Matahari belum juga merayap di langit timur namun burung kutilang riuh membangunkan keletihanku, suaranya melengking dan firasatku selalu terpancing pada kabar buruk. Orang tuaku bilang, kalau burung itu mulai sering membunyikan suaranya, maka pertanda akan ada orang yang meninggal. Suamiku bilang sebaliknya, burung itu memang sering bersuara jadi tidak usah di artikan yang macam-macam. Akhirnya aku setuju dengan pernyataan suamiku dan mulai menghapus kenangan ketakutan atas suara burung tersebut sedikit demi sedikit.
Distorsi ketakutan teralihkan pada tekanan yang muncul dari arah dapur dan dari berita-berita di televisi. Distorsi pertama pada persoalan yang berulang-ulang dan tidak adanya perubahan meskipun orang-orang yang tinggal di rumah ini sudah beranjak besar dan sosialisanya semakin luas. Di rumah ini tidak adanya yang sadar untuk beres-beres terutama untuk barang-barang yang sudah mereka pakai. Dari orang dewasa, dewasa remaja, remaja dan anak yang mulai beranjak abg. Orang tuanya sepertinya tidak mengajarkan tanggung jawab, akhirnya sikapku untuk mengarahkan mereka sedikit demi sedikit walaupun agak canggung akhirnya keluar juga. Seperti membuang sisa makanan ke tempat sampah lalu menyimpan piring diatas piring kotor lainnya. Atau jika ada gelas kotor di meja bekas siapapun yang sudah tidak terpakai diangkut ke belakang (tempat cuci piring). Namun posisi saya sebagai bibinya memang agak sulit untuk mengajarkan tanggung jawab pada mereka. Terlebih yang saya perhatikan orang tuanya kurang memberi arahan sikap-sikap tanggung jawab tersebut. Ketika saya sebagai bibinya mulai mengarahkan, dengan cara meminta tolong, atau dengan alasan memberi tahu maka cukup sering muncul aura emosi yang tidak diharapkan. Reaksi mereka menjadi malu, kesal, marah atau malah menghindar dan menjadi segan untuk bersosialisasi dengan saya. Padahal bukan reaksi seperti itu yang diharapkan, tapi kesadaran untuk mengasah empati kita hidup bersama di bawah satu atap.
Kesadaran untuk menjaga segala tetek bengek kepemilikan setiap orang, privasi hingga kebersihan dari WC hingga halaman rumah memang kurang, hal ini terbukti dengan banyaknya barang seperti sandal rumah, piring, gelas yang hilang atau dipinjam tapi tidak kembali lagi. Akhirnya apa yang saya lakukan? Menulis, mengungkapkan perasaan disini, beres-beres sendiri sambil menarik nafas untuk menenangkan diri, banyak-banyak berdoa, mencari lorong-lorong ikhlas dan menenangkan diri. Sambil diselingi dengan membaca Koran seperti diarahkan tiba-tiba saja mata tertuju pada sebuah kata-kata mutiara yang sesuai dengan situasi. Berikut isinya:
“Dan barang siapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang pada buhul tali yang kokoh. Dan hanya kepada Allah lah kesudahan segala urusan.” (Q.S. Lukman : 22)
Apa yang terjadi? Nyesss… perasaan sayapun tenang, dan merasa sia-sia jika menyimpan rasa kesal dan menuntut orang lain untuk sadar dan empati terhadap lingkungannya sementara saya sendiri merasa tidak mampu untuk mengkomunikasikannya dengan enak. Selama masih bisa dilakukan oleh sendiri, lebih baik lakukan saja dengan lapang dada karena akan jauh memberikan kebaikan untuk semua.
Distorsi yang kedua adalah, situasi ini tidak lama muncul setelah beres-beres, berita-berita di televisi yang sengaja dipindah-pindah channel. Kartun spongeboob berkisah tentang kebaikan hatinya yang polos dan kerap sekali dimanfaatkan oleh atasan atau temannya. Sementara selebriti berputar-putar di sekitar berita kematian, pernikahan dan perceraian. Yang paling menarik dan menohok perasaan adalah talkshow pagi di sebuah televise berita mengangkat tema kebangkitan nasional. Disana dihadirkan seorang perempuan muda, berkerudung dan posisinya sebagai pembicara disana sebagai pengusaha. Saya benar-benar terkesima, seperti dihantam bolak balik karena apa yang saya lakukan selama ini rasanya tidak ada kemajuan karena tidak fokus dan seringnya berganti-ganti usaha.
Tiba-tiba saja suami saya mengatakan ini;”Tahun depan, kamu yang ada di kursi itu.” (maksudnya adalah saya yang akan diwawancara). Saya langsung terhenyak, otak saya sperti diputar kembali dan keluar berbagai visual satu persatu dari setiap perjalanan yang pernah dijalani.
Dari hilir mudik bermain teater, kursus menjahit, jualan kue buatan sendiri, jualan baju dalam, barang-barang multilevel, jual buku, jual ayam, kursus kamera film, belajar menulis, hingga puncaknya bekerja di sebuah majalah menjadi merangkum semua perjalanan itu. Sampai pada hal yang paling ekstrim adalah membeli komputer agar aktifitas menulis lebih serius. Waktu semakin cepat berjalan,berbagai sejarah, situasi semakin cepat berputar, tapi kemampuanku masih selalu jalan ditempat. Setiap adanya kemajuan dalam kemampuan saya selalu kembali ke tempat. Begitu, berulang dan berulang.
Saya lelah, saya ingin menjadi sesuatu.
21 Mei 2010

Hey tongeret... apa kabarmu?Pagi ini seperti pagi tahun yang lalu, riuh terdengar suara tongeret silih berganti. Sepertinya kalian sedang bermain, ada yang meloncat, menari, bersenda gurau mempermainkan tiap daun, dahan pepohonan yang mulai terasa hangat oleh sinar mentari pagi.
Hey tongeret, musim ini apakah menjadi kemarau yang lama atau sebentar saja? Karena alam kini tak lagi seimbang. Rupanya kau pun merasa kebingungan karena musim penghujan begitu lama mendera dan musim panas hanya datang sejenak. Seperti orang yang kehausan dan dalam hitungan detik air es itu habis seperti terserap spons

Hari ini saya datang ke sebuah pernikahan teman suami. Berangkat setelah lewat shalat dzuhur merupakan waktu yang ditunggu-tunggu, karena dalam pikiran kami adalah siap-siap menyantap makanan enak. Kami datang dengan kostum yang seragam, baju andalan berwarna hitam termasuk anak kami yang baru 7,5 bulan kami pakaikan baju jumper hitam dengan tulisan “fuck beer drink milk”. Ketika keluar rumah rasanya keren sekali. Sampai di tempat pernikahan dan seperti biasa kami menulis daftar tamu, kami hanya di beri kartu ucapan lalu pagar ayu itu bilang: “Kartunya bisa ditukar dengan souvenir, bisa sekarang atau nanti pulangnya.” Pikir saya, apaan nih maksudnya. Rupanya souvenir itu berupa tanaman yang masih muda di dalam pot yang sangat mungil.
Ini adalah pengaman pertama yang unik, berikut seakan membius segala suasana menjadi tenang dan menginspirasi hidup. Datang ke pernikahan menjadi begitu berkesan dan mendapatkan pesan yang dalam. Lalu saya berfikir, ini bukan main-main. Ada sesuatu dibalik souvenir ini, misi yang dalam dan mampu memberikan kehidupan manusia yang lebih baik.
Bahkan ketika kami mulai bersalaman lalu makan makanan yang disajikan menjadi penuh keseimbangan, antara makanan dan kebutuhan tubuh, bercengkrama dengan teman-teman dan keseimbangan yang harus dijaga, asap rokok yang langsung terhisap oleh pepohonan yang mengelilingi bungalow itu. Sebuah simbolis pernikahan yang tepat.
Mengambil keputusan menikah seperti halnya menanam pohon. Pohon tumbuh perlahan-lahan, didukung oleh tanah yang subur, diberi pupuk, dipotong sani sini agar daunya lebih rimbun, disiram, jika ada hama maka dibuang. Begitu dan begitu berulang dan berulang seperti peputaran perawatan tanaman yang dijlaani dengan ketekunan dan kesabaran. Tanaman itupun tumbuh perlahan-lahan, sampai-sampai kita tidak sadar tanaman itu daunnya semakin subur, lebat, berbuah dan meninggi lalu memberikan kesuburan bagi tanah dan mengeluarkan oksigen yang segar bagi paru-paru kita. Alangkah senangnya anak-anak kita bermain diantaranya, sementara kita beryoga atau taichi sementara sekelompok yang lain berkumpul dan berdiskusi. Sebuah kehidupan romantis antara tumbuhan dan manusia. Betapa senangnya menjadi pohon yang bisa memberikan nafas jiwa yang tenang dan menyegarkan.
Menikah sudah seharusnya menjadi inspirasi dan saling mendorong agar pasangannya ada, hidup berkembang dan berubah menjadi lebih baik. Bukankah menikah itu agar hidup kita lebih berwarna, tenang, dan menularkan kasih sayang?