Hijab dan perempuan muslim itu sudah menjadi satu kesatuan, sebagai komitmen identitas yang diperintahkan Allah SWT. Salah satu bentuk kasih sayang Allah terhadap perempuan muslim, agar lebih terjaga. Syaratnya menutup seluruh tubuh kecuali muka dan tangan (dari pergelangan tangan). 



Saya sendiri mulai menggunakan kerudung (demikian saya biasa menyebutnya untuk istilah hijab) sejak kelas 2 SMP. Saat itu, saya disekolahkan di sekolah Islam yang mewajibkan para murid perempuan menggunakan kerudung saat sekolah. Sekitar tahun 1992, para murid perempuan menggunakan baju seragam sekolah SMP dengan panjang rok selutut, kemeja panjang, berkerudung. Sementara untuk menutupi kaki (betis) dilapis kaos kaki panjangnya sampai lutut.

Memang ini agak janggal, tapi aturan ini berlaku buat sekolah swasta dengan label Islam (bukan pesantren). Kadang diledek oleh sekelompok orang tertentu melihat seragam seperti ini. Tidak seperti sekarang, zaman itu pelajar perempuan yang sekolah negeri tidak boleh menggunakan kerudung. Aturannya memang begitu, kalau keukeuh resikonya dikeluarkan.

Zaman itu tidak ada kerudung-kerudung dengan berbagai motif dan pashmina dengan bahan yang nyaman. Rata-rata kerudung yang kami gunakan keras dan kalau di pakai jadi seperti tudung saji (hahahaaaaa...). Lucu, tapi saya sih cuek-cuek aja. Kecuali kalau ada yang pulang haji, biasanya mereka suka bawa kain kerudung motif buatan Turki dan Cina. Kalau ada label Turki-nya, rasanya percaya diri banget deh pakainya.

Keadaan berubah ketika masuk SMA swasta Islam tahun 1993-an, rok sekolah yang biasanya selutut mulai boleh hingga tumit. Entah boleh entah inisiatif masing-masing siswa. Nah, untuk menutupi bagian tertentu biasanya saya menggunakan jaket, selain jadi rada gaya saya merasa lebih nyaman. Bisa jadi kondisi saat itu, pelajar perempuan yang menggunakan rok hingga setumit merupakan bagian dari masa bodo atas aturan pemerintah yang mengharuskan pelajar perempuan menggunakan rok abu-abu hingga selutut.

Kesulitan menggunakan pakaian yang sesuai aturan Islam tidak hanya ketika sekolah tapi persediaan pakaian di pasar dan toko-toko besar. Saat itu rasanya sulit mencari pakaian untuk perempuan berhijab. Mungkin karena saya masih remaja, jadi saya kurang nyaman dengan model-model baju untuk berhijab. Jadi saya lebih memilih menggunakan celana panjang, t-shirt/kemeja flanel, dipadukan dengan jaket korduroy dan kerudung. Rasanya lebih terasa nyaman, cukup menutup bagian lekuk-lekuk tubuh dan tidak menerawang.

Selama saya nyaman, saya baik-baik saja. Apalagi saya punya banyak kakak jadi stok baju bisa rada beragam karena bisa tukeran baju dengan kakak. Dari kemeja, sepatu, jaket, karena ukuran badan kami yang sama. Buat orang yang tinggal di Bandung, punya jaket, sweater maupun cardigan menjadi keharusan. Karena udaranya yang dingin dan adem. Kalau pagi-pagi berangkat sekolah, kiri kanan jalan masih penuh kabut dan seringkali keluar uap di mulut karena dingin.

Saking sukanya sama jaket, rupanya saya punya beberapa jenis jaket. Dari bahan kaos, sweater, jeans, jaket anti air yang dipakai kalau sedang hujan, sampai jenis baju hangat model cardigan menjadi salah satu pilihan pavorit saya. Selain keliatan lebih simple dan bikin hangat tubuh, pakai jaket itu terasa lebih gaya (kamana atuh gayaaa... hahahaaaaa). Ya, salah satu hikmah tinggal di daerah dingin kaya Bandung, bisa lebih gaya dengan memakai jaket.

Beda keadaan dulu sekitar tahun 1990-an dengan tahun 2010-an. Kalau sekarang, fashion untuk kebutuhan perempuan muslim bagus-bagus. Dari model baju, warna, corak, ukuran, jenis kain, harga baju dari bargol harga Rp. 100.000 sampai jutaan rupiah pun ada, pilihannya banyak sekali. Bahkan, kini desainer pakaian muslim Indonesia sudah ada yang dikenal dunia. Tak terkecuali beragam jenis jaket yang cocok untuk perempuan muslim, berukuran panjang, lebar, bahkan ada yang semi jas dengan dengan ukuran panjang seperti pakaian Eropa. Tak hanya hangat tapi bisa menutup bagian tubuh yang sensitif. Saya pesan hijacket di link ini.



hij.sh/matakubesar

Nah sekarang, cuaca di kota saya tidak se-stabil dulu. Kalau dulu musim hujan dan musim kemarau bergantian selama beberapa bulan. Kalau sekarang, cuaca tidak menentu, sehingga badan jadi lebih sensitif menghadapi cuaca yang mendadak hujan terus menerus lalu besoknya panas terik.

Tak hanya itu, menghadapi kondisi kota yang macet dimana-mana. Kadang saya lebih memilih ojek online untuk pergi kemana-mana. Cukup efektif untuk menghemat waktu dan tidak ribet dengan ngetem dimana-mana. Tapi, dengan menggunakan ojek online, saya jadi mudah masuk angin. (ya, ini pertanda, bahwa badan saya mulai harus lebiiiih dijaga, haha!). Jadi, kemana-mana saya selalu bawa jaket atau setidaknya pashmina untuk menghangatkan bagian leher.

Kebanyakan panjang jaket yang saya punya sampai sebatas pinggul. Kadang-kadang, baju yang saya pakai jadi kurang maching dengan baju saya yang selutut. Saya pun mulai cari-cari Jaket yang cocok buat pengguna hijab, ternyata ada dan model jaket hijacket juga simple.




Saya suka yang simple, karena kegiatan sehari-hari mengharuskan saya bergerak cepat dan efektif. Seperti pagi-pagi mengajak jalan-jalan keluar, pergi ke pasar, mencari bahan alat gambar, melihat aktifitas suami di Masjid dan banyak lagi. Cuaca pagi di daerah saya masih cukup dingin meskipun tidak ada lagi kabut di pagi hari. Tapi karena cuaca yang tidak menentu, saya lebih memilih menggunakan jaket agar tubuh terasa lebih nyaman dan hangat.

Bandung, Desember 2017

@imatakubesar
Gelombang Netizen




Sore itu-11 Desember 2017, beberapa netizen dan wartawan menghadiri undangan dari MPR RI di Aston Tropicana Bandung. Undangan yang hadir sekitar 40 orang. Undangan seperti ini, biasanya tak hanya mengikuti acara, tapi sebagai ajang silaturahmi dan menjalin hubungan yang lebih baik sesama blogger aktif dan penggiat media sosial.

Saya sempat bertanya, kenapa kami penggiat blog di undang ke acara ini. Sepertinya alasannya bisa jadi sesederhana ini, kini blog, web dan media-media sosial, menjadi salah satu alat penting mendapatkan informasi. Mulai dari mencari info sekolah, resep makanan, tempat traveling, tips and trik, kesenian, kesehatan, parenting, biografi, referensi ini itu, dll. Biasanya tulisan-tulisan yang dikemas sangat beragam dan mampu meraih pembacanya sendiri. Pembahsannya beragam, tentang kuliner, jalan-jalan, pendidikan, parenting, agama, kesenian, film, dan banyak lagi.

Perkembangan teknologi sekarang ini, fasilitas aplikasi dan media sosial, menjadi “arena bebas” dalam mengapresiasi situasi lingkungan dan berbagi pandangan. Dari tulisan ini, berseliweran berbagai respons suka dan tidak suka yang cukup masif. Tak jarang, berita-berita itu menjadi viral dan memicu sekelompok orang melakukan langkah-langkah besar, kreatif dan karya-karya yang produktif. Ada pun berita-berita yang menyentuh sensitifitas SARA dapat memicu perkelahian, menjadi besar, meledak bahkan menghancurkan satu sama lain.

Begitulah manusia, ketika berada dalam satu kelompok. Satu dengan yang lain akan saling mempengaruhi, saling menjatuhkan, saling menguatkan. Ibaratnya ketika dalam sekelompok orang ada satu orang teriak, maka akan memancing beberapa orang dalam kerumunan itu ikut berteriak. Begitupun sebaliknya. Sama halnya ketika sekelompok manusia dikumpulkan dan saling berjejaring dalam media sosial. Energi satu orang akan saling mempengaruhi. Diterima atau ditolak. Bergerombol atau menyingkir.

Pergerakan orang-orang yang hadir di arena jejaring internet seperti gelombang. Ada yang terbawa gelombang, ada yang bermain di atas gelombang, ada yang mengikuti gelombang, ada yang menyingkir dari gelombang, ada yang tenggelam. Mau tidak mau, kita berada di tengah-tengah tekhnologi yang menjadikan jiwa dan tubuh kita terlibat di dalamnya. Beragam situasi sangat mungkin, selama kita mau mempelajari ilmunya. 


Kembali ke acara MPR Ngobrol Bareng Netizen Bandung tempo hari. Netizen Bandung mendapat kesempatan baik untuk bincang-bincang seru dengan ketua MPR RI yaitu Zulkifli Nurhasan. Acara yang cukup singkat namun mengikat makna yang menarik. Tentang kebangsaan dan membangun kesadaran kita dalam hidup di tanah Indonesia yang beragam. Perpecahan yang terlihat begitu menyedihkan di media sosial, kemarahan-kemarahan meradang yang pro kontra dan caci maki seperti hamburan petir. Ini mengerikan. (Tarik nafas, keluarkan)


Ngobrol Bareng MPR RI

Di awal acara, kami bersama-sama menyanyikan lagu kebangsaan Indonesia Raya. Undangan yang hadir menyanyikan dengan hikmad. Selanjutnya Ketua MPR RI-Zulkifli Hasan- membuka pertanyaan pada semua netizen dan mempersilahkan para undangan bertanya, mengkritik berebagi hal di acara Ngobrol Bareng MPR ini. Ada sekitar 10 pertanyaan dari para netizen dengan pertanyaan-pertanyaan yang berbeda. 


Awalnya para netizen ini agak sungkan, namun akhirnya satu persatu muncul memberikan pertanyaan tentang berbagai permasalahan sosial di Indonesia. Mulai dari kegeraman terhadap kinerja DPR, soal gas LPG 3 kg yang langka, sampah, pajak penulis hingga plagiat dan pembajakan buku, respons pemerintah terhadap hoax, polemik lingkup kota hingga negara, saling hujat antar agama, dll. Sangat menarik.

Setelah menampung semua pertanyaan-pertanyaan itu, Bapak Zulkifli Hasan membahas satu persatu pertanyaan. Beliau menjelaskan peta-peta masalah yang dikaitkan dengan kondisi negara dan sikap MPR pada persoalan ini. MPR melihat beragam masalah yang hadir di masyarakat dan elemen pemerintah yang nakal karena kehilangan karakter diri, etika dan hidup bernegara.


Dari pemaparannya, kami diajak untuk memahami bahwa persoalan-persoalan ini semakin menjamur. Dimana setiap kelompok warga “dibenturkan” dengan persoalan ideologi, suku, bahasa. Kita begitu mudah terpancing masalah. Harus disadari bahwa ada beberapa hal yang membuat negara ini tidak mudah terpecah belah, bahwa warga negara Indonesia harus:

1. Mengerti asal muasalnya

2. Mengerti negerinya

3. Memiliki ilmu

Melihat kondisi negara yang terkoyak dan mudah terpancing kemarahan, ketua MPR mengajak netizen merajut merah putih yang terkoyak. Netizen sebagai alat informasi yang dekat dengan pembacanya, diharapkan tulisan-tulisannya menjadi bagian media kontemplatif memandang kehidupan yang lebih asik dan optimis. Terlebih kita harus lebih hati-hati, selektif dan bersama-sama membuat suasana “komunikasi” di dunia maya lebih jernih di tengah hoax dan ujaran kebencian yang kerap terjadi. Bagaimanpun, Indonesia adalah satu keluarga, sebaiknya kembali berjabat erat lagi untuk Indonesia menguatkan 3 identitas kita:

1. Identitas suku dan latar belakangnya

2. Identitas nasional

3. Identitas sebagai warga dunia


Pemerintah adalah salah satu elemenen penting dalam bernegara, namun bukan berarti semua masalah dilemparkan pada mereka. Pemerintah dan warga negara harus mempunyai apresiasi, kritis, sinergi menyuarakan aspirasi secara positif untuk pertumbuhan negara yang semakin kokoh dan solid.

Bandung, Desember 2017
Imatakubesar

Foto-foto: Imatakubesar