Selamat pagi,matahari. Aku nemu sayap pas lagi sapu sapu di halaman. Bagus banget. Nemu sayap ini seperti menemukan sayap aku yang hilang bertahun-tahun lamanya. Sayap aku itu nanti akan dipamerkan di Thee House Gallery Bandung bareng teman-teman perempuan.
Melalui perempuan-perempuan ini aku belajar banyak, tentang saling dukung untuk terus berkarya ditengah tanggung jawab domestik yang tidak ada berhentinya bahkan ditambah pekerjaan luar rumah.
(Catatan kecil yang aku tulis di beranda facebook pribadi)
Bersama Ruang Reda. Ami mengirim pesan singkat mengajak aku ikut terlibat pameran bersama. Canggung dan cemas, begitu respons pertama. Tapi setelah dipikir ulang, konsep pameran ini unik. Intinya aku diajak untuk bertumbuh bersama, memindahkan karya kami yang hanya di ruang-ruang pribadi ke galeri. Sehingga berkarya tidak hanya berhenti di ruang pribadi.
Pameran Ruang
Reda mengangkat tema Jejak ini melibatkan 10 perempuan yang sudah
berkeluarga. Fenomena anak seni yang berhenti terlibat dalam berbagai aktivitas seni (pameran maupun pertunjukan) ketika sudah berkeluarga,
terutama sudah punya anak dan bekerja.
Awalnya aku
bertanya-tanya, kok ya bisa aku diajak padahal bukan "anak seni
rupa". Sempat tidak percaya diri dan takut. Tapi aku pikir konsep
pamerannya menarik, menguji diri aku sendiri dan bakal jadi pengalaman
baru. Jadi aku tertarik dan memberanikan diri untuk ikut prosesnya.
Peserta yang terlibat diantaranya Ami, Pritha, Ratna, Oia, Jane, Nanan,
Nunun, Ayi, Gading dan aku-Ima.
Mungkin Ami
melihat aku suka "gagambaran" dengan aliran zentangleart atau line
art atau doodling atau vignete. Ami tahu karena aku suka menebar
kegembiraan hasil karya di medsos. Meskipun aku sendiri belum memperdalam
utuh empat aliran seni rupa, tapi terpenting aku menikmati teknik menggambarnya.
Menenangkan, mengalir dan asik.
Ide dasar aku
menikmati proses menggambar aliran tersebut karena romantisme masa remaja aku
sendiri yang sering menggambar bebas. Lalu aku coba perlahan berkenalan
kembali, latihan setiap hari dengan projek dasar Jurnal Healing di masa pandemi. Sengaja aku share di medsos, ingin tahu
sampai sejauh mana aku konsisten berkarya di bidang ini. Rupanya,
melalui proses ini, secara tidak langsung, aku seperti menemukan diri aku kecil
yang sering diabaikan oleh diriku sendiri. Demikian sekilas.
Saat diajak pameran muncul perasaan senang-ragu, dua sisi yang saling tarik menarik. Tapi porsi senang lebih banyak, serasa ada yang membuka pintu dari sekian perjalanan yang aku lewati. Bersama teman-teman Ruang Reda, pelan-pelan aku belajar banyak tentang teknik melukis, berbincang mengenai kompleksitas perempuan berkeluarga dan berkarya. Hingga sampai pada kesimpulan bahwa seni ternyata dapat "menyelamatkan" diri dari persoalan-persoalan yang datang-pergi. Bonusnya berproses menerima diri, melihat lebih dekat pada lingkungan terdekat lalu mewujud dalam bentuk karya.
Sebetulnya buat
aku tahun kemarin bisa dikatakan tahun "hadiah" dari Allah. Aku
percaya bahwa situasi baik-buruk di mata kita sebagai manusia, pasti baik buat
kita di mata Allah SWT. Dari sekian "hadiah" yang bikin bahagia
dan menyedihkan ini, aku mau cerita tentang hadiah yang bahagia yaitu ikut
terlibat pameran seni rupa.
Setelah hampir
2 tahun berproses Pameran Ruang Reda, akhirnya terwujud juga pada tanggal 21
Mei- 4 Juni 2023 di Galeri Dago Tea House.
Ternyata buat aku yang menarik dari pameran ini adalah prosesnya.
Di tengah gegap
gempita dunia persenirupaan, kami keluar dengan keringat dingin dan degup
jantung yang kencang sambil membawa karya dari dapur masing-masing. Pameran ini tidak hanya perihal aliran
karya dan media berkarya, tapi berhasil melewati proses berdamai dengan diri
yang sering kalah berkali-kali oleh berbagai statement dan standar umum.
Perlahan,
satu persatu dilewati, berulang dan saling melengkapi satu sama lain. Rasa dari
masing-masing karya unik dan berbeda-beda.
Setiap garis, warna, pulasan, arsir, lipatan, bentuk memiliki ciri khas
sendiri, berharga karena dikerjakan di
tengah kesibukan rumah dan pekerjaan.
Saya jadi ingat
pertemuan pertama setelah sekian lama kami dikumpulkan dan berkomunikasi hanya
di grup WhatsApp. Pagi itu cahaya cerah dan langit terlihat bening.
Aku bersegera ke UPI depan Villa Isola, masih menggunakan masker (masih masa
pandemi) membawa bagelen kering dan tumbler isi kopi panas.
Di bawah pohon
beringin Villa Isola (kampus UPI) aku bertemu Nunun dan Ami. Dengan Ami aku sudah kenal, tapi
dengan Nunun masih mengira-ngira. Kami semua dipertemukan di grup
WhatssApp. Belum saling kenal sepenuhnya.
Meskipun begitu,
pertemuan di bawah pohon beringina ini mendiskusikan banyak kegelisahan kami
sebagai perempuan. Perlu dan tidaknya berkarya seni dikaitkan dengan
situasi sosial. Chemistry obrolan di
grup WhatsApp membuat kami jadi cair begitu saja.
Kami berproses
bersama mewujudkan pameran secara perlahan dan bertahap. Melewati banyak
pertemuan online dan offline yang cukup instens di zoom maupun grup
whatsapp. Buat kami, waktu bertemu maupun berkarya cukup sulit, sehingga
banyak situasi yang kompromis.
Jangankan
pertemuan offline, bertemu dalam media zoom saja tidak pernah lengkap.
Berkaitan dengan faktor jarak, situasi keluarga dan pekerjaan yang menjadi
prioritas. Secara sendirinya, ternyata Ruang Reda menjadi reda dan jeda
dari fungsi kami sebagai Ibu sekaligus pekerja.
Bertemu di The Good Life. Dari bertemu muka ini kami lanjut berkomunikasi di grup WhatsApp, lanjut ketemu muka lagi di The Good Life berkarya bareng sambil ngopi. Di sana kami berbincang tentang banyak hal. Seputar anak, pekerjaan, konsep dasar pemikiran masing-masing karya. Beberapa peserta yang tidak dapat hadir, terhubung dalam bentuk zoom untuk menyampaikan konsepnya.
Untuk
menghadirkan bounding satu sama lain.
Aku lupa siapa yang menyampaikan ide, kami membeli satu buku sketchbook
yang bentukya berlipat. Setiap sisi diisi
oleh masing-masing peserta. Setelah
beres berkarya, buku itu dikirim ke peserta yang lain. Kami menamakan buku karya bersama itu sebagai
travelling book.
Setelah
diperhatikan, karya-karya setiap peserta berbeda-beda dan unik. Sebetulnya setiap peserta mendapat waktu
berkarya seminggu, tapi karena kondisi yang tidak memungkinkan, ada beberapa
peserta yang butuh waktu lebih. Namanya
juga Ruang Reda, terpenting berkarya itu meredakan diri dari perasaan yang
menekan, jadi kami memberi waktu sampai dia merasa asoy dengan dirinya agar
bisa berkarya dengan keadaan nyaman.
Sepertinya kami butuh kurator. Tahap berikutnya,
ternyata kami butuh kurator. Munculah
beberapa nama yang kami diskusikan di dalam grup. Sempat ada yang kami kirimkan surat,
bertemu. Dari proses pengajuan ini salah
satu yang kami ajukan adalah Ceu Asih, sayangnya beliau menolak tapi Ceu Asih
lebih mau mendukung membuat konsep display dan tulisan. Senang sekali.
Sampai suatu
hari, kakak aku-Kang Tisna Sanjaya mampir ke rumah untuk menengok Ibu. Aku mengalir saja bercerita tentang aku yang
sedang berproses dengan Ruang Reda. Rupanya
Kang Tisna tertarik untuk jadi kurator.
Aku panik karena aku sendiri belum pernah bekerja sama dengan kakak
sendiri. Banyak deh yang dipikirkan
sampai over thingking. Begitu aku
sampaikan ke teman-teman, ternyata mereka senang dan menyambut baik.
Dengan adanya
kurator, proses yang didampingi kurator ternyata menjadi daya dan membuat kami
bertahan di dalam rel menuju pameran.
Keren sih, ternyata ya. Karena
meskipun berjalan perlahan, tapi kami jadi disiplin mengikuti jadwal menuju
pameran. Buat kami, situasi ini jadi
energi sendiri. Setiap karya dan ide dasar masing-masing didiskusikan bersama
via zoom. Oh, ternyata apa yang kami lakukan selama ini bagus dan keren.
Singkat
cerita, pameran akhirnya terwujud,
Alhamdulillah. Dua minggu pametran
di Dago Tea House seperti punya rumah bersama. Mungkin acara pamerannya akan aku bikin
catatan lagi, karena bisa jadi lebih panjang, seru dan mengalir.
Semoga kami terus diberi kekuatan, kesehatan, untuk terus berkarya dan bermanfaat. Sampai ketemu di pameran Ruang Reda berikutnya.
Bandung, 28 Februari 2024