan.
Begitupun ketika pelaksanaan shalat di masjid dekat rumah saya. Kini masjid dibuka saat waktu-waktu shalat saja, selebihnya dikunci untuk mengantisipasi penularan covid dari siapapun. Begitupun saat melaksanakan shalat berjamaah, diberlakukan shalat dengan posisi agak berjarak.
Sudah lama kita mengenal aplikasi HaloDoc, sebuah aplikasi yang bisa mendukung kebiasaan baru (new normal)kita untuk konsultasi kesehatan masyarakat tanpa perlu tatap muka secara langsung. Tentu di tengah pandemi seperti ini, HaloDoc jadi pilihan tepat untuk tempat konsultasi dan mendapatkan obat yang resmi untuk penanganan pertama. Saya fikir HaloDoc bisa jadi rujukan informasi yang tepat saat bingung menentukan pengobatan, mencari jawaban tentang keluhan di badan kita hingga bagaimana cara memproteksi diri.
Tak hanya berupa informasi satu arah, aplikasi HaloDoc bisa jadi teman konsultasi yang akurat. Kita bisa bertanya langsung ke dokter melalui pelayanan chat. Sehingga kita bisa mendapat layanan kesehatan yang profesional meski tetap di rumah saja.
Tak hanya persoalan pelayanan online, di tengah situasi serba tak menentu ini kerap muncul berita-berita yang seolah-olah benar namun tidak teruji secara ilmiah. Bahkan para pemegang medsos bisa “sembarangan” membagikan informasi kesehatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga menimbulkan rentetan masalah baru. Ini mengerikan.
Setelah pemerintah pusat melakukan himbauan untuk melakukan segala aktifitas di rumah aja kecuali dalam keadaan mendesak, beberapa pemerintah daerah menyesuaikan diri dengan tingkat populasi dan karakter warganya. Sehingga ada yang segera melakukan lock down atau kita mengadaptasinya menjadi PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar).
Namun sayang, ada saja beberapa warga yang lolos melakukan aktifitas keluar masuk zona merah, sehingga muncul para OTG (Orang Tanpa Gejala), ODP (Orang Dalam Pengawasan). Dengan begitu muncul kasus-kasus baru dari daerah yang tadinya zona hijau karena mengabaikan himbauan pada keadaan sekarang ini.
Sehingga pemerintah daerah dan perusahaan besar seperti di Jakarta menghimbau pekerja/karyawan untuk melakukan Rapid Test. Mengingat populasi penduduk dan aktifitasnya yang tinggi menumbuhkan prilaku masyarakat perkotaan lebih rentan tertular. Sehingga ini yang membuat pemerintah daerah maupun beberapa perusahaan mewajibkan melakukan Rapid Tes bagi masyarakat maupun karyawannya.
Dalam keadaan seperti ini, ada beberapa profesi yang diharuskan melakukan rapid test karena pekerjaan mereka tetap diberdayakan untuk menjaga kebutuhan pangan, kesehatan dan keamanan masyarakat luas. Seperti polisi, tentara, tenaga kesehatan, pedagang, apoteker, wartawan, supir, tenaga teknis sumber daya kebutuhan masyarakat, guru dan masyarakat yang tetap melakukan interaksi yang tinggi di tengah pandemi. Dengan begitu lebih tercipta suasana yang lebih baik dan masyarakat lebih mampu menyesuaikan diri dengan keadaan pandemi.