#2  Makanan Tradisi menjelang Idul Fitri

Sepanjang hari di bulan Ramadhan dapur “penuh’ dan sibuk memasak untuk makan berbuka dan sahur.  Mama mertua dan kru masak menyediakan makanan untuk 200-an orang: santri, asatidz, dan anggota keluarga di rumah.  Menunya berbeda dari sehari-hari, ya, seringkali ada kolek.  Rasanya belum afdol kalau buka puasa tidak ada kolek, seperti beberapa daerah di Indonesia kolek menjadi menu khas masyarakatnya. 

Seminggu menjelang Idul Fitri, aktifitas sekolah diliburkan, tapi mama tetap sibuk di dapur.  Sudah dua hari ini, mama menyiapkan panganan untuk menyambut hari raya.  Dua hari pertama mama dibantu tetangga memasak rempeyek, dan hari kedua memasak kue cincin, barangkali masih berlanjut ke beberapa hari berikutnya.  Soalnya, tadi sore Teh Neni menyangrai tepung terigu yang dicampur dengan tepung aci.  Kita lihat besok, bahan baku ini akan dibuat apa oleh tangan-tangan ajaib mereka.
#1 Fasilitas Umum

Mungkin sudah sangat terlambat menulis tema tentang hari-hari di Pandeglang, tepatnya di Kadupandak Banjar. Tidak apa-apa terlambat yang penting sekarang sudah ada kemauan dan kesempatan buat nulisnya.  Ini dia, kesempatan yang agak sulit diatur. 
Disini, di Pandeglang, ada beberapa daerah yang bernama Kadupandak: Kadupandak Banjar, Kadupandak Mandalawangi dan Kadupandak Kota Pandeglang.  Semua posisinya berjauhan, jadi yang mau kesini maka hendaklah berhati-hati. Tenang, menyenangkan, ko, situasi saja yang berbeda.

(Pause. Pilih lagu yang tepat dulu… tadinya mau pilih soudtracknya film I am Sam, ternyata kurang cocok.  Jadinya saya coba pilih albumnya Iwan Fals, ternyata lebih cocok:  Kadupandak, perjuangan, Iwan Fals akustik: “Darimu itu pasti, lagu ini tercipta!”.  Pas pisan!)

Lagu-lagu Iwan Fals ini mengingatkan saya pada masa-masa kuliah dan misteri keindahan berkarya bareng teman-teman di STUBA.  Energi saat itu  sangat besar, menyenangkan, dan melelahkan, perasaan dan pikiran yang rumit tapi menyenangkan.  Nah, disini, setiap mau ke pasar kami penduduk Kadupandak menggunakan fasilitas umum bernama angkot (angkutan kota) yang ukurannya kecil, berwarna hitam.  Tidak ada petunjuk arah atau label di angkotnya.  Saat kita sudah di pasar, cukup memberhentikan dan teriak: “Kadupandak?”  Lalu para supir itu akan menyahut sesuai arah tujuan mereka.  Seru, kan?  Serasa akrab sama supir-supir ini, tepatnya, sok akrob lah.  Tapi begitu deh sepertinya yang saya coba akrabi, disini setiap naik angkot rasanya tidak afdol kalau tidak ngobrol dengan sesama penumpang dan supir angkotnya.  Dengan begitu, kita merasa menjadi bagian dari mereka.  Jangan lupa, keluarkan logat dan gaya bahasa mereka.

Dengan mengambil keputusan tinggal disini, artinya kamu harus siap beradaptasi dengan siapapun dan apapun.  Karena dimanapun kamu tinggal, kamu akan berhadapan dengan segudang situasi, baik menyenangkan ataupun sebaliknya.  Mau tetap tersenyum atau menggerutu.  Itu pilihan.  Hanya ya sayang lah kalau kita menggerutu dan membandingkan terus menerus situasi yang berbeda, segala yang baik jadi tidak terasa indah, segala yang buruk malah makin tidak enak, apapun jadi terasa tidak enak dan jelek kan rugi jadinya.

Sebuah proses adaptasi yang susah-susah mudah sebetulnya, ketika kamu harus berhadapan dengan fasilitas umum disini yang tidak enak.  Kebutuhan dasar kamu adalah Pasar, karena disana kamu bisa mendapatkan kebutuhan-kebutuhan untuk makan.  Bayangkan hanya untuk beli papaya atau pampers harus menunggu kedatang angkot 15 hingga 30 menit.  Perjalanan dari rumah ke pasar terdekat saja 15 menit.  Kalau membutuhkan seperti pamper, sedikit bersenang-senang dan melengkapi beberapa kebutuhan, ya, harus ke Maja dan menempuh perjalanan 30-40 menitan.  Maja ini sebuah daerah, di perempatan jalan ada pasar kebutuhan pangan dan papan, juga menjamur mini market dan toko-toko kelontong.  Tidak tanggung-tanggung, ada 3 mini market lengkap dengan ATM.  Nah ini dia, kalau kehabisan uang juga harus menempuh jarak sedemikian lama.  Bisa jadi jarak dari rumah ke Maja ini tidak begitu jauh, hanya saja kondisi jalan yang tidak bagus bahkan di beberapa tempat belum di aspal menghambat proses perjalanan ini. 

Ada pasar yang lebih lengkap lagi, beragam kebutuhan ada di sini.  Bisa disamakan dengan pasar baru Bandung.  Sayangnya, kualitas barang disini tidak begitu bagus tapi harganya tinggi.  Sebenarnya saya agak malas kalau beli baju ke pasar ini, bisa jadi karena sudah tahu harga dan kualitas.  Kalau di Bandung kita bisa mendapat baju seharga Rp. 80.000 disini dengan kualitas yang sama harganya Rp. 150.000.  Jarak tempuh ke Kota Pandeglang ini sekitar 1 jam-an dengan menggunakan angkot, kalau menggunakan motor dan mobil sendiri bisa lebih pendek. 

Bayangkan, 8 tahun yang lalu saya dan keluarga pertama kali ke Kadupandak ini dengan kondisi jalan yang amburadul.  Lebar jalanpun kecil, kalau ada mobil yang berlawanan arah, salah satu mobil harus sedikit kepinggir dulu memakan jalan pejalan kaki yang tidak kalah sempitnya.  Sekarang masih sama saja, tidak ada perbaikan sama sekali.  Hanya di beberapa bagian saja seperti dari gerbang menuju Kadupandak hingga pesantren Darul Iman saja yang di pavin blok.  Padahal kalo dipikir-pikir, pastilah ada anggaran untuk pemeliharan daerah tapi ko tidak dilakukan yah.  Apa ruginya coba membuat masyarakat merasa nyaman dan fasilitas umum membaik.  Bukannya dengan kondisi jalan membaik justru bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan memperlancar aktifitas perekonomian dari Desa menuju Kota dan sebaliknya.  Hebatnya mama mertua, dia setiap hari pergi bulak balik dari rumah ke pasar membeli kebutuhan pokok Pesantren.  Tiap hari dengan kondisi angkot dan jalan yang… maaf, parah.  Selama ini, kemana saja para pemerintah yang mengurus fasilitas umum ini.  Apa mereka melihat, mendengar atau mempelajari semua kondisi ini atau terlalu sibuk dengan sesuatu yang dianggap seolah-olah penting?

Bagi orang “kota” yang terbiasa dengan kemudahan fasilitas umum, seperti apotik, rumah sakit, sekolah, angkutan umum, pasar, komunitas kreatif, terminal, keterbatasan kondisi di sini cukup mengganggu.  Karena proses menunggu, kondisi jalan yang tidak nyaman, jarak yang jauh, bagi beberapa orang bisa tidak efektif.  30 menit nunggu angkutan umum bisa digunakan untuk mencuci baju atau memasak.  30 menit waktu yang termakan yang sebetulnya bisa ditempuh dengan waktu 10 menit, 20 menit ini bisa dipergunakan untuk menulis ataupun membuat sesuatu yang lain.  Waktu seperti mesin hitung, cintaku… sebait puisi dari Goenawan Muhammad.  Dia bergerak terus dan kita yang bergerak mesti mampu memanfaatkan waktu yang  terus bergerak.  Hey, tapi saya akhirnya harus berhadapan dengan kondisi yang meresahkan ini, berdamai dengan keadaan dan memanfaatkan waktu yang ada. 

Beberapa hal yang dilakukan saat semakin pasti bahwa kami akan menetap di sini, akhirnya saya mencoba untuk mencari dan mempelajari sistem disini.  Dimana saya bisa menemukan beberapa kebutuhan disini, meresapi alam disekitar, dan juga cara berkomunikasi masyarakatnya.  Ternyata, saya jatuh cinta pada kampung Kadupandak, asri dan menyenangkan, gaya bicara yang keras, lepas, akrab dan tingkat perhatian tetangga satu dengan yang lain masih tinggi.  Selain itu, saya pun mulai meraba-raba, apa yang bisa saya lakukan untuk menambah fasilitas sosial.  Salah satu impian saya adalah ingin membuka perpustakaan dan toko buku untuk umum.  Selain itu ada ruang workshop untuk masyarakat yang ingin berkreasi dengan memberdayakan keahlian dan potensi tetangga disini.  Insya Allah akan menyenangkan dan berwarna, sepertinya disini ilmu-ilmu kreatif akan lebih bermanfaat.  Kalau di Bandung kan sudah banyak yang ahli dan keren –keren, disini rasanya belum ada yang bisa memfasilitas potensi masyarakat yang pasti banyak kemampuan yang belum tergali.  Mudah-mudahan dengan begitu, pemerintah bisa semakin melirik dan memperhatikan kondisi jalan menuju Kadupandak bahkan ke Jentul yang sama sekali belum baik jalannya.  

“Kira-kira, apa yang akan terjadi setelah ini?” Tanyaku pada Suami.  Nafasku terasa berat menahan segala hal yang mungkin saja terjadi.

“Tidak tahu. Tidak ada yang tahu." Jawabnya.  Suasana kembali hening.  Pikiranku melayang ke setiap kejadian kemarin-kemarin, harapan seolah kembali pupus karena beberapa situasi seolah mempermainkan harapan.  

"Tenang, Ma." Tiba-tiba. "Sekarang kita seolah sedang berjalan disebuah tangga dan sebentar lagi akan sampai ke sebuah gerbang, disana sudah disambut dengan beragam keindahan.” Ujar Cholis.

“Hmmm… I hope so.”  Mataku tertuju pada pohon yang tinggi dan lebat.  Cuaca pagi ini begitu temaram, anginnya terasa lembut.


Ya,  i… we hope so…