Film Motherhood menginspirasi saya untuk bikin konten di blog ini berjudul “Motherhood”. Isinya seputar dunia ibu, anak, suami dan lingkungan yang berada di dekatnya. Saya fikir pasti banyak sekali ibu-ibu yang mengalami hal serupa, sepenanggungan, sependeritaan, sehingga sangat mahal menemukan waktu kosong namun perasaan itu seakan menguap, dihapus oleh senyum anak dan pujian suami.
Baiklah saya coba mengingat kembali satu tahun yang lalu di bulan yang sama. Desember 2009, wow waktu yang lama namun terasa pendek. Betul kata orang tua dulu, ketika kebanyakan dari mereka ditanya tentang rasanya mengurus anak, rata-rata mereka selalu bilang kebanyakan lupanya. Hal ini diperkuat berdasarkan penelian para ahli, karena memang di dalam tubuh perempuan itu mengeluarkan zat endorphin yang bisa melupakan rasa sakit (lho… pantesaaan). Selain itu hampir semua ingatan itu hilang saat menemukan satu kebahagiaan yang diberikan oleh si anak. Itu yang terasa oleh saya, perubahan dan perkembangan anak hingga sekarang. Dia sudah bisa berjalan dan banyak sekali berceloteh membuat lupa proses yang sedemikian panjang. Rasa was-was yang tidak henti, ada ruam di mukanya membuat banyak pertanyaan, nangisnya beda menjadi khawatir orang serumah, harus memberi asi setiap waktu dan secepat itu saya bertanya: emang ngasih asi itu setiap waktu yah. Lalu mukaku kuyu tak menentu… ooooh ,it’s a long journeys.
Ini dia tanggal 24 september 2009 awal-awal penuh perjoeangan dalam mengolah asi. Payudara yang tadinya sumber syahwat tidak lagi berlaku, payudara ini berubah fungsi menjadi sumber kehidupan manusia. Bayangkan seorang bayi dinegara manapun akan tetap hidup meskipun tak ada makanan yang steril, itu adalah ASI. Proses pelemasan payudara yang tidak semudah kita bayangkan bisa dilewati. Hari-hari pertama setelah melahirkan, selain harus menahan dari rasa nyeri perut (bagi yang di cesar) selanjutnya ditambah dengan pembengkakan payudara. Dada menjadi keras luar biasa, atau kalau orang sunda mengenal dengan istilah “tumawon”. Tumawon oh tumawon, rasa sakit yang aneh. Rasanya seumur hidup akan bergulat dengan rasa sakit ini terus menerus.
Setelah dipijat oleh sang ahli, ternyata tidak membuat pembengkakan ini sembuh. Ternyata upaya pelemasan agar ASI tidak membeku harus rajin dilakukan oleh sendiri. Saat bayi menyusu bagian kanan, makan bagian kiri di kompres dengan air hangat yang dimasukan pada botol kaca. Hal ini cukup ampuh membuat payudara melembut sehingga mudah untuk di sedot oleh mulut bayi. Jika masih keras, maka bayi akan menangis lalu stress. Setelah bayi kenyang, otak kembali bekerja untuk menghindari serangan tumawon, sehingga secepat itu saya langsung melakukan pemijatan sambil melihat panduan yang sengaja saya cari internet. Google berhasil menemukan klue “tumawon”, kata yang berasal dari antah berantan nun jauh dari negerinya, tekhnologi yang hebraaaat. Sehingga ruangan kamar tak henti semilir percampuran harum minyak zaitun, telon, bedak bayi, baby oil perjuangan melawan the tumawon.
Minggu-minggu pertama lebih sering di ruangan persegi panjang, kita dapat menyebutnya kamar. Kamar berisi segala kebutuhan agar kami tidak bolak balik, meskipun tetap harus bolak balik. Bayi banyak tidur tapi satu hingga dua jam dia bangun untuk minta asi. Begini ritmenya: Bangun, menyusui, mandi dengan cepat, mengganti perban operasi, menyusui, ganti baju, memandikan bayi, memakaikan baju, menyusui, memasak, menyusui, makan dengan cepat, menyusui, mengopres & memijat, melipat baju bayi, membereskan bekas ini itu, menyusui, memijat & mengompres, menyusui, makan dengan gesit, nonton sebentar, menyusui dan seterusnya sambil online diiringi The Beatles (ahaaaaiiii) sebagai hiburan permanen kadang diselingi muratal Al Quran kalau sedang rudet.
Bersamaan dengan tumawon saya pun harus menjaga dengan sangat apik bekas operasi. Pagi dan sore perban diganti. Sengaja cairan betadin-nya diberi banyak-banyak agar bekas operasi cepat kering. Obat sehari 3x harus dimakan jika tidak maka sama saja mengundang rasa sakit. Kenapa? Soalnya ada obat yang mampu menahan rasa sakit: Analsik!!! Oh dewa obat hehehehe… Kalau lupa, maka bayi akan sedikit terbengkai karena perut rasanya di cubit berputar tanpa henti. Dan tentunya luka itu tidak boleh terkena air, jadi selama lebih dari 30 hari saya tidak mandi. Haruuuum. Seperti biasa saya kebablasan ketika cebok, ternyata air menyimprat cukup banyak kearah perban dan merembes cukup lama. Memang sih perban itu langsung saya ganti, ternyata airnya terlanjur masuk ke arah luka. Satu hari kemudian kontrol ke dokter ternyata sudah bernanah. Hhmmm apa kenikmatan yang selanjutnya.. betul, air yang masuk itu dikeluarkan oleh tangan sambil marah-marah dokternya (saya tahu ini bentuk kehawatiran beliau) dengan rasa yang luarrrrr biasa sakit heheh… bertambah deh tidak mandinya hingga luka benar-benar kering. Pulang dengan rasa ngilu dan tidur dengan tidak pulas.
Belum selesai, setelah kondisi sumber makanan manusia ini mulai lancar muncul masalah baru. Bayi sering sekali menangis tapi kami (saya dan suami) selalu meyakinkan mereka bahwa bayi kami baik-baik saja. Dengan alasan yang beragam sebagai berikut; kadang lapar, kedinginan/kepanasan, buang air, ada yang sakit atau hanya ingin kenyamanan dari orangtuanya. Sampai suatu saat bayi tidak juga berhenti menangis dengan nada yang menggegerkan seisi rumah, semua orang khawatir dan prediksi “ticengklak” selalu keluar berulang-ulang. Kembali saya lacak beberapa situasi yang memungkinkan anak kami ticengklak. Rasanya tidak ada. Lalu kembali beberapa suara berkata: pasti ticengklak, bisa dari seseorang yang menggendong karena tulangnya masih lembut dan sebagainya dan sebagainya. Kata-kata ini membuat saya limbung, ragu dan tidak yakin atas pendirian saya yang teksbook banget. Lalu sayapun bolak balik buku panduan “merawat bayi dari 0 – 12 bulan” secara pelan dan teliti, ditengah hati yang panik tentunya sulit mengerti.
Sampai akhirnya seorang saudara sangat mengkhawatirkan nada tangisan bayi kami memaksa agar segera dipijit. Sayapun akhirnya membawa bayi itu ke tukang pijit. Bayi kami menangis tidak berhenti, saat dipijit matanya seakan bicara minta bantuan dan pegangannya sangat kuat pada jari saya. Saya terus mengajaknya bicara, dengan bibir terus menerus tersenyum. Setelah selesai dipijit saya pun pulang dijemput suami. Sebetulnya suami saya ragu-ragu ketika anak kami harus dipijit, tapi saya khawatir jadi akhirnya proses pemijitan itupun dilakukan. Besoknya untuk memutuskan rasa penasaran, kami bawa ke dokter untuk memastikan kondisi kesehatanya dan tindankan pemijitan tersebut. Ternyata betul dugaan suami saya bahwa anank itu baik-baik saja, tapi kena KOLIK. Kolik adalah bawaan anak jika sedang adaptasi dengan ASI, perutnya kembung dan terasa sakit. Ada bawaan adaptasi asi yang lain yaitu gatal-gatal di muka dan sembelit. Penangan KOLIK hanya dua yaitu olesi secara merata bagian perut dan punggungnya oleh balsam anak “Transfulmin”, tubuhnya diberi selimut (dibikin hangat) lalu bayi didekap dengan posisi tegak (dekat dengan dada). Tak lama kemudian bayi kami pun tenang kembali dan tertidur pulas. Ahhhh… leganya jika proses ini berhasil. Ow, serangan kolit tidak hanya satu hari tapi hingga 6 (enam) bulan. Cihuy, memeras mental yang luar biasa sampai-sampai karena sering terjadi kami lebih sigap tapi santai dalam mengahadapinya kecuali kalau sedang cape. Bawaanya rudet & pusing, benar-benar melatih emosi yang luar biasa.
Tips dokter kemudian, jika ada ticengklak maka olesi saja dengan transfulmin, sudah, karena tulang bayi masih elastis. Oh, anakku maafkan mamamu… huhuhu, rasa bersalahku semakin tinggi melengkapi masa-masa babyblues yang luar biasa. Ini pengalamanku satu bulan pertama setelah melahirkan. Selanjutnya nanti saya inget-inget lagi untuk dibagi disini karena you are not alone. Okay!!!