Saya kehilangan ide. Ia datang beramai-ramai sampai saya kehilangan kecekatan untuk mendapatkannya. Kepalaku diobrak-abrik sehingga tak tahu apa yang harus kususun. Semuanya riuh rendah menangkap segala keyakinanku, semuanya tarik menarik kearah kerentananku. Bagai ombak yang tengah mengamuk berada dalam ruangan yang teramat sempit, mengadu, mengaduk mencoba mencari perhatian.
Tiga hari kemarin, Sabtu, Minggu, Senin bahkan telah lama saya tak mengijak secara penuh di rumah. Bahkan saya pun tak tahu apa yang tengah saya perjuangkan. Namun tubuh ini terus… dan terus melakukannya. Apa ini semacam merusak diri sendiri? Saya tak tahu, saya tak sadar. Kebodohanku begini membabi buta. Keberadaanku yang semakin mentiada dalam kepastian yang tak juga hinggap diatas pundak harapku.

Keberadaanku bersama evi, teman-teman stuba bukan lagi zamanku. Ya, bukan lagi zamanku. Mereka tumbuh berduyun mencari kepastian atas ketiadakpastian yang terus mengigau diantara sel-sel keberadaan yang tak lelah mengiba.

Sejujurnya saya lelah. Tak ingin seintens ini menginjak dipelupuk mata ruang yang maha dahsyat itu, tapi ia terus menerus mengundang dengan harapan-harapannya. Aku yang begini kosong berdiri angkuh di jiwa-jiwa riang.

hei...Tertawa! Tertawalah!

Huff… aku lelah, ruangku bukan di sini lagi. Biarkan aku pergi sejenak. Biarkan aku pergi sejenak. Izinkan aku datang lagi dengan seribu undangan cinta atas karya-karyaku yang lain.

Sabtu, latihan jam 14.00 wib, rupanya evi tak juga datang. Saya sengaja datang ke kampus unisba dengan terlambat mengingat karakter evi yang suka telat. Saya datang ke stuba jam 15.00 wib. Dan saya ketinggalan HP. Disana ada Idola, Joe, Abu, Deni dengan seribu tawanya. Kami memutuskan pergi dari tempat itu jam 16.30 berikut menunggu kedatangan Tiwi yang ingin jumpa dengan kami. Akhirnya kami berempat segera beranjak dari sisa-sisa tawa ke kos-an Besti lalu kamu berbicang tentang seribu masalah yang tengah menengadah di ruang-ruang kecil STUBA kami. Tak lama, kami pun lelah dan segera beranjak ke UNPAS karena ada acara “100 hari meninggalnya Harry Roesli”.
Di unpas, seribu teriakan dan seribu gejolak menelantarkan kesepian. Saya lelah, sayapun tinggalkan Teh Sandra beserta anak-anaknya yang tengah menikmati kesepiannya diantara penonton unpas, kebetulan kami bertemu disana. Saya, Besti, Joe bergegas pergi setelah menikmati beberapa kerapuhan yang disampaikan. Kami menorehkan sejuta sejak-jeak impain yang entah tertinggal dimasa lalu kami atau masa depan kami.

Minggu, latihan di CCL dari jam 12.00 siang sampai jam 18.00 sore. Malamnya saya kabur dari rumah untuk mengejar impian ditengan musim hujan. Ya, ke stuba bertemu evi dan berjuta debat konsep panggung atas Besti dan Sugeng. Yanti menemaniku dengan titik-titik kepul rokoknya dan kehampaannya.
Pulang… aman!

Senin, Kabur di waktu subuh. Ya, ke STUBA dengan seribu harap dan konsep cinta atas pangggung. Evi datang terlambat akupun mengisi waktu dengan tidur sesaat dan membersihkan jejak-jejak kelaparan diruangan STUBA. Semangatku terkumpul kembali. Waktu datang dengan senyumnya seperti biasa… mengantarkanku ke Tobucil. Ya, dibalik pintu itu setumpuk program dan sesosok Tarlen dengan keberadaanya. Lama… seakan waktu memberi jarak diantara pintu ini ke pintu yang lain. Dan aku masih juga berdiri ditempat. Berjuta pintu, berjuta image, berjuta kata-kata, berjuta kerutan… tapi aku masih berdiri ditempat dibalik jeruji pintu kaca yang buram. Tak ada… disana aku tak menemukan sosokku yang tengah menengadah bahkan kaus kaki yang bau keringatpun tak tampak.

Pulang, dibawah reruntuhan awan yang menunjukkan jati dirinya sehingga aku tersadar untuk menggunakan jaket merah anti air yang telah bertahun-tahun menemani kesendirianku.

Pulang… ke rumah keduaku. Sesaat hanya sesaat tapi mampu membangunkan ketiadaanku

19.30 wib, izinkan aku untuk menyapa Tuhan sebentar. Izinkan aku membuka bajuku yang kotor lalu aku akan sesegera mungkin untuk turun ke impian-impian kita.

Hujan, kami tak lagi latihan bloking di CCL. Tawa selalu mengelegak di muka-muka malaikat kecil itu. Adakah aku memenuhi ruang kosong mereka ? Aku tak peduli. Sampai SMS datang dari sahabatku. Dewi.
Moment yang sulit untuk dilupakan adalah kebersamaanku yang telah terlewati beberapa tahun yang lalu bersama kawan-kawanku di STUBA*. Ingatan ini telah benar-benar merasuk dalam ruang jiwa yang tertanam rapat dengan teramat rapi. Mereka telah menjadi teman mimpi-mimpi indah dan mimpi-mimpi buruk dalam perputaran malam yang masih setia dengan kestabilannya. Salah satunya, karena merekalah saya dapat membuat hidup lebih bermakna. Entah terlahir dari beberapa pertengkaran, kesenangan, kesusahan dan atau kekonyolan-kekonyolan yang sering kami nikmati keberadaanya. Kami selalu merasa bahagia apapun kondisi yang tengah kami lewati. Sehingga sampai ada beberapa komunikasi yang tak perlu mengeluarkan banyak kata untuk saling memahami satu sama lain. Banyak sekali, bahkan terlalu banyak yang saya dapatkan dari STUBA atau saya kira nama ‘STUBA’ tak pantas untuk disandang karena kurang untuk menampung kapasitas yang telah ia berikan terhadap hidup saya. Ah, barangkali mungkin pernyataan ini tampak berlebihan. Barangkali sebaiknya saya tidak membicarakan STUBA tapi saya akan mengatakan bahwa STUBA adalah 200 ml air yang menyembuhkan kerongkongan dari dahaga. Lagi-lagi barangkali terlalu berlebihan. Baiklah, mereka adalah orang-orang terbaik yang pernah saya temukan tak hanya dalam berkarya namun kapasitas sebagai teman, sahabat, bahkan keluarga (hmm… lagi-lagi berlebihan).
Maaf, sebaiknya saya tak membicarakan STUBA tapi untuk yang terakhir kalinya saya akan mengatakan bahwa beberapa orang yang pernah datang dalam meramaikan hari-hari saya ini telah membuat saya tetap merasa berdiri diatas tanah. Saat saya berada pada situasi menunggu akan ketiadaan yang ingin dijumpai, mereka selalu siap menampung dan mengisinya dengan dendang sehingga kehampaan itu terasa lebih ringan. Hanya saja saat ini keterbatasan ruang dan waktu dengan mereka membuat pertemuan semakin berjarak sehingga kadang-kadang saya merasa kegigilan dan kehausan.
Barangkali saya adalah salah satu orang yang cukup beruntung atau barangkali juga bukan orang yang beruntung karena bersamaan dengan adanya pertemanan itu pula bertambah pula konflik yang muncul. Apakah konflik dalam bentuk beda visi, sosial, perbedaan-perbedaan dan hal yang paling berat adalah konflik batin ketika harus berpisah dari kebiasaan atas kebersamaan yang selalu kami lalui. Keduanya memberikan kegembiraan-kegembiraan dan juga kecemasan-kecemasan yang berkala. Rasa ketiadaan itu seakan harus ditelan mentah-mentah ketika kenyataan itu benar-benar dihadapkan pada perpisahan ruang tanpa kompromi. Karena hal yang paling membuatku lelah adalah harus menunggu pertemuan selanjutnya setelah pertemuan yang telah terjadi disebabkan intensitas waktu yang tak lagi menentu.
Tak hanya saya, setiap orang akan mengalami masa perjumpaan dengan sosok teman yang membuat kamu merasa begitu berarti. Rasanya tak ingin satu haripun disia-siakan untuk tidak berbagi dengan mereka. Namun kadang-kadang kekhawatiran akan lenyapnya mereka didepan mata kamu seringkali tak disadari saat ini. Ketika waktunya tiba, mereka mulai beralih peran menjadi sosok yang mempunyai beberapa tanggung jawab yang lain sampai akhirnya mau tak mau kamu harus kehilangan mereka. Dan hanya kenangan-kenangan itu yang membuat kamu dapat bertahan atas perjalanan yang tanpa kompromi terus berlangsung sampai batas waktu. Sisa-sisa musik, teh manis, kopi, bebauan, kepul rokok, kartu remi, sebungkus nasi dan sisa-sisa lainnya mengikuti satu demi satu tahap dalam kehidupan.
Kita tumbuh dewasa karena persoalan-persoalan yang mendukung pertumbuhan mental manusia itu sendiri sehingga laiknya menyantap makan pagi, siang dan malam. Namun tanpa kondisi yang tak diinginkan ini, saya kira otak kita tak akan terstimulus untuk melihat dinamika hidup secara terbuka. Semuanya telah diatur agar kita menjadi yang terbaik selama kita terus mencari dan merenungi keberadaan kita sebagai bagian dari kehidupan. Seperti yang disiratkan dalam novel berjudul tikungan karya Ahmad Munif bahwa Tuhan terlalu bijak untuk kita pahami kehendaknya kita harus pasrah, mandep, matep yang penting kalian sudah berusaha. Seperti pohon, ia tumbuh memperkuat setiap sel tubuh kita yang penuh ratapan. Tak hanya saya, kamupun tak mungkin tumbuh seperti sekarang ini tanpa orang-orang yang ada disekeliling kamu. Bukan hanya orang-orang yang mendukung saja, namun orang-orang yang menjadi sumber konflikpun merupakan bagian yang dapat memperkuat tatanan hidup. Tanpa kau sadari keberadaan sumber konflik tersebut merupakan objek yang dapat mengolah kamu untuk belajar memecahkan persoalan. Karena tanpa mereka kamu tak bisa melihat sesuatu dibalik hidup itu sendiri.
Seseorang yang membuat saya terbangun dari lelap adalah Yuni, teman pertama sewaktu masuk SMU. Selama masa SMP saya termasuk orang sangat tidak terampil berteman. Bahkan teramat lugu. Entah dia sadari atau tidak, keberadaan dia membuat pikiran saya benar-benar terbuka terhadap sesuatu yang lama maupun yang baru. Saat itu saya masih teramat lugu untuk mengartikan arti pertemanan. Saya merasa bahagia mendapatkan dunia baru dan mungkin kalau saja waktu itu saya sudah mengenal eksistensi diri. Ya! saat itulah saya berani menunjukkkan keberadaan saya. Saya begitu kagum atas pandangan-pandangan dia, apa yang dia sentuh, apa yang disuka maupun yang dia benci. Betapa beraninya dia menunjukan jati dirinya.
Namun waktu terus berjalan dan tuntutan semakin beragam sehingga banyak situasi yang yang harus diputuskan untuk mencapai ruang yang lain. Saat saya masuk pada ruang itu, ternyata banyak hal yang berbeda yang saya dapati. Terasa betapa bodohnya saya!. Semakin banyak yang tidak saya ketahui dan saya fikir saya akan cukup percaya diri dengan apa yang pernah saya dapatkan. Namun ternyata dengan pertemuan-pertemuan dengan orang-orang baru semakin beragam pula kekagumanan saya terhadap hidup. Selain pada akhirnya kita harus bersiap diri untuk kehilangan mereka setelah menorehkan bagiannya disisi ruang hati tersendiri.
Kita selalu dihadapkan pada hal-hal yang baru tapi dengan mudahnya cukup sering melupakan keberadaan orang-orang dimasa lalu. Bohong besar kalau kamu mengatakan bahwa orang-orang itu tak memiliki peran dalam membutmu menjadi mempunyai state of mind. Banyak sekali stuba-stuba atau yuni-yuni yang lain yang dapat menumbuhkan ‘kegelisahan’ untuk terus menjalani rotasi kehidupan. Bersama mereka -walaupun seakan tak memberikan apa-apa- dengan tahapan-tahapan yang sulit dimengerti akan ditemukan jawabannya jika kamu ingin menemukan jawaban tersebut. Karena kebodohan selalu terus menerus datang tergesa dan penyadaran akan pencerahan seakan segan untuk ikut bergegas.


_________
*STUBA = Studi Teater Unisba
Pung.2005