Siliwangi Bolu Kukus. Foto: Ima |
Mulanya Bolu Kukus Siliwangi ini buka di Bogor, tempat produksinya pun tetap terpusat di kota hujan tersebut. Namun, agar bisa dinikmati oleh lebih banyak orang, akhirnya buka cabang di Bandung tepatnya di Jl. Moch. Toha No 145 Bandung pada tanggal 25 Januari 2020 yang bertepatan dengan hari Imlek. Keputusan membuka cabang di Bandung menarik juga, sih, karena Bandung itu selain kota wisata, akrab sebagai kota kuliner. Kuliner dengan rasa yang mengikat dan harga terjangkau.
Suasana toko saat promo Buy 1 Get 2 di gerai Siliwangi Bolu Kukus Bandung. Foto: Ima |
Di hari pembukaan bertepatan dengan Hari Imlek, mereka membuat promo buy 1 get 2 bagi 1000 pembeli. Sehingga hanya dengan mengeluarkan uang Rp 27.500 kita bisa mendapatkan 3 dus dengan berbagai pilihan rasa. Selain itu dari tanggal 26 – 31 Januari 2020 promo berlanjut buy 2 get 1. Namun harus dicatat, promo berlaku untuk 500 pengunjung (250 pengunjung pertama mulai pukul 10.00-13.00 WIB dan 250 pengunjung pertama mulai pukul 16.00-19.00 wib). Langkah ini sebagai upaya memperkenalkan rasa istimewa dari bolu kukus Siliwangi dan dapat dinikmati oleh lebih banyak orang.
Kalau berdasarkan sejarahnya, bolu ini dikenal dengan nama cake yang diolah dengan cara di dipanggang. Bolu atau cake kerap menjadi makanan spesial untuk acara ulang tahun, peribadatan, perayaan lainnya sebagai bentuk penghormatan. Namun oleh pecinta kuliner, bolu kemudian dimodifikasi cara pengolahannya dengan cara di kukus. Kemudian panganan khas dari Eropa ini melekat di masyarakat Indonesia. Sampai kita lupa, bahwa cake merupakan jenis makanan hasil percampuran budaya.
Kumpul sambil mencicipi beragam rasa Siliwangi Bolu Kukus. Foto: Dede Diaz |
Selama ini bolu kukus kita kenal bentuk bolu kukus itu seperti mangkok kecil, teksturnya lembut, mengembang dan permukaannya pecah seperti bunga. Bolu kukus dipelihara, berbaur sehingga terus hadir di tengah masyarakat. Masyarakat lokal menjadi terbiasa dan punya rasa memiliki atas rasa bolu tersebut. Meski makanan khas Eropa, lama kelamaan jadi melebur dan jadi bagian panganan yang tak terlepaskan.
Seperti yang saya ceritakan di atas, mencoba hasil olahan bou kukus Siliwangi seperti kembali menginjak tanah leluhur. Kenapa? Karena kita dapat menikmati makanan hasil peninggalan kolonial namun rasa yang dihadirkan dekat dengan hasil bumi tanah tropis.
Strategi yang dilakukan oleh pengusaha Bulu Kukus Siliwangi patut diancungi jempol. Melalui bolu kukus bisa mengenalkan kembali makanan yang diolah dengan modern, namun bisa meraih generasi masa kini untuk merasakan sensasi rasa buhun. Dengan hasil olah yang modern, bolu kukus ini mengangkat rasa bahan makanan hasil bumi Pasundan. Seperti alpokat, ubi Cilembu, stroberi Ciwidey, talas Bogor, ketan kelapa, susu Lembang, kopi Bogor dan brownies cokelat. Kita menemukan rasa lokal dalam kemasan Eropa. Salah satu yang bolu yang unik, kita bisa menikmati ubi Cilembu dalam olahan bolu. Sangat lezat disantap sambil meneguk kopi arabika.
Tegar Pranata (kanan).
Foto: Ima
Menurut Pak Tegar Pranata (General Manager Boga Karya Siliwangi), bahan baku untuk membuat bolu tetap menggunakan bahan-bahan asli namun tetap diberi tambahan penguat rasa. Sehingga kita bisa membedakan tekstur masing-masing bolu kepekatan rasa manisnya. Saat saya coba semua rasa bolu, yang manisnya sedang ada pada bolu ketan kelapa. Sementara yang suka manis melekat ada di rasa stroberi Ciwidey. Kemudian buat yang ingin merasakan manis alami ada di bolu rasa ubi Cilembu. Kalau sudah sekali coba, sebetulnya saya ingin nambah lagi. Nah, kalau sudah merasa kemanisan, kita tinggal seruput kopi dengan gula sedikit. Itu terasa sedang haus kemudian minum air mineral dingin, rasanya melengkapi keseluruhan rasa. Patut disyukuri karena kita hidup di tanah tropis yang menghasilkan berbagai jenis tanaman.
Selain rasa, bolu ini dikemas dengan apik. Baik dari sisi desain dus, proses peletakan, hingga ukuran dus yang sesuai dengan ukuran bolu. Nah, saya mau sedikit cerita tentang Ibu saya waktu masih muda. Beliau pernah membuat dan menjual bolu kukus. Bedanya, dulu belum ada mixer, Ibu saya menggunakan alat aduk manual untuk membuat beberapa pesanan bolu kukus. Bisa dibayangkan bagaimana dia membuat beberapa loyang dalam satu waktu, pasti capek sekali. Otot tangan bekerja lebih banyak untuk menghasilkan tekstur bolu yang lembut.
Gerai Siliwangi Bolu Kukus, lokalitas yang dikemas minimalis. Foto: Ima |
Sementara ini dengan perkembangan ilmu teknologi, kebutuhan pengusaha kuliner dapat terfasilitasi oleh para ahli mesin. Sehingga untuk membuat bolu kukus tidak hanya untuk memenuhi satuan produk saja, tapi bisa dibuat hitungan ribuan dalam waktu singkat. Penggunaan mesin tak hanya dalam proses pembuatan bolu, termasuk membuka telur dan mengemas bolu tak ada sentuhan langsung dengan tangan.
Proses pembuatan bolu kukus seperti ini dilakukan oleh industri makanan oleh-oleh Bulu Kukus Siliwangi. Dulu ketika mereka mengawali usaha ini, membuka telurnya harus dibuka satu-satu yang jumlahnya sangat banyak. Sehingga butuh ketekunan dan teliti agar tidak ada kulit telur yang masuk. Sekarang, untuk membuka telurnya menggunakan mesin khusus pembuka kulit telur, sehingga selain cepat kulit telur terbuka dengan sempurna.
Masyarakat mencoba berbagai jenis rasa Siliwangi Bolu Kukus. Foto: Ima |
Kemudian dari segi kemasan, kalau kamu perhatikan, ukuran dus untuk mengemas bolu pas dengan bolu-nya. Sehingga nyaris tidak ada jarak udara antara bolu dengan kertas dus. Langkah ini sebagai upaya untuk mengurangi bakteri berkembang biak diantara bolu dan udara kosong. Karena proses yang higienis, berpengaruh pada daya tahan bolu yang lebih lama. Bahkan cukup di simpan di suhu udara ruangan pun tetap aman hingga 4 hari.
Kegigihan dan ketekunan yang dilakukan oleh Pak Tegar Pranata untuk mengeksekusi ide usaha kuliner sangat inspiratif. Hasil kreasinya ini dapat dinikmati oleh banyak orang dan tentunya membuka lapangan pekerjaan buat orang-orang. Kreatifitasnya dalam menghadirkan panganan oleh-oleh sangat menarik, karena melalui usahanya ini menjadi bagian penting dalam membangun bangsa.