zentangle-rumah

Menjelang tengah malam, menemani Ayah membuat video untuk virtual kelas menggambarnya.  Saya sedikit ikut corat coret zentangle.  Berikut udara dingin sisa hujan sedari sore.  Di halaman rumah beberapa mahasiswa (masih) latihan teater.  Suasana seperti ini rasanya enak sambil diisi sepotong roti bakar isi keju. Hangat. Padahal sejak masuk pandemi, berat badan kian bertambah.  Meski waktu sudah menunjukan pukul 22.15, kami pesan online roti bakar meski sempat berganti pilihan namun kembali pesan roti bakar karena enak dan sesuai budget.


Ternyata seru juga menggambar bersama dalam satu media.  Saking asiknya, saya sempat terbersit pengen bikin mural di dinding halaman rumah dilakukan bertiga.  Saya, Ayah dan Aden.  Kayanya bakal menarik.  Ternyata Aden pun makin enjoy menggambar zentangle.  Dia jadi lebih percaya diri berekspresi menggambar pattern meski masih belum rapi. Sambil nemenin ayah edit video, tak lama kiriman roti bakar datang.  Mata mulai mengantuk, tapi tetap saya susupi roti dengan tumpukan keju yang lembut.  Waduh, bagaimana nasib lemak-lemak yang kian menumpuk di lipatan perut saya.  Tapi, ya sudah, saya nikmati saja.  Oh, ya, ini hasil video zentangle kami:




Nah, kemarin tanggal 11 Januari 2021 merupakan hari pertama anak-anak kembali bersekolah dari rumah.  Tidak seperti sekolah swasta pada umumnya, anak saya sekolah negeri yang tidak melakukan zoom meeting untuk pertemuan pembelajaran.  Saya tidak tahu alasannya.  Tapi yang saya fahami, jangankan pembelajaran dengan media zoom, untuk melakukan komunikasi dan pengumpulan tugas lewat media grup whatsApp dan Google ClassRoom saja masih banyak yang kesulitan.  Baik karena gagap berkomunikasi, mengoperasikannya, faktor fasilitas (sinyal dan sebagainya) dan tentu tingkat ekonomi. Bahkan seringkali terlambat mendapat info tugas karena tidak punya data dan kondisi handphonenya tidak mendukung.  


Selama ini kami mendapat arahan tugas yang disampaikan melalui grup whatsApp, baik mengerjakan buku tema, modul maupun file yang harus kami download, dipelajari sendiri lalu dikerjakan latihannya.  Selain pelajaran, ada jadwal keseharian yang dikirimkan guru mulai dari menyapu, cuci piring hingga jadwal shalat. 


Buat saya ini menarik, saya menggunakan jadwal yang diberikan sekolah untuk mengoreksi kemampuan dan keterampilan anak-anak agar bisa lebih mandiri.  Dalam frame saya, PJJ jadi semi home schooling.  Jadwal dan kurikulum ada di pihak sekolah, sementara kontroling dan proses pembelajaran tanggung jawab kami sebagai orang tuanya.  Situasi ini seperti mengembalikan fungsi pendidikan pada orang tua, atau seseorang pernah bilang bahwa orang tua adalah madrasah pertama.  


Berat badan saya bertambah bukan karena kelebihan makanan, tapi tingkat konsumsi roti bakar yang sulit dikendalikan.  Kopi dan roti itu perpaduan enak saat menemani anak-anak belajar, emosi jiwa bisa dikendalikan sambil meyeruput kopi dan menyelup roti kedalamnya.  PJJ ini membuat saya butuh banyak kunyahan biar tenang menghadapi anak yang lagi "asoy" (hahaaa... alasan).  Sebetulnya banyak orang tua memahami pelajaran, hanya tidak semua orang tua lihai maupun tidak punya kemampuan menyampaikannya.  Jadi belum apa-apa bawaannya marah dan anak jadi tidak mudah memahami pelajaran.  


Proses memang, mengubah pola hidup keseharian dan jadwal belajar di rumah dengan intensitas yang lebih tinggi.  Ibu maupun Ayah perlu adaptasi dan tentu belajar lagi mengelola anak-anak agar bisa memahami pelajaran dengan menyenangkan.  Lalu menata bagaimana meyakinkan kepercayaan pada anak, bahwa orang tuanya pun layaknya guru bisa mengajar ilmu eksak, tentang lingkungan juga seni.


sekolah-jarak-jauh


Anak-anak kerap percaya bahwa guru "sumber ilmu" yang terpercaya ketika menyampaikan pembelajaran.  Sementara dalam benak anak, mereka kerap nyaman ketika fungsi orang tua di ruang yang berbeda, sebagai pendidik hal-hal keseharian seperti mengajarkan bebenah rumah, menyediakan makanan, mengaji bersama dan ruang bercanda.  Anak beradaptasi ketika orang tuanya mengajar matematika, begitupun orang tua kerap berharap banyak anak-anaknya cepat belajar atau menilai anaknya lambat dalam memahami pelajaran matematika yang disampaikannya.  Keduanya berproses ketika berhadapan dengan situasi PJJ ini.


Saat anak sekolah dan berinteraksi dengan guru, anak-anak merasa percaya bahwa pelajaran yang disampaikannya benar.  Begitupun dengan orang tua, merasa aman dan percaya bahwa anak-anaknya bisa pintar ketika diserahkan tanggung jawab belajar dan etika ke guru agar anak-anaknya tumbuh lebih baik.  


Begitu PJJ dilakukan, tentu bagi sebagian orang tua merasa ada mesin yang bocor. Bagaimana dengan nasib pertumbuhan keilmuan anak-anaknya?  Terlebih jatuh pada orang tua yang bekerja di luar rumah maupun yang mempunyai usaha, sehingga tingkat perhatian membagi waktu dan kemampuan menyampaikan pelajaran harus lebih ditingkatkan.  Baik dalam mengatur jadwal belajar, jadwal keseharian dan jadwal bekerja.  



belajar-di-rumah

Sekarang PJJ masuk bulan ke-10, saya sudah makin santai dan terbiasa.  Lebih enjoy sebetulnya.  Kebetulan anak-anak saya keduanya usia sekolah dasar.  Banyak PR dalam list saya untuk mengelola motorik kasar maupun motorik halus.   Baik mengelola keterampilan dasar, mengelola emosi, mengajarkan agama, hingga proses menularkan ilmu pengetahuan.  Saat gelisah dan "merasa gagal" saya selalu ingat beberapa tokoh dunia yang pembelajarannya ditangani langsung oleh orang tuanya.

 

Dari beberapa pelajaran yang disampaikan, ternyata ada pelajaran yang saya fikir mereka sudah menguasainya ternyata mereka tidak bisa.  Antara khawatir, mendiskusikannya dengan Ayah namun berusaha tenang.  Mau tidak mau sambil berusaha untuk menerima kesalahan diri, saya mengajarkan kembali/mengulang pelajaran yang mestinya sudah mereka kuasai.  Kenyataan ini yang membuat saya harus lebih tertib, disiplin tapi tetap santai menjalankannya.  Pelan tapi terus dilakukan.  


Saya malah mulai berfikir ada kekhawatiran jika anak-anak harus kembali ke sekolah lalu harus berhadapan dengan guru yang tidak memahami karakter anak dan tidak mempunyai kemampuan berbahasa dengan anak-anak.  Hanya proses kenyamanan itu muncul ketika berat badan makin bertambah dan banyak celana panjang yang tidak muat.  Ini sungguh menyedihkan.  Tapi, ya, sudah, tidak semua orang mampu beradaptasi dan belajar cepat pada keadaan.  Perlu berproses dalam menerima dan beradaptasi dalam memahami keadaan.  Sekarang saya sedang berfikir, situasi 10 bulan  ini pasti berpengaruh pada kehidupan dan pertumbuhan anak-anak kita 10 tahun ke depan.


Daun cahaya

Banyak kejadian menarik selama setahun ini, 2020. Ya, tahun 2020 sepertinya mencatat sejarah besar bagi semua orang. Situasi pandemic akibat covid 19 berpengaruh banyak bagi situasi sosial di masyarakat. Reaksi orang-orang berbeda-beda, namun tentu manusia makhluk yang bisa beradaptasi dengan keadaan. Kondisi ini sepertinya mengubah sebagian besar mindset setiap orang dalam memahami batas kuasa manusia dan kuasa Tuhan.

Ada yang belajar memetik, ada yang belajar meraup, ada yang kehilangan, ada yang mendapatkan sesuatu, ada yang mendekat, ada yang menjauh, ada yang… ya, banyak. Mungkin bagi kebanyakan manusia, tahun ini menjadi tahun penuh harap, doa bahkan mungkin caci maki.

Buat saya, hidup haruslah terus berjalan apapun yang terjadi. Meski bukan tidak melewati fase tidak aman dan merasa takut. Sama ketika musim hujan datang, kita harus pakai payung dan jaket biar tidak kehujanan dan tidak kedinginan. Ketika tubuh mulai ada gelagat tidak enak, berarti harus diberi makanan segar dan sehat. Begitupun ketika muncul virus corona, yang harus kita lakukan adalah mengikuti semua prosedur kesehatan. Ya, prosedur dan cara menghadapi virus ini cukup menjengkelkan, di awal-awal bisa jadi situasi ini cukup menjengkelkan karena benar-benar membatasi pola hidup sosial kita. 

Zentangle di rumah aja

Lepas dari segala kontroversi dan muncul beragam anggapan konspirasi kepentingan orang-orang, nyatanya penyakit ini ada dan dekat. Tadinya korban covid 19 hanya di berita, kini orang-orang yang kita kenal mulai dari teman hingga keluarga mulai tertular. Namun kabar melegakan hadir ketika satu persatu dinyatakan sehat. Itu ibarat minum teh botol dingin saat haus dan panas.

Awalnya saya takut, tapi situasi ini harus dihadapi. Pikiran dan hati terus menerus diperkuat dengan ibadah, kontemplasi, menatap langit, memotret sekitar rumah, menulis, menonton kdrama, memasak hingga membuat karya-karya yang belum pernah saya buat, seperti musikalisasi puisi dan belajar gambar zentangle.

Saya fikir pandemik ini akan berakhir sekitar 2-3 bulan, seperti situasi wabah penyakit yang sudah-sudah. Ternyata masuk juga bulan Desember, melewati hari-hari istimewa seperti bulan Ramadhan, Idul Fitri, Idul Adha, ujian-ujian sekolah, liburan, hari Natal dan tahun baru. Situasi yang berbeda tapi buat saya, hari-hari istimewa itu seperti biasa tidak disikapi berlebihan seperti liburan ke luar kota maupun jalan-jalan. Jadi ketika melewati hari special itu, cukup dengan makan enak di rumah sudah menjadi tanda “merayakan dan bersyukur”.

Tahun 2020 terlewati dengan tingkat pasien covid 19 yang meningkat pesat. Jadi saya fikir, ya sudahlah, saya percaya masih ada yang bisa kita syukuri dengan melakukan apapun dengan keadaan terbatas ini. Lalu saya coba kembali mengingat-ingat yang sudah dilakukan menjalani hidup sehari-hari di tengah situasi pandemik. Wah, ternyata banyak yang menarik meski sederhana. Saya fikir ini patut dirayakan dengan menyeduh kopi dan mencatatnya.

Oke, saya mulai ingat-ingat, mulai dari bulan Maret 2020. Ini dia:

Maret-Desember 2020 Merupakan proses sekolah yang unik karena dilakukan secara PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh). Full drama tapi tentu bersejarah, menjadi pembelajaran buat para orang tua mengelola diri dan membuat sistem kegiatan sekolah di rumah. Buat saya ini pengalaman yang menarik dan cukup menguras pikiran. Belajar di rumah membuat saya lebih disiplin sebagai Ibu. Saya belajar semua pelajaran lagi, mulai dari matematika, bahasa sunda, bahasa inggris, olah raga, seni rupa, tema, PLH.

Sebetulnya saya suka mengajar anak-anak, namun sering menguras hati karena harus mencari cara yang pas mentransfer pelajaran ke anak-anak. Banyak dramanya, terutama masalah orang tua yang perlu bantuan pengiriman tugas melalui google classroom. Tidak hanya masalah akses namun berkaitan dengan sinyal dan kuota. Belum orang tua yang tetap bekerja di luar rumah yang tidak bisa mendampingi anak-anaknya. Banyak sekali drama yang menguras hati. Tapi saya percaya kita bisa melewatinya.

Maret-Desember 2020 buat saya menjadi proses mengenal lebih dalam mengenai disleksia dan proses menyusur mengenal diri kembali.

Apa? Ya, Ayah dapat pekerjaan baru. Sebetulnya baru mulai bulan Januari 2020. Begitu jalan 2 bulan harus berganti proses pengajaran secara online karena pandemi. Selain mengajar, para pengurus sekolah disleksia yaitu Indigrow, membuat seminar khusus dengan tema Art For Dyslexia. Salah satu pembicara utamanya yaitu Ayah. 

School from home


Hampir setiap hari Ayah mengajar dan menjadi pemateri dengan menggunakan media zoom. Salah satu keuntungan seminar dan mengajar online, saya jadi bisa ikut seminarnya dan mendengarkan materi dari para dokter dan psikolog. Kadang saya nangis dan merasa bersalah karena sering melakukan kesalahan dalam mendidik anak-anak di rumah.

Cara Allah mendidik kami memang keren sekali, bertahun-tahun Ayah sakit dan mengisi proses pengobatannya dengan menggambar. Rupanya setelah ayah bisa dan ahli, Allah memberi obat tambahan anti kejangnya melalui Dr. Purboyo Solek (owner Indigrow). Beliau bilang, kalau kamu makan obat ini dalam satu bulan juga sudah bisa mengajar lagi. Ternyata betul, banyak sekali progressnya, bisa shalat Jumat lagi (setelah 4 th-an), bisa tahan angin dan dingin, bisa ngobrol lama bahkan bisa aktif jadi pengurus DKM dan membuat mural.

Lalu setahun kemudian Dr. Purboyo mengajak Ayah menjadi salah satu pengajar seni di Indigrow. Situasi ini menyenangkan sekali, kesiapan ilmunya seperti dipersiapkan untuk anak-anak disleksia. Selain itu, saya seperti mendapat hujan ilmu parenting dan semakin menyadari karakter diri juga anak-anak (Aden dan Bayan).

Maret 2020, ada kegiatan yang saya ikuti meski tidak terlibat langsung. Keponakan saya Kang Isa Perkasa, suami saya Holis, Kang Anton, Erris dan beberapa yang lain membuat acara Pameran Bergilir Jawa Barat #3 di Galeri Pusat Kebudayaan (GPK) di Gedung YPK-Yayasan Pusat Kebudayaan Naripan. Ini pameran bergilir ketiga, pesertanya melibatkan beragam seniman dari pelosok Jawa Barat. Ruang komunikasi seni rupa antar daerah seperti terjalin kembali dan memberi energy yang kuat untuk berkarya. 

Pameran seni rupa Jabar


Pameran dibuka pada tanggal 14 Maret 2020 jam 19.30 WIB, suasana rame, peserta berdatangan untuk menghadiri pameran. Ada yang dari Garut, Depok, Tangerang, meski belum ada himbauan berkumpul dan jaga jarak, beberapa tamu yang hadir mulai menggunakan masker dan beberapa membawa handsanitizer.

Tadinya panitia mau menyediakan handsanitizer sebagai bentuk antisipasi, tapi saat itu tiba-tiba harganya mahal dan beberapa toko kehabisan stock. Ini cukup menegangkan. Setelah acara pembukaan pameran selesai, beberapa jam kemudian, tepatnya jam 00.00 WIB, panitia mendapat surat himbauan agar tidak melakukan acara yang melibatkan masa di lokasi-lokasi pemerintahan dan umum. Alhasil, setelah pameran dibuka, besoknya galeri langsung ditutup karena mengikuti himbauan pemerintah agar tidak terjadi kegiatan kumpul-kumpul.

April 2020 jadi salah satu momen berharga buat saya dan Aden (panggilan akrab Devdan). Beberapa minggu sebelum ada surat himbauan sosialisasi dari pemerintah, Aden lolos seleksi workshop Anak Bumi yang diadakan oleh Eco Camp Dago Bandung. Mestinya Aden dan beberapa peserta yang lain mengikuti acara di Eco Camp, menginap dan mengikuti berbagai proses jadwal kegiatan Anak Bumi.

Semula saya fikir acara ini tidak jadi, tapi ternyata anak yang terseleksi dihubungi lagi untuk mengikuti acara secara online. Aden dan Dava perwakilan yang lolos dari sekolahnya tapi Dava tidak mau ikut karena ingin mengikuti secara offline. Jadi perwakilan dari SD Isola hanya Aden.

Acara Anak Bumi ini menarik sekali, Aden belajar banyak tentang linkungan. Pendekatan pemateri dalam menjelaskan lingkungan mengenai dampak gaya hidup manusia terhadap lingkungan dan memahami siklus alam. Proses ini membuat Aden lebih faham dan memahami proses tumbuh dan bagaimana memelihara lingkungan.

2020 sahabat kami, Evi Sri Rezeki mencari talent untuk membuat video pembelajaran untuk Sekolah Cinta yang bisa dilihat di TVRI Jabar dan youtube Sekolah Cinta Jabar. Rupanya Evi membutuhkan talent anak laki-laki yang usianya sesuai dengan Aden. Kebetulan Aden tertarik dan mau terlibat.

Sekoper Cinta Jabar


Buat saya dan Ayah, ini jadi kesempatan buat Aden belajar langsung proses dan bagaimana kerja kolektif dalam menghasilkan sebuah karya. Dia menjadi tahu proses reading, penulis naskah, sutradara, cameraman, pengontrol suara, tata make up dan keriuhan lain dibalik layar. InsyaAllah, tentu ini menjadi pengetahuan dan pengalaman yang "mahal" pada usianya.

Hal menarik lagi, saya melihat sisi lain Aden yang begitu "merdeka" berekspresi. Dia enjoy dan bisa beradaptasi dengan proses syuting yang panjang bahkan harus diulang-ulang. Orang-orang yang terlibat pun membuat suasana menjadi nyaman, tenang dan asik. Mungkin karena itu juga, Aden jadi merasa diterima dan ikut merasakan suasana kenyamanan itu.

Oktober 2020 Saya dan keluarga diajak oleh Kak Adi dari Eco Camp untuk mengisi acara penutupan Green Leader Eco Camp. Buat saya ini keren sekali, Aden juga senang karena bisa kami bisa kolaborasi dialog tentang alam lalu saya dan Ayah mengiringi dengan musikalisasi puisi. Ini pengalaman yang berharga menjadi bagian dari orang-orang yang terus “bekerja” untuk memelihara alam. 




Oktober 2020 Di bulan yang sama, kelompok mahasiswa film Telkom mendapat tugas membuat film dokumenter. Rupanya mereka tertarik mendokumentasikan proses kreatif drawing Ayah menjadi media terapi penyembuhan. 

Proses berkarya ini dilakukan di rumah kami dengan sistem wawancara dan menyiapkan berbagai dokumentasi berupa foto dan bukti-bukti medis. Setiap pertanyaan dari mereka membuka ingatan kejadian satu persatu perjalanan panjang pengobatan Ayah. Tidak hanya pengobatan medis namun aktivitas yang membuat Ayah tetap semangat ditengah proses penyakit beratnya.

Kami memaparkan awal (banget) Ayah sakit hingga semua jalur aktivitasnya terhenti berbulan-bulan. Lalu masuk pada fase menemukan aktivitas baru berupa menggambar dari tidak bisa menjadi bisa. Hingga berbagai kegiatan yang membuka kembali jalan sosialnya setelah (kurang lebih) 5 tahun tidak dapat melakukan aktivitas sosial seperti manusia pada umumnya. Kemudian akhirnya masuk pada fase menemukan obat yang tepat bisa beraktivitas normal lagi. 


Bulan-bulan lainnya, waktu saya belajar kembali dunia blog dan bahasa Inggris. Saya bergabung di beberapa komunitas blogger. Alhamdulillah salah satunya seperti ISB (Indonesian Sosial Blogerpreneur) kerap membuat kegiatan workshop blog secara gratis. Mulai dari dunia menulis, mengolah SEO hingga cara membaca Google analityc. 

Keikutsertaan saya di workshop ini memicu semangat nge-blog lagi setelah lemah dan berjarak dengan laptop karena pengaruh situasi pandemik dan drama PJJ. Saya benar-benar menjaga mental agar tetap stabil, sehingga tidak terlalu memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang membuat psikis saya terganggu. 

Mural di gang



Saya kerap melakukan sesuatu yang ringan dan menyenangkan. Entah bagaimana, energi menulis saya seperti berjarak. Saya seperti takut menulis, karena energi mengkritisi lagi tinggi-tingginya melihat polemik masyarakat di tengah pandemik. Sehingga tema yang muncul di kepala saya selalu seputar kritik dan kemarahan.

Jadi saya lebih memilih menahan diri dan mengalihkan fokus pada anak-anak. Jadi akhirnya saya memilih jadi “guru” anak-anak, membimbing orang tua murid yang kesulitan menggunakan gawai-nya dan pelajaran sekolah, membuat puisi, musikalisasi puisi, membuat kegiatan baca buku mingguan setiap hari Jumat sore bersama Ayah, memasak bareng anak-anak. Buat saya ini kesempatan membangun sekolah di rumah. Anggap saja PJJ ini menjadi semi home schooling. Ternyata untuk menciptakan home schooling atau istilahnya rumah adalah pesantren pertama itu luar biasa. Perlu disiplin diri dulu, baru mengajak anak-anak.

Mungkin itu sebagian kegiatan di rumah selama pandemik. Meski di rumah saja, ternyata banyak hal yang bisa dipelajari terutama kembali mengenal diri, memicu kreativitas dan menjadi kesempatan untuk belajar kembali.