Tampilkan postingan dengan label Jalan-Jalan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Jalan-Jalan. Tampilkan semua postingan
Nyawang Bandung


Sudah lama saya tidak kemping, bermalam di alam terbuka.  Begitu mendapat undangan di grup mengenai diklat alam mahasiswa Studi Teater Unisba (STUBA) di Nyawang Parongpong Bandung, saya tertarik hadir.   Kebetulan lokasi diklatnya dekat dengan rumah, dari Terminal Ledeng tinggal naik ke arah Barat. Terbersit ingin ikut sekalian menikmati yang hijau-hijau, wangi dedaunan dan udara segar. 


Meski tertarik, aku sebetulnya agak menahan diri karena baru sekitar 4 minggu beres operasi ca payudara.  Aku sempat meragukan diri sendiri ikut bermalam di alam terbuka.  Sahabat kami, Iskandar atau kami memanggilnya Kondor, mengajak kami untuk hadir.  Kami pikir, kalau pergi bareng Kondor menarik juga, karena dia bawa alat transportasi.  Biasanya beberapa teman yang seangkatan pun bakal tertarik ikut.


Aku pun mengevaluasi kondisi badan sendiri dan Holis meyakinkan kalau aku baik-baik saja, jadi aku pun merasa yakin bisa ikut kemping. Aku pikir, sepertinya aku harus tetap santai, asik, berdamai menghadapi penyakit, jalani kesempatan, menjalani hidup seapa adanya dan menyenangkan.  


Keputusan datang ke acara diklat ini spontan saja.  Kamis saling berkabar, malam Sabtu mengambil keputusan karena berkaitan dengan ada pekerjaan Holis yang bentrok.  Persiapan juga tidak terlalu banyak, kami saling berbagi tugas, saya bawa sleeping bag, lampin, alat masak, piring, gelas, kopi, teh, yang ada di rumah diangkut aja.  Sementara, Kondor bawa tenda, kompor jinjing, terpal.  Lalu kami spontan beli makanan di minimarket Ledeng.  Berangkat sore hari, tiba menjelang Isya.  Benar-benar ikut bermalam, ngopi, bikin mie, lihat suasana dikegelapan.

 

Halo, STUBA! 

Lama tak bersua.  Oh ya, STUBA ini unit kegiatan teater di lingkungan kampus UNISBA.  Waktu kuliah dulu, saya gabung unit kegiatan mahasiswa di tahun 1997.  Diklat alam yang sekarang ini masuk angkatan tiga puluh empat.  Jarak usia kami sudah sangat jauh.  Saya angkatan 8, Holis dan Kondor angkatan 7. 

 

Ki-ka: Kondor, Holis, Bayan, Ima. 


Alhamdulillah, hubungan komunikasi dan silaturahmi dengan beberapa teman di STUBA masih terjaga.  Yang paling terjaga ya hubungan dengan Holis, karena kami menjadi pasangan suami istri (naon sih! haha).  Bisa dibilang, buat saya, teman-teman STUBA tingkat prioritasnya seperti keluarga.  Bukan berarti hubungan kami baik-baik saja, tentu ada saatnya aku juga tersinggung, kesel-keselan, pundung lalu agak menjauh.  Tapi kemudian kembali lagi, lebih cepat sembuhnya.


Sebetulya saya sendiri termasuk minim komunikasi dengan beberapa teman, tapi ketika ada kesempatan pertemuan, hampir sering mengupayakan datang.  Karena buat aku, pada prosesnya ternyata pertemanan di STUBA justru bukan hubungan organisasi saja.  Tapi di sana aku mempunyai teman yang terus bertahan sampai sekarang.  Meskipun tidak berkegiatan kesenian lagi, tapi kami tetap terhubung meski sudah bertahun-tahun tidak berkomunikasi.  Dari masa lucu, polos sampai persoalan hidup yang lebih kompleks mengubah kami.



Acara diklat alam berlangsung dari Sabtu pagi.  Ada beberapa materi dan evaluasi yang dilakukan oleh pengurus STUBA pada calon anggota.  Kami datang hari Sabtu sore, dari awal kami niatkan silaturahmi, hanya ikut ngopi sore dan pagi saja.  Alhamdulillah, senang. 


Perjalanan Ke Nyawang

Kondor pergi dari Cibinong sekitar jam 10.00 wib menuju Ledeng.  Begitu Kondor tiba, kami lanjut perjalanan menuju Nyawang.  Tadinya ada beberapa yang gabung,  Ani, Bulls dan Ardi, tapi akhirnya yang berangkat hanya Kondor, Holis, saya dan Bayan (anak aku yang masih 11 tahun).  Jalan ke arah Nyawang tidak asing, karena aku pernah antar Bayan ujian naik tingkat taekwondo di tempat itu.  


Dari arah Sersan Bajuri kami mengikuti jalan dengan pemandangan tanaman hias.  Langit sudah sedikit redup.  Kami melewati komplek Graha Puspa untuk memotong jalan, karena kalau lihat peta di Gmap harus terus memutar ke arah Parongpong.


Pemandangan kiri kanan menuju Nyawang sangat indah sekaligus ekstrem.  Kami disuguhi pemandangan sunset lengkap dengan awan yang bertumpuk-tumpuk, warna orange dan jingga.  Perbukitan, lembah berundak dipenuhi perkebunan sayuran.  Beberapa ada rumah di tengah kebun dengan model minimalis.  


Namun, makin ke atas, ternyata jalanan terus menanjak.  Tak disangkat ternyata kami melewati Rumah Teduh Sahabat Iin.  Rumah terlihat sangat asri di muka.  Aku jadi ingat kalau Rumah Teduh Sahabat Iin yang terletak di Sukajadi merupakan rumah singgah untuk pasien dan keluarganya yang tengah berobat kanker atau penyakit yang tidak menular.



Jalanan ternyata terus menajak sampai akhirnya mobil Kondor berhenti juga. Tidak kuat.  Saya dan Holis memutuskan untuk turun.  Betul saja, mobil akhirnya bisa naik.  Kami berdua saling pandang, langit makin gelap, meski begitu lihat ke belakang pemandangan Bandung sangatlah indah.  Kami berdiri sejenak sambil melihat sekeliling.  Semua tampak indah dan tentram.  Kemudian terbangunkan lagi, langkah harus kami lanjutkan.  Tidak ada sinyal handphone, kami tunggu jemputan atau terus jalan.  Semua begitu hening dan semakin gelap.  Kiri kanan rumah dengan lebar jalan hanya cukup satu mobil, jalanan terus menanjak.  Kami pun memutuskan perlahan jalan kaki perlahan sambil mengatur nafas saling berpegangan.  


Tak lama kemudian, muncul suara motor dari arah atas, lalu berhenti mendekat. 

"Bapak Ima bukan?"  Sapanya.  

"Hayu ikut saya untuk naik ke tempat perkemahan." Lanjutnya

"Euh, gimana maksudnya?  Saya dulu atau gimana?" Tanya saya.  Terus terang, saya takut pergi sendirian juga meninggalkan Holis di jalanan sepi dan gelap.

"Hayu bisa bertiga, kuat kok!" Pengemudi itu meyakinkan kami.

Kami akhirnya naik motor bertiga, pengemudi, Holis lalu aku.  Aku lupa berat badan, tapi ternyata motor ini kuat membonceng kami yang tambun.  Dengan jalanan yang terus menanjak, aspal yang sudah rusak, kami saling berpegangan.  Tidak begitu jauh tapi cukup menegangkan.  Alhamdulillah, di depan mata ada plang Perkemahan Nyawang dan sebuah mobil yang kami kenal milik Kondor.  Kami pun tiba dengan deg deg an dan penuh tawa.  Alhamdulillah terlewati juga.


Di lokasi, lampu lampu kecil menerangi suasana hutan yang semakin pekat.  Motor kembali di pos, mobil Kondor di parkir dekat warung-warung.  Ternyata pengurus tidak bisa dihubungi karena tidak ada sinyal.  Jadi kami tanya kiri kanan untuk menemukan perkemahan anak-anak.  


Dalam gelap, kami jalan pelan-pelan.  Syukurlan tidak terlalu jauh dan lokasinya berdekatan dengan mushola.  Jadi kami langsung bertemu dengan para pengurus dan anggota STUBA.  Senangnyaa... alhamdulillaah...


Hey, Nyawang, Kami Datang

Kami dan para pengurus akhirnya bertemu di mushola, di sekitar mushola anak-anak STUBA menyediakan beberapa tenda warna orange.  Tenda-tenda berkeliling di bawah pepohonan pinus.  Untuk meredakan rasa perjalanan yang menegangkan, kami duduk-duduk dulu di mushola berbentuk saung dari bambu.  Menentramkan.  Lalu lanjut shalat magrib.  Selesai shalat magrib, kami pun berbincang-bincang.  Tentang acara, tentang pertunjukan dan banyak lagi.


Di ujung pepohonan pinus tak lama kemudian terdengar suara dentuman senapan.  Meski cukup mengagetkan, kami tetap berbincang, Holis dan Kondor memasang tenda.  Suara dentuman senapan cukup kencang, suara teriakan komando menadakan mereka tengah berlatih.  Sesekali terdengar hentakan orang berlari.


Suasana tenda hanya terlihat warna orange dengan minim pencahayaan.  Kami pun memutuskan untuk membuat makan malam: seduh kopi dan roti.  Di kiri kanan pepohonan dan beberapa kumpulan orang bertenda tengah bersenda gurau.  Memainkan gitarnya dan lagu-lagu lawas.  Sesekali saya memandang ke langit, terdengar gemuruh dedaunan pohon pinus.  Saya pikir hujan.  Ternyata deru dedaunan.  Angin cukup kencang, kadang membawa awan lalu bulan terlihat sebagian.  Indah sekali.


Selepas makan malam, kami diajak untuk jadi pemateri untuk para pelajar STUBA.  Saya tidak ikut, istirahat di tenda saja bareng Bayan.  Bayan pun tidak saya izinkan bermain game di handphone demi menghemat daya batre.  Jadi batre hape kami gunakan untuk pencahayaan.  Karena tidak banyak yang kami kerjakan jadi kami menggambar bersama.  


Sekitar 1,5 jam kami menggambar di tenda, tak lama Bayan pun tidur.  Saya masih terjaga karena suara tembakan menggema diantara pepohonan pinus.  Mungkin saya santai, tapi tak terbayang masyarakat Palestine yang hidup sehari-hari dikejutkan dengan letusan senjata dan bom yang datang tiba-tiba. 


Malam Makin Larut

Kalau diklat zaman aku, malam seperti ini kami tampil bergantian.  Ada yang main musik, pertunjukan pendek, baca puisi, performing art.  Tapi acara malam ini selesai materi berbagi dari Holis dan Kondor mereka istirahat dan tengah malam dibangunkan untuk melakukan perjalanan malam sendiri-sendiri.


Kami istirahat di tenda yang kami buat, tapi aku sendiri agak sulit tidur.  Karena meskipun di tengah hutan pinus, ada yang berkemah juga kelompok lain.  Mereka bernyanyi sambil memainkan gitar dan canda tawa mungkin sampai menjelang subuh.  Selain itu, teriakan instruksi kiri kanan diantara pepohonan tipis-tipis terdengar.  Lalu orang berlari sambil memainkan senjata.  Pas suara-suara itu mulai terasa lebih hening, aku pun baru bisa tidur.  Tidak Bayan, alhamdulillah dia lelap dan enjoy banget.  Begitu pun Ayah.


Subuh menjelang pagi kami baru bangun karena baru tidur.  Ternyata Kondor kesulitan tidur juga karena suara-suara.  Meski sedkit tidur, sebetulnya badan terasa lebih tenang, karena posisi tubuh dalam kondisi istirahat.  Wajah Bayan terlihat cerah, pun di luar tenda, perubahan cuaca dari subuh menjelang fajar begitu syahdu.  Udara terasa dingin dan agak berkabut.  Perlahan kami berjalan menuju toilet umum.  Suasana lebih hening, hanya peraduan suara bebatuan dan sepatu, sayup-sayup angin memberi ketenangan tersendiri.  


Perkemahan kami dekat dengan toilet umum, jadi kami cukup mudah untuk membuang hajat, melakukan aktivitas wudhu maupun bersih-bersih.  Meskipun ingin mandi, saya lebih memilih menahan diri.  Beberapa organisasi undangan masih terlelap di balik tendanya.  Beberapa duduk-duduk memainkan peralatan.


Melihat sekita sehening itu, ternyata acara jurit malam masih berlangsung di tempat yang berbeda.  Sayup suara teriak-teriak semangat disela julang pepohonan. "Nah, itu kayanya udah selesai, Teh."  Seorang mahasiswa dari unit kegiatan mapenta (pecinta alam) yang ikut menghadiri undangan dan bahkan ikut membantu acara.




Selesai shalat, kami berempat mendekat ke tempat acara.  Menelusuri warung-warung, lebat pepohonan dan jalan setapak.  Suasana yang menenangkan dan menyengkan.  Ah, Allah, terima kasih karena Engkau memberi kesempatan, kekuatan sehingga kami dapat menikmati alam Mu yang keindahannya tak ada bandingannya.


Di tempat acara, para anggota baru atau mereka menyebutnya pelajar tengah menyebutkan nama angkatan.  Kami datang di akhir acara, berfoto dan memberi beberapa kata semangat untuk pelajar, pengurus juga pembina STUBA.  


Waktu berjalan begitu tenang, sehingga tak terasa aku pernah mengalami situasi yang sama 26 tahun yang lalu.  Rasanya macam-macam, kesal, lelah, membosankan, membingungkan, menyenangkan, semangat, semua naik turun.  Perlahan waktu dan berbagai situasi datang lalu pergi.


Alhamdulillah, berbagai situasi perlahan bisa dilalui dengan izin Allah dengan bantuan Allah dengan cara yang mudah, sulit, cepat, lambat yang disadari akhirnya mengelola segala sisi.  Semua itu menjadi begitu baik hari ini, begitu mudah diterima dan mudah dijalani.  Allah Maha pemelihara, Penguasa Langit-Bumi-Semesta Raya dan segala isinya, waktu begitu tenang, sampai tak terasa kami bisa kembali kesempatan hadir di acara diklat alam stuba dengan jiwa, pikiran dan tubuh yang terus terpelihara dengan caraNya.

Pembina, pengurus, anggota dan pelajar STUBA.
Januari 2024


Terima kasih Nyawang, atas ketenangan dan keperkasaanya.


Bandung, 18 Februari 2024

Ima

 
Scarlett Fragrance Body Cream Lotion
Foto: Ima

Persiapan jalan kaki hari Minggu ini simple saja.  Karena cuaca belakangan ini cukup terik, jadi saya oleskan Scarlett Fragrance Body Cream Lotion ke seluruh tubuh terutama bagian badan yang tidak tertutup baju untuk menjaga kelembapan kulilt.  Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, kulit saya cukup sensitif terutama kalau terpapar cuaca panas.  Lalu biar enak jalannya, saya pakai celana trekking quick dry biar terasa ringan, kaos putih, kerudung yang menyerap keringat, topi, tas simple isi dompet, sebotol air minum, sabun tangan dan Scarlett Fragrance Body Cream.


Beberapa hari sebelumnya saya diajak keponakan jalan kaki menyusur pedestrian Kota Bandung.  Iyap, saya punya keponakan yang usianya sepantaran, lebih cocok jadi sepupu sebenarnya. Tapi buat saya seru-seru aja, mereka udah seperti sahabat.  Mereka membuat grup Hiking Boxwa.  Hampir tiap Minggu pagi mereka melakukan jalan kaki menyusur perbukitan maupun kota.  Setelah sekian niat mau ikutan, baru minggu lalu saya dan Bayan (9 th) ikut keseruan sehat tersebut.


Oke, Alis juga cerita rencana jalan kaki kami.  Titik temu di rumah saya di Ledeng, lalu lanjut menyusur Cipaku, Ciumbuleuit, Gandok, Siilwangi, Jalan Juanda, belok ke Jalan Teuku Umar, tembus ke Dipati Ukur lalu taraaaa… kita akan ngemil-ngemil tahu goreng di Gasibu.  Karena, setiap hari Minggu di Gasibu ada pasar kaget yang jualannya beragam.  Mulai dari tanaman, baju-baju, makanan, mainan anak, sudah deh tumpah di sana.  Begitulah rencana jalan kaki kami.


Sesuai rencana, pukul 07.00 WIB, keponakan sudah siap.  Ada Mina, Medin, Rani, Alis, Tasdik, Neng Disti, Ezha dan Ingga (2 th).  Mereka berkumpul di teras rumah dengan setelah baju lari, saya dan Bayan sudah siap hanya tinggal menghabiskan sisa kopi dan sepotong roti.  Sengaja hanya bawa sebotol air mineral saja tidak bawa camilan dari rumah, rencananya ingin beli camilan di tengah perjalanan.  Karena jalurnya ke perkotaan.  Jadi dalam benak saya, bakal asik nih menikmati beberapa jajanan di warung-warung dan pinggir jalan lainnya.


Syukurlah suasana pagi itu cerah, matahari terasa hangat dan memainkan setiap celah daun dan ilalang.  Sesekali matahari tampak seperti mengintip di balik atap rumah megah yang menjulang tinggi.  Sementara kami jalan menyusur jalan setapak kiri kanan dinding seperti lorong.  Setapak demi setapak kami melangkah dengan kecepatan pelan namun terus sehingga tak terasa lelah.  Hanya sesekali duduk sebentar agar degup jantung tetap stabil. 


Setelah merasa cukup istirahat, kami lanjut berjalan kaki berbaris karena harus menyusur jalan utama di daerah Ciumbuleuit dengan kondisi jalan pejalan kaki yang tidak begitu baik.  Kita harus lebih awas dalam melangkah.  Karena sering ditemukan jalan yang berlubang, terhalang pohon, banyak bebatuan, tertutup tiang listrik juga tiang spanduk reklame dan situasi lainnya. 


Panas matahari mulai bertambah tinggi.  Namun cuaca terasa adem karena banyak pepohonan kiri kanan di sekitar jalan Siliwangi.  Kami seperti berjalan di lorong pepohonan.  Bayan dan Ingga juga menikmati perjalanan jalan kaki sambil berpegangan tangan.  Sesekali Ingga digendong lalu minta turun lagi karena ingin jalan kaki.  Bayan menemukan kursi dan beberapa sudut yang membuat dia ingin difoto. 

 

Tak terasa perjalanan sampai juga di Simpang Dago.  Biasanya di lokasi ini ada car free day setiap hari Minggu.  Meskipun tidak ada car free day,  jalanan Juanda di ramaikan oleh pejalan kaki dan pesepeda.  Ada kumpulan pesepeda BMX juga beberapa yang lain berseliweran dengan berbagai model.  Asik sekali!  Rasanya sejak pandemic, ini pertama kali saya jalan kaki lagi di sekitar Juanda. 


Jalur di Juanda berakhir di belokan jalan Teuku Umar.  Imajinasi saya terbawa ke masa-masa kerja di daerah itu.  Cukup sering jalan kaki di sekitar Teuku Umar, Imam Bonjol daan sekitar pemukina tersebut karena banyak lokasi tempat makan yang enak dan bersih.  Namun kami tidak berhenti di sana untuk makan, karena kami akan ke Gasibu untuk makan tahu. 


Hore! Sampai di Gasibu.  Begitu keluar dari Jalan Teuku Umar yang rimbun dan tentram, kami berhadapan dengan suasana kota yang berbeda.  Karena banyak sekali pepohonan yang ditebang.  Waktunya menikmati tahu kering dengan cocolan sambal dan kecap. Yum!  Kami masuk lewat gerbang Monju (Monumen Juang).  Di dalam monumen ini terdapat museum yang dikelola untuk memberi informasi mengenai sejarah Jawa Barat.  Mulai dari pakaian daerah, para pahlawan yang berjasa, hingga kampung adat yang masih dipelihara oleh masyarakatnya. 


Paparan terik matahari terasa beda, mungkin karena itu, kulit saya agak sedikit kering, ditambah kurang minum.  Karena kulit terasa agak kering, saya keluarkan sedikit Scarlett Fragrance Body Cream lalu segera mengoleskan ke tangan.  Cara ini untuk mengatasi kulit saya yang sensitif. 


Oh ya, botolnya cukup besar, karena menampung 300 ml Fragrance Body Cream.  Tapi satu sisi membawa botolnya tidak khawatir cream-nya keluar sendiri, karena kepala pump bisa di kunci ke arah kanan.  Kalau diperhatikan, di atas kepala pump ada tanda panah dengan tulisan stop dan open.  Kita cukup menggerakan ke kiri atau ke kanan untuk membuka dan menutup jalur keluar pump.  Sehingga kalau tidak sengaja pumpnya tertekan, Scarlett Cream tidak akan keluar karena dikunci. 


Saya merasa nyaman kemana-mana membawa Scarlett Fragrance Body Cream, kalau tas saya isinya banyak, biasanya memindahkan isi Scarlett Fragrance Body Cream secukupnya ke wadah kecil agar tetap bisa digunakan saat dibutuhkan.  Selain menjaga kelembapan, juga membuat tubuh tetap wangi.  Bisa jadi begitu karena mengandung berbagai bahan yang bisa menjaga kondisi kuilt kita dari berbagai kemungkinan.   


Hiruk pikuk terasa, kiri kanan penjual berdempetan dengan menyisakan jalan untuk 2 orang saja untuk lewat dan bertransaksi.  Banyak sekali barang yang dijajakan menarik hati.  Karena kami jalan bareng, jadi saya tidak terlalu minat untuk beli ini itu yang harus menghabiskan waktu memilih dan menawar barang.  Jadi saya hanya bisa menikmati suasana dan ingin segera duduk dan makan tahun. 


Tak terasa kami tiba di lokasi, ternyata jarak tempuh yang kami lakukan sampai 10 km.  Kami berangkat jam 07.00 WIB tiba pukul 09.00 WIB.  Perjalanan cukup jauh dan keren buat Bayan juga saya yang sudah lama tidak melakukan jalan kaki sejauh itu.   Ayo, next hiking ikutan lagi, yaaa. 

Foto: Ima. Maret 2021
                                              

Perjalanan pulang kampung bertemu keluarga suami beberapa minggu lalu terasa istimewa. Tentu saja rasanya beragam karena hampir dua tahun tidak pulang terhalang pandemic. Ketika adiknya suami mengatakan akan mengirim mobil dari Pandeglang (Banten) menuju Bandung jadi kabar yang menyenangkan buat anak-anak. Itu artinya mereka dapat ketemu Bunde (nenek), melakukan perjalanan lagi, bermain di tengah lapang, sawah dan tentu bisa bermain bersama sepupu-sepupunya.

Paling seru ketika anak-anak mulai packing tas mereka masing-masing dengan membawa perbekalan. Anak-anak bersemangat sekali, kami pun beli perbekalan ke mini market yang lokasinya terselang beberapa rumah saja. Mereka memilih perbekalan sendiri, mulai dari masker, vitamin, hand sanitizer, susu Morinaga Chil Go, roti, kripik dan permen. Begitu tiba di rumah langsung packing sendiri dan segera menyimpannya di ruang depan, alasannya,”Biar cepat sampai.”

Mereka begitu bersemangat sampai membawa segala, seperti buku gambar, pensil warna, buku bacaan kesukaan mereka dan dede dino (boneka dinosaurus), sehingga setengah tas Bayan ditempati dede dino.

Saya dan anak-anak (11 dan 8 tahun) ngobrol-ngobrol kegiatan apa saja yang mau dilakukan. Lalu tercetus ingin mencari tutut ke sawah dan menggambar bersama sepupu-sepupu yang dipandu oleh Ayah. Oh, ya, kebetulan Ayah ini pengajar seni rupa untuk melatih executif function anak-anak dyslexia. Mereka anak-anak istimewa yang biasanya kemampuan IQ nya tinggi namun sering terbolak balik mengidentifikasi aksara dan kesulitan berbahasa. Nah, saat itu kami berencana akan membuat kolase bareng anak-anak dan keponakan. Sepertinya akan seru sekali.

Menurut analisa para ahli, menjaga daya tahan tubuh itu ada dua faktor yang penting yaitu menjaga asupan nutrisi dan rasa bahagia yang bisa memelihara semangat.

Foto: Ima. Maret 2021

Ketika pandemic mulai masuk ke Indonesia, saya jadi lebih ekstra peduli kebutuhan nutrisi anak-anak. Setidaknya berusaha tetap mengolah makanan yang bergizi, tetap enak dan menggembirakan anak-anak. Tentu disesuaikan dengan budget yang dimiliki dengan mengolah makanan yang murmer tapi tetap kaya gizi. Untuk mengantisipasi resiko kurang zat gizi karena kesalahan pengolahan bahan baku, saya memberi mereka tambahan madu, vitamin maupun susu seperti Morinaga Chil Go. Susu ini menarik, karena mengandung serat inulin, 9 vitamin dan 5 mineral untuk mendukung daya tahan tubuh. Kualitasnya teruji di laboratorium kalbe nutrition dan morinaga Jepang.

Nah, sedangkan untuk memelihara rasa bahagia, kami lebih banyak melakukan bersama aktivitas sehari-hari. Situasi pandemic, mau tidak mau cukup mempengaruhi kondisi anak-anak. Oleh karenanya, saya dan Ayah berusaha membuat suasana di rumah tetap asik meskipun banyak tugas sekolah dan menjaga kebiasaan anak-anak tidak tergantung pada permainan game saat jenuh. Ritmenya masih sama, pagi-pagi belajar hingga jam 12.00 siang, setelah dzuhur semacam bermain sambil belajar dan menerapkan beberapa kebiasaan baik memediasi kultur sekolah.

Kami mulai hari dengan mandi agar segar, lalu makan pagi bersama. Aktivitas mandi dan sarapan pagi ini dasar. Selanjutnya banyak yang bisa kami lakukan agar sehari-hari terasa beda, seperti merapikan kamar, bersih-bersih rumah, mendampingi belajar PJJ (pembelajaran jarak jauh), menggambar bersama, menanam tanaman bareng, menyalakan musik, download film lalu menonton bersama, mencoba resep baru. Meskipun di rumah saja, sebisa mungkin memindahkan aktivitas luar dipindahkan ke dalam rumah agar executive function anak-anak dapat terolah dengan baik.

Beberapa hari saja kami tinggal di Pandeglang, menikmati udara segar pegunungan, bersilaturahmi ke rumah Bunde dan menikmati kopi pagi di rumah adik. Sesuai rencana, selain bermain menyusur jalan perkampungan, kami jalan mengikuti pematang sawah dan mengmabil beberapa tutut yang hidup di antara padi. Anak-anak sangat antusias, apalagi Bayan (8 tahun) bersemangat mengambil sendiri tututnya lalu memasukannya ke dalam wadah.


Foto: Ahmad Nurcholis. 2021

Lalu kami membuat kolase bersama para keponakan (anak-anak adiknya Ayah) yang kebetulan seumuran dengan Aden dan Bayan. Sehingga proses pembuatan kolase begitu menyenangkan. Masing-masing membuat kolase sendiri yang diarahkan oleh Ayah. Hasilnya sangat menarik, tiap anak punya imajinasi sehingga menghasilkan karya yang berbeda-beda.

Situasi pandemi ini sepertinya semakin menyadarkan banyak orang tua. Selama ini porsi hidup lebih menjaga kewajiban mencari nafkah, kali ini kita diajak untuk menjaga pertumbuhan anak-anak dengan menstimulasi kemampuan anak-anak. Menjaga bukan berarti “ngintil” terus menerus, tapi dengan kesadaran penuh mengajarkan keahlian dasar agar menjadi pribadi mandiri. Karena suatu hari mereka akan terus tumbuh dan melangkah lebih jauh.

Anak-anak kita merupakan generasi platinum, akan berhadapan dengan perbagai perubahan zaman yang berpengaruh pada prilaku. Mereka akan beradaptasi dengan percepatan informasi, perubahan alam, situasi sosial dan beragam budaya.

Oleh karenanya, situasi pandemi ini menjadi menjaga kesempatan baik untuk membekali diri dan mengejar kteretinggalan ilmu pengasuhan yang baik. Anak-anak merupakan penerus estafet kehidupan, mereka akan melangkah dan berlaku atas “bekal” yang ditularkan melalui orang tua dan bagaimana menyerap prilaku sosial di lingkungannya.


Foto: Ima. 2021

Beberapa hari di Pandeglang merupakan kesempatan yang berharga. Ya, kami datang ke Pandeglang dan kembali ke Bandung dalam keadaan sehat. Hal yang disyukuri paling disyukuri (akhirnya) bisa menengok keluarga Ayah adalah kami bisa bertemu lagi dalam keadaan sehat. Hampir dua tahun kami sekeluarga berusaha menjaga daya tahan tubuh, memelihara mental dan mengikuti 5M (menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan, mengurangi mobilitas dan mengurangi kerumunan). Perlu kreativitas yang tinggi agar tubuh, hati dan pikiran memiliki daya tahan yang baik sehingga tetap berdaya dalam berbagai situasi.

Masuk bulan Maret 2021, artinya sudah setahun kita semua mengalami masa pandemi yang panjang. Membiasakan diri memangkas kegiatan keluar rumah, tidak mudik saat liburan dan hari raya menjadi pilihan yang harus dilakukan. Sehingga kita semua "dipaksa" mencari jalan keluar, memaksimalkan perangkat yang ada untuk tetap berkegiatan, berkarya, bersilaturahmi, menggerakan roda ekonomi dengan fasilitas yang ada.

Saat melewati masa pandemi, berkegiatan di rumah saja menjadi situasi yang tidak normal, tentu saja demikian. Tapi buat kami yang sudah lama memutuskan segala kegiatan berpusat di rumah saja menjadi situasi yang cukup mudah. Saya pribadi tidak terlalu kaget ataupun berat menjalaninya. Hanya saja agak sedikit waspada ketika memutuskan belanja dan kontrol ke rumah sakit. Paling kesal kalau ingin jalan-jalan tapi tidak bisa ujug-ujug dan seenaknya seperti biasa. Karena memutuskan keluar rumah betul-betul harus dipertimbangan jarak, tempatnya sepi, bersih, masih banyak pohon.



Hampir 2 tahun tidak silaturahmi ke keluarga besar Ayah di Kadupandak Pandeglang. Terakhir pulang pas Idul Fitri tahun 2019 lalu, masuk bulan Maret 2020 negara Indonesia terpapar pandemi covid 19 juga. Alhasil, 2 tahun kami tidak silaturahmi ke Pandeglang.

Meskipun ingin dan kangen suasana Pandeglang, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman Ayah menempuh 5 jam perjalanan, melewati berbagai kota (meski lewat jalan tol), banyak yang saya pertimbangkan. Sampai akhirnya kami merasa oke dan yakin untuk menempuh perjalanan dan beberapa hari tinggal di rumah Bunde-panggilan nenek di Banten.

Sekian lama, akhirnya, 11 Maret 2021, kami pulang perdana mudik ke Pandeglang ditengah pandemi. Tadinya yang pulang hanya Ayah saja menggunakan bis, karena memang ada urusan yang harus diselesaikan. Tapi saya khawatir ada apa-apa di jalan. Saya masih belum bisa lepas membiarkan dia pergi sendiri terutama kalau harus keluar kota. Karena Bi Neng-adik Ayah-mengirim Kang Asep untuk menjemput Ayah pulang menggunakan mobilnya, kami pun akhirnya bisa pulang. Senang sekali!


Suasana langit sore perjalanan di jalan tol Bandung-Serang
Foto: Ima. Maret 2021

Ya, selama ini kami biasanya pulang pakai bus, namun masa pandemi seperti ini belum berani naik kendaraan umum terlebih melakukan perjalanan antar kota. Apalagi Bandung kota yang kami tinggali ini banyak warga terpapar covid. Saya fikir selama ini mending tidak pulang itu demi keamanan bersama.

Yeah! Ditengah perasaan senang dan khawatir, saya senang bisa melakukan perjalanan antar kota lagi. Kangen suasana yang adem, pepohonan, gunung, sawah, suara ramai ngaji anak-anak santri, orang-orang yang conggah-saling tanya-, ramai suara binatang saat masuk magrib hingga malam. Subuh hari Bunde yang sudah menghangatkan dapur. Dan meneguk air kelapa yang dipetik langsung dari pohon kelapa depan rumah sebelum jam 11.00 pagi, ini enak dan seger banget. Ingat ya, katanya kelapa yang dipetik sebelum jam 11.00 pagi, rasanya lebih segar dan manis.

Sebelum kami pulang, cukup sering saya mengingatkan anak-anak dan juga Ayah untuk tetap bermasker, bawa handsanitizer dan tisue basah kemana-mana. Jangan tanya sepanjang perjalanan, tak berhenti doa, dzikir minta sehat, minta selamat, tetap sehat dan terutama tidak terkena virus itu. Ikhitar menyiapkan perlengkapan obat, vitamin, handsanitizer, tisue kering-tisue basah, sabun, masker, diberi porsi lebih banyak.


Suasana pesantren Darul Iman Kadupandak Pandeglang.
Foto: Ima. Maret 2021

Lokasi rumah keluarga Ayah itu jauh dari kota, daerah pegunungan dan ada pesantrennya. Meski perkampungan, banyak pepohonan dan pesawahan, sekarang ini penduduknya sudah semakin padat. Pola kehidupan disana, banyak yang merantau ke Jakarta,Depok, Tangerang untuk mencari nafkah lalu membangun rumah di kampung halamannya. Meskipun semakin banyak penduduknya, segala aktivitas masih biasa. Kecuali kalau harus pergi ke kota, mereka tetap menjaga dengan menerapkan protokol kesehatan yang berlaku.

Begitupun ketika pesantren mulai diaktifkan kembali, setiap santri yang masuk ke lang pesantren harus tes dulu dan melalui karantina sebelum masuk mondok sebagai upaya preventif. Beda dengan sekolah dasar negeri, tetap memberlakukan anjuran pemeritah untuk sekolah jarak jauh.

Memahami situasi ini, saya sendiri berusaha tetap mematuhi protokol kesehatan. Tidak bersentuhan ketika harus bersalaman, tetap menjaga jarak, tidak menyentuh dan menggendong anak kecil. Meski rada kagok dan saya juga sedikit merasakan ada beberapa yang kurang nyaman. Karena kehidupan sosial disana biasa saja, tidak menggunakan masker, tetap ada hajat nikahan, berbagai aktivitas kerumunan lainnya berjalan biasa saja. Meskipun begitu, karena saya dari luar kota, mau tidak mau tetap memutuskan 3M dan berusaha tidak menyentuh anak kecil maupun menggendong mereka. Itu saya lakukan demi keamanan bersama. Saya seperti elien sih (hahaha...) tapi ya bae lah, lanjut saja bermasker, kemana-mana bawa handsanitizer, dan seterusnya dan seterusnya.

Kami pulang ke Pandeglang, tepatnya di Kampung Kadupandak memberi nafas segar setelah berbulan tidak menghirup udara bebas tanpa bermasker. Eh, katanya tadi tetap bermasker sekarang tidak bermasker. Ya, kami tetap bawa masker, tapi begitu jalan ke sawah dan kebun, begitu ada orang lain, kami segera pasang masker kembali. Jalan melewati pematang sawah, berjalan di atas tanah, di bawah langit dan awan tanpa masker itu rasanya luas...
Selama ini sering lupa betapa berartinya udara bebas dan pertemuan dengan orang-orang tersayang. Pandemi mengingatkan untuk semakin dekat, mengenal, menerima lebih dalam pada yang terdekat.


Domdoman kesukaan Bayan.
Tanaman wajib petik kalau pulang ke Kadupandak adalah main domdoman.
Foto: Ima. Maret 2021

Anak-anak sudah lama merindukan suasana seperti ini. Jadi mereka berburu domdoman (ilalang), kodok, siput, melihat petani yang sedang panen, melihat lebih dekat proses pembuatan nasi yang selama ini mereka makan. Jalan kaki dari rumah Bunde ke sawah di Cakur sangat dekat, pelan kami berjalan, menikmati setiap yang dilewati. Rumah-rumah, pepohonan, jalanan, pertemuan. Ada rumah tempat jemur dan penggilingan beras, mengingatkan saya pada suasana Cigondewah tahun 1980-an. Sawah yang menghampar, air selokan jernih dan riuh, bunyi pepohonan bambu yang tertimpa angin. Benar-benar membangun mimpi. Akankah kami tinggal di sini. Membangun rumah, galeri, berkarya, diantara kebun dan sawah.
Setiap pagi Kak Dede dan Bi Neng menelepon agar sarapan dirumahnya. Dia membuatkan roti pitta lengkap dengan cocolan khas makanan Mesir. Kami menyeduh kopi, sengaja kami bawa kopi Sunda Hejo serta alat seduh dari Bandung. Kami datang setelah mandi agar segar. Karena setelah itu biasanya akan main ke tengah lapang rumput lalu jajan.

Rumah Bi Neng ini nyaman tinggal nyebrang saja dari rumah Bunde. Ruang tamu dibiarkan menggunakan karpet, karena rumah mereka pun sering dipergunakan untuk rapat dan berbagai urusan pesantren. Segala urusan langsung dan ritme pesantren dikelola dan diputuskan langsung oleh mereka berdua dan Kak Ola-adik Ayah. Hebat, ya. Tentu saja mereka mampu melewatinya, karena selain lama hidup di pesantren, juga sama-sama menggali ilmu di Mesir dan Tunisia. Namanya mengurus ritme organisasi maupun lembaga pendidikan, sudah menjadi makanan sehari-hari.

Hari Sabtu, adik dan kakaknya Ayah datang bersama keluarganya. Teh Embay sekeluarga datang dari Serpong, Bi Ade sekeluarga datang dari Tangerang. Begitu mereka datang, kami ziarah dulu ke makam Abah- Kyai Aminudin Ibrahim. Makamnya di belakang Pesantren Darul Iman, hanya melewati lapang rumput diantara pesantren, menyusur jalan kecil di belakang pesantren, kami pun sampai. Sambil berjalan saya merasa waas dengan proses Abah membangun pesantren ini sehingga bisa membangun peradaban pendidikan dilingkungannya.




Meski hanya sehari kami bisa bertemu bersama, kesempatan itu makan bersama nasi kebuli, ikan bakar, cumi-cumi dan berbagai panganan yang istimewa di rumah Bi Neng. Kerinduan dilengkapi oleh Kak Udong dengan membelikan kami setumpuk durian. Kami makan sama-sama di rumah Bunde. Sayang sekali, anak kami belum menyukai durian karena wanginya yang cukup kuat.

Pertemuan yang mahal. Ya, tentu saja mahal, karena hampir 2 tahun terhalang oleh situasi pandemi yang tidak juga berakhir. Saat memutuskan pulang tidak berharap apapun, bisa bertemu lagi kembali ditengah pelbagai pemberitaan kesehatan, membuat saya banyak bersyukur kita semua bisa bertemu kembali dalam keadaan sehat. Apapun masalah masing-masing, bisa kembali bertemu dalam keadaan sehat itu rasanya luar biasa.

Kami tidak bisa berlama-lama disana, Ayah harus kontrol lagi. Mobil Neng-Si Iteung-siap membawa kami kembali pulang. Perjalanan juga pertemuan, membekali kami untuk terus memelihara dan membangun mimpi. Tentang hidup dan cinta.

Ima. Hari kedua bulan Ramadhan 2021

Suasana di Kopi Dewa, seduh dan bincang kopi.
Foto: Ima
Pertemuan dengan Restu-Uge dari Kopi Dewa sekitar tahun 2016, seperti mempertemukan pengetahuan kopi yang tertimbun lama dalam lautan. Setiap jeda seperti dipersiapkan untuk sebuah pertemuan lalu kembali menyambung dan menumbuhkan berbagai elemen. Sebelum bertemu mereka, saya hanya menikmati kopi tanpa tahu pernak pernik di dalamnya. Lalu saya pun mulai diajaknya untuk mengenal satu persatu rasa kopi dengan menggunakan berbagai alat-alat seduh. Bereksperimen memandukan berbagai jenis kopi dengan tingkatan suhu air, jenis kopi, jenis sangrai, hingga tingkat giling kopi. Sangat menyenangkan. 

Di komplek perumahan Bahagia Permai Raya Margacinta, lokasi Kopi Dewa tumbuh berkembang. Disana kita bisa menikmati kopi dari berbagai pegunungan. Untuk menikmatinya, kita bisa minta diseduhkan dengan alat-alat manual brew ataupun mesin kopi yang tersedia. Meski tersedia mesin kopi, di ruangan itu kita seperti masuk ke dalam museum alat olah kopi. Mulai dari alat roasting rumahan, pembuatan kopi espresso dengan rok presso, moka pot dan mesin listrik canggih, alat-alat seduh seperti V60 dengan berbagai warna, Vietnam Drip, French Press dan sebagainya. Kamu tinggal pilih mau mencoba menyeduh jenis kopi olahan seperti coffe lattee, es kopi, cappuccino, espresso, javanese. 


Kopi yang diseduh V60 lalu ditambah es.  Ini, segar!
Foto: Ima

Dengan persediaan alat seduh kopi di Kopi Dewa, kamu boleh mencoba alat seduh yang kamu mau. Cukup mengeluarkan goceng kamu bisa seduh sendiri, seruput rame-rame lalu cuci sendiri. Program #SeduhGoceng ini menarik sekali, kita bisa menentukan jenis kopi, menggiling kopi, menggunakan alat seduhnya untuk membuat kopi yang kamu mau. Sehingga, selain bisa menikmati kopi segar, kita mendapat pengalaman seduh kopi dan tips-tips menyeduh yang tepat.

Sebetulnya hal yang menarik dari #SeduhGoceng di Kopi Dewa selain menyeduh itu sendiri, kita dapat pengetahuan dan cara-cara tepat menyeduh kopi. Jadi kalau kita punya alat seduh tapi tidak bisa menggunakannya atau tidak punya alat seduh tapi ingin mendapatkan pengalaman menyeduh sendiri. Kopi Dewa menyediakan semua alat yang kita mau coba dan mereka siap memberi pengetahuannya. Kita bisa berbincang tentang kopi dari hulu ke hilir hingga diskusi memperlakukan kopi yang baik.

Disana saya mencoba membuat coffee latte dari mulai memilih jenis kopi, menakarnya, menggiling, lalu mulai membuat latte art meski hasilnya berantakan.  Meski hasilnya berantakan, saya senang, saya tidak seperti orang asing, karena bisa belajar langsung melalui orang-orang yang mengenal seluk beluk dunia perkopian. 



Begitu masuk dan bertemu dengan orang-orang Kopi Dewa, saya menemukan ruang bincang, ruang yang membuat saya lebih terbuka pada pergerakan dunia kopi. Kalau dalam posisi seperti ini, saya jadi ingat bahwa ilmu yang kita miliki itu hanya setetes dari lautan, semakin kita mempelajari sesuatu, semakin kita tidak tahu apa-apa karena ada saja pengetahuan baru yang kita temukan dari proses mempelajarinya.

Proses awal pertemuan dengan Restu-Uge dan “virus” manual brew yang ditularkannya, membuat saya pelan-pelan mengumpulkan beberapa alat seduh. Pertama yang saya punya adalah vietnam drip, meski tadinya kepayahan untuk menyeduh kopi dengan menggunakan alat ini. Karena seringkali bijinya ikut berjatuhan ke gelas hingga karakter rasanya mirip kopi tubruk. Beberapa kali dilatih-dicoba terus menerus, sampai akhirnya vietnam drip selalu jadi alat seduh favorit saya setelah V60. 



Lalu mulai beli V60, diawal-awal tahun ini saya sering kesulitan cari kertas saringnya. Sampai akhirnya menemukan kertas saring di supermarket yang kebetulan tidak jauh dari rumah. Itu pun kadang stoknya habis. Mulanya di supermarket itu tidak tersedia kertas V60 dan peralatan seduh kopi terbatas. Hanya tersedia beberapa item. Lama kelamaan, kebutuhan saya mulai terpenuhi dan beberapa item alat seduh kopi bertambah. Bisa jadi tingkat antusias masyarakat menyeduh kopi segar di rumah mulai meningkat.

Rupanya, beberapa tahun belakang ini, pengetahuan seduh menyeduh perkopian semakin terbuka. Banyak diantara kita yang kerap memberikan edukasi tentang kopi Indonesia yang berkualitas dan perlakuan cara menyeduh kopi pun semakin bertambah. Tak hanya orang-orang yang senang berbagi pengetahuan tentang kopi, tapi bermunculan pula orang-orang yang melek kopi dan mau mempelajarinya.

Mencoba seduh pakai V60 lalu dianalisa rasa oleh Restu.
Foto: Agil

Kesadaran itu bisa jadi hadir atas edukasi yang terus menerus. Baik event lomba seduh kopi yang dilakukan oleh penggiat kopi yang memancing banyak komunitas. Pemerintah menangkap geliat ini dan melihat potensi kopi di tengah masyarakat. Hingga akhirnya pemerintah pun ikut mendukung dengan mengadakan event rutin dan membuka berbagai peluang yang bisa meningkatkan potensi kopi dari hulu ke hilir.

Bertahun-tahun kita dimanjakan oleh kopi dengan bentuk kemasan dengan takaran rasa yang terukur. Namun berdasarkan pertumbuhan dan studi kopi semakin berkembang. Pergerakan sosial kebudayaan 'ngopi' ditandai dengan era semaraknya warung kopi di berbagai tempat dengan berbagai konsep.  Kondisi ini menyebabkan komunikasi lintas budaya melalui media kopi.  Dimana konsep menyeduh kopi segar dengan cara seduhnya, dapat memberi pengaruh pada ruang hidup kopi yang selama ini seolah terpendam dan diisolasi atas nama praktis yang dibalut modernisasi.

Masyarakat Indonesia setiap hari semakin terbuka dengan adanya media pendidikan di bidang kuliner. Masyarakat semakin sadar kapasitas potensi alamnya dan pengaruh hasil tani kopi yang mempunyai pengaruh kuat pada ekonomi-budaya. Mulai dari perlakuan pada saat menanam dan memeliharanya hingga bagaimana menikmatinya dengan tepat. Kopi Dewa menjadi salah satu yang konsisten dan terus bergerak menularkan ilmu perkopian hingga menjadi pro aktif meningkatkan perputaran ekonomi yang terkait di dalamnya. Dari petani hingga penjual akhir. 

Helow! Lagi bareng Restu.
Foto: Ima

Buat saya, kopi tidak sekadar menuangkan beberapa sendok bubuk kopi lalu diseduh dengan air panas. Selain proses panjang kopi beserta sejarahnya, kopi kerap membangun ingatan masa kecil yang berkilauan, proses meracik rasa, menyusur sabar dan memaknai tiap jeda.

Bicara kopi selalu membangun ingatan masa kecil, ruang-ruang hidup penuh canda bersama kakak-kakak. Rasa tentram yang tak terbeli. Tak hanya itu, kopi akan membawa saya pada dongeng naga yang diceritakan Abah di pagi hari sambil menyeruput kopi tubruk yang wanginya masih tercium sampai sekarang. Kilau pagi dan panas kopi yang dikucurkan ke pisin, lalu diseruput pelan-pelan. Mata Abah yang penuh cinta dan hangat pada anak-anak.

Kopi tidak sekadar meredakan lelah, tapi lebih dari itu, dalam tiap seduhan menumbuhkan berbagai perbincangan setiap masa yang bisa mengelola jiwa: tawa dan membangun hidup lebih baik.

Sore ini seru sekali, anak-anak bermain kartu mainan Jalan Jalin dari Hola Halo travel marketpace. Sekalinya saya kasih contoh, mereka terus menerus main sambil tertawa-tawa dan berteriak cepet-cepetan cari gambar yang sama dari kartu yang dipegang dengan kartu besar dengan berbagai gambar di dalamnya. Sambil cari gambar, mereka menyebutkan nama lokasi tempat wisata yang tertera di kartu. Ternyata, lama-lama mereka jadi ingat satu persatu tempat wisata yang ada di belahan Nusantara.

Belakangan ini travel marketplace dibutuhkan oleh masyarakat, mengingat makin banyak minat masyarakat melakukan traveling ke berbagai berbagai wisata alam Indonesia. Kebutuhan ini karena bermunculanan traveler yang kerap mengangkap perjalanannya ke dalam bentuk tulisan yang mengangkat tema keindahan alam Indonesia. Perlahan-lahan minat wisatawan lokal maupun asing pun meningkat. Traveler ini kerap membagikan proses perjalannya ke dalam blog, website, bahkan beberapa orang kreatif mengabadikan dalam bentuk permainan, novel maupun buku kumpulan kisah perjalanan.

Bentuk literasi digital maupun fisik (buku) ini rupanya menularkan hobi traveling ke orang-orang. Tapi tidak semua orang punya pengetahun yang sama bagaimana membekali diri saat melakukan kunjungan ke objek wisata alam. Melihat berbagai kondisi di lapangan, banyak sekali media informasi yang menginformasikan berbagai kebutuhan dan etika yang harus diketahui oleh seorang traveler.

Cara yang dilakukan oleh travel marketplace Hola Halo ini unik sekali, dia mengeluarkan kartu permainan Jalan Jalin yang bisa dimainkan oleh anak-anak maupun dewasa. Selain mendapat keseruan bermain, para pemain secara tidak langsung mengedukasi siapapun tentang lokasi wisata alam Indonesia yang luar biasa.

Seperti yang saya ceritakan di atas, anak-anak saya dengan teman-temannya asik sekali memainkan kartu permainan Jalan Jalin. Cara bermainnya pun sederhana, dalam satu kotak permainan itu ada dua jenis kartu: ukuran besar dan kecil. Setiap kartu kecil terdapat gambar dengan ciri khas identitas lokasi wisata, misalnya gambar ikan hiu, air laut dan pohon kelapa yang dilengkapi nama lokasi Karimun Jawa dan Jawa Tengah. Sementara di kartu ukuran besar, terdapat beberapa gambar dengan berbagai lokasi wisata namun tidak ada nama/identitas gambarnya.  
Kartu permainan ini tidak hanya berupa gambar, di belakang kartu bergambar ini terdapat tips-tips traveling yang aman dan menyenangkan.



Cara bermainnya sederhana, namun perlu kejelian para pemainnya. Pemain bisa 2-8 orang, setiap orang memegang 5 kartu. Kemudian kartu besar dibuka satu, lalu setiap pemain mencari gambar yang sama dengan gambar yang tertera di kartu kecil. Begitu dapat yang sama, kartu disimpan di bawah/dekat kartu besar. Kalau sudah tidak ada lagi gambar yang sama, dikeluarkan lagi kartu besar lalu cari yang sama. Begitu seterusnya sampai kartu kecil di genggaman habis. Buat pemain pertama yang habis kartunya, dia yang menang.

Pada dasarnya, saya suka sekali explore berbagai daerah. Hanya karena keterbatasan waktu dan keadaan yang tidak memungkinkan, maka kesukaan ini seringkali di rem. Untuk menuntaskan kerinduan dan impian singgah ke berbagai daerah akhirnya dipenuhi lewat bacaan atau traveling di kota sendiri. Seperti taman kota dan daerah wisata yang tak jauh dari rumah. Tak hanya itu, saya senang juga membaca tulisan di koran, majalah, blog, menikmati vlog, tayangan televisi dan hasil jepretan para fotografer di instagramnya. Sangat menarik dan cukup menuntaskan keinginan saya untuk mengeksplore tempat-tempat indah di belahan Indonesia maupun dunia.

Sekarang ini, banyak sekali para traveler mengabadikan perjalanannya tidak hanya melalui foto, tapi menerjemahkan apa yang dilihat melalui tulisan. Sehingga muncul berbagai kisah destinasi wisata yang mereka kunjungi dari berbagai sudut pandang. Menarik sekali, setiap tulisan punya ciri khas, sekaligus dapat membuka mata kita bahwa Indonesia mempunyai keindahan alam yang istimewa.

Salah satunya platform travel dengan judul travelblog.id yang berisi berbagai kisah perjalanan traveler. Blog ini mulanya blog travel pribadi, pengelolanya kerap mengulas beragam tulisan destinasi yang dikunjungi lengkap dengan berbagai macam informasi yang lokasi wisata dan pernak perniknya. Rupanya langkah ini membantu banyak orang yang membutuhkan beragam informasi tentang daerah yang akan dikunjunginya. Sehingga tadinya blog pribadi menjadi platform yang bisa jadi media yang diisi oleh siapapun yang mau berbagi tulisan perjalanannya. 



Kebiasaan kita yang akan melakukan perjalanan, biasanya membuka berbagai macam referensi perjalanan dan tips-tips dari pengalaman orang-orang lewat tulisan maupun foto-foto. Langkah ini agar tidak terlalu asing dengan destinasi yang akan kita kunjungi, baik makanan khas, tempat penginapan, hingga budaya masyarakat lokal. Sehingga banyak orang yang hobi travel semakin terbuka wawasannya dan mendapatkan referensi destinasi wisata untuk rencana tujuan travel berikutnya.

Langkah kreatif yang dilakukan oleh Hola Halo travel marketplace ini menarik, pasti banyak orang-orang yang bisa menggunakan kartu permainan ini sebagai cara mudah mengenalkan kekayaan objek wisata di Indonesia. Sehingga muncul kesadaran cinta tanah air karena keindahan alam yang berada di belahan titik Indonesia.


*Keterangan:
Kartu permainan Jalan Jalin ini dapat kamu peroleh di online store Bukalapak, Tokopedia, dan ditukarkan ditukarkan pada Store Travelblog.id dan offline store Grow Gift Shop di beberapa tempat ini:
1. Jl. Pager Gunung No. 13 Bandung
2. Istana Plaza, Bandung
3. Point Samudera. Lt. 2, Bandung




Tinggal disebuah kota dengan berbagai brand, memberi keleluasaan referensi berbagai bidang yang ingin dipelajari. Tentu hal ini menguntungkan buat saya dalam proses pengasuhan buat anak-anak. 

Lain halnya ketika ada saudara maupun sahabat yang berkunjung ke Kota Bandung, referensi mereka dari cerita teman, informasi dari website dan review blogger.  Saudara saya prinsip saya ini, yang penting ingin menghibur anak-anak jalan-jalan, kuliner dan datang ke tempat wisata yang sedang hits. Tapi  saking banyaknya tempat wisata dan kuliner di Bandung, saya jadi sering bingung menentukan tujuan jalan-jalan.

Sebetulnya banyak label yang tercatut pada Kota Bandung ini, beberapa diantaranya sebagai kota kuliner, kota wisata, kota budaya, kota desain yang diakui oleh UNESCO, kota pendidikan hingga kota komunitas. Satu sisi, saya dan tentunya keluarga kecil saya, diperuntungkan karena punya “bahan” untuk belajar pada kota sendiri. Baik secara visual maupun berkegiatan yang mengolah kreativitas. Buat saya-kota yang dikeliling gunung dan kota peninggalan danau purba-menjadi bahan studi untuk anak-anak dalam mempelajari sesuatu. Kota Bandung ini ibarat museum kota, keliling kota ini saja sudah memberi banyak informasi. Banyak kisah disetiap titiknya.




Saking leluasanya, kota ini terbuka dan bertumbuh sesuai dengan profesi maupun studi yang dipelajari oleh masyarakatnya. Perkembangan berbagai bidang sangat mungkin terjadi di kota ini, seperti pesantren movement, kegiatan ramah museum, tempat wisata, taman tematik, fashion distro dan baju muslim, ruang-ruang kesenian/gedung kesenian, galeri seni, kantung budaya, tempat berkemah di beberapa pilihan bumi perkemahan, treking di hutan kota, hingga kuliner kelas restoran, cafe hingga makanan pinggir jalan.

Dengan banyaknya kategori atau label Bandung, sebetulnya kita tinggal menentukan tema jalan-jalannya apa dan kemana.  Lalu fokus di beberapa titik wisata, kuliner, belanja agar tidak terlalu terhambat oleh kondisi macet di jalan raya.

Ini terjadi beberapa hari lalu ketika keluarga adik suami dan mama mertua datang ke Bandung. Meskipun saya tahu beberapa tempat yang bisa dikunjungi, saya kembali mempertimbangan tempat yang semua asik dinikmati oleh anak-anak, orang tua-dewasa dengan harga terjangkau. 




Harapan mereka ingin datang ke tempat wisata yang dapat menghibur anak-anak, ingin datang ke tempat wisata ramah anak dan orang tua. Untuk Mama mertua ingin ke Pasar Baru untuk beli oleh-oleh seperti kripik, dodol dan alat make up. Buat Mama, datang ke Pasar Baru ini udah semacam wajib (banget). Selebihnya ingin coba menginap di hotel, berenang dan silaturahmi dengan teman-teman adik. Saya akhirya pilihkan di pusat kota, tepatnya masih  di kawasan belakang Gedung Sate. Lokasi yang banyak tempat kuliner, factory outlet, mall, toko buku, taman kota, museum dan supermarket. 



Belakangan saya baru tahu kalau Traveloka menghadirkan fasilitas terbarunya, yaitu Traveloka Xperience. Traveloka Xperience ini memberi referensi lokasi dan paket harga tiap lokasi yang dikunjungi. Tidak hanya paket wisata, tapi kebutuhan hiburan lain seperti workshop dan kursus, kecantikan, tempat olah raga, tempat makan, tempat bermain, tur dan pelengkap travel.

Buat kita yang suka tiba-tiba bingung ingin liburan ke suatu kota tapi bingung menentungan kemana saja tujuannya, cari informasi dulu di Traveloka Xperience. Bakal ada bayangan biaya yang harus dipersiapkan dengan keinginan jenis wisata yang ingin dijajaki agar sesuai dengan anggaran yang kita punya. Buat saya, referensi dari Traveloka menjadi #XperienceSeru karena membantu saya yang suka bingung menentukan tujuan agar proses jalan-jalan menyengkan tapi harganya tetap sesuai.


Seperti kemarin, keluarga suami ingin pergi refleshing keliling Bandung. Saya dapat #XperienceSeru karena tinggal buka aplikasi Traveloka saja. Di dalam aplikasi ini ada kategori Traveloka Xperience yang bisa langsung di klik. Di dalam Traveloka Xperience ada berbagai kategori, layanan bisa jadi ide hangout bersama keluarga ataupun sahabat. Mulai dari lokasi wisata, tempat olah raga, tempat kecantikan, workshop dan kursus, playgrounds, transportasi, hiburan, tur kota, film, kuliner, dan paket kebutuhan travel.

Jadi tinggal 'ngobrolin' saja, ingin dapat nuasa seni dan budaya, alam atau perkotaan. Di Bandung ini meskipun pusat kotanyanya sudah banyak tempat makan, factory outlet, distro, toko baju muslim hingga baju batik, di beberapa titik cukup asik untuk jalan kaki. Menelusuri trotoar sambil menikmati pepohonan lebat, bangunan-bangunan sisa peninggalan kolonial, sambil intuitif beli camilan di pingggir jalan. Seperti batagor, onde-onde, goyobod, dll.


Traveloka Xperience menyediakan berbagai destinasi wisata di berbagai kota dan negara. Jadi tidak hanya kota di dalam negeri saja tapi ada referensi wisata di kota lain. Buat orang-orang yang terbatas waktu untuk mencari referensi, Traveloka Xperience bisa jadi solusi. Karena dalam aplikasi ini sudah menyediakan paket-paket wisata, paket kuliner, tur lengkap dengan harga dan kebutuhan lainnya. 

Waktu keluarga suami datang ke Bandung dengan tujuan menginap, wisata dan silaturami bersama teman-temannya. Kita cukup search tujuan wisata, dalam menu wisata ini pilihannya banyak banget, seperti Waterparks, Museum dan Galleri, Farmhouse, NuArt Sculpture Park, Amazing Art World, Saung Angklung Udjo. Kemudian di menu Beauty and Spa, pilihannya ada Zen Spa, Bersih Sehat Bandung, Kokuo Reflexology Paskal, Yuyuantang Reflexology, Harris Spa, Purezza Family Spa Treatment, dll. Untuk Playground juga ada banyak pilihan bermain sambil belajar buat anak-anak. 

Akhirnya untuk tujuan wisata, saya pilihkan Floating Market. Karena di aplikasi itu diberi gambaran suasana lokasi, harga tiket masuk lengkap dengan foto-fotonya.  Jadi kami merasa bebas menentukan pilihan karena ada gambaran harga dan apa yang akan didapat oleh pengunjung.





Jadi di Taveloka Experience memberi rekomendasi tempat yang bisa membuat wisatawan kemungkinan besar merasa cocok dengan pilihan Traveloka. Wajar saja banyak yang merasa puas dengan pilihan Traveloka, karena Traveloka sudah lama berkecimpung di dunia wisata. Jadi dia sering mendapat pendapat wisatawan, baik keluhan dan kesan sendiri mengenai lokasi yang didatanginya. 


Uniknya lagi di Traveloka Experience, menyediakan fasilitas informasi pertunjukan dan acara kesenian yang akan berlangsung di beberapa kota di Indonesia. Ini menarik, Indonesia, tidak hanya lingkar Bandung yang terkenal sebagai kota seni-budaya, ikut merasa terbantu oleh adanya fasilita seperti itu. Secara tidak langsung, tentu saja Traveloka ikut berperan memelihara aktivitas kreasi seniman lokal. Karena setiap objek tidak bisa berdiri sendiri, semua bidang saling bergantung dan saling mempengaruhi satu sama lain.

Saya sendiri banyak terbantu oleh aplikasi Traveloka, setidaknya punya gambaran lokasi-lokasi menarik yang bakal dikunjungi serta menyiapkan anggaran berapa untuk memenuhi impian tersebut. Karena pilihannya fokus, kita tinggal cari bacaan hasil pengalaman orang-orang yang pernah wisata, kuliner atau apapun di lokasi tersebut.


18 Agustus 2019 kemarin, saya dan teman-teman anggota Komunitas Emak Blogger (KEB) Bandung dapat kesempatan kumpul komunitas bareng di acara Arisan Ilmu. Program Arisan Ilmu yang digarap KEB kali ini berlangsung di Crowne Plaza Hotel Bandung yang letaknya di Jalan Lembong. Saya mau sedikit cerita tentang pengalaman mengais ilmu dari Vlogger keren dan selayang pandang tentang tempatnya yang bagus. Banget.

Saya suka sekali dengan pemilihan tempat acara yang dipilih oleh pengurus KEB. Tepatnya kejutan banget buat saya yang biasa nongkrong pagi-pagi di lontong sayur Padang di Dipati Ukur. Selaian dapat ilmu, saya dapat pengalaman menikmati ruang temu dan layanan dari Crowne Plaza Hotel. Begitu masuk ke hotel ini, saya ngerasa spesial sekali. Wangi hotel yang khas, bersih, interior mewah dan indah memberi suasana hati yang menyenangkan.



Selain suasana interior yang membangun suasana hati jadi adem, pelayanan hotel juga membuat saya tidak canggung. Meski sebelum masuk hotel, saya harus melewati mesin metal detector barang bawaan. Beres melewati pintu itu, saya diarahkan menuju posisi lift berikut dibantu tekankan tombol lantai tempat acara yang akan saya tuju.

Suasana hari itu segar sekali, selain cuaca cerah kami menggunakan pakaian warna pink. Buat saya agak kagok menggunakan baju pink, kalau kerudung warna pink saya masih pakai begitupun baju warna peach. Begitu lihat pantulan saya di dinding lift, saya sempat ngerasa pangling sama diri sendiri,eh, ternyata, saya cocok juga pakai baju warna soft ini. Hehe... (nada narsis). 



Hotel bisnis mewah bintang 5 ini tidak hanya terasa di lantai dasar, tapi begitu sampai di lokasi acara saya dapat suasana yang berbeda. Begitu tiba di lantai 6, ternyata tempat berlangsungnya acara Arisan Ilmu KEB dengan Sisternet ini semi outdoor.

Di lantai itu ada kolam renang, kursi-kursi lucu, lantai marmer, sebagian lain yang dekat kolam renang ada lantai kayu dan pohon merambat. Di bagian lain ada Kids Zone yang keren dan asik bikin anak-anak betah dan terpancing kreativitasnya. Di sisi lain ada tempat barbeque dan cafee tempat kami kumpul.

Saya membayangkan, kalau suatu hari menginap di Crowne Plaza Hotel, bakal asik banget. Memanjakan pengunjung yang bisa melakukan bisnis sekaligus istrahat bersama di hotel itu tanpa perlu cari tempat yang lain. Misalnya, sebelum anak-anak berenang, bisa main di kids zone dulu lalu berenang. Sambil nunggu anak-anak bermain, kita bisa menikmati barbeque daging, sosis dan sajian lain. Bisa santai-santai sambil baca dan ngemil-ngemil. Liburan tengah kota yang menghasilkan hormon endorfin banget ini.



Lalu mata saya diberi pemandangan yang luas sekali, mungkin di lantai itu serasa berada di atas awan. Langit terasa begitu dekat, awan-awan putih bertumpukan, sesekali ada burung kecil serupa titik-titik hitam beterbangan diatara bangunan. Ah, kotaku. Bandungku. Jiwaku.



Energi Positifnya Dapet Banget

Acara kemarin menarik sekali, kami anggota KEB mendapat fasilitas tempat bagus dan makanan lezat. Mengais ilmu Vlog jadi tidak rudet tapi terasa asik dan nyaman. Di lantai 6, kami perempuan-perempuan Blogger dengan baju pink berkumpul.

Cukup banyak teman-teman yang sudah saya kenal secara online maupun offline. Sehingga tak canggung lagi, enak dan nyaman berbincang-bincang sambil menikmati sajian khas Crowne Plaza Hotel. 



Teman ngobrol kami banyak sekali, mulai dari kopi, jus apel, kue-kue dengan bentuk lucu imut dan enak. Ada pula roti, pancake, coco crunch, waffle plus ice cream, seperti sajian khas breakfast ala hotel. Menikmati sajian ini, semacam, berasa rehat dari rutinitas dan kewajiban sehari-hari. Obrolan pun mengular di seputar makanan, icip-icip kopi dan kesehatan.



Arisan Ilmu KEB

Keputusan saya datang ke acara Arisan Ilmu kemaren bikin pandangan terhadap dunia digital bertambah. Ini semua tentang bagaimana mengeksekusi ide, mengolah kreatifitas dalam menghasilkan karya digital, dalam hal ini video untuk di upload di media sosial seperti youtube. 



Saya sendiri selalu senang kalau dapat undangan seperti ini. Selain dapat ilmu perkembangan zaman digital, juga bisa ketemu dengan blogger lain yang mempunyai frekuensi “persoalan” yang mirip-mirip. Mulai dari mengatur waktu menulis dengan mengerjakan tanggung jawab beres-beres, masak, mengurus anak-anak hingga mengembangkan ide menulis dalam berbagai media. Sehingga dengan adanya pertemuan langsung itu ada energi positif, intensitas menulis, dan kadang obrolan jadi seputar masalah pribadi.

Rupanya, Arisan Ilmu ini sudah keliling ke beberapa kota. Bandung merupakan kota ke-5 yang dikunjungi oleh para pengurus KEB dan bekerjasama dengan pengurus KEB masing-masing kota. Di Bandung, ada Efi Fitriyah, Nchie Hanie dan Alaika Abdulah yang garap acara ini. 



Alasan saya daftar ke acara ini karena tema yang diangkat menarik, yaitu Optimasi Media Sosial Dengan Vlog dengan nara sumber Yasinta Astuti. Dia pengelola akun Keponih yang subscribernya udah buanyak banget dengan pengaruh tinggi.

Kebetulan saya lagi merasa asik ambil-ambil video pakai hape untuk digabung-gabung dan jadi rangkaian video 1 menit. Inginnya bikin video terus menerus sampai makin layak, asik dinikmati oleh orang-orang dan maunya (aaamiiin) bisa menghasilkan rezeki. 

Kemaren-kemaren sempat terpicu bikin video lagi karena dengar free music archive di sebuah website. Lalu bermunculan visual-visual di kepala. Musik-musik itu sangat menginspirasi dan menyentuh hati saya. Kebanyakan musik-musik indie, unik dan memberi energi berbeda-beda. Begitu mendengar satu musik, terbayang visual kota, bayangan, suasana alam dikemas jadi sebuah satu karya video art.

Sampai akhirnya tergerak juga membuat video art dari alat yang saya punya, yakni, HANDPHONE. Editnya pun menggunakan yang tersedia di playstore. Ya, hasilnya karyanya berupa visual keseharian, sederhana, terdekat disekitar kita. Pergerakan di sekitar di rekam, edit dikit dan beri musik yang keren. Sampai akhirnya saya coba bikin video saat nunggu antrian BPJS dan dokter di Rumah Sakit Santosa. Hasilnya seperti ini: 



Banyak yang diungkapkan oleh Yasinta tentang bagaimana proses kreatif dia dalam berkarya. Buat saya yang tidak mendalami membuat video, penuturannya memberi catatan panjang buat saya. Dari alat-alat sederhana, teknis pengambilan suara, aplikasi yang digunakan hingga bagaimana mengumpuplkan ide dan mengeksekusinya secara konsisten. Energi saya begitu mengumpul. Bahagia sekali bisa dapat tips dan bagaimana membuat video yang enak dinikmati oleh orang-orang dan mendapat banyak subscriber. 




Inilah enaknya masuk ke dalam komunitas yang punya satu frekuensi. Saya suka mendapatkan ilmu-ilmu baru dari orang-orang di dalam komunitas itu sendiri. Memicu diri jadi mau belajar lagi, mencoba lagi, pas semangat lagi drop suka dapat energi tambahan dari teman yang suka berbagi. Sekalipun pekerjaan saya kebanyakann interaksi di dunia online, tapi bersentuhan secara langsung itu perlu. Ada proses yang berbeda kalau belajar langsung. Itulah saya percaya, bahwa ilmu manusia hanya setetes ditengah lautan yang luas.