Buka puasa di awal bulan Ramadhan kali ini membuat saya teringat kembali maksud kalimatnya. Bisa benar bisa salah, kalau disambung-sambung ya nyambung saja. Saat seharian menunggu waktu buka, selera makan demikian tinggi nyaris sebagian fikiran terampas untuk merancang menu untuk berbuka. Waktu makan. Mengisi perut dan menciptakan rasa spesial. Apapun sepertinya bakal enak untuk dimakan. Keinginan untuk makan kolek, risoles, teh manis hangat, semur ayam, capcay, cilok, dan bayangan makanan-makanan yang mengepul lainnya. Seperti biasa akhirnya sayapun memasak dan menata sedemikian rupa untuk makan di waktu buka. Ada yang dimasak sendiri dan ada kiriman. Biasa, tinggal sama orang tua selalu ada kakak mengirim lauk, tajil dan mejapun kadang lebih penuh dari biasanya.
Saat waktu buka tiba, hati senang luar biasa. Dari minum air putih, makanan manis-manis dan dilengkapi nasi serta lauknya. Ingin seluruh makanan bisa masuk dan berjejal tapi rupanya tidak demikian, makan setelah puasa itu sedikit, kebanyakan malah jadi tidak enak perut. Ini yang menarik, seharian fikiran kita dipermainkan oleh bayangan rasa dilidah. Otak kreatif dan produktifitas seolah terpatahkan oleh rasa ini. Kegiatan menjadi sempit karena fikiran-fikiran ini membuat kita sibuk. “Kita ngapain ya biar waktu buka terasa lebih cepat.” Dan seterusnya. Waktupun terus berjalan, hari itu malah saya tidak banyak kegiatan, jelasnya banyak aktifitas rumah yang terabaikan dan sebagian lain tidak dikerjakan sampai tuntas. Kecuali memasak.
Hari berikutnya, saya mengurangi fikiran-fikiran makanan yang melemahkan selera "hidup" (beu'). Tapi mulai menikmati waktu masak yang hanya satu kali dalam sehari, artinya saya punya beberapa jam mempunyai waktu untuk merajut, menulis, beres-beres dan main sama anak. Meskipun sering pusing juga, tapi meskipun tampilan tampak berantakan (as always) hati lebih riang.
Saat waktu buka pun menjadi tidak terasa,
tiba-tiba saja adzan magrib berkumandang. Makanan terasa lebih nikmat,
satu meja dengan suami, anak dan Amih. Bahkan datang kakak ikut berbuka
di rumah. Ada kehangatan tersendiri, saat amih selalu merasa kesepian.
Waktu berbuka menjadi waktu yang ditunggu, selain makan tapi bisa kumpul
dengan keluarga.
Ada yang menarik. Saya berada di keluarga besar. Selain perawakan yang besar-besar, jumlah anggota keluarga kami banyak sekali. Saya anak bungsu dari 16 bersaudara. Meskipun kami banyakan, tapi Amih sering kesepian, merindukan anak-anaknya dan ajaibnya selalu ingat berapa hari, atau bahkan bulan belum bertemu muka dengan anak A, mantu A bahkan cucu A.
Ada yang menarik. Saya berada di keluarga besar. Selain perawakan yang besar-besar, jumlah anggota keluarga kami banyak sekali. Saya anak bungsu dari 16 bersaudara. Meskipun kami banyakan, tapi Amih sering kesepian, merindukan anak-anaknya dan ajaibnya selalu ingat berapa hari, atau bahkan bulan belum bertemu muka dengan anak A, mantu A bahkan cucu A.
Beberapa hari ini Amih senang, hari
pertama bisa makan-buka bersama keluarga A, hari berikutnya dengan keluarga B,
selanjutnya dengan keluarga C, dari yang kirim kolek sampai masakan lauk
pauknya. Ini tidak direncanakan tapi seolah situasi sudah diatur
sedemikian rupa. Jadi, beberapa hari ini Amih terlihat selalu menunggu
waktu buka dan menanti keluarga siapa yang akan datang. Kata Amih, inilah
nikmatnya punya anak banyak, bukan berapa banyak mereka kirim tapi bisa
bergantian datang menghangatkan kerinduan pada anak-mantu dan cucu-cicitnya.
Kalau begitu, saya akan menambahkan petuah Pak Dudi untuk nikmat versi Amih "Nikmat itu sejengkal tapi meluaskan kehangatan."
Happy
Friday, July 19, 2013Kalau begitu, saya akan menambahkan petuah Pak Dudi untuk nikmat versi Amih "Nikmat itu sejengkal tapi meluaskan kehangatan."