Survey lokasi berkemah di Gunung Putri Lembang
Survey lokasi berkemah di Gunung Putri Lembang


Menuju Lembang

Saya dan teman-teman berencana mau berkemah di alam. Karena rata-rata kami sudah berkeluarga, pengennya ngajak keluarga juga. Seru, kan. Kami cari lokasi yang dekat dan ramah anak. Maunya cari lokasi yang tidak terlalu jauh dari Bandung kota, jadi bayangan kami langsung ke Lembang.

Untuk sampai ke Lembang cukup ditempuh 15 menit dari terminal Ledeng, apalagi kalau pakai mobil sendiri. Hasil survey di internet, memang ada beberapa titik tempat berkemah tapi kebanyakan glamping. Beberapa tempat kemping yang kami temukan di internet diantaranya: Pine Forest Camp, Ciwangun Indah Camp, Taman Hutan Jayagiri, Taman Wisata Alam Gunung Putri Lembang.

Untuk memastikan lokasi di Lembang, teman kami-Iskandar- memutuskan langsung datang ke Bandung dari Cibinong. Saya dan suami ikut survey juga, soalnya bisa sekalian jalan-jalan. Kebetulan teman saya ini bawa mobil sendiri dan anaknya yang seumuran Aden. Aden juga terlihat girang waktu saya cerita kalau Om Iskandar mau ke Bandung dan menginap di rumah sambil ajak Lafie-anaknya. 

Suasana di Gunung Putri Lembang
Suasana di Gunung Putri Lembang

Menuju Gunung Putri

Anak-anak semangat waktu kami bilang mau ajak mereka survey ke Lembang, yang agak ragu-ragu itu Bayan. Dia senang jalan-jalan tapi engga senang ketika harus naik mobil. Dia anaknya engga kuat naik mobil soalnya mudah mabuk. Jadi begitu naik mobil, dia berusaha tidur dipangkuan.

Kami berangkat jam 08.00 wib dari Ledeng untuk menghindari macet yang biasa terjadi di hari Minggu. Tapi kali ini keadaan berbeda, meskipun hari Minggu suasana jalanan ke arah Lembang (Jl. Setiabudhi) lancar sekali.

Tujuan pertama yang dicari yaitu Jayagiri. Begitu sampai di daerah Lembang atas (mendekati Cikole), rupanya aplikasi google map di handphone saya entah bagaimana error. Begitu sampai di Lembang kota, aplikasi google map ganti pakai handphone Ayah. Rupanya titik yang dituju (Jayagiri) sudah kelewat, jadi kami balik lagi. Titik di google map menunjukan belok kanan, jalan menanjak, lebar jalan kecil, agak rusak dan melewati belokan tajam. Begitu sampai ternyata bukan perkemahan Jayagiri, tapi Gunung Putri.

Rupanya kalau tidak nyasar, untuk sampai ke Gunung Putri ini tidak terlalu jauh. Dari arah Lembang itu ada Masjid Raya, tak jauh dari masjid ada pertigaan ke Maribaya (lurus), ke arah kanan ada pasar Lembang, kalau ke kiri menuju Cikole. Saya tinggal belok kiri, tak jauh dari pertigaan ada plang kecil bertuliskan Gunung Putri. Dari sana kita menyusur jalan sampai mentok, disitulah lokasi Gunung Putri atau lokasi wisata Geger Bintang Matahari Gunung Putri. 



Begitu sampai akan kita dapati posko kecil dan tempat parkir kendaraan. Di sebelah kiri berjajar kios-kios yang menyediakan kebutuhan makanan maupun kebutuhan kemping. Masuk ke lokasi untuk kemping per orang harus bayar Rp. 17.500, karena kami hanya survey jadi dikenai biaya Rp 10.000 saja.

Rupanya tempat berkemah di Gunung Putri cukup unik, kita disuguhi lokasi yang miring namun ada bagian-bagian datar untuk bikin tenda. Tidak ada tanah yang lapang luas, cenderung berudak. Jalanan terus naik nyaris 40 derajat. Untuk sampai ke atas mengikuti tangga maupun jalan setapak, namun tangganya masih berupa tanah. 

Jalan menanjak di perkemahan Gunung Putri.
Jalan menanjak di perkemahan Gunung Putri.

Pengunjung yang berkemah maupun treking disuguhi pemandangan yang menarik, kita seperti berada di negeri di atas awan. Suguhan disekitar gunung pepohonan pinus yang menyusun rapi, gunung-gunung berderet menghiasi kota disekitaran, sore hari akan ditentramkan dengan matahari tenggelam. Pagi itu, kehidupan tampak bening diketinggian. 

Suasana perkemahan di alam terbuka
Suasana perkemahan.


Di beberapa lokasi, diberi tempat duduk, balkon dari bambu, sehingga kita bisa foto-foto dengan latar pemandangan alam. Suasana di perkemahan Gunung Putri sudah agak rame, mungkin karena waktu itu hari Minggu banyak yang berkemah. Banyak pecinta alam yang baru turun gunung, tengah membuat sarapan, ada yang duduk-dudk di ayunan, foto-foto. Tempatnya sudah dikelola dengan cukup baik. Ada beberapa warung, tempat parkir kendaraan dan toilet. Tapi saya agak khawatir kalau berkemah disana sambil bawa anak-anak kecil. Karena kurang bisa leluasa berlarian mengingat lokasinya yang miring. 

Kalau orang-orang dewasa yang kemping bakal menarik, pemandangan dan suasana alamnya masih asri, terjaga. Disana ada beberapa lokasi yang bisa jadi tujuan wisata dan tempat kemping, diantaranya Bunker Belanda dan Jepang, Puncak Tugu dan Camping Ground.

Baru beberapa meter ke atas saja, pemandangan kota Lembang sudah kelihatan. Kebayang kalau kami melihatnya saat malam, pasti seperti kunang-kunang. Indah. Saat itu pun, pagi-pagi, pemandangan kota terlihat jernih dan indah. Batas ujung pandangan berjajar beragam gunung.

Tentang Cikole dan Jayagiri

Selesai survey Gunung Putri, kami lanjut atau tepatnya kembali lagi ke Cikole. Dari Gunung Putri ke Ciikole cukup ditempuh sekitar 10 menit saja dari Gunung Putri. Begitu turun gunung dan sampai di jalan utama, kami ambil ke arah utara untuk tiba ke Cikole. Disana ada titik perkemahan yang dikelola dengan inovatif. Nama lokasinya yaitu Cikole Jayagiri Resort. 

Perkemahan glamping di Cikole Jayagiri Resort.
Perkemahan glamping di Cikole Jayagiri Resort.


Tempat Camping disana ada 2 pilihan fasilitas kemping. Pilihan pertama kita bisa sewa hanya tempatnya saja, dengan begitu kita bisa bawa tenda sendiri tapi tidak boleh bawa makanan dari luar. Semua makanan disediakan dengan beberapa pilihat paket. Pilihan kedua, kita tinggal bawa badan. Disana sudah sediakan tenda lengkap dengan isinya berupa kasur dan kebutuhan kemping lainnya. 

Perkemahan glamping di Cikole Jayagiri Resort.
Perkemahan glamping di Cikole Jayagiri Resort.


Lokasinya asik, pepohonan pinus rimbun kiri kanan, jalan setapak sudah dirapikan dengan pavin block, ada lampu-lampu lampion menghiasi suasana perkemahanan. Di depan perkemahan disediakan kursi santai dan tempat membuat api unggun. Romantis, deh. Kalau dari sisi lokasi dan fasilitas, saya rasa sangat asik dan menarik. Cocok buat keluarga yang ingin menikmati alam terbuka tapi ramah anak-anak. Apalagi buat kita-kita yang bukan profesional sebagai penjelajah alam.



Tak jauh dari Cikole Jayagiri Resort ada tempat untuk berkemah juga, tapi lokasi tenda terlalu dekat dengan jalan besar. Hanya dibatasi oleh tumbuhan pagar dan pepohonan. Suasana alam agak terganggu dengan mesin mobil yang lewat dari jalan raya. Memang sih pemandangan jalan raya-nya tidak kelihatan, tapi suaranya tetap ada dan membuat kita terjaga. Saya fikir masih kurang nyaman buat berkemah bareng-bareng. Sebetulnya tempat itu sudah dikelola dengan menarik, ada tempat bermain anak-anak, warung-warung dan tempat duduk-duduk. Sayangnya tempat untuk menikmati alam masih kurang pas meskipun masih banyak pepohonan. 

Toilet di perkemahan Cikole.

Karena masih penasaran, kami pun kembali ke pusat kota Lembang mencari lokasi Jayagiri. Dari Cikole kami balik lagi ke arah Pasar Lembang dan balik arah menuju Masjid Raya. Sebelum Masjid Raya ada jalan belok ke kiri, banyak tukang ojek dan ada tulisan jalan Jayagiri. Dari jalan utama hanya menempuh beberapa menit saja tiba di hutan Jayagiri. Dari gerbang utama pepohonan menjulang sangat tinggi, disambut dengan plang bertuliskan “Selamat Datang di Jayagiri”.

Rupanya, untuk berkemah di lokasi ini harus menempuh sekitar 2 jam jalan kaki. Mobil tidak boleh masuk, harus parkir di depan. Sebenarnya lokasi itu menarik buat orang-orang yang sudah biasa/profesional yang berkemah. Jadi kalau sampai bawa anak-anak kayanya kurang cocok. Tempat kemping yang kami survey semuanya menarik, tapi ada beberapa berbagai pertimbangan, tempatnya cocok tapi anggaran kurang sesuai, ada yang anggarannya pas tapi lokasinya kurang cocok buat anak-anak. Jadi memutuskan untuk survey kembali, selain tujuan utama kami mempererat hubungan pertemanan dan mengenalkan suasana alam ke anak-anak juga mempertimbangan kenyamanan dan keamanan anak-anak.
Menikmati Kecantikan Wajah Baru Sarinah 



Kalau jalan-jalan ke Jalan Braga, sudut yang paling saya ingat adalah gedung Sarinah. Saat itu gedung ini masih berupa pertokoan barang-barang lokal, kaya seni dengan polesan modern. Lama terbengkalai, bahkan sempat banyak ilalang di dalamnya, kini gedung ini pun telah berubah rupa menjadi De Braga By Artotel. Lebih cantik dan mencuri banyak mata. 




Braga tahun 1970-1980-an merupakan pusat pertokoan yang bergengsi. Meskipun tahun 2000-an bukan pertokoan yang jadi incaran masyarakat, Braga mempunyai nilai romatisme yang tinggi. Saking menariknya lokasi ini, sekitar tahun 2004-2005 selalu diadakan Braga Art Festival di setiap akhir tahun.

Saya ingat betul karena di tengah jalan gedung Sarinah ini, saya pernah performing art diajak teman mahasiswa Seni Rupa ITB sekitar tahun 2005 dalam rangka meramaikan Braga Festival. Acaranya di sepanjang Jalan Braga, sehingga akses kendaraan bermotor kesana ditutup.



De Braga By Artotel

Meskipun hotel ini namanya De Braga By Artotel, bangunan asli dan nama Sarinah di muka gedung tersebut tetap dipelihara. Seperti yang kita tahu, nama Sarinah ini dicanangkan oleh Soekarno. Font nama untuk branding nama Sarinah ini merupakan tulisan tangan presiden kita yang pertama. Langkah ini dilakukan karena bangunan Sarinah merupakan cagar budaya, dulu bekas toko busana ternama Onderling Belang zaman kolonial. 




Kini meskipun Gedung Sarinah ini menjadi 14 lantai terdiri dari 112 kamar, perpaduan arsitektur modern dua zaman ini menjadi daya pikat yang unik. Di bagian lobi hotel De Braga akan kita dapati baju batik, aksesoris, camilan khas lokal yang diminati oleh para pelancong mancanegara. Sudut ini merupakan toko Sarinah, De Braga tetap menyediakan ruang khusus Sarinah sebagai bentuk apresiasi. 



Menginap di hotel ini menarik juga, dengan bintang 5 kita bisa menikmati banyak destinasi wisata yang lagi happening di Bandung. Tak hanya itu, banyak lokasi kuliner yang bisa dijajaki di seputaran Jalan Braga, Jalan Asia Afrika, Balai Kota, Jalan Merdeka bahkan lokasi yang cukup dekat ke Pasar Baru dan Stasiun Kereta Bandung.

Hotel ini seperti identitas Kota Bandung itu sendiri, sebagai kota seni dan kota pepohonan. Hotel De Braga By Artotel memiliki konsep yang sama. Yaitu botanical and art. 


Rasa yang sama ketika melihat dari muka, tapi begitu masuk kita akan menikmati suasana hotel dengan rasa galeri. Kiri kanan mural, instalasi, lukisan, art photografi dan hampir tiap ruang direspons dengan karya seni kontemporer yang keren. 






Hotel yang dirancang serius yang mengedepankan pendekatan seni dan ramah lingkungan. Kesan yang didapat tidak secara visual bangunan saja, tapi semua yang bekerja di hotel menggunakan seragam yang casual, dinamis dan berkesan relax.


Di lantai 3 kita akan mendapati ruang restoran dengan polesan cita rasa seni yang hangat dan menceriakan. Warna kursi biru toska dan orange. Dinding pun dipoles dengan mural yang unik. Tadinya saya fikir mural yang di dinding ini wall paper, ternyata dibuat manual oleh seniman dengan hasil kurasi yang matang. Hasilnya keren, saya jadi khawatir kalau-kalau ada anak-anak yang iseng coret-coret dindingnya. Karena mural di setiap dindingnya punya nilai seni yang tinggi. Seniman yang terlibat membuat mural di setiap kamar De Braga By Artotel diantaranya: Argya Dyaksa, Erwin Windu Pranata, Riandy Karuniawan, Radhinal Indra, Elfandiary, dan Agugn. Semua karya itu melewati kurasi terlebih dulu. 





Rupanya, mural ini tidak hanya di dinding restoran De Braga saja. Di setiap kamar terdapat mural dengan desain yang berbeda-beda. Saya sulit membayangkan, bagaimana para seniman ini membuat 112 karya berbeda-beda di masing-masing kamar dengan kurasi dan cita rasa yang bisa diterima oleh orang-orang yang menginapnya.



Waw! Setiap penginap dia tidak hanya menikmati kenyamanan beristirahat. Tapi bisa menikmati karya seni di dalam dan keindahan pemandangan bangunan kota dengan arsitektur zaman kolonial. Pandangan dan hati kita akan dipikat oleh berbagai unsur. Di dalam kamar dan di luar jendela.




Hotel Kontemplatif Untuk Berkarya

Mendengar kata Braga semua ingatan dibawa ke suasana yang klasik. Cukup jalan kaki di trotoar, kiri kanan dimanjakan dengan suasana unik. Jalanan utama tidak terlalu padat, ada wangi-wangi roti yang menyeruak di beberapa sudut jalan, kiri kanan bangunan khas kolonial.

Seorang sejarahwan pernah bilang,”Di Bandung ini ada banyak sekali peninggalan sejarah zaman kolonial, Kota Bandung itu serupa galeri besar. Banyak cerita ditiap sudutnya.”

Seperti di seputaran Braga saja, kita akan dapati Gedung Majestic yang merupakan tempat pertunjukan pada zamannya. Jalan sedikit ke arah utara, ada Toko Roti Sumber Hidangan, Cafe peninggalan Belanda, Gedung Gas, Braga City Walk. Jalan ke arah timur De Braga Artotel, ada Jalan Asia Afrika terdapat Gedung Asia Afrika atau Gedung Merdeka, Masjid Agung, museum penjara Soekarno dan Cikapundung tempat kuliner dan pelapak buku-buku bekas. 





Dengan suasana seperti itu, boleh ya saya mengatakan bahwa lokasi hotel ini cocok untuk berkarya. Entah untuk mencari inspirasi dalam berkarya, apapun itu bentuknya. Kalau kita mulai butuh udara segar, kita tinggal turun dan jalan kaki menelusuri trotoar Braga. Menikmati segelas kopi ataupun teh dengan roti hangat di Starbucks bekas gedung Kimia Farma atau di Kopi Toko Buku Djawa di sebelah utara.

Kalau kita menginap disini, lebih mempersingkat waktu untuk menikmati Bandung tapi banyak hal yang bisa kita dapat dari pusaran kota. Sisa waktu di hotel ini bisa digunakan untuk berkarya di hotel.



Menu Breakfast di De Braga 





Breakfast di Resto De Braga seperti makan di halaman belakang rumah. Karena selain menyediakan tempat makan di dalam ruangan, ada area luar tanpa atap. Kamu akan mendapati meja taman, alas rumput sintetis dan pemandangan gedung-gedung klasik di ketinggian. Pemandangan pagi itu manjakan ruang hangat dan akrab. Diantara wangi makanan, langgit cerah, menyusup tawa dan cerita ringan.



Menu breakfast yang disajikan oleh De Braga pilihannya banyak sekali. Makanan utama disediakan mulai dari makanan lokal hingga makanan khas mancanegara. Banyaknya pilihan ini tentu saja karena untuk memenuhi kebutuhan dan selera pengunjung. Kalau makanan enak, tentu akan menjadi momen yang berkesan di catatan perjalanan. 





Menu special yang membedakan resto de Braga yaitu di setiap weekend menyediakan nasi tumpeng di hari Sabtu dan Awug beserta jajanan pasar di hari Minggu. Kemudian tim resto de Braga memutarkan menu ini ke setiap meja. Semua pengunjung bisa mencicipi dan mengambil tumpeng yang dibawa oleh tim.

Mulai dari minuman, kita akan diberikan beberapa pilihan yang memahami beragam pengunjungnya. Untuk penyuka kopi, ada kopi dengan yang diolah dengan mesin khusus mulai dari bentuk biji. Lalu ada minuman yang punya gaya hidup sehat, restoran menyediakan minuman jus buah, infuse water, air mineral dan tentu saja teh lengkap dengan gula dan cream.

Kemudian makanan berat, ada menu utama nasi, jagung dan roti. Bahan dasar nasi ada beberapa pilihan, ada nasi goreng, nasi kuning lengkap dengan teman nasinya. Pilihannya banyak, jadi kita bisa ambil beberapa sesuai selera dan kebutuhan tubuh. Mulai olahan ayam, sayur, ikan, kerupuk lengkap dengan beragam pilihan sambal. Kadang memang perut orang kita lebih suka langsung makan berat seperti nasi dan pilihan teman nasinya.

Tak hanya itu, beberapa orang juga lebih suka bubur untuk memenuhi kebutuhan aktivitas paginya. Bubur ini lengkap dengan ayam suwir, kacang dan kelengkapan lain dengan rasa yang pas.



Untuk memenuhi kebutuhan lidah mancanegara, hotel menyediakan pilihan jenis olahan tepung dalam bentuk roti dan donat. Ada roti dengan gandum yang banyak, roti biasa, croissaint, dilengkapi dengan pilihan selai yang disesuaikan dengan selera. Rupanya selai-selai yang disediakan oleh hotel merupakan bikinan sendiri atau home made. Pantas saja rasanya berbeda dari yang biasa saya beli di supermarket.

Pilihan breakfast pun ada 2 pilihan cereal dan susu segar sebagai campuran. Semangkuk cereal, susu dan omelet akan pas diperut dan bisa mengembalikan kebugaran tubuh.

Tak hanya itu, ada salad dengan pilihan saus dan minyak zaitun untuk melengkapi sayur segar. Sosis dan kacang merah yang lezat dan terasa nyaman di perut. 





Paling enak sambil ngobrol sambil cemal-cemil, di resto ini tidak hanya menyediakan pastry tapi ada cemilan lokal seperti ali agrem, putri noong, lapis, dll. 





Jadi, breakfast di De Braga By Artotel enak-enak dan berusaha memenuhi kebutuhan selera pengunjungnya. Waktu makan paginya pun cukup lama, dari jam 06.30-10.30 WIB. Jadi kalau yang suka berenang kita bisa berenang pagi dulu, selesai mandi bisa lanjut makan.



One Stop Destination

Bisa dibilang, hotel ini merupakan destinasi hotel yang memenuhi berbagai pilihan rasa Bandung. Mulai dari kebutuhan istirahat, menikmati karya seni, mencari jajanan khas Bandung, menyusuri bangunan bersejarah, belanja, mencari spot instagramable khas Bandung, bahkan buat yang suka bersepeda kita disedikan sepeda untuk keliling-keliling.




Bagi yang pernah menginap disini bisa mendapatkan pengalaman kunjungan menarik di Kota Bandung.  Dengan lokasi yang strategis, cita rasa art dan botanical, De Braga By Artotel melengkapi kebutuhan pengunjungnya.  


***
Info:
De Braga By Artotel
Jl. Braga No. 10 Bandung
Telp. +62 22 86016100


Judulnya seolah-olah banget, ya. Padahal kami liburan di kota Pandeglang dan Bandung saja. Ke Pandeglang pun, itu dalam rangka menengok Bunde (Nenek) dan menembus rasa kangen anak-anak, karena terakhir ke sana itu waktu Lebaran. Nah, liburan di Bandung, ya, karena kami tinggalnya di Bandung dan stok dana menipis. Hahaaa!

Kali ini liburan di Pandeglang hanya 2 hari, tidak juga ke pantai. Biasanya kalau ke Pandeglang bisa seminggu bahkan lebih lalu main ke pantai. Disana banyak pantai masih bersih, tidak terlalu banyak pengunjung meski kurang dikelola dengan baik sama pemerintah setempat atau warga lokal. Jadi liburan kali ini banyak menghabiskan waktu di rumah dan manfaatin keseruan di seputar Bandung.

Meskipun di Pandeglang hanya sebentar, kami cukup menikmatinya. Apalagi kalau bukan makan gegemblong bikinan Bunde di pagi hari, mencecap kopi seduhan suami dan siangnya metik kelapa langsung minum air kelapa dibatoknya. Katanya, kalau metik buah kelapa jangan lebih dari jam 12.00 siang, karena rasanya jadi tawar. Kalau di Bandung namanya dawegan, makan daging kelapa langsung di tempatnya.




Pergi berlibur ini keinginan anak-anak, apalagi kalau bukan minum air kelapa, metikin domdoman (sunda: rumput ilalang) dan menikmati perjalanan jauh memakai bis. Kebetulan, kali ini Ayahnya anak-anak sudah berangkat lebih dulu ke Pandeglang karena harus melatih anak-anak santri proses membuat mural.



Tentang Gegemblong

Gegemblong ini dibuat dari beras ketan yang dicampur dengan kelapa parut, lalu dikukus. Setelah matang dalam keadaan panas ditumbuk sampai lebut lalu dibentuk. Baru deh di potong-potong untuk seterusnya bisa digoreng atau dibakar. Enaknya, gegemblong ini dicocol ke semur daging. Tapi anak-anak senangnya mencocol gegemblong ke gula. Saya sendiri senang tambul makan gegemblongnya. Soalnya kalau di Bandung jenis makanan ini namanya ulen, biasa saya makan tanpa apapun atau diseling dengan gorengan. Nah beda di Pandeglang beda juga di Bandung, kalau di Bandung nama camilan gegemblong atau gemblong bentuknya lonjong lalu dilapis gula merah. Ini enak juga. 



Nah, Bunde ini hobi masak. Dari urusan bikin keripik pisang sampai beragam camilan lokal. Bikin kripik pisangnya juga sangat banyak, soalnya bahan bakunya tinggal petik di kebun. Sudah dimasak, kering dan dingin, biasanya kripik itu dimasukan ke dalam plastik bening ukuran setengah. Kalau ada saudara dan anak-anaknya datang ke rumah. Kami selalu dibawakan paket oleh-oleh bikinan Bunde, diantaranya, keripik pisang dan gegemblong. Nah kalau sedang panen pisang tanduk, kami pun disuruh bawa juga sekalipun sekitar 4-5 buah. Tapi pisang tanduknya besar-besar. Jadi walaupun cuma 2 buah, bisa jadi sepiring pisang goreng yang enak buat camilan pagi atau sore. 

Saya pernah diajak buat bikin gegemblong, bikinnya lumayan telaten dan menguras keringat. Terutama pas menumbuk nasi ketan dalam keadaan panas-panas. Tapi hasilnya menggembirakan, mungkin karena bikinan sendiri. Rasanya seneng aja. Hahahaaa...

Gegemblong ini semacam menu wajib kalau di rumah Bunde, ada aja. Kadang kalau anak-anak susah makan, kami gorengkan gegemblong saja udah aman. Anak-anak senang!



Tentang Mural di Pesantren Darul Iman 

Awalnya beberapa santri senang menggambar di dinding sekolah pada jam santri harus tidur. Lalu para pengurus pesantren mencari solusi untuk para santri yang melakukan kesalahan ini. Tercetuslah upaya melakukan workshop dan membuat mural di dinding lapang. Setidaknya denga mengikuti workshop itu santri dapat pengetahuan mural itu ada ilmunya, dan mural bukanlah vandal.

Ayah berangkat ke Pandeglang selama beberapa hari sebelum libur sekolah. Diharapkan sebelum para santri ini libur, bisa mendapat pengarahan tentang mural. Setiap hari Ayah memberi kabar tentang proses kreatif bersama santri. Menarik! Rupanya mereka antusias.


Begitu saya dan anak-anak kesana, hasil karya mural sudah jadi. Cepat sekali. Dinding pembatas antara lapang pesantren dengan kebun tadinya kucel, agak kotor dan banyak rumput liar. Begitu mau di mural, para santri kerjasama memindahkan saung, menyapu lokasi dan membersihkannya dari lumput liar. Semua tampak semangat memperhatikan proses membuat konsep hingga mencat dasar semua dinding dengan warna putih. Kemudian membuat sketsa dan mencatnya dengan warna warni. Ayah hanya sebatas mentor, semua yang mengerjakan para santri. Hasilnya cantik sekali.

Tadinya sudut ini tidak hanya asri karena terdapat pohon besar, tapi karena ada mural, suasana disana jadi berdampak luas. Lingkungan jadi ikut trebawa bersih dan semua saling menjaga.



Tentang Liburan

Liburan kali ini tidak banyak rencana kecuali pergi ke Pandeglang. Sisanya dilakukan secara spontan di sekitar Bandung saja. “Yuk, ke Ciwalk”, “Yuk, ke KFC”, “Yuk, beli Pizza, “Yuk, ke Siliwangi walk”, “Yuk, ke UPI main sepeda,”,”Yuk, bikin pancake”, “Yuk,berenang.” Itu buat anak-anak sudah nyenengin. Setidaknya ada aktivitas yang bikin mereka tetap bergerak dan sesekali keluar rumah. 

Saya termasuk ibu-ibu yang males datang ke destinasi wisata saat liburan. Soalnya penuh orang jadi kurang bisa menikmati tempat wisata. Kebetulan saya tinggal di dekat lokasi wisata kaya Farm House, Floating Market, Tahu Tauhiid, makan jagung bakar di Lembang. Jadi saya rencanakan acara liburannya ke lokasi wisata nanti saja setelah liburan beres. Lagian, di seputar jalan ke arah Lembang itu engga ada yang lancar, macet bangeeeed. Jadi liburan yang paling indah di Bandung itu, enaknya di rumah saja. Kalaupun harus pergi mending pagi-pagi banget dan jam 10.00 wib sudah ada di rumah. Dimana-mana macet. Hahahaa! 

Kebetulan, banyak saudara yang masih kecil-kecil dan anak tetangga yang suka main ke rumah. Kadang saya dan anak-anak masak bersama bikin makanan dan minuman. Selesai cemal cemil, mereka main sesuka hati. Mulai dari menggambar, bikin origami, main games di hp, dll. Tapi khusus buat main game, saya batasi waktunya, walaupun muka anak saya suka jadi rada tidak bersahabat. Huhuuuu!

Ya, apapun bentuk liburannya, nikmati saja. Tergantung bagaimana kita menikmati prosesnya, tiap orang punya cara membuat suasana jadi menyenangkan dan istimewa. Eh, jangan lupa, sesuaikan juga dengan keadaan isi dompet kita. Lalu kemas sedemikin rupa agar suasana liburan tetap menyenangkan.

Selamat sekolah! :D