“Rahma!” Dibalik meja
kelas, Bu Guru olahraga memanggil dan Rahma pun berdiri untuk mengambil buku
khusus ulangan. Hasil tesnya ternyata
bagus namun ada catatan begini:”Rahma! Ibu peringatkan, tidak boleh menyontek kalau
ada kuis lagi. Kalau ketahuan nyontek,
kamu tidak akan naik kelas.” Hati
mendesir, keringat dingin tiba-tiba keluar dibalik rambut dan ingin pipis. Teman sebangkunya memaksa melihat catatan
dari guru, dia melihat dengan sinis dan mendorong buku tes. Rahma pulang dengan seribu rasa malu dan lemas. Mendadak seharian tidak mau keluar rumah
untuk main ke sawah atau permainan galah asin. Nurani memang tidak bisa
dibohongi, rasa bersalah dan malu setengah mati atas tindakan curang itu.
Rupanya kelakuan ini
menjadi ketergantungan, karena lupa harus menjawab pertanyaan tes munculah perasaan
panik yang lebih menguasai sehingga lebih memilih untuk nekat mencontek, lagi
dan lagi. Kebiasaan ini awalnya meniru
teman yang kerap melakukan nyontek saat tes dengan beragam cara. Banyak strategi yang dilakukan seperti
menggunakan sobekan kertas, mencatat di
meja, bahkan nekat melihat buku catatan yang disimpan di bawah meja. Tindakan seperti ini bukan rahasia, hampir
semua murid pernah melakukannya dan jika ketahuan pasti ada hukumanya. Ketergantungan tinggi pada contekan
membuatnya tidak percaya atas kemampuan diri sendiri pada proses belajar yang
selama ini dilakukan. Sehingga para
pengajar begitu keras memberi teguran agar kita menjadi anak yang jujur.
Namun berbeda di abad
2000 yang dipenuhi gerakan kemerdekaan, teknologi, serba berfikir logis,
kemudahan mendapatkan ilmu pengetahuan yang melimpah ruah dan disesaki orang-orang
pintar. Rupanya tidak diikuti oleh
pribadi tangguh, kejujuran dan sering menyerah pada keadaan. Barangkali karena banyaknya fasilitas
teknologi yang biasa memberi banyak kemudahan.
Apa hubunganya yah? Mari kita lupakan.
Saat ini fenomena contek mencontek sedang merambah hampir semua sekolah,
baik negeri maupun swasta. Kejadian contek mencontek ini dilegalkan bahkan
dibantu oleh para pendidiknya. Seolah
tindakan ini menjadi dilegalkan, bahkan ada beberapa kasus bahwa soal ujian dan
kunci jawabnya sudah menyebar di kalangan siswa. Bagi beberapa siswa melakukan patungan agar
memeproleh kunci jawaban ini. Bisa jadi ini kejadian yang ironi namun
dilematis bagi lembaga yang bersangkutan, karena jika anak didiknya memiliki
nilai rendah apalagi sampai banyak yang tidak lulus akan berpengaruh pada
reputasi sekolah. Hal yang paling
memungkinkan menstimulus tindakan ini bisa jadi dikarenakan adanya stadardisasi
jumlah NEM yang tinggi. Begitupun dengan soal tes yang di pusatkan, membuat
setiap lembaga pendidikan kelimpungan.
Sementara kita semua tahu bahkan bukan rahasia lagi bahwa kondisi
pendidikan masing-masing daerah di Negara kita tidaklah merata.
Pendidikan sebagai
media untuk membangun potensi bangsa rupanya tidak disadari oleh semua pemimpin
kita. Karena pemimpin kita kurang
memahami kebutuhan ajar mengajar, merasa paling benar sendiri atau bahkan lebih
bersikap tidak mau tahu karena tidak ada laporan dari bawahan. Seringkali lembaga pendidikan harus berusaha
sendiri agar anak didiknya tetap belajar dengan fasilitas dan kondisi
seadanya. Ini tidak hanya terjadi di
pulau, desa terpencil tapi tidak jarang di kota besar yang dekat dengan beragam
fasilitas tidak juga memenuhi syarat sebagai lembaga pendidikan. Ketidakmerataan ini bisa disebabkan banyak faktor,
bisa dari proses informasi yang terlambat, fasilitas transportasi tidak
memadai, tugas setumpuk namun gaji tidak manusiawi, alat pengajaran seperti
buku-buku wajib yang harganya mahal, hal-hal lain yang mendukung perekembangan
kretifitas pendidikan sangatlah tidak murah. Solusinya biaya tinggi harus
ditelan mentah-mentah bagi orang-orang yang ingin mengenyam pendidikan. Meskipun menaikan biaya pembangunan sekolah
pada murid menjadi hal yang dilematis karena mengingat kondisi ekonomi masyarakat
yang tidak merata pula.
Hal ini menyebabkan kondisi sosial budaya
masing-masing daerah stagnan dan kehilangan harapan. Bagaimana tidak, jika ingin mendapatkan
pendidikan yang berkualitas artinya mereka harus masuk ke sekolah yang berbayar
dengan nilai yang tidak murah. Akhirnya
sebagian yang muncul di benak masyarakat adalah tidak terlalu mengutamakan
pendidikan karena desakan ekonomi yang semakin manajam. Bersamaan dengan situasi yang frustasi ini
datang tekanan dari pemerintah dengan mewajibkan nilai UN yang tinggi dan
berlaku bagi pelosok negeri. Kembali
pada fenomena legalitas nyontek rupanya menjadi keputusan praktis yang
dilakukan guru-guru ini bisa jadi sebuah bentuk frustasi dari persoalan yang
berlapis-lapis.
Beberapa hari yang lalu
saudaraku hatinya hancur, dia menyaksikan sendiri proses kecurangan yang
dilakukan dengan gamblang. Sebelum ujian
ujian Negara (UN) dimulai, banyak tawaran baik dari guru maupun teman-temannya
memastikan agar dia mendapatkan kunci jawaban. Bahkan beberapa anak yang lain patungan uang
untuk mendapatkan kunci jawaban tersebut. Tapi dia menolak dengan baik-baik
karena mau berusaha menjawab tes itu semampunya. Waktunya ujian tiba, tak diduga semua teman
kelasnya ternyata memiliki kunci jawaban dan melakukan kecurangan masal tidak
terkecuali. Kekecewaan pada
teman-temannya semakin meruntuhkan segalanya.
Dan waktu pengumumanpun tiba, ternyata ada beberapa teman yang dia tahu
kapasitasnya seperti apa memiliki nilai yang luar biasa dan pasti masuk ke
sekolah favorit di kotaku. Lalu apa
bedanya membeli contekan dengan proses menyogok? Bukankah hal ini sebuah proses pengajaran
pembenaran sejak dini pada tindakan tidak halal. Jangan lupa selalu saja ada yang menjadi
korban/dirugikan bagi tindakan yang curang.
Pikiranku melayang pada
generasi nyontek jika kelak dewasa dan harus berhadapan dengan dunia yang penuh
sikut menyikut dan ketegasan pada diri. Sekarang
mari kita lihat para pemimpin kita, situasi nyata di belahan negeri tercinta
ini seperti sogok menyogok, melipat uang, mendapatkan hadiah dari hasil projek
mengadaan menjadi hal yang sangat lumrah.
Mental ini tentu tidak tumbuh begitu saja, tapi butuh proses keberanian
dengan mengikis seribu rasa malu dan harga diri dengan mengadaptasi pada
beragam persoalan.
Jangan-jangan mental
yang koyak ini secara tidak langsung telah diajarkan sejak kita di bangku
sekolah. Ketika ada orang tua yang ingin
anaknya masuk ke sekolah favorit maka uang bicara, lalu ada kasus anaknya yang
tidak layak naik kelas maka uangpun bicara lalu si anakpun secara formalitas
naik kelas, dan banyak lagi praktek-praktek illegal yang menguntungkan sebagian
orang namun menyakiti sebagian orang yang lain.
Ini dilakukan oleh sebagian orang tua dan dilegalkan oleh para pendidik
kita. Sekalipun alasanya demi masa
depan anak, harga diri dan nilai kelas sosial tidakkan hal ini mendidik mental
anak tersebut menjadi lembek, tidak belajar mengolah diri sehingga menjadi
generasi cengeng saat kelak menghadapi kehidupan dewasa. Otak dan hati nuraninya sama sekali tidak terasah
dalam memecahkan masalahnya sendiri karena uang sudah bicara untuk menentukan reputasi
hidupnya. Atau bisa jadi ini lagi-lagi
ini reaksi frustasi orangtua maupun guru dalam mencari solusi mendidik anak
tersebut.
Lalu pikiranku kembali melayang
lebih jauh lagi pada para –kebanyakan- pemimpin kita yang untouchable. Informasi
televisi dan koran tak hentinya memberitakan hal-hal dramatis tentang korup,
sogok menyogok pribadi maupun kelompok untuk mencapai posisi maupun keuntungan
dari sebuah projek namun atas nama negara. Sehingga seolah-olah praktek ini
menjadi hal yang lumrah dan wajar di dunia persilatan instansi
kepemimpinan. Masuk akal juga jika kita berada
dalam posisi yang strategis tapi pengetahuan yang kurang, pandangan hidup yang
sempit, mental lembek rasanya keputusan yang dibuat akan jauh dari adil dan
bijaksana. Bagaimana bisa kuat, sejak
sekolah dia sudah dikondisikan melihat, mempelajari, meniru beragam cara pintas
untuk memecahkan solusi agar kepentingan dan keuntungan diri terpenuhi.
Proses untuk menjadi
pribadi anak yang jujur, tanggung jawab, terbuka, dan kuat terhadap tekanan
ternyata bisa ditularkan dari hal-hal yang sederhana. Orangtua memiliki peran penuh dalam
menanamkan nilai-nilai hidup, agar saat anaknya tumbuh dewasa mampu berhadapan
dengan beragam kehidupan. Seperti sering
mengajak diskusi, mengerjakan PR sendiri, diberi kesempatan untuk menyelesaikan
masalahnya sendiri ketika bermasalah dengan temannya, membereskan kamarnya,
melatih mandiri dan lain-lain. Aku
selalu ingat kutipan seorang filsuf bernama Iqbal, begini isinya: “Manusia, ditakdirkan untuk melewati satu
demi satu tahap dalam kehidupanya.”
Artinya berapapun usia kita selalu saja dihadapkan pada masalah sesuai
dengan perkembanganya. Sehingga
ditekankan agar manusia mengolah diri, mengolah hati dan belajar dari masalah agar
semakin lama hidup semakin mampu mencari solusi dari persoalan-persoalanya. Bedanya setiap manusia, ada yang mampu mengolah
diri dan mengambil pelajaran dari semua persoalan sehingga selalu berhasil
keluar dari masalah namun ada namun ada yang menyerah pada keadaan.
Seperti halnya nyontek,
korupsi, menyogok ini adalah sebuah solusi dari akumulatif persoalan pengolahan
pribadi yang tidak tuntas dan menyerah pada keadaan. Seperti mental anak yang tidak terolah
menghadapi masalah sehingga orangtuanya turun tangan untuk menyelesaikan
persoalan anaknya. Padahal anak
seharusnya diberi kepercayaan dan diberi kesempatan untuk menghadapi
persoalanya sendiri sehingga otaknya selalu dilatih untuk mencari solusi. Dari sejak kecil ketika dia masih melatih
ototnya untuk merangkak, lalu melatih tangannya memegang alat tulis, mengasah
kemampuan baca, bersosialisasi, mencari solusi saat berhadapan dengan kawan dan
seterusnya hingga ia berkembang dewasa lalu mau tidak mau berhadapan dengan kehidupan
yang semakin beragam. Jangan salah bahwa
banyak sekali pelajaran sederhana dari keluarga yang mampu menelurkan pribadi
yang tangguh.
Apakah kita para
orangtua, pendidik juga para pemimpin -yang mempunyai peran mengambil
kebijaksanaan aturan Negara- sudah mempersipkan mental dan pendidikan mereka?
Waktu terus berjalan, generasi terus berputar, siapkah anak-anak kita saat
harus berdiri tegak, berjalan sendiri, mempertanggungjawabkan pilihan hidup dan
berhadapan dengan kehidupan yang maha luas. Kalau masih juga tutup mata dan
pura-pura belum mengerti, ini sama saja tidak peduli dengan efek domino dari nyontek
yang sedemikian dramatis dan praktek yang menjadi legalisasi kecurangan ini akan
semakin meruntuhkan moral dan mental bangsa yang semakin sulit dikikis.
Ima::Bandung, 9 Juni
2011