Sore dan tongeret mengikat rindu, di luar begitu sunyi. Terselip ketika tubuh, hati dan pikiranku di ruang di sudut kota. Sunyi yang sama, hangat yang sama, ruang dan waktu yang berbeda. Duduk di kelilingi buku, bata merah, kayu-kayu, kelompok-kelompok diskusi yang datang dan pergi. Tentang kata, tentang puisi, tentang musik, tentang cinta, tentang pertunjukan-pertunjukan kecil yang menumbuhkan hati.
Hari itu, belasan tahun lalu seperti muncul lagi selama 30 hari ini. Berlangsung saat saya (nekat) membuka warung kopi. Kopi, menulis dan menggambar dalam satu ruang. Pagi, siang, petang dan malam menjadi waktu yang menyenangkan. Ruang depan rumah selalu wangi kopi dan roti. Lelah tak lagi terasa, situasi ini menyembuhkan masa-masa ketika badai dan ombak yang kerap mendatangkan kecemasan dan ingatan yang dalam. Ditengah itu, saya semakin meyakini setiap kejadian adalah proses mengelola hati, menerangkan jiwa dan menghidupkan harap pada Pemilik Semesta.
Saya merasa, warung kopi ini memang sudah dirancang sepenuhnya oleh Maha Pembentuk Hidup. Ketika doa-doa selalu diterbangkan, bergerak bersama angin, menyatu dengan hujan, menyerap ke tanah lalu menyatu dengan berbagai unsur kehidupan. Pergerakan akar, urat-urat pohon, pertumbuhan daun, bunga, buah. Lalu burung, ulat, kupu-kupu bermain diantaranya. Tentram.
Mempelajari dasar pengetahuan tentang kopi pintunya dari jalan menulis. Sekitar pertengahan tahun 2016 saya kenal blogger kopi. Lalu ada kesempatan meliput sebuah sekolah seduh kopi kelas intrenasional di Bandung. Melalui proses ini, saya jadi belajar pengetahuan dasar kopi, mulai dari sejarah, perkebunannya hingga cara seduh kopi. Lalu saya juga dapat beberapa kesempatan meliput komikus yang membuat komik dengan cerita dasarnya kopi. Saya pun dapat lukisannya yang diulas dengan campuran kopi. Tidak sampai disitu, saya juga diajak untuk membuat workshop seduh kopi di beberapa caffee. Sebuah pergerakan budaya kopi yang menarik.
Namun kondisi suami yang kerap naik turun kondisi kesehatannya, cukup mempengaruhi kondisi fisik dan mental saya. Sehingga saya pun kena lambung (ada indikasi GERD) yang diakibatkan oleh psikosomatik. Beberapa kali keluar masuk rumah sakit untuk dirawat karena lambung, lalu saya pun memutuskan berhenti mempelajari dunia kopi, berhenti mengonsumsi dan berhenti latihan seduh kopi. Cukup mengecewakan karena saya sering harus melepaskan kegiatan (sesuai minat) karena keadaan atau permintaan orang tua. Proses tarik menarik ini sangat tidak mudah.
Mengingat tanggung jawab saya cukup banyak dan harus sehat, saya memilih berhenti dari dunia kopi. Meredakan diri dengan intens berobat, tetap menulis dan melakukan berbagai selfhealing. Seperti jalan kaki setiap pagi, yoga, menata emosi, menghindari pembicaraan negatif, fokus dengan sesuatu kegiatan yang produktif. Proses ini cukup lama, sekitar 2 tahun saya melalui pengobatan diri sambil merawat suami dan anak-anak yang masih kecil. Bersamaan dengan itu, mau tidak mau harus jadi kepala keluarga. Bukan berkesan heroik, tapi intinya, saat itu proses mempelajari kopi menjadi salah satu kegiatan yang membuat saya senang di tengah beban yang menumpuk. Begitu harus berhenti, kebahagiaan saya seperti diambil lagi dan lagi.
Pertengahan 2019 saya dinyatakan sembuh oleh dokter psikiatri. Meski begitu, saya tetap menjaga pola hidup. Hal yang terasa, hati menjadi lebih jernih dan lepas karena proses-proses memaafkan diri, orang lain dan keadaan. Saya mencoba terus berfikir ke depan, berdamai dengan keadaan saat ini dan masa lalu.
Begitu berdamai, banyak perkembangan yang menarik dari proses berkarya di tengah kondisi kesehatannya. Dia diajak keponakan untuk membuat kegiatan di YPK dan ikut terlibat kepanitiaan. Dia kembali mengurus desain dan bisa diajak brainstorming acara. Mulai acara Seniman Ngahiji, Flashmob Drawing, Pameran Flashmob Drawing dan Pameran Bergilir Jawa Barat. Sangat menyenangkan melihat pohon kembali berbuah setelah patah bertubi-tubi sejak Januari 2014.
Sekira sebulan lalu, saya dan suami datang ke acara pameran produk Jawa Barat di Gedung Sate. Saya datang kesana untuk menemui kakak senior kami semasa di teater Unisba. Beliau seorang lurah di Ciburial Garut. Di pameran tersebut selain mempromosikan desa wisatanya, dia bawa kopi dari hasil tani masyarakatnya. Berbagai cerita mengalir dari mulutnya dan kami diberi beberapa kantung kopi. Lalu dia bilang,”Buka warung kopi, Ma, kopi mah gampang.” Saat itu saya masih pesimis dengan keadaan saya, apalagi kalau bukan masalah modal dan tanggung jawab saya yang menumpuk.
Lalu, saya merunut berbagai kejadian dan menilai kemampuan yang saya punya. Semua peluang usaha ternyata mengerucut pada kopi. Semua tanda dan pengetahuan kopi saya dapat bertahun-tahun tanpa mengeluarkan uang melalui pintu blog/menulis. Allah begitu rapi mempertemukan saya dengan kopi dan lingkungannya.
Dengan modal seadanya, ilmu tentang kopi dan kecintaan pada kopi, akhirnya saya mulai membuat konsep dan mencatat segala kebutuhan warung kopi dari hulu ke hilir. Kalau menunggu modal yang cukup, tidak tahu kapan akan terwujud. Jadi, saya memanfaatkan dan memaksimalkan barang-barang yang ada. Tanpa meja bar yang standar tapi menggunakan rak buku, alat seduh yang ada.
Dengan sisa uang yang ada, saya manfaatkan untuk beli yang paling penting, seperti kompor. Benar-benar menggunakan alat yang ada. Meski akhirnya beli beberapa gelas dan pisin. Kursi pembeli masih menggunakan kursi meja teras yang ada dan sesekali pinjam kursi plastik milik teteh kalau ada yang beli rombongan.
Warung itu pun diwujudkan dalam satu ruang dengan studio gambar holisartist. Setengah jadi tempat seduh kopi, setengahnya lagi studio gambar suami. Ruang tamu yang tadinya beralih fungsi studio gambar dan ruang berkarya lainnya. Warung kopi ini rupanya melengkapi hati.
Warung itu pun diwujudkan dalam satu ruang dengan studio gambar holisartist. Setengah jadi tempat seduh kopi, setengahnya lagi studio gambar suami. Ruang tamu yang tadinya beralih fungsi studio gambar dan ruang berkarya lainnya. Warung kopi ini rupanya melengkapi hati.