Hujan datang sedari pagi
menenteng hari-hari lalu
menampakkan foto hitam putih dari hari ke hari

Riuh rendah gitar kalian
riuh rendah gelak menyala dilorong itu

luka menjadi nyanyian riang
nyanyian riang menjadi buah kesakitan, hari ini

...berlalu
berjalan begitu lambat
namun ruang begitu cepat berubah
aku-kalian entah dimana
tapi lahan begitu subur menapaki jejaknya

berlari aku
berlari kamu
diladang masing-masing


bersama

berlari bersama
hati kita tetap menyatu
didalam segelas kopi yang kerap kita minum bersama

di sore
pagi
siang
malam
menggelayutkan kefanaan
bersama
aku
kamu
kita kerap bertemu didalam bisu
... riuh sekali
GIAP THAN, 60 menit pertunjukan lakon koreografis untuk enam penari yang ditampilkan di Gedung Sunan Ambu-STSI merupakan hal yang menarik untuk dijadikan bahan studi. Régine Chopinot sebagai koregrafer berusaha menyampaikan alternatif bahasa tubuh sebagai sikap pemberontakan atas kondisi sosial sekarang ini.
Lima orang penari masuk panggung, meruang lalu duduk dipinggir panggung dengan menggunakan kostum setelan berwarna putih. Ada yang menggunakan kemeja dan celana panjang, kaos kutung dan celana pendek, kemeja panjang dan celana pendek. Seakan menyimbolkan tubuh itu sendiri yang jujur dengan keberadaanya seperti apa tampak secara kasat mata.
Pemusik yang mengiringi para penari ini terdiri dari satu orang laki-laki dengan memakai kaos hijau dan jeans berwarna hitam tampilan yang cukup casual dengan hanya menenteng gitar elektrik. Dia duduk menghadap panggung hampir berdempetan dengan penonton dan hanya disinari oleh satu buah lampu sorot. Musik mengiringi dengan tempo paduan klasik dan jazz mengikuti detak-detik aliran jantung kehidupan. Sebuah warna musik yang menarik sebagai simbol tarik menarik setiap kontradiksi situasi tatanan masyarakat.
Panggung gelap lalu sedikit-sedikit mulai menyala menyinari objek (perempuan) yang mulai bergerak mulai mengeksplorasi artistic berupa gabungan kain spanduk “OMO” (salah satu merek produk rumah tangga) yang memenuhi background panggung. Empat orang penari laki-laki duduk tablo namun berkesan wajar dan mereka duduk dipinggir panggung. Mereka memperhatikan gerak perempuan itu seakan menjadi bagian dari reaksi atas daya pikat yang tak berlebih, wajar sehingga memang menampilkan sebuah gerakan yang apa adanya. Sehingga hasil dari gerakan tersebut seakan memberikan sebuah jawaban bahwa perempuan tersebut dalam keadaan menggoda maupun sebaliknya memberikan pancaran yang menarik. Lalu munculah satu orang laki-laki mulai melakukan gerakan sebagai bahasa reaksi atas perempuan tersebut sambil mempermainkan artistiknya.
Selanjutnya sementara sepasang penari tadi menyudahi tarian lalu duduk dipinggir panggung, dua orang penari laki-laki menyambung cerita dengan bergerak seakan menyampaikan aksi tanpa reaksi. Laki-laki yang satu bergerak menarik perhatian pasangan yang tablo. Mereka bergerak begitu detil dari jemari kaki, cara melangkah, gerakan tangan begitu leluasa tanpa gangguan otot yang sulit untuk digerakkan. Namun tidak berusaha untuk mendistorsi gerakan itu sendiri.. Sangat menarik! Pembebasan tubuh yang menghasilkan gerakan yang baru, artistik dan sederhana. Dari dua orang laki-laki ini, seakan menyampaikan sebuah hasil aksi-reaksi pada gender yang sama.
Lalu satu orang laki-laki yang lain mulai bergerak dan ikut mengekplorasi laki-laki yang menjadi objek gerak. Dari gerakan ini, mereka bertiga seakan menyampaikan sebuah situasi penekan dan yang ditekan dengan hanya memegang kepala objek oleh dua orang laki-laki tersebut dan gerakan kaki, bahu, tangan yang begitu tampak ringan saat berloncatan, tarik-menarik, dan bahasa tubuh penekanan mental yang mereka sampaikan begitu gamblang namun detil dan wajar. Satu orang laki-laki yang berada dibawah tekana dua orang laki-laki begitu disampaikan dengan gerakan yang pas tanpa ada lompatan yang berulang-ulang lalu mencapai gerakan yang over. Mereka bergerak dengan tatanan yang halus seperti halnya detak jantung dan udara yang menjadi nafas kita sehari-hari. Tak berlebih tak kurang.
Lalu mulailah peleburan gerakan ditampilkan oleh lima penari sementara diakhir pertunjukan seorang penari bergerak dibalik kain dengan gerakan yang sangat aneh sehingga terasa mustahil untuk dilakukan oleh satu orang penari sehingga hasil bentuk kain tersebut seakan menyampaikan ada dan tiada.
Artistik panggung yang lainnya berupa lampu lampion kotak berwarna putih berjumlah 6 (enam) buah yang digantungkan dilangit-langit panggung. Lampu menyorot panggung dengan warna yang sentimental. Hasil cahaya menggunakan warna general dan hangat seakan proporsi hitam putih dalam sebuah foto. Ruang panggung yang begitu naïf, sepi, dingin seakan memberikan penjelasan jujur tentang perasaan dan dibuat bahwa perasaan itu adalah begitu adanya. Ada dan begitulah adanya.
Lakon ini seakan menyampaikan pemberontakan sosial pada faktor-faktor yang mendominasi mereka. Baik berupa besarnya pengaruh produk sehingga mempengaruhi gaya hidup, tuntutan masyarakat dan hal-hal yang mempengaruhi hidup manusia itu sendiri sehingga menimbulkan kegilaan atau tindakan yang saling mempertahankan ego.
Dari gerakan itu sendiri, koreografer sepertinya melupakan kaidah-kaidah tarian yang sudah mendarah daging lalu ia seakan memecahkan gerakan yang sudah digariskan dengan membebaskan gerakan, bandel dari garis-garis keindahan sehingga memunculkan bentuk lain yang justru menjadi tawaran lain untuk dinikmati. Dari gerakan itu juga kita dapat melihat sisi “pemberontakan” pada garis-garis gerakan pada tarian itu sendiri.
GIAP THAN, sebuah tawaran gerak pada eksplorasi ruang yang menumbuhkan aliran kreasi yang berbeda sehingga menumbuhkan daya tarik sendiri.
Koreografer : Régine Chopinot, Muisk dan Pemeranan : Gianni-Gregory Fornet, Tata Panggung dan Kostum : Jean Michel Bruyere, Tata Cahaya : Maryse Gautier, Penanggung Jawab Urusan Teknik : Patrick Barbanneau, Artis : BUI Tuan Anh, HA THE Dung, TRAN THI TUYET Dung, NGUYEN ANH Duc, HA THAI Son, QUACH HOANG Diep.

Bandung 7 Juni 2005. 16:09 WIB
Sabtu malam, 28 Mei 2005 di Kopi Selasar Soenaryo yang tak terasa dingin menyentuh suasana hangat dengan warna-warna cempor kecil menghiasi sekaligus membatasi ruang menonton. Daun-daun kering memenuhi alas panggung menampung kicau gitar, dendang jimbe, drum atau semacam beduk besar, kendang, flute, kecrek, eksotiknya bunyi rebana, conga, harmonika dan mirisnya biola bergantian dari satu lantunan pada lantunan yang lain. Sementara layar putih terpampang lebar di bagian belakang sebagai sentuhan artistik yang memvisualkan pertunjukan dengan multimedia sehingga memperkuat karakter Cozy Street Corner yang terdiri dari tiga orang personil diantaranya Boby Priambodo, Christian Buana Takarbessy dan Petrus Briyanto Adi dalam acara Paparan Musikal Cozy Street Corner dengan tema Hutan Hujan “Detak Nadi Musik Bumi”.

Penonton memenuhi tempat duduk batu yang mempunyai perpaduan gaya panggung Roma namun lebih di sentuh gaya etnik, sambil menikmati snack dan kopinya yang khas membuat suasana akrab dan cair. Beragam orang dengan keanekaannya seakan tersihir terbawa kehangatan paparan musik Cozy Street Corner yang sangat membumi dan mempunyai warna berbeda dan membuat pendengarnya jatuh hati.

Mereka hadir dalam dua sesi dalam memainkan musik-musiknya. Pada sesi pertama yaitu sesi introduce mereka bermain dengan alat musik gitar akustik dimasing-masing pangkuan tiga personil tersebut namun nada yang keluar begitu hidup, riang, ringan dan begitu mudah diterima. Lalu diantara dua sesi tersebut diselingi dengan pembagian door prize berupa produk kosmetik dari Body Shop yang terkenal dengan pengolahan produknya yang ramah lingkungan dan tanpa animal tester alias pencobaan produk pada binatang yang seringkali dilakukan oleh beberapa perusahaan kosmetik. Sekian banyak penonton mendapatkan kenang-kenangan yang manis dari Body Shop yang dituntun secara enak oleh dua orang mc membuat suasana ringan dan menyenangkan.

Sesi kedua dilanjutkan lagi dengan beberapa musik lagi lalu diselingi dengan pengenalan WWF (World Wild Foundation) sebagai rekan kerja dalam mewujudkan acara ini. Dimana WWF membawa misi pencegahan dan perlindungan ekosistem hutan dari tangan-tangan manusia yang jahil. Tujuan utamanya yaitu melakukan perlindungan Mega-Biodiversity, fungsi ekosistem kawasan Heart of Borneo dan sumber kehidupan berdasarkan pemanfaatan berkelanjutan. Yeah… sooo COZY! Kerjasama WWF dengan CSC merupakan peraduan yang … pas sekali. CSC mampu menterjemahkan bahasa alam dalam susunan syair yang sederhana namun aransemen musiknya begitu cerdas sehingga menjadi hidup dan unik. Sehingga musik CSC menjadi melewati batas pendengar apakah itu anak kecil, remaja, dewasa menjadi satu kesatuan utuh manusia itu sendiri. Dimana jenis musiknya menghormati dan menyentuh titik-titik kecil kerinduan hati manusia yang tersembunyi oleh keangkuhan karakter manusia yang begitu ribet. CSC membawa kita jeli tehadap hal-hal yang kecil namun menggerakkan hati untuk menikmati hidup dengan “sederhana”. Seakan mengajak siapapun tanpa peduli ras yang berbeda untuk selalu membuka mata dan hati pada apapun.


Lagu-lagu yang dinyanyikan seperti I Miss You, Two Blocks Away, Melata Hati, Cinta, Siul daun, Me & Mr. Bumble Bee, Ingin Bercerita, Bulan dan Bintang, Ulat Bulu, Rangkum Jemari, Berlayar di Siang Hari, Delman, Dendang Bersahutan, Hutan Hujan, We Nana Na Yo, Punyaku Sendiri, Gayung Bersambut (Apa Iya…??) kolaborasi bareng Bonita yang memiliki suara sangat menarik lalu dilanjutkan dengan lagu Penuh Dengan Cinta, Kira Di Dada, saya nonton sampai mereka menyanyi ini karena waktu beranjat larut. Karya-karya Cozy Street Corner benar-benar membuat hati dan mata terbuka pada segenap karya semesta yang begini luar biasa.

Kebersamaan malam itu dengan CSC terkadang diselingi dengan perbincangan antar personil dan penonton dengan bahasa yang sederhana dan menyenangkan dalam mengantarkan pada musik berikutnya. Sesuai karakter musiknya, mereka begitu low profile dan mampu membangun suasana hangat dan matang. Sehingga kurang lebih 3 (tiga) jam penampilan mereka tak membuat diri beranjak dari peraduan malam. Betapa hangat dan menyenangkannya. Suasana hangat terbangun juga atas kerjasama penonton yang cukup antusias dan reaktif pada tiap-tiap lantunan nada. Kadang mengikuti ketukan lagu dengan tepuk tangan, gerak-gerak bahu, lentikan jari, menyanyi bersama, dan reaksi-reaksi spontan atas lagu-lagu CSC yang membawa kita pada beragam suasana.

Musik-musik mereka begitu detil dan enak dalam memainkan kata-kata dalam ketukan nada ditambah sentuhan alat-alat musik menyambung cita rasa tradisi. Alat-alat musik seperti flute, kendang, rembang, jimbe mampu mengantarkan sentuhan yang etnik namun terasa akrab dan mudah diterima. Disini CSC mempunyai jenis musik yang terasing dari jenis-jenis musik pada umumnya. Namun mampu juga mengasingkan pendengarnya sendiri dalam melihat “kehidupan” pada sudut pandang yang berbeda. Penikmat CSC seakan dicuri dari peradaban kota Bandung yang semakin semrawut dan rakus. Lalu diantara acara ini pula Komunitas Bebenah Bandung ikut meramaikan acara dengan membagikan bibit pohon ke penonton dan atusiasme penonton cukup bagus dalam menanggapinya.

Ada banyak cinta yang ingin disampaikan oleh CSC dari setiap karyanya. Cinta pada manusia, pasangan, binatang, alam semesta, pepohonan baik yang tersentuh maupun yang tak tersentuh oleh mata dengan gaya bahasa puitis yang sederhana dan ringan bahkan ada pula yang sangat naif. Beberapa lagu tak mereka mainkan bertiga saja, namun ada beberapa musisi tambahan. Musisi tambahan itulah yang memainkan alat-alat musik tradisi/akustik membuat ketukan musik berasa beragam dan kental . Para musisi tambahan itu diantaranya Bonita sebagai vocal perempuan dalam lagu Penuh dengan Cinta dan Gayung bersambut. Kang Harry Pocang memainkan Harmonika dalam lagu Tak Berarti dan Bunda Piara. Lalu di sesi introduce tiga remaja memainkan biola diantaranya Sisilia,Asti dan Bimo membuat suasana semakin terlena. Lalu decak kagumpun semakin riuh ketika beberapa lagu diiringi oleh permainan Barata Gusmao, Indra, Nelden saat memainkan percussion, kendang, rebana, conga, jembe. Seterusnya CSC terasa lelaki sekali karena personil backing vocal yang mengiringi beberapa lagunya terdiri dari lelaki semua diantaranya Hiram, Bernardus, Deo, Michael, Delfitri Said, Bisma, Roby, Johan, David, Iman.

Sayang, saya tak menikmati CSC sampai akhir. Tapi walaupun begitu saya sangat puas dan tidak berasa rugi beli tiket masuk senilai Rp 22.500,00. Selain itu uang tiket itu juga dipergunakan untuk menyumbang aktifitas peduli lingkungan hidup (saya harap saya dapat memberikan lebih … ).

Open Your Heart, Eyes, Ear, Hand To Be Cozy, Be Calm and Wonderfull Life !!!
Hari ini tanggal 3 jam 08:26 wib.
Entahlah saya selalu merasa mengalami kegembiraan yang berbeda atau semacam pencerahan atau semacam ada sesuatu yang berubah atau ada jawaban dari sekian banyak liukan dari labirin yang terlewati. Saya selalu merasa bergairah di bulan Juni, ada semacam energi yang berlebih walaupun barangkali tak ada yang melihat itu secara kasat mata ataupun sebaliknya. Tapi saya merasakan ada sesuatu yang disalurkan entah dari mana menuju tiap … emm… sesuatu dari bagian hidup saya.

Sambil makan bubur ayam dua rebuan adalah hal ternikmat jadi makanan pagi sambil nongkrong di depan jendela rumah di ledeng. Kepulan teh manis siap disruput menambah kehangatan udara asri pohon-pohon kelapa yang jauh dari keramaian kota (dan jembaran-jembatan layang itu … UUUUGGHHHH!!!! Bikin begidik). Jangan membayangkan yang berbau kepulan knalpot dan panasnya Bandung akibat berkurangnya pepohonan dan rakusnya perokoan yang melumpuhkan beberapa perekonomian rakyat kecil. Sekarang mah nikmati dulu pagi yang cihuy ini.

Hmmm, barangkali juga saya merasa bulan Juni adalah bulan saya. Bulan yang menjadi “reminder” akan garis putaran yang sekian kali terlewati. Keterbiasaan akan labirin yang sekian kali ditempuh dari sekian kali waktu yang membuatku belajar atau sama sekali tak belajar. Menjengkelkan namun menyenangkan pula.

Bulan ini juga saya akan keluar dari lingkungan yang membuatku banyak berubah dalam memandang perspektif hidup. Baik yang positif maupun yang negatif. Banyak nilai hidup didapati dari orang-orang yang berasal dari ragam latar belakang berbeda, orang-orang yang tak kenal sama sekali menjadi kenal dan menjadi apa-apa atau tak menjadi apa-apa. Dhini, Tarlen, Bram, Pam, Niken, Gustaff, Reina, Tanto, Dhani, Liony, Mirna, dua guk-guk yang bikin saya tak takut lagi sama guk-guk: Billi dan Dante (HORE! hilang satu ketakutan), Teh Icha,seluruh teman-teman Tobucil (Toko Buku Kecil) dan Common Room, para pengunjung Tobucil dan Common Room. Ya, bulan depan aktivitas ima tak lagi diruang hijau itu, penuh buku, guk-guk-an dante dan billi, kopi sore, obrolan menuju malam, pesta-pesta ulang tahun dan semacamnya, riuh-rendah semangat teman-teman yang datang dalam kegiatan klab nulis, baca, jazz, origami, rajut, manik-manik, klab nonton dan event-event kesenian yang hangat dan Jl. Kiai Gede Utama yang sejuk dengan pepohonan yang rindang. Apa ini juga semacam “jawaban” bulan Juni untuk melakukan revolusi dari tiap titik kepulan mimpi yang kutabung lalu menguap entah kemana. Tak tahu juga. Eh, tapi bukankah kepulan itupun akan berubah menjadi awan lalu menetes pada bagian bentuk yang lain dan menjadi bagian yang akan menghidupkan bagian yang lain. Perputaran yang begitu masygul. Saya juga tidak tahu. Saya coba tuk pejamkan mata barang sejenak, entahlah barangkali ini adalah sebuah jalan hidup ima untuk melakukan revolusi dalam mengambil keputusan. Sebuah keputusan yang tak mudah dan perasaan yang bercampur baur tapi pada akhirnya saya harus merelakan yang lain dan menggapai dunia yang lain dengan penuh senyum dan bahagia.

Ya, saya akan melakukan revolusi beberapa hari lagi. Beberapa ratus hari kebelakang saya bergumul dengan buku dan debu-debunya dan beberapa hari kedepan saya akan bergumul dengan beras dan lebih konsen sama dunia perteateran. Ima akan berdagang beras, bukan saya tapi ini usaha ibuku yang akan dikelola oleh saya. Awalnya saya sempat ragu atas kemampuan saya untuk berdagang beras namun ternyata teman-temanku mendukung bisnis ini. Dhini, Pam, Tanto, Tarlen, bahkan Reina sepertinya bakal jadi pelangganku yang pertama untuk diantarkan berasnya tiap bulan, dan temannya Reinapun-Abdul akan mencoba untuk beli beras sekarung kalau datang ke Bandung. Tarlen bilang ke kakaknya tentang keputusanku keluar dari Tobucil dan kakaknya Tarlen bilang ingin di stok beras untuk jatah guru Farmasi UPI. Bukankan ini sebuah dukungan yang luar biasa. Pam bilang “moal miskin ma mun jualan beas mah, semua orang butuh beas jang dahar,” sadar tak sadar kalimat sederhana itu sangat membangkitkan semangat atas usaha yang akan dijalani ini.

Saya akan rindu Dhini atas kelakarnya yang hangat dan pendirian atas pemikirannya serta diskusi-diskusi teater yang “klop” banget sehingga memunculkan inspirasi atas pilihan saya untuk tetap berkarya di teater dan membuat saya dapat melihat persoalan pada perpektif yang berbeda. Saya akan rindu Tarlen atas beragam analisa pada beragam persoalan kecil maupun besar dan keberaniannya dalam menjalani jalan-jalan yang harus ditempuh untuk mencapai apa yang diinginkannya membuat saya berani mengungkapkan analisa atas beragam situasi. Saya akan rindu Pam atas komitmen dengan alasan yang jelas, sikap atas hidup yang berpendirian, terbuka atas perbedaan (saya berasa “ada” dihadapannya), menghargai siapapun yang ada didepan dia selama tak mengusik hidupnya, spiritnya pada hidup sehingga sikapnya yang membuat saya tak malu atas pilihan hidup saya. Saya akan rindu Niken atas kebebasannya berfikir dan kenyamannya dalam berbagi, kehangatannya dengan anak-anak, cerita-cerita yang riang seakan tak ada lelah dikamusnya, kecerdasannya dalam berfikir membuat saya ketagihan membaca blognya agar rileks disaat sumpek. Saya akan rindu Bram atas selera humornya yang asik banget walau kadang garing (kurang penghayatan kali hehe…), enak diajak berbagi, selalu manja dalam menghadapi persoalan namun itu bagian dari perjalanan dalam memecahkan persoalan, intens pada bidang yang dia suka, cepat menangkap “situasi” membuat saya berasa mempunyai adik. Saya akan rindu Tanto atas keramahannya dalam berkomunikasi pada siapapun dan terbuka pada sesuatu yang baru dan berbeda, sensitif/cepat tanggap pada segala sesuatu, menghargai pemikiran orang lain dan tak menghakimi sesuatu tanpa analisa terlebih dulu dan selalu belajar dari apapun dan siapapun yang membuat saya belajar banyak untuk mencoba sesuatu dengan terbuka. Saya akan rindu Dhani atas keliarannya berimajinasi pada karya dan kemungkinan pokok persoalan, terbuka pada segala kemungkinan membuat saya ringan dalam menghadapi beragam kemungkinan. Saya akan rindu Reina dan Gustaff atas sikap dari komitmen yang telah mereka jalin, terbuka pada apapun, siapapun, membuat orang lain untuk berfikir dan bersikap membuat saya rindu menunggu kebaruan apa lagi yang mengejutkan untuk kali ini. Saya akan rindu Liony atas kecepatannya berfikir, keceriaan, cepat menganalisa, ekspresif, semangat hidupnya membuat saya berfikir “ini orang hebat ya ga sedih-sedih” (hehe). Saya akan rindu Mirna atas kebisaan yang luar biasa, semangat, cerdas, selalu siap membukakan tangannya untuk pelukannya yang hangat ataupun sekedar mengeluarkan nafas yang sesak. Saya akan rindu Teh Icha yang memasakkan mie rebus atau mie goreng dan obrolan tentang anaknya yang susah untuk dibuat suka pada membaca. Ah, betapa indahnya kalian sehingga saya berasa kaya (hehe).

Ima juga akan merindukan Teh Venven, Arif, Adenita, Tumpal, Rani, Iit dan Suami, Ridi, Mas Niman, Iyuy, dan semua teman-teman yang ikut klabs atau sekedar datang dan pergi namun kalian semua tak terkira luar biasa yang selalu semangat menyebarkan “virus” akan kecintaan kalian pada kegiatan membaca, menulis, seni yang luar biasa!. Dan tentunya teman-teman yang pernah bertegur sapa atau pernah berbagai selama 2,5 tahun ini di Tobucil bahkan disana juga saya mendapatkan teman-teman yang luar biasa, selalu semangat semoga selalu menjadi inspirasi atas hidup dimanapun kalian berada. Disadari atau tidak disadari kalian semua selalu menjadi bahan perenungan atas langkah hidupku yang sedang dijalani dari tiap detik waktu yang terus berjalan.

Terima kasih untuk segalanya. Terima kasih dari hati ima yang paling dalam dan mohon maaf dengan sangat atas sifat dan sikap ima yang membuat hati kalian tidak ngeh atau sifat-sifat ima yang membuat kalian merasa tak nyaman dan terganggu. Mohon maaf atas segala kekurangan saya.

Kalian yang mempunyai sikap …”I’ll be miss all of u so much guys”…

Saya datang terlambat, mereka sedang membawakan lagu yang ketiga sampai akhirnya saya duduk paling depan karena agak tempat duduk memang hampir penuh dan sulit cari tempat duduk yang lebih leluasa. Akhirnya saya dan temanku mau saja duduk paling depan dan hatiku bersorak (:"eh... mereka begitu dekat ya..."). Sedikit kucoba tenangkan diri padahal pengen teriak-teriak, nyanyin-nyanyi dan sedikt menggerakan kaki dan bahu cuma sepertinya yang lain pada malu-malu (atau saya yang tak tahu karena duduk paling depan, nanti kesannya...curi adegan).
Jam 19.30 udara malam dago tak berasa dingin dan kaki ikut memainkan satu ketukan musik ke ketukan musik yang lain sambil memainkan dedaunan kering yang sengaja mereka buat sebagai artistik panggung Kopi Selasar gaya tapal kuda dengan tempat duduk batu yang meninggi. Sehingga dimanapun kamu duduk memang berasa dekat.
Mereka bertiga Bobby, Cristian, Adoy membawakan lagu di sesi pertama hanya diiringi gitar akustik yang dimainkan oleh tiga orang tersebut. Anehnya, sebetulnya beberapa menit saya duduk di kursi batu saya sama sekali tak sadar mereka hanya diiringi tiga buah gitar (saja) soalnya lantunannya begitu hidup, beragam dan ringan. Mereka begitu santai menghadapi penonton, ketika ada syair yang lupa sikap mereka membuat kita merasa nyaman-nyaman saja tak ada yang perlu pertanyakan justru jadi ikut tertawa-tawa. Penonton juga akhirnya jadi seakan terbawa ringan dan bisa diajak kerjasama saat ikut jadi koor dalam membawakan salah satu lagu mereka.
Dari satu musik ke musik yang lain berasa bedanya. Sesaat penonton terbawa ke suasana yang riang, ringan namun intropektif terhadap lingkunga yang ada disekitar kita.
Ya, sebuah musik-musik yang dekat dengan keseharian kita baik itu tentang jatuh cinta, binatang, bebintang, manusia dengan manusia namun nada yang mereka ciptakan mempunyai nuansa yang teramat beda. Bisa membuat kita berjingkrak-jingrak, menari, bahkan untuk melakukan meditasi (percaya deh!!!).
Kolaborasi Cozy Street Corner dengan WWF memang cocok banget. WWF merupakan organisasi lingkungan hidup dan peduli terhadap kegundulan (istilah Cristian) di hutan Kalimantan. Karena karya-karya Cozy Street Corner ramah sekali terhadap alam, coba simak beberapa lagu mampu menginformasikan "banyak hal" dengan syair-syair sederhana yang maknanya kuat dan dimainkan dengan alat-alat musik tradisi sehingga memunculkan nuansa yang beda.

Buat Cozy dan sabaraya-nyah, selamat atas konsernya yang sangat menyenangkan, sangat menyenangkan!!!

Salam "Penuh Dengan Cinta"
Sedetik.Hanya sedetik
ia terengut oleh sapa lelaki yang duduk didepan mukaku diantara teman-teman yang kelelahan dan terlelap dikarpet biru yang digelar di ruang tengah.

Sedetik. Hanya sedetik
Kami melantunkan berupa warna kata dan masa yang terlewati
Gairahku terkesima

Sedetik. Hanya sedetik
Ia menghilang dimukaku diantara batas malam di bawah gemintang dan remang cempor dan dingin udara gunung

Sedetik.Hanya sedetik
Mataku mencari-cari diantara riuh remang warung kopi dan angin dingin yang bersegera lelap di waktu subuh

Sedetik. Hanya sedetik
Lantun gitar yang tak beranjak dari teras dan kesakitan dari seraknya suara
Aku menikmati malam dengan mata yang gelisah mencari sosoknya
Sosok yang membuatku hangat diantara delikan mata bulan

Sedetik. Hanya sedetik
Warna keemasan mengantarkan kami tuk segera beranjak dari riuhnya pohon yang sedari tadi terselimuti oleh lelapnya malam

Sedetik. Hanya sedetik
Ruang itu telah berganti halaman
Aku tak berdaya

siapkah engkau ini,lelaki?kau mengoyak ketenanganku
12-mei-2005> > 15:25:05
Saya kehilangan ide. Ia datang beramai-ramai sampai saya kehilangan kecekatan untuk mendapatkannya. Kepalaku diobrak-abrik sehingga tak tahu apa yang harus kususun. Semuanya riuh rendah menangkap segala keyakinanku, semuanya tarik menarik kearah kerentananku. Bagai ombak yang tengah mengamuk berada dalam ruangan yang teramat sempit, mengadu, mengaduk mencoba mencari perhatian.
Tiga hari kemarin, Sabtu, Minggu, Senin bahkan telah lama saya tak mengijak secara penuh di rumah. Bahkan saya pun tak tahu apa yang tengah saya perjuangkan. Namun tubuh ini terus… dan terus melakukannya. Apa ini semacam merusak diri sendiri? Saya tak tahu, saya tak sadar. Kebodohanku begini membabi buta. Keberadaanku yang semakin mentiada dalam kepastian yang tak juga hinggap diatas pundak harapku.

Keberadaanku bersama evi, teman-teman stuba bukan lagi zamanku. Ya, bukan lagi zamanku. Mereka tumbuh berduyun mencari kepastian atas ketiadakpastian yang terus mengigau diantara sel-sel keberadaan yang tak lelah mengiba.

Sejujurnya saya lelah. Tak ingin seintens ini menginjak dipelupuk mata ruang yang maha dahsyat itu, tapi ia terus menerus mengundang dengan harapan-harapannya. Aku yang begini kosong berdiri angkuh di jiwa-jiwa riang.

hei...Tertawa! Tertawalah!

Huff… aku lelah, ruangku bukan di sini lagi. Biarkan aku pergi sejenak. Biarkan aku pergi sejenak. Izinkan aku datang lagi dengan seribu undangan cinta atas karya-karyaku yang lain.

Sabtu, latihan jam 14.00 wib, rupanya evi tak juga datang. Saya sengaja datang ke kampus unisba dengan terlambat mengingat karakter evi yang suka telat. Saya datang ke stuba jam 15.00 wib. Dan saya ketinggalan HP. Disana ada Idola, Joe, Abu, Deni dengan seribu tawanya. Kami memutuskan pergi dari tempat itu jam 16.30 berikut menunggu kedatangan Tiwi yang ingin jumpa dengan kami. Akhirnya kami berempat segera beranjak dari sisa-sisa tawa ke kos-an Besti lalu kamu berbicang tentang seribu masalah yang tengah menengadah di ruang-ruang kecil STUBA kami. Tak lama, kami pun lelah dan segera beranjak ke UNPAS karena ada acara “100 hari meninggalnya Harry Roesli”.
Di unpas, seribu teriakan dan seribu gejolak menelantarkan kesepian. Saya lelah, sayapun tinggalkan Teh Sandra beserta anak-anaknya yang tengah menikmati kesepiannya diantara penonton unpas, kebetulan kami bertemu disana. Saya, Besti, Joe bergegas pergi setelah menikmati beberapa kerapuhan yang disampaikan. Kami menorehkan sejuta sejak-jeak impain yang entah tertinggal dimasa lalu kami atau masa depan kami.

Minggu, latihan di CCL dari jam 12.00 siang sampai jam 18.00 sore. Malamnya saya kabur dari rumah untuk mengejar impian ditengan musim hujan. Ya, ke stuba bertemu evi dan berjuta debat konsep panggung atas Besti dan Sugeng. Yanti menemaniku dengan titik-titik kepul rokoknya dan kehampaannya.
Pulang… aman!

Senin, Kabur di waktu subuh. Ya, ke STUBA dengan seribu harap dan konsep cinta atas pangggung. Evi datang terlambat akupun mengisi waktu dengan tidur sesaat dan membersihkan jejak-jejak kelaparan diruangan STUBA. Semangatku terkumpul kembali. Waktu datang dengan senyumnya seperti biasa… mengantarkanku ke Tobucil. Ya, dibalik pintu itu setumpuk program dan sesosok Tarlen dengan keberadaanya. Lama… seakan waktu memberi jarak diantara pintu ini ke pintu yang lain. Dan aku masih juga berdiri ditempat. Berjuta pintu, berjuta image, berjuta kata-kata, berjuta kerutan… tapi aku masih berdiri ditempat dibalik jeruji pintu kaca yang buram. Tak ada… disana aku tak menemukan sosokku yang tengah menengadah bahkan kaus kaki yang bau keringatpun tak tampak.

Pulang, dibawah reruntuhan awan yang menunjukkan jati dirinya sehingga aku tersadar untuk menggunakan jaket merah anti air yang telah bertahun-tahun menemani kesendirianku.

Pulang… ke rumah keduaku. Sesaat hanya sesaat tapi mampu membangunkan ketiadaanku

19.30 wib, izinkan aku untuk menyapa Tuhan sebentar. Izinkan aku membuka bajuku yang kotor lalu aku akan sesegera mungkin untuk turun ke impian-impian kita.

Hujan, kami tak lagi latihan bloking di CCL. Tawa selalu mengelegak di muka-muka malaikat kecil itu. Adakah aku memenuhi ruang kosong mereka ? Aku tak peduli. Sampai SMS datang dari sahabatku. Dewi.
Moment yang sulit untuk dilupakan adalah kebersamaanku yang telah terlewati beberapa tahun yang lalu bersama kawan-kawanku di STUBA*. Ingatan ini telah benar-benar merasuk dalam ruang jiwa yang tertanam rapat dengan teramat rapi. Mereka telah menjadi teman mimpi-mimpi indah dan mimpi-mimpi buruk dalam perputaran malam yang masih setia dengan kestabilannya. Salah satunya, karena merekalah saya dapat membuat hidup lebih bermakna. Entah terlahir dari beberapa pertengkaran, kesenangan, kesusahan dan atau kekonyolan-kekonyolan yang sering kami nikmati keberadaanya. Kami selalu merasa bahagia apapun kondisi yang tengah kami lewati. Sehingga sampai ada beberapa komunikasi yang tak perlu mengeluarkan banyak kata untuk saling memahami satu sama lain. Banyak sekali, bahkan terlalu banyak yang saya dapatkan dari STUBA atau saya kira nama ‘STUBA’ tak pantas untuk disandang karena kurang untuk menampung kapasitas yang telah ia berikan terhadap hidup saya. Ah, barangkali mungkin pernyataan ini tampak berlebihan. Barangkali sebaiknya saya tidak membicarakan STUBA tapi saya akan mengatakan bahwa STUBA adalah 200 ml air yang menyembuhkan kerongkongan dari dahaga. Lagi-lagi barangkali terlalu berlebihan. Baiklah, mereka adalah orang-orang terbaik yang pernah saya temukan tak hanya dalam berkarya namun kapasitas sebagai teman, sahabat, bahkan keluarga (hmm… lagi-lagi berlebihan).
Maaf, sebaiknya saya tak membicarakan STUBA tapi untuk yang terakhir kalinya saya akan mengatakan bahwa beberapa orang yang pernah datang dalam meramaikan hari-hari saya ini telah membuat saya tetap merasa berdiri diatas tanah. Saat saya berada pada situasi menunggu akan ketiadaan yang ingin dijumpai, mereka selalu siap menampung dan mengisinya dengan dendang sehingga kehampaan itu terasa lebih ringan. Hanya saja saat ini keterbatasan ruang dan waktu dengan mereka membuat pertemuan semakin berjarak sehingga kadang-kadang saya merasa kegigilan dan kehausan.
Barangkali saya adalah salah satu orang yang cukup beruntung atau barangkali juga bukan orang yang beruntung karena bersamaan dengan adanya pertemanan itu pula bertambah pula konflik yang muncul. Apakah konflik dalam bentuk beda visi, sosial, perbedaan-perbedaan dan hal yang paling berat adalah konflik batin ketika harus berpisah dari kebiasaan atas kebersamaan yang selalu kami lalui. Keduanya memberikan kegembiraan-kegembiraan dan juga kecemasan-kecemasan yang berkala. Rasa ketiadaan itu seakan harus ditelan mentah-mentah ketika kenyataan itu benar-benar dihadapkan pada perpisahan ruang tanpa kompromi. Karena hal yang paling membuatku lelah adalah harus menunggu pertemuan selanjutnya setelah pertemuan yang telah terjadi disebabkan intensitas waktu yang tak lagi menentu.
Tak hanya saya, setiap orang akan mengalami masa perjumpaan dengan sosok teman yang membuat kamu merasa begitu berarti. Rasanya tak ingin satu haripun disia-siakan untuk tidak berbagi dengan mereka. Namun kadang-kadang kekhawatiran akan lenyapnya mereka didepan mata kamu seringkali tak disadari saat ini. Ketika waktunya tiba, mereka mulai beralih peran menjadi sosok yang mempunyai beberapa tanggung jawab yang lain sampai akhirnya mau tak mau kamu harus kehilangan mereka. Dan hanya kenangan-kenangan itu yang membuat kamu dapat bertahan atas perjalanan yang tanpa kompromi terus berlangsung sampai batas waktu. Sisa-sisa musik, teh manis, kopi, bebauan, kepul rokok, kartu remi, sebungkus nasi dan sisa-sisa lainnya mengikuti satu demi satu tahap dalam kehidupan.
Kita tumbuh dewasa karena persoalan-persoalan yang mendukung pertumbuhan mental manusia itu sendiri sehingga laiknya menyantap makan pagi, siang dan malam. Namun tanpa kondisi yang tak diinginkan ini, saya kira otak kita tak akan terstimulus untuk melihat dinamika hidup secara terbuka. Semuanya telah diatur agar kita menjadi yang terbaik selama kita terus mencari dan merenungi keberadaan kita sebagai bagian dari kehidupan. Seperti yang disiratkan dalam novel berjudul tikungan karya Ahmad Munif bahwa Tuhan terlalu bijak untuk kita pahami kehendaknya kita harus pasrah, mandep, matep yang penting kalian sudah berusaha. Seperti pohon, ia tumbuh memperkuat setiap sel tubuh kita yang penuh ratapan. Tak hanya saya, kamupun tak mungkin tumbuh seperti sekarang ini tanpa orang-orang yang ada disekeliling kamu. Bukan hanya orang-orang yang mendukung saja, namun orang-orang yang menjadi sumber konflikpun merupakan bagian yang dapat memperkuat tatanan hidup. Tanpa kau sadari keberadaan sumber konflik tersebut merupakan objek yang dapat mengolah kamu untuk belajar memecahkan persoalan. Karena tanpa mereka kamu tak bisa melihat sesuatu dibalik hidup itu sendiri.
Seseorang yang membuat saya terbangun dari lelap adalah Yuni, teman pertama sewaktu masuk SMU. Selama masa SMP saya termasuk orang sangat tidak terampil berteman. Bahkan teramat lugu. Entah dia sadari atau tidak, keberadaan dia membuat pikiran saya benar-benar terbuka terhadap sesuatu yang lama maupun yang baru. Saat itu saya masih teramat lugu untuk mengartikan arti pertemanan. Saya merasa bahagia mendapatkan dunia baru dan mungkin kalau saja waktu itu saya sudah mengenal eksistensi diri. Ya! saat itulah saya berani menunjukkkan keberadaan saya. Saya begitu kagum atas pandangan-pandangan dia, apa yang dia sentuh, apa yang disuka maupun yang dia benci. Betapa beraninya dia menunjukan jati dirinya.
Namun waktu terus berjalan dan tuntutan semakin beragam sehingga banyak situasi yang yang harus diputuskan untuk mencapai ruang yang lain. Saat saya masuk pada ruang itu, ternyata banyak hal yang berbeda yang saya dapati. Terasa betapa bodohnya saya!. Semakin banyak yang tidak saya ketahui dan saya fikir saya akan cukup percaya diri dengan apa yang pernah saya dapatkan. Namun ternyata dengan pertemuan-pertemuan dengan orang-orang baru semakin beragam pula kekagumanan saya terhadap hidup. Selain pada akhirnya kita harus bersiap diri untuk kehilangan mereka setelah menorehkan bagiannya disisi ruang hati tersendiri.
Kita selalu dihadapkan pada hal-hal yang baru tapi dengan mudahnya cukup sering melupakan keberadaan orang-orang dimasa lalu. Bohong besar kalau kamu mengatakan bahwa orang-orang itu tak memiliki peran dalam membutmu menjadi mempunyai state of mind. Banyak sekali stuba-stuba atau yuni-yuni yang lain yang dapat menumbuhkan ‘kegelisahan’ untuk terus menjalani rotasi kehidupan. Bersama mereka -walaupun seakan tak memberikan apa-apa- dengan tahapan-tahapan yang sulit dimengerti akan ditemukan jawabannya jika kamu ingin menemukan jawaban tersebut. Karena kebodohan selalu terus menerus datang tergesa dan penyadaran akan pencerahan seakan segan untuk ikut bergegas.


_________
*STUBA = Studi Teater Unisba
Pung.2005
sesaat kepalaku terlepas dari tubuh meronta dan memaki keadaan. sesaat hatiku seakan tercerabut dari sejuta mimpi-mimpi indah dan mimpi-mimpi buruk. mata, hati, kepala, mulut-mulut itu tak lagi sedekat ruang-ruang yang pernah kita bangun bersama. walaupun tak besar tapi keriangan itu bercicit diranting-ranting sunyi.
Apa jadinya ketika kamu tak dapat merasakan lagi otot-otot yang menyangkut pada celah-celah tulangmu. Bagian terhalusmu seakan terlepas dari kasat mata, terlepas dari setiap sekat benda, lalu tinggalah mimpi mengambang dikelopak matamu. Menari-nari tak berdaya, berjingkat menatap langit.

Apa jadinya tanpa kau harus membuka mata, kau dapat melihat apa yang tampak di muka namun kau tak dapat melakukan apapun. Lebih-lebih kaupun tak memahami itu namun hatimu berontak, tapi ketika matamu melihat dalam-dalam ke dalam diri. Hasilnya sama saja, kaupun tak dapat mengerti apa yang tengah kau rasakan. Seakan kau tak dapat menguasaimu lagi seperti penonton yang tak dapat melakukan apa-apa. Saat itupun kau mulai bermain teka-teki mencari celah atas ketidakberdayaanmu.

Waktu terus bergulir
kita kan pergi dan ditinggal pergi
redalah tangis
redalah tawa
tunas-tunas muda
bersemi

“iwan fals – satu-satu”


Usiaku semakin bertambah bersamaan dengan bertambahnya orang-orang yang kerap datang dan pamit dengan sengaja atau tanpa disengaja. Kalian, begitu juga aku. Namun, ketika matahari pergi tenggelam dan matahari datang menjelang memaksa kita untuk saling meninggalkan. Apakah jiwamu tetap menyapa dikejauhan ruang. Apakah jiwamu tetap menyapa dikejauhan suasana. Kuharap kalian tetap begitu.

Pagi ini, kalian menyapaku dalam surat-surat yang tertumpuk debu dan dibalut oleh kertas-kertas tua. Begitu hangat kalian mengajakku untuk bercengkrama dalam suasana lebaran, atau sekedar ucapan ulang tahun. Adapun yang menyampaikan isi hati yang lelah karena harus bercengkrama dengan suasana yang membuat kau tak nyaman. Tak hanya kau, akupun telah mengalami itu dan kerap datang berulang.

Suara bel membangunkanku diantara keramaian dan ramah tamah ketiadaan yang tak segan-segan membawa kita larut. Begitupun suara-suara ramah kalian dalam tetesan tinta membuatku bangun akan keberadaan kalian yang telah lapuk termakan masa. Maaf cintaku … aku tak bermaksud melupakan kalian. Karena kalian, aku dapat mengenal hidup tanpa harus mengalami indahnya hidup tapi aku dapat merasakan dan belajar atas hidup kalian. Dan tentu saja, darimu itu pasti (uh.. lagi-lagi bait lagu Iwan Fals) hidup ini tercipta.

Hai… tegur aku kalau aku membuatmu luka.

LAGI-lagi mimpi buruk atau jangan-jangan pengaruh saya ikutan reiki. Hari ini -Jumat- di Unisba mestinya saya ikut latihan rutin Reiki. Terakhir di atouchment (kalau tak salah) baru sekali saya ikut latihan rutin. Cukup banyak pengaruh dari hasil latihan self-healing
KENAPA KETIKA SESEORANG MENEMUKAN KEBAHAGIANNYA SELALU DIHALANGI

Sebaris kalimat yang dilontarkan oleh Johnny Deep yang memerankan tokoh James Mathew Barry. Ia tak mengerti dengan posisi istrinya yang tidak memahami dirinya pada sebuah bentuk kebutuhan yang berbeda. Saat James menemukan sebuah perspektif baru terhadap hidupnya ia -seakan- tak diizinkan untuk menikmati 'keadaan" itu. Andai saja istrinya dapat memahami posisi James sebagai penulis tentunya kecemburuan tak perlu ia halalkan. Bayangkan, tidakkah pertemuan James dengan Peter, Jack,George, Michael membuat James lebih confort dan bergairah dalam menjejali bukunya dengan jurnal dari sore ke sore. Situasi yang berharga dan tak dapat ternilai oleh bergenggam-genggam mutiara. Tidakkah inspirasi itu sulit didapatkan apalagi ketika kau tidak menyadari bahwa sekelilingmu bisa sangat inspiratif.
Andai saja istrinya dapat mebuka keterbatasannya dalam berelasi (tidak kaku) tentunya James akan jauh lebih menghormati istrinya.
Bayangkan, walaupun hanya dalam satu detik saat mata melihat satu image dan mengundang inspirasi itu maka ia dapat mengubah hidupmu menjadi lebih baik, membuat kamu dapat merasakan "kepuasan" yang tak ternilai, dapat menelurkan sebuah ide yang sangat mahal harganya. Hey!!! disini saya tak bicara nilai uang tapi satu ide yang dapat menghasilkan akar-akar baru persoalan lalu lama-lama membentuk sebuah rangkaian bentuk. Untukku-untukmu.
PENTAS MONOLOG semakin menggeliat dimana-mana. Pentas dilangsungkan oleh kelompok teater umum sampai kelompok teater kampus. Bentuknyapun macam-macam dari pertunjukan realis sampai absurd dari kolaborasi sampai pertunjukan yang benar-benar tunggal dengan kemasan yang cukup menarik.
Kenapa harus MONOLOG?
Seakan lelah dengan konsekuensi kerja kolektif yang biasa di lakukan dalam menciptakan pertunjukan teater dengan melibatkan banyak pemain. Atau ingin menunjukan jati diri kemampuannya berakting karena selama ini selalu berating dengan karakter yang terbatas? Kalau dia bukan pemain inti barangkali sekian persen lebih banyak dari kemampuannya berakting tertutupi mengingat dialognyanya sedikit. Atau mungkin kesulitan untuk main dengan kelompok teater kenamaan. Atau hanya kebetulan saja, sebuah kelompok teater yang ingin mengeksistensikan diri dalam sebuah komuni seni dengan menarik para aktor dari berbagai kelompok. Ya, atau seakan "orang-orang" ini digiring mempunya "ide' yang sama untuk mensosialisasikan pertunjukan monolog. Bedanya, siapa yang cepat! dia yang mempunyai ide! siapa yang mementaskan di ruang yang lebih bernama! ia yang mempunyai nama!
MONOLOG sebuah pertunjukan menarik. Kita dapat menikmati pertunjukan itu jika pemain dapat memetakan tokoh yang ia perankan berikut tokoh-tokoh yang berada disekeliling tokoh itu. Sehingga seorang pemeran harus memerankan beberapa tokoh yang dapat menjadi sumber konflik dalam jalur cerita. Bayangkan, kamu bisanya memainkan satu tokoh dengan satu karakter itupun diberi kekuatan situasi oleh lawan main anda. Untuk bermain monolog kamu dituntut untuk memunculkan suasana sendiri dengan waktu yang cukup panjang sehingga penonton "deal" dengan permainan yang kamu sajikan. Berbagai karakter dengan kemungkinan latar belangkang yang berbeda pula tentunya suasana hati yang berbeda.
Barangkali ini merupakan salah satu alasan lain pula untuk para pemeran untuk bermain sendirian atas proses yang pernah dilewatinya. Atau bisa jadi sebagai sebuah langkah eksperimen diri atas eksistensi yang telah ia lewati.
APA yang bisa saya lakukan ketika ibuku sulit sekali untuk berhenti ke dr. Agus. Dia datang ke dokter untuk menjalankan pemeriksaan penyebab sakitnya dan mendapatkan resep obat. Tapi tang membuat saya heran adalah setiap amih memakan obat dari dokter itu hanya membutuhkan waktu yang tak lama rasa sakit amih berhenti. Awalnya saya tak terlalu mengiraukan, tapi setiap obat yang dia konsumsi habis maka rasa sakitnya akan muncul lagi. Sepanjang hari dia hanya akan tidur dan tidur. Kalau dia sudah melakukan itu, kalau tidak sedang ada pikiran tentunya badannya memang sedang sakit.
Kemarin adalah kesekian kalinya amih mengandalkan dr. Agus untuk memeriksa rasa sakit pada badannya. Hanya memakan waktu beberapa jam dari mengkonsumsi obat tersebut untuk bisa jalan-jalan keliling rumah anak-anaknya. Ya, benar! Amihku tak lagi merasa ngilu-ngilu. Ya, benar! obat yang ia konsumsi masih juga sama dari sejak pertama kali dia mencoba pengobatan ke dr. Agus.
Rasanya saya ingin segera bisa menguasai pengobatan ala Reiki, siapa tahu amih tak lagi mengandalkan obat-obatan untuk menghilangkan rasa sakitnya.
miss u mom ... even u don't know it ... i don't care!
JAZZ sedang "panas-panasnya" beberapa bulan ini dengan adanya JAVA JAZZ festival di Jakarta. Sayang, saya ga sempat nonton (masalah du... dan waktu ... Jirrrrr!!!). Bukan berarti saya tahu banget segala sesuatu tentang Jazz, tapi sekarang-sekarang seperti ada kontak dengan "suhu alam" (weeekkk) bawaannya pengen ngedengerin musik-musik yang menghentak dengan ketukan "macem-macem"(jazz maksudnya).
Apa hubungannya Jamie Cullum sama musik Jazz? Hmm... sebelum saya ngomongin Jamie Cullum tentunya saya harus ngomongin komputer Tobucil yang rusak beberapa hari yang lalu akibat petir. Cuaca di Bandung (saya kira ga cuma di Bandung) memang lagi berserakan oleh hujan. Hujannya ga tanggung-tanggung, petir yang mengganas dan anginnya itu bikin merinding. Sampai datanglah hari mengenaskan itu, Jumat, hujan datang dengan derasnya dan petir membabi-buta di sekitar daerah dago. Beberapa saat kemudian aliran listrik di jl. Kyai Gede tiba-tiba padam. Setelah lampu menyala kembali, rupanya 3 (tiga) buah komputer di Common Room rusak termasuk punya Tobucil. Meranalah kami selama 10 (sepuluh) hari ke depan tanpa komputer karena kebanyakan aktifitas kami membutuhkan fasilitas itu (uhg! menyebalkan... hehe).
Nah, Mr. Megaded akhirnya bisa ngebenerin komputer dan tentunya saya mulai beradaptasi lagi dengan si 'komputer' yang baru aja sakit. Ada beberapa yang berubah terutama list musik di media player.
Nah, ternyata di List media player ada Jamie Cullum diantara sempilan musik-musik Beatles. Klik dua kali : Tralala... i'm in love sama musik-musiknya!!
LEBIH-LEBIH kamu ga bakal percaya, kalo Jamie masih berumur 22 tahun orang Inggris yang bersuara MATHANGS. Sebelumnya saya mengira-ngira dia orang item yang berumur 27-an lah. Salah besar! dia berkulit putih. Jadi inget Harry Connick Jr yang punya tampilan cover boy yang bersura emas dan musiknya yang bernuansa Jazz, Blues yang bikin hati berjingkrat-jingkrat.
Hmm... umur 22 tahun saya lagi ngapain ya? Tentunya semester-semester akhir kuliah dan main teater dengan standar lokal (naon coba maksudna?). Gimana ya rasanya seumuran gitu udah go publik? gimana caranya ya? Kadang saya suka bingung, selain ide dan semangat apa aja sih yang harus saya lakukan untuk bisa seperti "itu".
Sebuah refleksi baru lagi untuk hari ini. pegang orang-orang yang anda cintai kuat-kuat.The fear of death follows from the fear of life. A man who lives fully is prepared to die at any time. Kata Pak Mark Twain. :)
kertas putih berbalut senja
menyeringi dikedlman waktu
tak ada rentang
angin membawaku kesebuah rimbun
hijau dan senyap
decak air terjun menampar parit
meriak
bergetar

beri sejenak loncatan gerimis air terjun
biarkan terjun kearahku
menampar bagian kecil dari tubuhku
biarkan

ya, hampiri aku
barang sejenak

tampar aku
....
hei, kawan lama
ssttttt
tampar aku
Ada sebuah kejadian yang menarik tentang seorang kawan. Kami sama-sama satu proses dalam berkarya. Teater. Katakanlah namanya Maya. Maya sudah saya anggap sebagai adik bagi saya, tidak hanya dia tapi juga beberapa teman-teman yang lain yang usianya lebih muda dari saya. Kami berangkat dari satu organisasi kampus, hanya beberapa teman-teman kemudian bergabung dengan kelompok lain untuk melanjutkan intensitas aktivitas yang berawal dari organisasi kampus tersebut.
Tidak demikian dengan saya, saya lebih single fighter seperti mengajar ekstrakulikuler di sebuah SMU swasta, TPA dan organisasi yang berkaitan dengan teater. Tak lama. Lalu saya mulai merasa hampa dan kembali ke organisasi kampus untuk ikut berlatih atau kadang-kadang kalau dibutuhkan sayapun melatih teman-teman juga. Walaupun saya juga mempunyai aktivitas di sebuah toko buku, ternyata masih juga membuat saya merasa tidak penuh. Ada sesuatu yang kurang. Terakhir kali berkarya adalah akhir tahun 2003 dengan membantu teman memberi make up untuk sebuah pertunjukan.
Lalu masuk tahun 2004, waktu mulai berjalan lambat-lambat. Saya mulai merasakan hampa yang menjadi-jadi. Belum ada ruang untuk berkarya lagi. Belum ada kesempatan lagi. Lalu sayapun mulai mencari kelompok yang bergelut dalam bidang teater tak disangka-sangka seorang teman memberi pulang untuk gabung di kelompok tersebut. Saya mulai menikmatinya. Sangat! Semangat baru dengan pola latihan yang tentu saja ada sedikit perbedaan. Lama.... rasanya lama sekali saya tak mengalami kebahagiaan yang mendalam.
Pertemuan pertama berlalu, selanjutnya pertemuan kedua lebih menyenangkan dan pertemuan ketiga kami olah vokal dengan bernyanyi-nyanyi.
Pada pertemuan ketiga, pemimpin dari kelompok tersebut mengisi materi tentang topeng. Bagaimana kami bergerak jika dipasang topeng dengan karakter A atau B atau C. Seperti ada daya magis, tubuh kamipun menyesuaikan sambil bercerm,in pada kaca yang besar. Senang sekali. Diantara kesenangan itu, pemimpin dari kelompokj tersebut memanggil saya. Lalu diapun mulai mempertanyakan style saya yang berkerudung. Diapun sambil tertawa nyinyir pesimis akan kesediaan saya untuk membuka kerudung lalu memberikan contoh pertunjukan yang cocok untuk saya. Tapi contoh pertunjukan itu memang tak mungkin kelompok tersebut yang mengadakan.
Heran! seorang yang begitu berpengalaman dalam berteater tapi tak bisa menghargai kecintaan orang lain atas kecintaannya pada bidang yang sama. Tapi saya fikir, memang di pertujukan kali itu rasanya saya tak mungkin "main", karena harus memakai kemben. Kalau persoalannya itu, saya tak keberatan karena memang masuk akal. Tapi dengan memberikan sebuah contoh pertunjukan yang "pantas" bagi saya yang berkerudung. Itu adalah sebuah penghinaan. Sama sekali tak menghargai rasa cinta atas "teater", apakah hanya dia atau beberapa orang yang lain saya yang berhak atas itu.
Tak lama terjatuh dari kekecewaan itu, Maya menghantarkan saya pada sebuah pertunjukan monolog yang ternyata lebih mengasikkan. Bagi saya, dia telah membukakan pintu bagi saya yang tengah kehilangan pegangan (cieeee...).
Kamipun akhirnya berproses bersama. Bersama dengan orang-orang baru dan orang-orang profesional. Sebuah jebakan yang mengasikan karena saya harus pentas dengan bahasa sunda. Bukankan itu adalah suatu pengalaman yang cantik karena selama ini saya selalu ingin bermain dengan bahasa sendiri dan agar lebih bisa mengenal dan pada akhirnya mengharga akar asalku. Sebulan kami latihan namun melihat hasil latihan masih juga belum memuaskan maka waktu latihanpun ditambah. Ya, sebuah latihan yang melelahkan dan menyenangkan. Karena kami latihan di Pendopo-Kopo dengan menempuh perjalanan yang cukup jauh dan memakan waktu hampir 2 (dua) jam.
Akhirnya "hari itu" datang juga. Saya benar-benar gugup, lalu sayapun berfikir untuk tidak membebani pikiran dengan orang-orang yang akan datang. Karena bermain teater itu membuat saya bahagia, jadi lupakan mereka dan buat hati kamu bahagia. Sayapun mulai pemanasan dari kepala sampai kaki sambil mendengung-dengungkan suara.
Dalam hitungan detik pertunjukan segera ditampilkan. Kolaborasi monolog sunda akhirnya dimulai juga.
Tak disangka ... beberapa penonton cukup takjub atas permainan kami. Sampai-sampai ada seorang teman kakak mengatakan pada saya : "Ternyata orang ledeng tuh gila-gila!". Begitu pula dengan teman-teman saya yang lain memberikan alasan tentang permainan saya bahwa akting saya adalah hasil latihan dari kakak saya. Dan beberapa yang lain cukup antusias atas permainan tersebut. Saya tak banyak berkata, sedih, tentu saja karena hasil ini adalah hasil jerih payah dan sharring saya, sutradara dan teman-teman produksi. satu sisi saya merasa sangat bersyukur kepada Allah, ternyata saya masih sanggup berdiri di atas panggung. Tapi satu sisi saya saya merasa sedih karena Maya tidak melihat itu secara positif. Dia membenci saya, ia ungkapkan perasaan itu terhadap temannya yang lain dan saya mendapatkan bocorannya. Benar-benar tak disangka dia akan berfikir bahwa karena jasa dialah sehingga saya bisa tampil, namun, saya-menurutnya-tidak pernah berterimakasih.

pagi, dua desember dua ribu lima. saya mengecup amih dibagian pelipisnya
mata amih masih terlihat lebam. tapi rasanya pagi ini terasa cerah karena kabut-kabut itu tiba-tiba menguap entak kemana. ya, emosi kami naik dua hari yang lalu tepat jam tiga sore ... saya pun heran atas kelakuan saya yang tak saya kira begitu sulit untuk meredakan emosi. saya mengerti kata-kata yang dilontarkan oleh amih tapi hati saya sulit untuk berkompromi. seperti fuzzle yang tercerai-berai dan akhirnya harus disusun kembali agar kembali seperti semula. benar-benar sebuah akhir tahun yang kelabu.
...
tak bisa, saya tak bisa seperti dewi yang menuruti kehendak orangtuanya padahal hatinya menolak. saya mempunyai keinginan dan harapan, ketika harapan itu muncul didepan mata dan terasa lengkap karena sebuah situasi tak disangka-sangka terjadi. amih mengijinkan saya untuk menjalankan kesempatan tersebut. sepertinya bintang-bintang akan berserakan nanti malam. kebahagiaan itu ternyata hanya berlangsung beberapa jam saja. amih berubah pikiran dengan alasan saya belum menikah. kontan, saya berdiri dengan suara yang sedikit terbata-bata : ... "adakah lebih baik kita menjalankan hidup yang ada di depan mata dulu"... entahlah, selama ini saya tak pernah menjadikan daging tumbuh pada kepala saya atas ungkapan-ungkapan seperti "menikah dong!" ... "segera menikah!" ... "menikah!" ... . kalimat anjuran "untuk segera menikah" tak hanya terlontar dari amih, tapi beberapa saudara-saudara dan saya anggap sikap ini adalah sebuah perhatian dari seorang saudara. saya mengerti, saya faham betul dan saya tak mengingkari atas sebuah pernikahan.
...
saya fikir kalau memang tak mengijinkan lalu kenapa status saya selalu dijadikan alasan?
unfair!
lalu apakah saya hanya bertopang kaki menunggu "hari itu" terjadi seperti menunggu godot? kalau amih atau beberapa saudara saya tak suka dengan "ungkag-ingkig" atas aktivitas yang saya lakukan lalu membesar-besarkan ketidaksukaannya dengan alasan bahwa saya harus menikah dulu. aktivitas yang saya lakukan selama ini toh adalah dua hal yang berbeda. kenapa harus melangkah pada sesuatu yang belum jelas padahal didepan mata ada yang dapat dilakukan terlebih dulu. Bukankah aktivitas ini bermanfaat juga jika kita melakukannya dengan sepenuh hati.

buat saya
menikah
tak semudah membeli coklat
tak juga serumit yang kalian fikirkan
tentang sikap saya
kalian sama sekali tak mengenal saya
kalian tak pernah mau memahami saya
karena kalian tak pernah mau mendengarkan saya
karena bagi kalian saya adik kecil tak tahu apa-apa

love u all ...
... emmm
sekedar untuk menghirup udara pagi
menatap bebintang di kerembangan malam
lihat
dedaun berdecak ringan
batang bunga melambai sayu
meminjam tanah tuk tetap berdiri

... pssstttt
hentikan derik gigimu
bayangku kini kaku

...
biarkan langkahku melagu
biarkan detakku melaju
sesaat memaku

...
maukah kau pinjamkan tanahmu untukku
untuk detakku
untuk det
untuk
untu
unt
un
u

...
kau tetap menderikkan gigimu
Langkah kaki
Membawa ketrotoar-trotoar kota
Tak ada lagi lara
Tak ada lagi kebahagiaan

Jiwaku tak nyata
Terhembus knalpot dan sinar lampu
Rayuan mesin serta merta mendesing
Membiarkan badanku melangkah
Tapi tidak jiwaku

Ia terperangkap
Sebuah lingkaran putih mendekap dadanya
Lalu membawanya terbang
Tak ada air mata
Tak ada cercah sinar
Lenyap
Termakan kala