Selembar poster pertunjukan monolog berjudul “Inggit” ditulis oleh Ahda Imran yang disutradarai oleh Wawan Sofwan dan sebagai pemainya Happy Salma, tertempel lekat di dinding gang dekat rumah.  Garis grafis Pidi Baiq terlihat dramatis dan menyimpan banyak teka teki dan kesungguhan.  Saya tergerak untuk segera menghubungi tempat pemesanan tiket.  Harus segera, saya tahu saya akan mendapatkan sesuatu dari pertunjukan ini.

Siapa yang mengenal Inggit Garnasih?  Tidak banyak yang mengenalnya karena tidak ada sejarah yang menorehkan namanya di buku-buku sejarah, sayapun sedikit tahu dari ibu saya yang sudah sepuh.  Disana yang berkuasa, disana pula yang menguasai sejarah.  Warga Bandung hanya sedikit mengenal namanya dari daerah Ciateul yang disematkan namanya menjadi nama sebuah jalan. Jalan Inggit Garnasih. 

Hari itu tiba, 22 Desember bersamaan dengan hari ibu.  Siapa dan bagaimana Inggit seharusnya menjadi bagian dari pahlawan sejarah, perempuan yang mengantarkan Indonesia menuju gerbang kemerdekaan.  Kolaborasi kuat tiga orang berlatar belakang berbeda yaitu penulis, peramu dan pemain menjadikan monolog yang berdurasi 93 menit ini begitu memukau.  Saya, khususnya, tidak beranjak sedikitpun dari tempat duduk dan menikmati setiap tuturan kalimat, intonasi, gesture, permainan dramatis solo itu memikat. Menciptakan imajinasi bagi penonton dan ikut terobang ambing dalam setiap babaknya. 



Alur dimulai dari kisah cinta antara Bung Karno, Inggit dan Kang Sanusi, lalu berjalan pada pergerakan politik, situasi perlawanan pada pihak kolonialisme, Inggit yang selalu menemani dan ikut saat masa pembuangan yang berpindah-pindah.  Sampai titik cerita Inggit harus melepaskan Bung Karno ketika di akhir pembuangan di Bengkulu.  Disanalah pertemuan antara Fatmawati sebagai anak angkat pasangan Inggit dan Bung Karno dengan Bung Karno terjadi.  Bung Karno dan Fatmawati saling jatuh cinta dan akhirnya Inggit harus merelakannya di ujung kemerdekaan Negeri karena Inggit enggan di madu. 

Semua diceritakan dengan apik, sabar, tenang dan berenergi.  Beberapa moment sempat membuat seluruh tubuh saya merinding.  Adegan-adegan yang di bawakan secara minimalis, mampu membangun imajinasi sejarah, setting rumah, keramaian ruang diskusi di kediamannya, proses perjuangan Inggit dalam mendukung kekuatan Bung Karno. 

Untuk monolog yang sedemikian panjang adalah sebuah situasi yang berat.  Kebanyakan pertunjukan solo seperti itu hanya memakan waktu 20 menit saja sudah cukup.   Jika alur cerita tidak menarik dan aktornya tidak terolah dan tidak lihai memainkan tiga unsur penting seorang aktor yaitu sukma, tubuh, vokal bisa membuat penonton jenuh.  Namun saya sendiri merasa mendengarkan tuturan dongeng dengan berkarakter kuat.  Tak ada lagi sosok Happy Salma yang saya kenal sebagai artis televisi dan film.  Tapi saya melihat sosok Inggit dalam tubuhnya.  Energinya begitu kuat dan fisiknya stabil, tak ada penurunan emosi atau sekedar jeda karena kelelahan berakting. 

Menurut penulisnya, Ahda Imran, naskah monolog ini terdiri dari 30 halaman.  Dan Happy mampu menghafalkan naskah tersebut dalam waktu 4 (empat) hari dan bloking 4 (empat) hari.  Proses memakan waktu 2 minggu.  Bisa dibayangkan jika proses dilakukan selama 1 (satu) bulan, barangkali bisa lebih matang.  Walaupun dengan proses sesingkat itu beberapa adegan membuatku sering terbawa suasana.  Kematangan proses di panggung tidaklah main-main, karena pengolahan tiga unsur aktor bukanlah sulap.  Perlu dilatih dalam waktu yang cukup intens, konsisten dan disiplin tinggi.

Penonton yang datang membludak, entah Happy Salma atau tokoh Inggit yang ingin mereka kejar atau bahkan bisa jadi karena penulis maupun sutradaranya menjadi tujuan para penonton.  Pertunjukanpun dimulai, sang aktor berhasil membuat mata saya tidak berkedip sedikitpun.  Tapi Happy bisa menjadi magnet dalam menyampaikan sebuah sejarah penting negeri ini yang prosesnya dilupakan.  Sehingga terlau banyak dilukai dan dikhianati oleh para pemimpinya sendiri.  Terlalu banyak permainan politik yang justru merusak rakyat dan alamnya. 

Pada suatu titik, pertunjukan ini menyimpulkan bahwa sejarah haruslah selalu diingatkan.  Karena negeri ini sering dilanda penyakit lupa.  Termasuk saya, pada akhirnya tertarik untuk menelusuri kembali referensi tentang Inggit di website.  Negeri ini selalu melipat sejarah dan menyimpannya hingga busuk, sehingga banyak generasi yang lupa akan akarnya.

i.am.ima, Bandung, 24 Desember 2011

Hari Rabu (22 Desember 2011), Ibu-ibu doyan nulis (IIDN) berkunjung ke Head Office Brownies Amanda di Jl. Ranca Bolang No. 29 Bandung.  Saya semangat sekali untuk ikut, persyaratannya hanya mengirimkan testimony/tulisan satu halaman saja.  Pertama kali pengumuman dilemparkan di wall grup IIDN untuk acara ini, saya langsung membuat tulisan sesuai pengalaman.  Saat itu juga beres dan langsung di kirim ke email Indscript creative.

Hari yang ditunggupun tiba, kebetulan jarak rumah menuju Amanda memang cukup jauh.  Kalau banyak ngetem dan macet, akan memakan waktu 2 jam jadi saya me-nyubuh pergi dari rumah.  Ternyata jalanan cukup lancar dan saya datang terlalu cepat.  Tidak apalah, kalau begini tidak kehabisan bingisan (misi rahasia agar mendapat bingkisan hahahaaaa…) dan menyamankan diri dengan pergi ke mini market beli cemilan, minuman dan ikut ke toilet (misi yang sebenarnya).

Beberapa waktu kemudian, mulailah anggota IIDN satu persatu bermunculan.  Khas dan ceria.  Teh Irma dengan gembolanya, Teh Gya dengan beragam gembolanya, Teh Madu alias Honey, Teh Wulan, Teh Yayu dan makin banyak dan makin banyak lagi tentu ringkid dengan anak.  Seru!  Saya sengaja tak bawa anak, selain kasihan harus menempuh jarak yang jauh kebetulan suami tidak mengajar di hari tersebut. Jadi dia memberi kesempatan agar saya pergi sendiri saja dan dia dengan senang hati jaga anak.  Beruntung deh punya suami begini.

Acara dimulai, kebetulan empunya Brownies Amanda, Ibu Sumiwiludjeng, sedang datang ke Ranca Bolang dan kamipun disambut oleh beliau.  Ketika dia masuk, tersenyum lalu menyambut dengan suaranya yang berat dan lembut.  Terasa sekali orangnya sangat sederhana dan low profile.  Hati saya berbisik, “Suhanalloh” (Artinya: Maha suci Allah).  Sulit berkomentar yang lain-lain.

Setelah perkenalan, mulailah penuturan tentang sejarah dan proses pengelolaan Brownies Amanda dari bagian manajemen.  Dari awalnya brownies original hingga beragam rasa dan mulai berkembang pada beragam jenis usaha lainya seperti bus.  Anggota IIDN yang hadir mendengarkan dengan antusias, santai, ramai oleh pertanyaan dan dijawab dengan ramah. 

Selesai sesi pertanyaan, diakhir acara ada pengumuman 3 orang pemenang pemberi testimony.  Ini waktu yang ditunggu-tunggu dan cukup diharapkan karena hadiahnya uang lho.  Dari sekitar 50 orang yang datang dan pemberi testimony juara pertamanya Ima Rochmawati, yang kedua Irma dan yang ketiga Efy Fitriyah.  Ima? Hah?!!! Iya, saya yang menang, wiiiiiiih asli kejutan banget deh.  Asli kaget banget dan sama sekali tidak menyangka saudara-saudara.  Malu dan senang bercampur saat itu. Jurinya langsung dari pihak Amanda jadi tidak ada campur tangan indscript creative.  Senangnya tidak terkira deh, dan saya baru sadar, ini adalah hadiah (uang) pertama dari hasil menulis.  Huhuhuhuuuu…

Di satu pintu ini saya sadar, percayalah pada proses dan pencarian.  Pertemuan saya dengan IIDN memberi warna baru dan mengasah kembali sesuatu (bacanya gaya Syahrini) dalam diri yang belum tergali.  Saya beruntung sekali menemukan IIDN tentunya belajar banyak dari isi tulisan-tulisan mereka.  Karena kalian aku ada.  

Ini testimony yang dikirimkan untuk kunjungan ke Brownies Amanda: (cieeee... narsisun heheheee...)

Brownies Amanda dan saya

Menjelang lebaran, kami anak-anak Amih berencana membagi-bagi tugas mengirim jenis makanan yang akan disajikan untuk hari raya.  Beberapa kakak yang lain bawa makanan pokok, ada yang bawa ikan bumbu, sop buah, semur ayam, capcay, kerupuk, aqua gelas dan lain-lain.  Maklum kami keluarga super besar, ingin meringankan beban Amih yang harus menanggung makan saat kumpul sepulang shalat ied.  Kumpul keluarga seolah hajatan, jumlah keluarga kami hampir mencampai angka seratus padahal yang kumpul masih terhitung generasi anak-mantu-cucu-cicit.  Nah, sementara saya sendiri langsung memilih Brownies Amanda sebagai makanan camilan.  Alasannya sederhana, kesannya mewah, harga relatif terjangkau meskipun harus beli beberapa dus untuk memenuhi kuota hingga tak perlu merogoh saku terlalu dalam.  Selain itu, tentunya semua orang di rumah menyukai Brownies Amanda, suasana kumpulpun semakin terasa hangat dan lengkap.

Brownies Amanda selalu menjadi pilihan utama, terutama untuk acara-acara yang spesial.  Kadang-kadang saya sengaja beli untuk ngemil di rumah, menemani perut saya yang sering keroncongan.  Paling nikmat , sore hari dan malam saat begadang melahap setiap potongan brownies ditemani White Cofee panas.  Semangat dan energi barupun tumbuh, nyes… menenangkan.  Seketika membuat pekerjaan terasa lebih ringan dan menyenangkan.

Yah, siapa yang tidak tahu Brownies Amanda.  Diawal tahun 2000 Brownies yang diolah dengan cara di kukus merebak dan membuat kejutan untuk para pecinta kuliner.  Tentunya kejutan juga buat saya, biasanya brownies diolah dengan cara di oven sehingga teksturnya kering.  Namun Amanda menawarkan cita rasa yang berbeda.  Dikukus, teksturnya lembut, dan tidak enek.  Inovatif, khas masyarakat Bandung dan kreatif.
Suatu Selasa yang sejuk di daratan Bandung, saya datang ke sebuah acara Brandung (Babarengan ngabranding Bandung , arti: bersama-sama mem-branding Bandung) di Bandung Indah Plaza atau kami lebih mengenalnya dengan sebutan B.I.P.  ), acara ini di adakan oleh FDGI (Forum Desain Grafis Indonesia).  Kumpulan dosen DKV (Desain Komunikasi Visual)-Bandung diantaranya UNIKOM, UNIBI, Maranatha, UNPAS, ITB, Widyatama.  Mereka mengadakan pameran ide kreatif membuat tawaran brand desain pada produk UKM (Usaha Kecil Menengah).  Pameran berlangsung selama 6 (enam) hari, dipajang di lantai 2-4.  Pembukaan Br@ndung selain musik juga ada kuliah di mall.  Sebuah acara yang menarik dan bisa membuka wawasan pemilik UKM maupun orang-orang yang tertarik untuk membuat perubahan citra usahanya.  

Di facebook panitia Br@ndung, saya menemukan foto yang cantik:


Dua orang panitia sedang dikelilingi oleh wartawati dalam acara konferensi pers acara.  Semua wartawati itu berkerudung, sebuah pemandangan yang unik dan jarang terjadi.  Saya fikir, ini Bandung.  Betapa kerennya Bandung, karena disana banyak sekali orang-orang yang berikir terbuka.  Entah karena apa.  

Dalam pola fikir saya yang masih amburadul, pernah membahas tentang perempuan dalam kerudung, bisa diklik link ini http://matakubesar.blogspot.com/2011/03/perempuan-di-balik-kerudung.html.  Kebanyakan, terutama di awal tahun 90-an, sudut pandang seseorang pada perempuan berkerudung adalah kuno dan berpandangan sempit.  Tapi hal ini bisa jadi mungkin karena di masa lalu perempuan berkerudung di Indonesia masih dilarang untuk sekolah, kuliah dan bekerja, sehingga ruang gerak mereka terbatas oleh lingkungan itu sendiri.  Contoh kasus di tahun 1994-an, ada saat anak SMA negeri “X”(Sekolah Menengah Atas) tidak boleh masuk sekolah karena dia tiba-tiba datang dengan memakai kerudung.  Persis yang tengah terjadi di Prancis belakangan ini.  Mereka tidak boleh masuk ke gerbang kampus maupun bekerja di sebuah perusahaan karena mereka berkerudung.  Seolah-olah kerudung menjadi sebuah identitas menakutkan, terror, keras, terbatas.  Hal itu begitu kuat di benak kebanyakan orang terutama saat media begitu gencar mengangkat peperangan maupun “teroris”-nya  orang Islam.

Namun melihat foto diatas menggelitik pikiran, bahwa selama ini sudut pandang orang-oranglah yang salah.  Karena jiwa perempuan-perempuan itu teruslah hidup, terus bergerak, kreatif  dan menjadi bagian dari kehidupan sendiri bersamaan dengan keyakinannya.  Justru keterbatasan itu diciptakan oleh orang-orang yang disekeliling mereka.  Hidup adalah terus belajar, dari siapapun dari apapun, karena dengan begitu bisa membukakan jendela hidup yang sedemikian luas.  Bersaman dengan waktu dan perkembanganya, saya malah semakin banyak menemukan perempuan berkerudung dengan beragam profesi, dan profesi ini saat dulu masih jarang bahkan tidak pernah ditemukan.  Seperti penulis, perupa, pemain teater, pembuat film, fotografer, supir transjakarta, pemilik usaha dan banyak lagi.  

Barangkali, inilah Bandung.  Kota yang tidak pernah berhenti membuka diri dan ramah pada apapun, tentu melalui proses pendewasaan yang tidak sebentar.  Sehingga membuka banyak peluang bagi siapapun, apapun agamanya, keyakinannya, terbuka peluang untuk terus berekspresi dan menunjukan jati dirinya.  Karena hidup itu memang beragam dan mengenali perbedaan.  Kenali hidupmu, fokus, konsisten dan teruslah bergerak sampai jantung berhenti.

i.am.ima. 17 Desember 2011
Hari ini tidak sengaja mendengar nasihat perkawinan Ibas-Aliya.  Acara akad nikah disiarkan langsung di beberapa televisi nasional.   Ibas adalah anak presiden Indonesia, Soesilo Bambang Yudhiyono sementara Aliya adalah anak dari Hatta Rajasa merupakan mentri menko perekonomian.  Disinyalir hubungan mereka disebut sebagai hubungan koalisi politik diikat olah sebuah pernikahan.  Itu hanya pendapat orang selewat yang senang membuat situasi tidak enak.  Kita tidak tahu kebenaranya, aku hanya tertarik pada nasihat pernikahan oleh Bapak. Prof. DR. Arief Rahman.  Dua kata, sangat indah.  Kalimat-kalimatnya membuka sudut pandang tentang pernikahan yang selalu menekankan kewajiban perempuan.  Seolah ketika menikah, budaya patriarki  menjadi sebuah kebenaran.  Bahwa perempuan itu mempunyai tiga fungsi “sumur”, “dapur” dan “kasur”.


Sementara beliau menuturkan bahwa,
”Pernikahan adalah saling mencintai.  Makna saling disini sangatlah dalam.”  
Kalimat ini bersemayam hangat dalam hatiku, seperti daun jatuh di rantingnya lalu perlahan jatuh perlahan tertahan oleh alunan angin, menyatu sempurna dengan tanah berbalutkan sisa hujan.

Saat kalimat ini dengan lembut dituturkan melalui suaranya yang terasa semakin tua, membuka semua ingatan tentang perempuan-perempuan yang sering diperlakukan “tidak ramah” oleh pasanganya menghujam tepat dijantungku.  Masih ingat setiap kalimat yang meluncur dari mulut mereka dengan nada gamang, getir dan selalu merasa bersalah.  Seolah perempuan itu tidak mempunyai otak dan bebas diperlakukan apa saja.   Diperlakukan kasar, bisa diperintah seenak perut, maksudnya menegur tapi dengan cara yang kasar/amarah, bahkan ada yang sampai dipukul hingga babak belur.  Aku tidak mengerti apa yang ada dalam otak mereka, aneh, apa bagi mereka perempuan itu hanya seonggok daging?

Tapi aku hanya bisa terdiam di depan layar monitor, ditemani hangat air mata yang ikut mengintip pada setiap sisi kelopak mataku tanpa bisa melakukan apapun.  Tak ada yang lain.
 
i.am.ima, 24 November 2011

Akhirnya bisa menikmati satu bukunya Nawal el-Saadawi sampai tuntas.  Ini buku lama yang terbit tahun 1999 dan dicetak oleh Bentang pada bulan September 2003. Setiap lembar halaman mengajak pembaca jalan-jalan mengenal dan memahami budaya sebuah desa pertanian jauh dari kemakmuran, adalah Kafr Thin di Mesir.  Nawal menggambarkan dengan sabar setiap gerak, sudut-sudut dramatis dan situasi, membuat kita mampu benyoroti sebuah kondisi pemahaman budaya, tradisi, agama dan situasi di desa tersebut. 

Novel ini mampu membuat mengerti peta hubungan antara ahli agama, kepala keamanan, guru-si penyembuh yang dijadikan alat kontrol masyarakat.  Ditangan Umdah sang kepala desa, kekuatan ini dikelola untuk mendapatkan kepentingan dan kekuasaan absolute.  Umdah telah menjadi tuhan bagi kroninya, dalih hukum agama diolah dan disalah tafsirkan untuk menekan wawasan masyarakat yang sempit.  Hukum dimanfaatkan untuk menghasut dan menutupi aib.   Semua kata-kata dan tindak tanduk mereka seolah mejadi panutan dan kebenaran mutlak. 

Ini kisah tentang satu keluarga petani miskin yang hancur berantakan karena hasrat Umdah yang terpesona dan ingin memiliki kecantikan Zainab.  Seorang perempuan muda yang baru saja akil baliq, anak bungsu Kurfawi juga merupakan keponakan Zakiyah.  Selain Zainab, Nafisah kakaknya Zainab pernah diambil paksa agar bisa bekerja di rumah Umdah.  Seolah-olah bahwa menolak bekerja di penguasa terhormat Umdah adalah sebuah penghinaan, lalu terjadilah pemaksaan dengan menciptakan dalil bahwa perempuan jika tidak akan patuh pada perintah kecuali jika dipukul, begitu yang trelontar dari kepala keamanan.  Nafisah menjadi pekerja di rumah Umdah lalu menghilang tanpa jejak.  Nasib Zainab pun sama, tidak jauh dari permainan kekuasaan kepala desa dan kroninya.

Permainan hukum kekuasaan berjiwa rakus selalu menjadi alat untuk mendapatkan keinginan sang penguasa.  Dengan memanfaatkan kepintaran, kekuasaan, kekayaan untuk membodohi dan menekan keluguan masyarakatnya.  Upaya dilakukan sampai mengutus kepala keamanan, kesehatan dan ahli agama.  Bahwa seorang anak perempuan haruslah mengabdi dan tidak punya hak menentukan pilihan hidupnya.  Semua dalih agama dipermainkan dan ditafsirkan sekehendak perut untuk mendapatkan keinginan dan perlindungan dari segala aib diri.

Inti masalah dapat dilihat pada bab 15, hubungan kekuasaan yang di-tuhan-kan, pembodohan pada masyarakat sehingga menciptakan pola pikir sosial yang salah kaprah.  Dalam cerita ini bisa terbaca tumbuhnya sifat jiwa-jiwa masyarakat keras dan sakit akibat tekanan sosial dan ekonomi yang begitu hebat.  Berikut sepotong dialog menarik antara Guru Hamzawi dan istrinya: “… Mereka takut kepada Umdah karena dialah yang menggenggam rezeki mereka.  Umdah mampu menghentikan sesuap kehidupan mereka… Ia orang besar. Tidak takut pada Allah dan tidak takut pada siapapun.  Dia dapat menganiaya dan memenjarakan orang tanpa alasan yang benar, bahkan membunuh orang-orang yang tak berdosa”.  Dari dialog ini, dapat terlihat segala unsur persoalan yang tumbuh berkembang di Desa Kafr Than.  Memanfaatkan segala cara dan mengolah segala hukum untuk menciptakan sebuah pembenaran.  
(Edisi ngabodor, ceunah)
Hmmm… sebulan ini engga tahu berapa kali beli sandal.  Murah sih kadang beli yang Rp. 7000, Rp. 13.000, bahkan beli di emperan gasibu berharga Rp 10.000.  Lama-lama ima jadi ahli harga sandal capit.  Dari jenis yang enak dipakai sampai yang engga enak dipakai.  Tapi ga pernah sampai rusak karena belum rusak udah hilang, hohoooo.  Kok bisa hilang ya.  Sebetulnya bukan hilang tapi sandal itu dipinjam, dipakai tanpa ijin.  Seolah ada keperluan yang sangat penting sampe sulit untuk minta ijin.  Harganya memang murah meriah, tapi kalau sering-sering beli rasanya enek juga.  Kalau sehari-hari cuma beli sandal aja sih gapapa, tapi kebutuhan yang lain kan banyak.

Kok Bisa? Hmmm…

Ima tinggal di rumah Amih.  Orang tua? Ya, rumah orang tua.  Memalukan? Hmmm… kadang-kadang malu, kadang-kadang engga.  Lha, kalau ima pergi dari rumah ini pasti Amih bersedih hati dan muncul perasaan yang dramatis, “Maeunya indungna boga kosan, anakna ngekos. Ieu teh imah nu ima, terus nu saha atuh.  Geus ari ima rek indit mah, Amih mah rek nyieun imah di Banjaran weh jeung Bi Sanah. Diditu mah loba dulul nu ngaku Amih.” (Artinya: masa ibunya punya kosan, anaknya ngekos.  Ini rumah punya Ima juga, lalu punya siapa dong.  Udah, kalau Ima mau pergi, Amih mau bikin rumah di Banjaran ditemani Bi Sanah.  Disana banyak saudara yang nerima Amih).  Sambil ngelirik ke Bi Sanah dan Bi Sanah pun bak penolong juga penjaga majikanya bertutur sangat lembut bak penjilat. 
Paling engga enak kalau ada yang nanya tentang tempat tinggal Ima dan diakhiri dengan kalimat

“… oooh, jadi ima di rumah yang itu.” Diiringi raut muka yang engga enak banget.  Atau perasaanku saja (diberi nada yah baca yang ini). 

Meskipun begitu, Ima si bungsu yang baik hati ini mengurungkan niatnya untuk pisah rumah, berbaik hati tinggal bersama Amih dan keponakannya dibawah satu atap, seolah-olah menemani dan mengurus Amih di usianya yang renta (Hahaaaa… wadux!!! ).   Padahal sih meskipun Amih sudah tua, tapi Amih termasuk orang tua yang seger, sangat mengurus dirinya sendiri dan masih selalu merasa bertanggung jawab pada anak-anaknya meskipun mereka semua sudah berkeluarga dan tinggal di rumah yang terpisah.  Yah, Amih emang sudah tua, udah masuk kepala 8, tapi beliau ibu yang kuat.  I love u amih, tapi Amih sering merasa ima tidak mempunyai perasaan begitu.  Stop bicara hati.  Ima mau bicara tentang sandal, ko bisa sandal sering hilang di rumah ini.


Satu hal kebiasaan di rumah ini dari dulu sekali adalah rasa memiliki yang tinggi.  Hoooooh… masih belum ngerti?  Yah, di rumah ini, seolah-olah punya brand yang kuat:  apapun yang ada di rumah ini adalah milik Amih, kepunyaan Amih adalah milik bersama.  Hehehee…  Dari gelas, piring, sendok, tipi, karpet, kasur, pisau, panci, kaos kaki, sabun mandi dan tentunya sandal, kalau kita engga apik umurnya engga pernah lama dan anehnya engga pernah ada jejaknya.  Kadang-kadang setelah dicari-cari eh ada di rumah slaah satu kakak saya atau bahakan ada di rumah tetangga.  Heran? Hehhe… ga heran lagi.  Ima udah mengerti dengan kondisi begini, kecuali kalau sedang PMS, siap-siap kepala bertanduk dan gigi bertaring meskipun cuma yang hilang sendok. (nguap dulu..)

Suatu hari, di pagi yang ceria saya beli sandal (lagi).
“Ayah, saya ima beli sandal di ****mart, harganya murmer tapi enak dipake.”  Dengan bangga saya perlihatkan sandal plastik warna merah marun.
“Tulis nama di sandalnya, entar hilang lagi.” Begitu suamiku bersabda.  Ima ambil spidol besar dan menuliskan nama berikut petuah-petuah diatas sandal.  Ini tulisannya:
Di sandal yang kiri “Ini punya IMA Kece.”  Sebelahnya “Sandal buat ke WC biar rumah bersih”.
Lumayan jelas dan memikat.  Semoga tidak ada yang pundung dan kalau mau pinjem setidaknya bilang dulu.  Lumayan, dari sejak pembelian sandal cukup awet dan menemani setiap langkahku ke wc kadang ke warung dan ke wc kembali, hehe.  Setelah dipakai di WC, sandal selalu disimpan ceria didekat kamar, kadang disimpan dibawah lemari baju kamar, atau di belakang pintu biar aman, bahkan sengaja diselipkan dibelakang kursi.  Sebuah perjuangan yang tulus untuk sepasang sandal dan keamanannya.  Suatu hari, sandal itu di simpan di dekat wc setelah melakukan aktifitas pagi.  Seperti biasa beberes, dan bergelut di dunia maya.  Saya lupa menyimpan sandal di tempat biasa, dan sudah diduga padahal tidak lama sandal itu disimpan di dekat wc, benda itu sudah beralih tempat entah kemana.  Saya pun menerawang mengingat lembaran isi dompet yang terkuras buat ongkos angkot harus dialihkan kembali untuk beli sandal. 

Bingung deh harus gimana, terlalu banyak yang hilir mudik jadi engga tahu siapa yang pakai.  Kalau sekali waktu ketahuan siapa yang pakai, trus dikasih tahu harus ijin dulu, aduh itu pundug-nya ga kuaaaat, bikin hati merasa bersalah.  Akhirnya, memilih untuk memaklumi dan diam aja, dan kembali mencukil isi celengan buat beli sandal….  Lagi, lagi, lagi dan lagi.
Tadi pagi sedang melakukan rutinitas pagi dan memandang sandal capit yang saya pakai. Tiba-tiba kepikiran buat bikin sandal.  Tapi di tali sandal itu ada tulisan, semacam tag-line dari merek sendal: “Sendal khusus untuk wc” atau “sandal khusus di rumah”, “ijin dulu kalau mau pinjem”.  Eh, dipikir-pikir lucu juga bikin sandal yang seperti ini. Belum ada kan di dunia perniagaan bangsa dan Negara kita tercinta.  Hmmm…. Rupiah…. Rupiah…. Tiba-tiba mesin hitung uang merayu hatiku yang galau….galau… galau…

SEMANGAT’S! 
Beberapa hari yang lalu ada ajakan mengirim card to post di sebuah blog cardtopost.  Kebetulan ajakan berkirim card to post ini dijadikan momen berkirim card to post oleh salamatahari di hari ulang tahunya ke-2  tanggal 16 November ini.  Wuah, saya senang sekali karena beberapa pekan lalu saya pernah posting di facebook tentang ajakan korespondesi secara manual.  Banyak yang komentar dan beberapa banyak yang ingin terlibat, tapi sampai hari ini belum ada satu orangpun yang mengirimkan surat.  Sedih juga.  Tapi akhirnya ada blog card to post ini bikin saya bersemangat lagi.  Hore!!! Akhirnya menemukan orang-orang memiliki minat yang sama.  Jadi jangan pernah me-reject keinginan kamu meskipun hal itu lucu dan tidak mungkin.


Nah, berangkat dari ajakan itu, saya daftar dulu di cardtopost, tidak lama kemudian mereka bakal mengirimkan alamat yang dituju.  Lalu saya buka lagi file foto-foto dari beragam tempat, waktu, acara, saya pengen membuat card to post sendiri nih ceritanya.  Ternyata lumayan juga koleksi foto iseng berbahagia bisa di publikasikan.  Foto itu di edit dan diolah jadi post to card sama suami.  Hasilnya? BAGUSSSSSS!! tengkyu pisan!  Kemarin desain bikinan suami di print, tadinya card to post itu dikirim kemarin (Hari Selasa) berharap bisa sampai hari rabu, soalnya salamatari terbitnya setiap hari Kamis.  Yah, sudah lah, mudah-mudahan sore bisa sampai.  Mulai deh menulis di lembaran itu, saya gagap lagi.  Bingung mau menulis seperti apa dan harus bagaimana.  Sampai salah menuliskan beberapa huruf, salah menulis alamat dan bingung dimana menuliskan si pengirim dan ganti kartu beberapa kali hehe.  Gugup deh harus bagaimana.  Sampai berdiskusi dulu dengan suami, card to post ini harus pakai plastik atau tidak. Ah, akhirnya memutuskan untuk cuek aja, toh sudah terwakili oleh visual yang (menurut saya) keren pisan! Hehe…

Saudara-saudara sebangsa se-tanah air ada berita yang tidak enak.  Tadi pagi saya buru-buru datang ke kantor pos yang jaraknya tidak jauh dari rumah.  Penjaga itu bilang kalau post itu meskipun perangkonya Rp. 10.000 sampainya tetap 3 hari kemudian.  Kecuali ingin sampai besok harus pakai paket kilat, lagian harganya tidak terlalu mahal.  Tapi ternyata tidak memakai perangko jadi hanya di cap pos saja.  Kecewa sih, sebetulnya keinginan saya ada perangko yang tertempel disitu.  Tapi ya sudah lah, yang penting besok bisa sampai.  Akhirnya saya tahu setelah bertahun-tahun tidak mengirim surat, kalau memakai perangko keterimanya 3 hari walaupun sa-kota.  Gagap lagi karena merasa harus berhubungan kembali dengan cara pengiriman manual.  

Transaksipun selesai, saya cerita sama petugas kalau ini program berkirim card to post yang dilakuin oleh orang-orang yang suka berkirim surat.  Mereka,mpenjaga itu senang mendengar tuturan saya.  Tadinya, ketika lihat alamat yang dituju sebetulnya masih satu daerah, bahkan sangat dekat.  Tapi sensasinya rasanya kurang kalau tidak di kirim oleh petugas pos. Heheh…

Yah, sekarang saya kembali gugup lagi, menunggu penerima meng-upload post to card yang saya kirimkan.  Sampai tidak yah? Rusak tidak yah?  Semoga sampai dan petugas pos bersedia mengirimkan sendiri card to post ini tanpa melalui prosedur, jadi hari ini juga bisa sampai. 
Bacanya sambil dengerin lagu ini yah... Real love dari The Beatles yang menemani setiap perjalanan hidup saya hehe..



 Suatu  sore yang hangat, kami jalan-jalan ke UPI (Universitas Pendidikan Indonesia) berdua saja bareng Devdan-anakku yang masih balita.  Dia sangat suka jalan-jalan, barangkali menurun dari sifat mama dan ayahnya.  Taman UPI adalah tempat favorit kami untuk melepaskan penat, selain banyak pohon dan kolam ikan, jaraknya tidak begitu jauh.  Selain menikmati taman, saya suka menikmati bangunan tuanya.  Ada Villa ISOLA atau Amih sering menyebutnya dengan nama Gedung Bareti.  Dulu gedung perkuliahannya juga unik karena bentuknya masih sisa peninggalan masa lalu.

Saya jadi lucu sendiri, UPI atau dulu kita mengenal IKIP adalah tempat bermain yang menyenangkan.  Saya termasuk anak yang balantrak*, naik pohon, loncat-loncat di pohon pagar sampai pohon pagar itu lempes, mengambil ikan di kolam sampai di teriakin satpam dan paling ekstrim di dekat Villa Isola terdapat tanjakan.  Tanjakan itu kurang memiliki kemiringan 45 dengan ketinggian hmmm… mungkin 10 meter.  Saya bersama teman-teman selalu memanfaatkan tempat ini untuk berseluncur.  Betapa bebas dan bahagianya dunia!!! Ah, rasanya baru kemarin, masa lalu terasa sekejap mata.  Dulu waktu masih kecil, rasanya kami sudah termasuk manusia yang paling besar.  Sekarang setelah bertubuh besar, berusia berlipat-lipat, seolah diingatkan kembali bahwa saya pernah menjadi anak sekecil Devdan.  Wooow…

Jadi ingat kalimat bijaknya M. Iqbal “Manusia dilahirkan untuk melewati satu demi satu tahap dalam kehidupanya.”  Sekarang inilah saya, giliran saya menjadi orang tua.  Tidak sesulit yang kita fikirkan tapi juga tidak semudah yang kita fikirkan.  Jadi kumaha ieu teh? Yah pokonya gitu lah… selama kita berfikir dan mensugestikan diri bahwa punya buntut itu tidak serumit yang difikirkan, jalani aja dan pas ada masalah cari solusinya di buku, tabloid, diskusi sama teman yang berfikir terbuka yah setidaknya setiap hari tidak menjadi rutinitas tapi lebih beragam dan berwarna.

It’ a real love… kata Jhon Lennon mah.  My son and my husband are my real love… bisa berbagi kebahagiaan, kesenangan, kesedihan, kelelahan, rahasia, frustasi, kebingungan, daaaaaan banyak lagi termasuk marah-marah hehheeee…  

Sore selalu datang dengan beragam cuaca, bisa menjadi menyenangkan bisa sebaliknya tergantung gimana menyikapinya.  Seperti datangnya Devdan ditengah-tengah kami, anak kecil yang mungil, senang berceloteh, senang naik angkot, jalan-jalan, susah makan, suka nangis yang ekstrim, dan tentunya masih ngeces.  Setiap hari kami selalu belajar darinya, otak kami selalu dibuat untuk selalu berfikir setiap ada kebaruan darinya.  Eh, dia pernah makan diatas karpet dengan lutut kaki nekuk ke atas, kaya orang yang lagi makan di warteg gitu sambil tangannya memasukan makanan.  Nikmat dan bebas.  Kaget, lucu ngeliat dia posisinya tampak dewasa, saya fikir niru siapa.  Lalu saya lihat posisi duduk saya, iya benar, gue banget.  Sering tidak sadar saya melakukan posisi duduk seperti itu dan ditiru dengan sempurna.   Termasuk gaya makanya sup atau minum air teh yang selalu diseruput dan berbunyi “slurp”  yang mirip ayahnya.  Ayahnya selalu menampik, “Ih, siapa yang ngajarin makanya kaya gitu.”  Hmmm… Buah tidak akan jatuh jauh dari pohonnya, begitu katanya.


Hidup itu seperti merajut.  Membuat dasar pola rantai, mengambil benang, mengeluarkan, ambil benang, setelah kokoh siap dirajut dengan beragam kode.   Jika hitungan salah maka akan kelihatan tidak simetris, dibongkar lagi atau diteruskan.  Jika malas menyelesaikan tidak akan terlihat hasil akhirnya, namun jika dituntaskan hati akan terasa puas dan hati akan senang apapun bentuk akhirnya.  Ibarat merajut, hidup itu mengaitkan benang satu demi satu sesuai kode rajutan dan menyelesaikannya hingga bentuk akhir yang diinginkan sesuai pola.  Masalah hasil akhir produknya seperti apa, itu bagian dari proses masing-masing orang dalam melatih keahliannya.

 Ada kegembiraan, kejenuhan, bosan, monoton, semangat yang tiada henti, ada jiwa yang terkait saat kita telah menembus titik kesulitan.   Pada akhirnya kita bisa mengatakan bahwa hidup itu mudah karena kita mempelajari, tahu, mempraktekan kode-kode yang tersusun dalam hidup.  Saat kita bisa merangkaikan beragam kode dan menyusunnya, menyelesaikan tiap titik pertemuan kode maka hasil akhir hidup bisa kita kunyah diluar dugaan.  Terasa lebih baik atau mengecewakan, tergantung kesungguhan masing-masing.

Hidup tidak henti dari pembelajaran, ada nilai-nilai hidup yang tidak didapatkan dari bangku sekolah.  Karena banyak sekali teori hidup yang seringkali kita sendiri yang menemukanya.  Ini persoalan keyakinan.  Karena bisa jadi kita terlalu keras kepala untuk di beri tahu.  Mata dan hati kita terlalu sempit untuk menampung pengetahuan yang demikian banyak tapi saking banyaknya atau merasa paling benar, seringkali kita merasa telah menampung semua pengetahuan dan merasa paling tahu akan segala hal.  

Jangan mengatakan kita sudah terlalu tua atau lelah untuk mempelajari sesuatu, karena pengetahuan wajib kita pelajari hingga berhenti bernafas.  Begitupan, jangan mengatakan terlalu muda untuk mempelajari dan memulai sesuatu, karena setiap detik hidup sangatlah berarti.  Seperti dalam Al Qur’an (Al-Kahfi:109) seolah membuat kita merenung bahwa ilmu kita tak lebih dari setetes air di samudera.  Jadi buat apa kita merasa paling mengetahui ditengah kehidupan yang beragam dan selalu ada kejutan.

Persembahan untuk pagi 
Ima. 16 Nopember 2011