GIAP THAN, 60 menit pertunjukan lakon koreografis untuk enam penari yang ditampilkan di Gedung Sunan Ambu-STSI merupakan hal yang menarik untuk dijadikan bahan studi. Régine Chopinot sebagai koregrafer berusaha menyampaikan alternatif bahasa tubuh sebagai sikap pemberontakan atas kondisi sosial sekarang ini.
Lima orang penari masuk panggung, meruang lalu duduk dipinggir panggung dengan menggunakan kostum setelan berwarna putih. Ada yang menggunakan kemeja dan celana panjang, kaos kutung dan celana pendek, kemeja panjang dan celana pendek. Seakan menyimbolkan tubuh itu sendiri yang jujur dengan keberadaanya seperti apa tampak secara kasat mata.
Pemusik yang mengiringi para penari ini terdiri dari satu orang laki-laki dengan memakai kaos hijau dan jeans berwarna hitam tampilan yang cukup casual dengan hanya menenteng gitar elektrik. Dia duduk menghadap panggung hampir berdempetan dengan penonton dan hanya disinari oleh satu buah lampu sorot. Musik mengiringi dengan tempo paduan klasik dan jazz mengikuti detak-detik aliran jantung kehidupan. Sebuah warna musik yang menarik sebagai simbol tarik menarik setiap kontradiksi situasi tatanan masyarakat.
Panggung gelap lalu sedikit-sedikit mulai menyala menyinari objek (perempuan) yang mulai bergerak mulai mengeksplorasi artistic berupa gabungan kain spanduk “OMO” (salah satu merek produk rumah tangga) yang memenuhi background panggung. Empat orang penari laki-laki duduk tablo namun berkesan wajar dan mereka duduk dipinggir panggung. Mereka memperhatikan gerak perempuan itu seakan menjadi bagian dari reaksi atas daya pikat yang tak berlebih, wajar sehingga memang menampilkan sebuah gerakan yang apa adanya. Sehingga hasil dari gerakan tersebut seakan memberikan sebuah jawaban bahwa perempuan tersebut dalam keadaan menggoda maupun sebaliknya memberikan pancaran yang menarik. Lalu munculah satu orang laki-laki mulai melakukan gerakan sebagai bahasa reaksi atas perempuan tersebut sambil mempermainkan artistiknya.
Selanjutnya sementara sepasang penari tadi menyudahi tarian lalu duduk dipinggir panggung, dua orang penari laki-laki menyambung cerita dengan bergerak seakan menyampaikan aksi tanpa reaksi. Laki-laki yang satu bergerak menarik perhatian pasangan yang tablo. Mereka bergerak begitu detil dari jemari kaki, cara melangkah, gerakan tangan begitu leluasa tanpa gangguan otot yang sulit untuk digerakkan. Namun tidak berusaha untuk mendistorsi gerakan itu sendiri.. Sangat menarik! Pembebasan tubuh yang menghasilkan gerakan yang baru, artistik dan sederhana. Dari dua orang laki-laki ini, seakan menyampaikan sebuah hasil aksi-reaksi pada gender yang sama.
Lalu satu orang laki-laki yang lain mulai bergerak dan ikut mengekplorasi laki-laki yang menjadi objek gerak. Dari gerakan ini, mereka bertiga seakan menyampaikan sebuah situasi penekan dan yang ditekan dengan hanya memegang kepala objek oleh dua orang laki-laki tersebut dan gerakan kaki, bahu, tangan yang begitu tampak ringan saat berloncatan, tarik-menarik, dan bahasa tubuh penekanan mental yang mereka sampaikan begitu gamblang namun detil dan wajar. Satu orang laki-laki yang berada dibawah tekana dua orang laki-laki begitu disampaikan dengan gerakan yang pas tanpa ada lompatan yang berulang-ulang lalu mencapai gerakan yang over. Mereka bergerak dengan tatanan yang halus seperti halnya detak jantung dan udara yang menjadi nafas kita sehari-hari. Tak berlebih tak kurang.
Lalu mulailah peleburan gerakan ditampilkan oleh lima penari sementara diakhir pertunjukan seorang penari bergerak dibalik kain dengan gerakan yang sangat aneh sehingga terasa mustahil untuk dilakukan oleh satu orang penari sehingga hasil bentuk kain tersebut seakan menyampaikan ada dan tiada.
Artistik panggung yang lainnya berupa lampu lampion kotak berwarna putih berjumlah 6 (enam) buah yang digantungkan dilangit-langit panggung. Lampu menyorot panggung dengan warna yang sentimental. Hasil cahaya menggunakan warna general dan hangat seakan proporsi hitam putih dalam sebuah foto. Ruang panggung yang begitu naïf, sepi, dingin seakan memberikan penjelasan jujur tentang perasaan dan dibuat bahwa perasaan itu adalah begitu adanya. Ada dan begitulah adanya.
Lakon ini seakan menyampaikan pemberontakan sosial pada faktor-faktor yang mendominasi mereka. Baik berupa besarnya pengaruh produk sehingga mempengaruhi gaya hidup, tuntutan masyarakat dan hal-hal yang mempengaruhi hidup manusia itu sendiri sehingga menimbulkan kegilaan atau tindakan yang saling mempertahankan ego.
Dari gerakan itu sendiri, koreografer sepertinya melupakan kaidah-kaidah tarian yang sudah mendarah daging lalu ia seakan memecahkan gerakan yang sudah digariskan dengan membebaskan gerakan, bandel dari garis-garis keindahan sehingga memunculkan bentuk lain yang justru menjadi tawaran lain untuk dinikmati. Dari gerakan itu juga kita dapat melihat sisi “pemberontakan” pada garis-garis gerakan pada tarian itu sendiri.
GIAP THAN, sebuah tawaran gerak pada eksplorasi ruang yang menumbuhkan aliran kreasi yang berbeda sehingga menumbuhkan daya tarik sendiri.
Koreografer : Régine Chopinot, Muisk dan Pemeranan : Gianni-Gregory Fornet, Tata Panggung dan Kostum : Jean Michel Bruyere, Tata Cahaya : Maryse Gautier, Penanggung Jawab Urusan Teknik : Patrick Barbanneau, Artis : BUI Tuan Anh, HA THE Dung, TRAN THI TUYET Dung, NGUYEN ANH Duc, HA THAI Son, QUACH HOANG Diep.

Bandung 7 Juni 2005. 16:09 WIB
Sabtu malam, 28 Mei 2005 di Kopi Selasar Soenaryo yang tak terasa dingin menyentuh suasana hangat dengan warna-warna cempor kecil menghiasi sekaligus membatasi ruang menonton. Daun-daun kering memenuhi alas panggung menampung kicau gitar, dendang jimbe, drum atau semacam beduk besar, kendang, flute, kecrek, eksotiknya bunyi rebana, conga, harmonika dan mirisnya biola bergantian dari satu lantunan pada lantunan yang lain. Sementara layar putih terpampang lebar di bagian belakang sebagai sentuhan artistik yang memvisualkan pertunjukan dengan multimedia sehingga memperkuat karakter Cozy Street Corner yang terdiri dari tiga orang personil diantaranya Boby Priambodo, Christian Buana Takarbessy dan Petrus Briyanto Adi dalam acara Paparan Musikal Cozy Street Corner dengan tema Hutan Hujan “Detak Nadi Musik Bumi”.

Penonton memenuhi tempat duduk batu yang mempunyai perpaduan gaya panggung Roma namun lebih di sentuh gaya etnik, sambil menikmati snack dan kopinya yang khas membuat suasana akrab dan cair. Beragam orang dengan keanekaannya seakan tersihir terbawa kehangatan paparan musik Cozy Street Corner yang sangat membumi dan mempunyai warna berbeda dan membuat pendengarnya jatuh hati.

Mereka hadir dalam dua sesi dalam memainkan musik-musiknya. Pada sesi pertama yaitu sesi introduce mereka bermain dengan alat musik gitar akustik dimasing-masing pangkuan tiga personil tersebut namun nada yang keluar begitu hidup, riang, ringan dan begitu mudah diterima. Lalu diantara dua sesi tersebut diselingi dengan pembagian door prize berupa produk kosmetik dari Body Shop yang terkenal dengan pengolahan produknya yang ramah lingkungan dan tanpa animal tester alias pencobaan produk pada binatang yang seringkali dilakukan oleh beberapa perusahaan kosmetik. Sekian banyak penonton mendapatkan kenang-kenangan yang manis dari Body Shop yang dituntun secara enak oleh dua orang mc membuat suasana ringan dan menyenangkan.

Sesi kedua dilanjutkan lagi dengan beberapa musik lagi lalu diselingi dengan pengenalan WWF (World Wild Foundation) sebagai rekan kerja dalam mewujudkan acara ini. Dimana WWF membawa misi pencegahan dan perlindungan ekosistem hutan dari tangan-tangan manusia yang jahil. Tujuan utamanya yaitu melakukan perlindungan Mega-Biodiversity, fungsi ekosistem kawasan Heart of Borneo dan sumber kehidupan berdasarkan pemanfaatan berkelanjutan. Yeah… sooo COZY! Kerjasama WWF dengan CSC merupakan peraduan yang … pas sekali. CSC mampu menterjemahkan bahasa alam dalam susunan syair yang sederhana namun aransemen musiknya begitu cerdas sehingga menjadi hidup dan unik. Sehingga musik CSC menjadi melewati batas pendengar apakah itu anak kecil, remaja, dewasa menjadi satu kesatuan utuh manusia itu sendiri. Dimana jenis musiknya menghormati dan menyentuh titik-titik kecil kerinduan hati manusia yang tersembunyi oleh keangkuhan karakter manusia yang begitu ribet. CSC membawa kita jeli tehadap hal-hal yang kecil namun menggerakkan hati untuk menikmati hidup dengan “sederhana”. Seakan mengajak siapapun tanpa peduli ras yang berbeda untuk selalu membuka mata dan hati pada apapun.


Lagu-lagu yang dinyanyikan seperti I Miss You, Two Blocks Away, Melata Hati, Cinta, Siul daun, Me & Mr. Bumble Bee, Ingin Bercerita, Bulan dan Bintang, Ulat Bulu, Rangkum Jemari, Berlayar di Siang Hari, Delman, Dendang Bersahutan, Hutan Hujan, We Nana Na Yo, Punyaku Sendiri, Gayung Bersambut (Apa Iya…??) kolaborasi bareng Bonita yang memiliki suara sangat menarik lalu dilanjutkan dengan lagu Penuh Dengan Cinta, Kira Di Dada, saya nonton sampai mereka menyanyi ini karena waktu beranjat larut. Karya-karya Cozy Street Corner benar-benar membuat hati dan mata terbuka pada segenap karya semesta yang begini luar biasa.

Kebersamaan malam itu dengan CSC terkadang diselingi dengan perbincangan antar personil dan penonton dengan bahasa yang sederhana dan menyenangkan dalam mengantarkan pada musik berikutnya. Sesuai karakter musiknya, mereka begitu low profile dan mampu membangun suasana hangat dan matang. Sehingga kurang lebih 3 (tiga) jam penampilan mereka tak membuat diri beranjak dari peraduan malam. Betapa hangat dan menyenangkannya. Suasana hangat terbangun juga atas kerjasama penonton yang cukup antusias dan reaktif pada tiap-tiap lantunan nada. Kadang mengikuti ketukan lagu dengan tepuk tangan, gerak-gerak bahu, lentikan jari, menyanyi bersama, dan reaksi-reaksi spontan atas lagu-lagu CSC yang membawa kita pada beragam suasana.

Musik-musik mereka begitu detil dan enak dalam memainkan kata-kata dalam ketukan nada ditambah sentuhan alat-alat musik menyambung cita rasa tradisi. Alat-alat musik seperti flute, kendang, rembang, jimbe mampu mengantarkan sentuhan yang etnik namun terasa akrab dan mudah diterima. Disini CSC mempunyai jenis musik yang terasing dari jenis-jenis musik pada umumnya. Namun mampu juga mengasingkan pendengarnya sendiri dalam melihat “kehidupan” pada sudut pandang yang berbeda. Penikmat CSC seakan dicuri dari peradaban kota Bandung yang semakin semrawut dan rakus. Lalu diantara acara ini pula Komunitas Bebenah Bandung ikut meramaikan acara dengan membagikan bibit pohon ke penonton dan atusiasme penonton cukup bagus dalam menanggapinya.

Ada banyak cinta yang ingin disampaikan oleh CSC dari setiap karyanya. Cinta pada manusia, pasangan, binatang, alam semesta, pepohonan baik yang tersentuh maupun yang tak tersentuh oleh mata dengan gaya bahasa puitis yang sederhana dan ringan bahkan ada pula yang sangat naif. Beberapa lagu tak mereka mainkan bertiga saja, namun ada beberapa musisi tambahan. Musisi tambahan itulah yang memainkan alat-alat musik tradisi/akustik membuat ketukan musik berasa beragam dan kental . Para musisi tambahan itu diantaranya Bonita sebagai vocal perempuan dalam lagu Penuh dengan Cinta dan Gayung bersambut. Kang Harry Pocang memainkan Harmonika dalam lagu Tak Berarti dan Bunda Piara. Lalu di sesi introduce tiga remaja memainkan biola diantaranya Sisilia,Asti dan Bimo membuat suasana semakin terlena. Lalu decak kagumpun semakin riuh ketika beberapa lagu diiringi oleh permainan Barata Gusmao, Indra, Nelden saat memainkan percussion, kendang, rebana, conga, jembe. Seterusnya CSC terasa lelaki sekali karena personil backing vocal yang mengiringi beberapa lagunya terdiri dari lelaki semua diantaranya Hiram, Bernardus, Deo, Michael, Delfitri Said, Bisma, Roby, Johan, David, Iman.

Sayang, saya tak menikmati CSC sampai akhir. Tapi walaupun begitu saya sangat puas dan tidak berasa rugi beli tiket masuk senilai Rp 22.500,00. Selain itu uang tiket itu juga dipergunakan untuk menyumbang aktifitas peduli lingkungan hidup (saya harap saya dapat memberikan lebih … ).

Open Your Heart, Eyes, Ear, Hand To Be Cozy, Be Calm and Wonderfull Life !!!
Hari ini tanggal 3 jam 08:26 wib.
Entahlah saya selalu merasa mengalami kegembiraan yang berbeda atau semacam pencerahan atau semacam ada sesuatu yang berubah atau ada jawaban dari sekian banyak liukan dari labirin yang terlewati. Saya selalu merasa bergairah di bulan Juni, ada semacam energi yang berlebih walaupun barangkali tak ada yang melihat itu secara kasat mata ataupun sebaliknya. Tapi saya merasakan ada sesuatu yang disalurkan entah dari mana menuju tiap … emm… sesuatu dari bagian hidup saya.

Sambil makan bubur ayam dua rebuan adalah hal ternikmat jadi makanan pagi sambil nongkrong di depan jendela rumah di ledeng. Kepulan teh manis siap disruput menambah kehangatan udara asri pohon-pohon kelapa yang jauh dari keramaian kota (dan jembaran-jembatan layang itu … UUUUGGHHHH!!!! Bikin begidik). Jangan membayangkan yang berbau kepulan knalpot dan panasnya Bandung akibat berkurangnya pepohonan dan rakusnya perokoan yang melumpuhkan beberapa perekonomian rakyat kecil. Sekarang mah nikmati dulu pagi yang cihuy ini.

Hmmm, barangkali juga saya merasa bulan Juni adalah bulan saya. Bulan yang menjadi “reminder” akan garis putaran yang sekian kali terlewati. Keterbiasaan akan labirin yang sekian kali ditempuh dari sekian kali waktu yang membuatku belajar atau sama sekali tak belajar. Menjengkelkan namun menyenangkan pula.

Bulan ini juga saya akan keluar dari lingkungan yang membuatku banyak berubah dalam memandang perspektif hidup. Baik yang positif maupun yang negatif. Banyak nilai hidup didapati dari orang-orang yang berasal dari ragam latar belakang berbeda, orang-orang yang tak kenal sama sekali menjadi kenal dan menjadi apa-apa atau tak menjadi apa-apa. Dhini, Tarlen, Bram, Pam, Niken, Gustaff, Reina, Tanto, Dhani, Liony, Mirna, dua guk-guk yang bikin saya tak takut lagi sama guk-guk: Billi dan Dante (HORE! hilang satu ketakutan), Teh Icha,seluruh teman-teman Tobucil (Toko Buku Kecil) dan Common Room, para pengunjung Tobucil dan Common Room. Ya, bulan depan aktivitas ima tak lagi diruang hijau itu, penuh buku, guk-guk-an dante dan billi, kopi sore, obrolan menuju malam, pesta-pesta ulang tahun dan semacamnya, riuh-rendah semangat teman-teman yang datang dalam kegiatan klab nulis, baca, jazz, origami, rajut, manik-manik, klab nonton dan event-event kesenian yang hangat dan Jl. Kiai Gede Utama yang sejuk dengan pepohonan yang rindang. Apa ini juga semacam “jawaban” bulan Juni untuk melakukan revolusi dari tiap titik kepulan mimpi yang kutabung lalu menguap entah kemana. Tak tahu juga. Eh, tapi bukankah kepulan itupun akan berubah menjadi awan lalu menetes pada bagian bentuk yang lain dan menjadi bagian yang akan menghidupkan bagian yang lain. Perputaran yang begitu masygul. Saya juga tidak tahu. Saya coba tuk pejamkan mata barang sejenak, entahlah barangkali ini adalah sebuah jalan hidup ima untuk melakukan revolusi dalam mengambil keputusan. Sebuah keputusan yang tak mudah dan perasaan yang bercampur baur tapi pada akhirnya saya harus merelakan yang lain dan menggapai dunia yang lain dengan penuh senyum dan bahagia.

Ya, saya akan melakukan revolusi beberapa hari lagi. Beberapa ratus hari kebelakang saya bergumul dengan buku dan debu-debunya dan beberapa hari kedepan saya akan bergumul dengan beras dan lebih konsen sama dunia perteateran. Ima akan berdagang beras, bukan saya tapi ini usaha ibuku yang akan dikelola oleh saya. Awalnya saya sempat ragu atas kemampuan saya untuk berdagang beras namun ternyata teman-temanku mendukung bisnis ini. Dhini, Pam, Tanto, Tarlen, bahkan Reina sepertinya bakal jadi pelangganku yang pertama untuk diantarkan berasnya tiap bulan, dan temannya Reinapun-Abdul akan mencoba untuk beli beras sekarung kalau datang ke Bandung. Tarlen bilang ke kakaknya tentang keputusanku keluar dari Tobucil dan kakaknya Tarlen bilang ingin di stok beras untuk jatah guru Farmasi UPI. Bukankan ini sebuah dukungan yang luar biasa. Pam bilang “moal miskin ma mun jualan beas mah, semua orang butuh beas jang dahar,” sadar tak sadar kalimat sederhana itu sangat membangkitkan semangat atas usaha yang akan dijalani ini.

Saya akan rindu Dhini atas kelakarnya yang hangat dan pendirian atas pemikirannya serta diskusi-diskusi teater yang “klop” banget sehingga memunculkan inspirasi atas pilihan saya untuk tetap berkarya di teater dan membuat saya dapat melihat persoalan pada perpektif yang berbeda. Saya akan rindu Tarlen atas beragam analisa pada beragam persoalan kecil maupun besar dan keberaniannya dalam menjalani jalan-jalan yang harus ditempuh untuk mencapai apa yang diinginkannya membuat saya berani mengungkapkan analisa atas beragam situasi. Saya akan rindu Pam atas komitmen dengan alasan yang jelas, sikap atas hidup yang berpendirian, terbuka atas perbedaan (saya berasa “ada” dihadapannya), menghargai siapapun yang ada didepan dia selama tak mengusik hidupnya, spiritnya pada hidup sehingga sikapnya yang membuat saya tak malu atas pilihan hidup saya. Saya akan rindu Niken atas kebebasannya berfikir dan kenyamannya dalam berbagi, kehangatannya dengan anak-anak, cerita-cerita yang riang seakan tak ada lelah dikamusnya, kecerdasannya dalam berfikir membuat saya ketagihan membaca blognya agar rileks disaat sumpek. Saya akan rindu Bram atas selera humornya yang asik banget walau kadang garing (kurang penghayatan kali hehe…), enak diajak berbagi, selalu manja dalam menghadapi persoalan namun itu bagian dari perjalanan dalam memecahkan persoalan, intens pada bidang yang dia suka, cepat menangkap “situasi” membuat saya berasa mempunyai adik. Saya akan rindu Tanto atas keramahannya dalam berkomunikasi pada siapapun dan terbuka pada sesuatu yang baru dan berbeda, sensitif/cepat tanggap pada segala sesuatu, menghargai pemikiran orang lain dan tak menghakimi sesuatu tanpa analisa terlebih dulu dan selalu belajar dari apapun dan siapapun yang membuat saya belajar banyak untuk mencoba sesuatu dengan terbuka. Saya akan rindu Dhani atas keliarannya berimajinasi pada karya dan kemungkinan pokok persoalan, terbuka pada segala kemungkinan membuat saya ringan dalam menghadapi beragam kemungkinan. Saya akan rindu Reina dan Gustaff atas sikap dari komitmen yang telah mereka jalin, terbuka pada apapun, siapapun, membuat orang lain untuk berfikir dan bersikap membuat saya rindu menunggu kebaruan apa lagi yang mengejutkan untuk kali ini. Saya akan rindu Liony atas kecepatannya berfikir, keceriaan, cepat menganalisa, ekspresif, semangat hidupnya membuat saya berfikir “ini orang hebat ya ga sedih-sedih” (hehe). Saya akan rindu Mirna atas kebisaan yang luar biasa, semangat, cerdas, selalu siap membukakan tangannya untuk pelukannya yang hangat ataupun sekedar mengeluarkan nafas yang sesak. Saya akan rindu Teh Icha yang memasakkan mie rebus atau mie goreng dan obrolan tentang anaknya yang susah untuk dibuat suka pada membaca. Ah, betapa indahnya kalian sehingga saya berasa kaya (hehe).

Ima juga akan merindukan Teh Venven, Arif, Adenita, Tumpal, Rani, Iit dan Suami, Ridi, Mas Niman, Iyuy, dan semua teman-teman yang ikut klabs atau sekedar datang dan pergi namun kalian semua tak terkira luar biasa yang selalu semangat menyebarkan “virus” akan kecintaan kalian pada kegiatan membaca, menulis, seni yang luar biasa!. Dan tentunya teman-teman yang pernah bertegur sapa atau pernah berbagai selama 2,5 tahun ini di Tobucil bahkan disana juga saya mendapatkan teman-teman yang luar biasa, selalu semangat semoga selalu menjadi inspirasi atas hidup dimanapun kalian berada. Disadari atau tidak disadari kalian semua selalu menjadi bahan perenungan atas langkah hidupku yang sedang dijalani dari tiap detik waktu yang terus berjalan.

Terima kasih untuk segalanya. Terima kasih dari hati ima yang paling dalam dan mohon maaf dengan sangat atas sifat dan sikap ima yang membuat hati kalian tidak ngeh atau sifat-sifat ima yang membuat kalian merasa tak nyaman dan terganggu. Mohon maaf atas segala kekurangan saya.

Kalian yang mempunyai sikap …”I’ll be miss all of u so much guys”…

Saya datang terlambat, mereka sedang membawakan lagu yang ketiga sampai akhirnya saya duduk paling depan karena agak tempat duduk memang hampir penuh dan sulit cari tempat duduk yang lebih leluasa. Akhirnya saya dan temanku mau saja duduk paling depan dan hatiku bersorak (:"eh... mereka begitu dekat ya..."). Sedikit kucoba tenangkan diri padahal pengen teriak-teriak, nyanyin-nyanyi dan sedikt menggerakan kaki dan bahu cuma sepertinya yang lain pada malu-malu (atau saya yang tak tahu karena duduk paling depan, nanti kesannya...curi adegan).
Jam 19.30 udara malam dago tak berasa dingin dan kaki ikut memainkan satu ketukan musik ke ketukan musik yang lain sambil memainkan dedaunan kering yang sengaja mereka buat sebagai artistik panggung Kopi Selasar gaya tapal kuda dengan tempat duduk batu yang meninggi. Sehingga dimanapun kamu duduk memang berasa dekat.
Mereka bertiga Bobby, Cristian, Adoy membawakan lagu di sesi pertama hanya diiringi gitar akustik yang dimainkan oleh tiga orang tersebut. Anehnya, sebetulnya beberapa menit saya duduk di kursi batu saya sama sekali tak sadar mereka hanya diiringi tiga buah gitar (saja) soalnya lantunannya begitu hidup, beragam dan ringan. Mereka begitu santai menghadapi penonton, ketika ada syair yang lupa sikap mereka membuat kita merasa nyaman-nyaman saja tak ada yang perlu pertanyakan justru jadi ikut tertawa-tawa. Penonton juga akhirnya jadi seakan terbawa ringan dan bisa diajak kerjasama saat ikut jadi koor dalam membawakan salah satu lagu mereka.
Dari satu musik ke musik yang lain berasa bedanya. Sesaat penonton terbawa ke suasana yang riang, ringan namun intropektif terhadap lingkunga yang ada disekitar kita.
Ya, sebuah musik-musik yang dekat dengan keseharian kita baik itu tentang jatuh cinta, binatang, bebintang, manusia dengan manusia namun nada yang mereka ciptakan mempunyai nuansa yang teramat beda. Bisa membuat kita berjingkrak-jingrak, menari, bahkan untuk melakukan meditasi (percaya deh!!!).
Kolaborasi Cozy Street Corner dengan WWF memang cocok banget. WWF merupakan organisasi lingkungan hidup dan peduli terhadap kegundulan (istilah Cristian) di hutan Kalimantan. Karena karya-karya Cozy Street Corner ramah sekali terhadap alam, coba simak beberapa lagu mampu menginformasikan "banyak hal" dengan syair-syair sederhana yang maknanya kuat dan dimainkan dengan alat-alat musik tradisi sehingga memunculkan nuansa yang beda.

Buat Cozy dan sabaraya-nyah, selamat atas konsernya yang sangat menyenangkan, sangat menyenangkan!!!

Salam "Penuh Dengan Cinta"