#1 Fasilitas Umum
Mungkin sudah sangat terlambat menulis tema tentang
hari-hari di Pandeglang, tepatnya di Kadupandak Banjar. Tidak apa-apa terlambat
yang penting sekarang sudah ada kemauan dan kesempatan buat nulisnya. Ini dia, kesempatan yang agak sulit
diatur.
Disini, di Pandeglang, ada beberapa daerah yang bernama
Kadupandak: Kadupandak Banjar, Kadupandak Mandalawangi dan Kadupandak Kota
Pandeglang. Semua posisinya berjauhan,
jadi yang mau kesini maka hendaklah berhati-hati. Tenang, menyenangkan, ko,
situasi saja yang berbeda.
(Pause. Pilih lagu yang tepat dulu… tadinya mau pilih
soudtracknya film I am Sam, ternyata kurang cocok. Jadinya saya coba pilih albumnya Iwan Fals,
ternyata lebih cocok: Kadupandak, perjuangan,
Iwan Fals akustik: “Darimu itu pasti, lagu ini tercipta!”. Pas pisan!)
Lagu-lagu Iwan Fals ini mengingatkan saya pada masa-masa
kuliah dan misteri keindahan berkarya bareng teman-teman di STUBA. Energi saat itu sangat besar, menyenangkan, dan melelahkan,
perasaan dan pikiran yang rumit tapi menyenangkan. Nah, disini, setiap mau ke pasar kami
penduduk Kadupandak menggunakan fasilitas umum bernama angkot (angkutan kota)
yang ukurannya kecil, berwarna hitam.
Tidak ada petunjuk arah atau label di angkotnya. Saat kita sudah di pasar, cukup memberhentikan
dan teriak: “Kadupandak?” Lalu para
supir itu akan menyahut sesuai arah tujuan mereka. Seru, kan?
Serasa akrab sama supir-supir ini, tepatnya, sok akrob lah. Tapi begitu deh sepertinya yang saya coba
akrabi, disini setiap naik angkot rasanya tidak afdol kalau tidak ngobrol
dengan sesama penumpang dan supir angkotnya.
Dengan begitu, kita merasa menjadi bagian dari mereka. Jangan lupa, keluarkan logat dan gaya bahasa
mereka.
Dengan mengambil keputusan tinggal disini, artinya kamu
harus siap beradaptasi dengan siapapun dan apapun. Karena dimanapun kamu tinggal, kamu akan
berhadapan dengan segudang situasi, baik menyenangkan ataupun sebaliknya. Mau tetap tersenyum atau menggerutu. Itu pilihan.
Hanya ya sayang lah kalau kita menggerutu dan membandingkan terus
menerus situasi yang berbeda, segala yang baik jadi tidak terasa indah, segala
yang buruk malah makin tidak enak, apapun jadi terasa tidak enak dan jelek kan
rugi jadinya.
Sebuah proses adaptasi yang susah-susah
mudah sebetulnya, ketika kamu harus berhadapan dengan fasilitas umum disini
yang tidak enak. Kebutuhan dasar kamu
adalah Pasar, karena disana kamu bisa mendapatkan kebutuhan-kebutuhan untuk
makan. Bayangkan hanya untuk beli papaya
atau pampers harus menunggu kedatang angkot 15 hingga 30 menit. Perjalanan dari rumah ke pasar terdekat saja
15 menit. Kalau membutuhkan seperti
pamper, sedikit bersenang-senang dan melengkapi beberapa kebutuhan, ya, harus
ke Maja dan menempuh perjalanan 30-40 menitan.
Maja ini sebuah daerah, di perempatan jalan ada pasar kebutuhan pangan
dan papan, juga menjamur mini market dan toko-toko kelontong. Tidak tanggung-tanggung, ada 3 mini market
lengkap dengan ATM. Nah ini dia, kalau
kehabisan uang juga harus menempuh jarak sedemikian lama. Bisa jadi jarak dari rumah ke Maja ini tidak
begitu jauh, hanya saja kondisi jalan yang tidak bagus bahkan di beberapa
tempat belum di aspal menghambat proses perjalanan ini.
Ada pasar yang lebih lengkap lagi,
beragam kebutuhan ada di sini. Bisa
disamakan dengan pasar baru Bandung.
Sayangnya, kualitas barang disini tidak begitu bagus tapi harganya
tinggi. Sebenarnya saya agak malas kalau
beli baju ke pasar ini, bisa jadi karena sudah tahu harga dan kualitas. Kalau di Bandung kita bisa mendapat baju
seharga Rp. 80.000 disini dengan kualitas yang sama harganya Rp. 150.000. Jarak tempuh ke Kota Pandeglang ini sekitar 1
jam-an dengan menggunakan angkot, kalau menggunakan motor dan mobil sendiri
bisa lebih pendek.
Bayangkan, 8 tahun yang lalu saya
dan keluarga pertama kali ke Kadupandak ini dengan kondisi jalan yang
amburadul. Lebar jalanpun kecil, kalau
ada mobil yang berlawanan arah, salah satu mobil harus sedikit kepinggir dulu
memakan jalan pejalan kaki yang tidak kalah sempitnya. Sekarang masih sama saja, tidak ada perbaikan
sama sekali. Hanya di beberapa bagian
saja seperti dari gerbang menuju Kadupandak hingga pesantren Darul Iman saja
yang di pavin blok. Padahal kalo
dipikir-pikir, pastilah ada anggaran untuk pemeliharan daerah tapi ko tidak
dilakukan yah. Apa ruginya coba membuat
masyarakat merasa nyaman dan fasilitas umum membaik. Bukannya dengan kondisi jalan membaik justru
bisa meningkatkan kualitas hidup masyarakat dan memperlancar aktifitas
perekonomian dari Desa menuju Kota dan sebaliknya. Hebatnya mama mertua, dia setiap hari pergi
bulak balik dari rumah ke pasar membeli kebutuhan pokok Pesantren. Tiap hari dengan kondisi angkot dan jalan
yang… maaf, parah. Selama ini, kemana
saja para pemerintah yang mengurus fasilitas umum ini. Apa mereka melihat, mendengar atau
mempelajari semua kondisi ini atau terlalu sibuk dengan sesuatu yang dianggap
seolah-olah penting?
Bagi orang “kota” yang terbiasa
dengan kemudahan fasilitas umum, seperti apotik, rumah sakit, sekolah, angkutan
umum, pasar, komunitas kreatif, terminal, keterbatasan kondisi di sini cukup mengganggu. Karena proses menunggu, kondisi jalan yang
tidak nyaman, jarak yang jauh, bagi beberapa orang bisa tidak efektif. 30 menit nunggu angkutan umum bisa digunakan
untuk mencuci baju atau memasak. 30
menit waktu yang termakan yang sebetulnya bisa ditempuh dengan waktu 10 menit,
20 menit ini bisa dipergunakan untuk menulis ataupun membuat sesuatu yang
lain. Waktu seperti mesin hitung,
cintaku… sebait puisi dari Goenawan Muhammad.
Dia bergerak terus dan kita yang bergerak mesti mampu memanfaatkan waktu
yang terus bergerak. Hey, tapi saya akhirnya harus berhadapan
dengan kondisi yang meresahkan ini, berdamai dengan keadaan dan memanfaatkan
waktu yang ada.
Beberapa hal yang dilakukan saat
semakin pasti bahwa kami akan menetap di sini, akhirnya saya mencoba untuk
mencari dan mempelajari sistem disini.
Dimana saya bisa menemukan beberapa kebutuhan disini, meresapi alam disekitar,
dan juga cara berkomunikasi masyarakatnya.
Ternyata, saya jatuh cinta pada kampung Kadupandak, asri dan
menyenangkan, gaya bicara yang keras, lepas, akrab dan tingkat perhatian
tetangga satu dengan yang lain masih tinggi.
Selain itu, saya pun mulai meraba-raba, apa yang bisa saya lakukan untuk
menambah fasilitas sosial. Salah satu
impian saya adalah ingin membuka perpustakaan dan toko buku untuk umum. Selain itu ada ruang workshop untuk
masyarakat yang ingin berkreasi dengan memberdayakan keahlian dan potensi
tetangga disini. Insya Allah akan
menyenangkan dan berwarna, sepertinya disini ilmu-ilmu kreatif akan lebih
bermanfaat. Kalau di Bandung kan sudah
banyak yang ahli dan keren –keren, disini rasanya belum ada yang bisa
memfasilitas potensi masyarakat yang pasti banyak kemampuan yang belum
tergali. Mudah-mudahan dengan begitu,
pemerintah bisa semakin melirik dan memperhatikan kondisi jalan menuju
Kadupandak bahkan ke Jentul yang sama sekali belum baik jalannya.