Aku baru tahu ada istilah healthy bounderies, ternyata istilah ini sebuah ilmu hidup tentang melakukan batasan yang dibuat oleh seseorang untuk memastikan orang tersebut tetap merasa stabil secara mental dan emosional. Sementara itu, boundaries (batasan) menjelaskan tentang ruang atau jarak antara diri kita dengan orang lain agar tetap nyaman.
Tidak mudah menjaga keseimbangan diri sendiri ketika dinyatakan ada sesuatu yang berbahaya di tubuh sendiri. Dalam keadaan ada sesuatu yang tidak aman di dalam tubuh, kita perlu menjaga ketenangan pikiran dan hati. Saat itu mental pasti sedang tidak stabil, keadaan tidak mempercayai hasil tes, khawatir dan takut dalam menjalani pengobatan maupun menghadapi hasil akhirnya. Kepala dan hati saling beradu. Dalam kondisi ini perlu dikuatkan dari dalam.
Dengan hati tenang, kondisi fisik dan mental lebih mudah mengambil keputusan terbaik untuk menjalani pengobatan. Bahkan lebih dari itu tetap bisa menjalani aktifitas sehari-hari dengan semangat. Sebaliknya kalau kondisi tidak stabil, biasanya mental mudah terpengaruh, jadi mudah takut, cemas, tidak fokus dan tidak yakin dalam proses pengobatan.
Waktu dokter bedah membacakan hasil patologi, yang aku persiapkan adalah mental. Aku berbisik sama Allah kalau hasilnya jinak, itu harapanku. Tapi kalau hasilnya ganas, ini cara terbaik versi Allah. Karena tubuh, hati ini semua milik Allah. Intinya, aku ikut aja deh kehendak Allah. Lalu aku minta agar dilapangkan dadaku, pengobatannya tepat, sesuai dengan yang dibutuhkan, dimudahkan rezekinya, mudah prosesnya dan tidak merepotkan banyak orang. Karena tidak ada doa yang lemah, jadi aku minta sembuh, sehat, hidup manfaat dan dimudahkan segala prosesnya.
Ternyata hasil patologi menyatakan jenis tumornya ganas, yang artiya itu jenis kanker. Jadi saat itu aku menyiapkan beberapa lapis mental untuk repot bolak balik tes di rumah sakit, menjalani rangkaian antri dan ritmenya, mengikuti rangkaian pengobatan, merasakan naik turun kondisi fisik dan mental, menghadapi penilaian orang tentang orang sakit, dana untuk kebutuhan pengobatan.
Artinya aku harus menjalani situasi yang berulang: berobat, antri, rangkaian tes (tes darah, thorax, usg mammae, usg hati, jantung), siap mental menghadapi berbagai reaksi/respons orang-orang yang berbeda-beda.
Ketika kita sakit harus disadari kita akan mudah terpengaruh. Pasti banyak yang menaruh perhatian, banyak yang memberi masukan, pendapat, bahkan malah membahas sesuatu yang diluar kuasa kita. Tidak disadari kadang perhatian itu ada yang membuat jadi semangat, tapi ada juga malah membuat kita lemah. Bahkan beberapa perhatian bukanya menguatkan tapi malah membuat mental si sakit maupun yang merawatnya makin drop. Meskipun begitu, pada dasarnya orang-orang yang memberi pandangan itu sayang dan ingin menjaga kita
Mau tidak mau situasi ini akan ada aja, engga bisa disalahkan juga. Bisa makin ambrol kalau kita berharap orang berpikir apa yang kita mau. Terpenting jaga saja mental kita, pupuk, kendalikan sudut pandang kita tetap positif dan melihat dari sisi lain. Kenali dan pahami kondisi diri sendiri, kalau tidak kuat salah satu strateginya pikiran kita dialihkan pada hal lain, tidak usah diserap terlalu dalam.
Memang dalam kondisi seperti ini maunya orang mengerti dan bersikap seperti apa yang kita mau. Tapi berharap seperti itu tentu tidak mungkin bahkan hanya akan bertambah lelah lho. Karena sikap orang lain bukan dalam kendali kita. Persepsi kita sendiri yang harus dikendalikan dalam menghadapi berbagai tindakan dan opini orang lain.
Kadang-kadang menjelaskan keadaan kesehatan ke orang-orang bisa sekalian curhat, satu sisi senang mendapat perhatian, tapi kadang lelah juga menjelaskan tentang kondisi sakit berulang-ulang. Tentang apa yang dirasakan, apa penyebabnya, bagaimana awal ketahuannya. Kadang senang, kadang bingung juga karena membicarakan hal yang berat berulang. .
Jadi ketika aku mendapat penjelasan hasil patologi dari dokter bedah di rumah sakit, yang pertama aku persiapkan sikap dalam menghadapi situasi diri dan orang lain. Kepalaku langsung membaca diri dan berupaya agar sistem mental aku aman. Selama ini, aku ngerasa cukup menjalani mental yang ambruk berkali-kali, ketika menghadapi situasi lahir anak pertama, kemudian waktu suami sakit, pernah juga mengalami keuangan kritis, kemudian lanjut merawat Amih yang saat itu perlu perhatian lebih karena sudah tua. Diakhir-akhir merawat Amih, aku malah kena penyakit berat.
Kali ini aku merasa di tengah sawah yang sejuk, angin sesekali menyapa lembut. Aku rasa ini waktunya aku lebih santai menjalani apapun. Aku yang berperan mengendalikan segala pikiran dan hati dalam kondisiku saat ini. Aku harus mengelola hati agar menjalani apapun secara baik-baik saja, karena semua mahluk ada yang menjaga dengan caraNya. Semakin disadari bahwa kita tidak bisa mengendalikan situasi diluar diri seperti, tindakan orang lain, opini orang lain, reputasi, kesehatan, kekayaan, kondisi lahir, cuaca, wabah. Karena berharap pada diluar kendali diri akan sangat melelahkan. Ya, kesehatan aku tidak di bawah kendali aku, begitupun situasi keluarga aku: ibu, suami, anak-anak.
Pernah juga terbersit jangan-jangan Allah SWT menerima keinginan aku yang lalu untuk tidak panjang umur. Atau bisa jadi Allah sedang memastikan ulang dengan memberi sedikit ketakutan dengan dihadirkan kanker di dalam tubuhku. Karena saat itu aku sedang super gelisah merasakan betapa beratnya mengurus orang tua. Mungkin beberapa orang akan berpikir aku kurang sabar, tapi aku pikir aku cukup sabar kok cuma sesekali capek dan butuh bantuan aja. Tapi ya okelah, mungkin kurang sabar karena kurang ilmuNya, kurang mengelola diri.
Begitu aku kena penyakit kanker, yang terbayang justru wajah anak-anak aku yang masih tsanawiyah (setingkat SMP) sedang mondok di Pondok Pesantren. Sementara anak aku yang kedua masih kelas 5 SD. Mereka masih membutuhkan Ibu. Bukan berarti aku tidak percaya sama Allah ya yang menjaga mereka, toh aku juga hidupya dijamin sama Allah. Allah yang Pengasih –Penyayang Maha Tahu situasi apa yang terbaik bagi manusia agar hidup aku lebih baik. Aku tahu, pasti ada yang gak bener nih di hati aku, di pola pikir aku dalam menghadapi kelelahan-kelelahan yang berlapis ini.
Meskipun banyak pertanyaan di benak aku ke Allah, aku memutuskan berhenti bertanya lalu lebih fokus merasa yakin dan berpikir positif bahwa Allah punya rencana terbaik. Cukup bekal percaya sama yang menjadikan aku ada di hari ini dengan apapun keadaan aku saat ini adakah baik untukku dan keluargaku. Lalu sunatullah orang sakit ya berobat dan menjalani proses pengobatan pada ahlinya.
Sambil mengikuti proses pengobatan, alhamdulillah masih diberi waktu oleh Allah membagi pikiran dan hati aku untuk membersamai Amih (tahun lalu masih ada), suami dan kedua anak aku. Tetap menjalani rutinitas hari-hari dijalani se-biasa mungkin, menengok Aden ke pondok, lihat perkembangan berita terkini, nonton bareng sahabat, menggambar, ikut pameran di Raws Syndicate untuk Palestina, pameran di Sujiva dan banyak lagi.
Aku coba terus mengelola diri di bidang yang ingin aku pelajari di waktu dulu, lebih serius dan konsisten di bidang menulis dan menggambar, menghindari situasi yang membuat hati tertekan. Sekarang lebih berusaha mengukur kemampuan diri, karena yang tahu kondisi diri sendiri. Karena ternyata ada beberapa situasi masalah yang bisa kita biarkan nanti akan selesai sendiri. Begitupun ada juga beberapa situasi yang bisa kita selesaikan masalahnya.
Kalau muncul lagi rasa takut dan overthingking, coba ambil wudhu, mengaji, baca buku, dengar kajian di youtube-nya Kyai Nassarudir Umar, Dr. Fahruddin Faiz dan beberapa narasumber lain. Biar tetap sadar bahwa tubuh, hati, semua hidup setiap mahluk sudah tercatat rapi olah Allah SWT di Lauhful Mahfudz. Sementara ini aku masih terus mengeja pelan-pelan pelajaran yang dikasih sama Allah. Begitu healthy biunderies yang berusaha aku lakukan ketika menjadi survivor. Semoga Allah mampukan dan mudahkan urusan kita semua.
Ima