Sebuah refleksi baru lagi untuk hari ini. pegang orang-orang yang anda cintai kuat-kuat.The fear of death follows from the fear of life. A man who lives fully is prepared to die at any time. Kata Pak Mark Twain. :)
- By Ima Rochmawati
- On Januari 06, 2005
- No Comment
kertas putih berbalut senja
menyeringi dikedlman waktu
tak ada rentang
menyeringi dikedlman waktu
tak ada rentang
- By Ima Rochmawati
- On Januari 05, 2005
- No Comment
angin membawaku kesebuah rimbun
hijau dan senyap
decak air terjun menampar parit
meriak
bergetar
beri sejenak loncatan gerimis air terjun
biarkan terjun kearahku
menampar bagian kecil dari tubuhku
biarkan
ya, hampiri aku
barang sejenak
tampar aku
....
hei, kawan lama
ssttttt
tampar aku
hijau dan senyap
decak air terjun menampar parit
meriak
bergetar
beri sejenak loncatan gerimis air terjun
biarkan terjun kearahku
menampar bagian kecil dari tubuhku
biarkan
ya, hampiri aku
barang sejenak
tampar aku
....
hei, kawan lama
ssttttt
tampar aku
- By Ima Rochmawati
- On Januari 05, 2005
- 1 comment
Ada sebuah kejadian yang menarik tentang seorang kawan. Kami sama-sama satu proses dalam berkarya. Teater. Katakanlah namanya Maya. Maya sudah saya anggap sebagai adik bagi saya, tidak hanya dia tapi juga beberapa teman-teman yang lain yang usianya lebih muda dari saya. Kami berangkat dari satu organisasi kampus, hanya beberapa teman-teman kemudian bergabung dengan kelompok lain untuk melanjutkan intensitas aktivitas yang berawal dari organisasi kampus tersebut.
Tidak demikian dengan saya, saya lebih single fighter seperti mengajar ekstrakulikuler di sebuah SMU swasta, TPA dan organisasi yang berkaitan dengan teater. Tak lama. Lalu saya mulai merasa hampa dan kembali ke organisasi kampus untuk ikut berlatih atau kadang-kadang kalau dibutuhkan sayapun melatih teman-teman juga. Walaupun saya juga mempunyai aktivitas di sebuah toko buku, ternyata masih juga membuat saya merasa tidak penuh. Ada sesuatu yang kurang. Terakhir kali berkarya adalah akhir tahun 2003 dengan membantu teman memberi make up untuk sebuah pertunjukan.
Lalu masuk tahun 2004, waktu mulai berjalan lambat-lambat. Saya mulai merasakan hampa yang menjadi-jadi. Belum ada ruang untuk berkarya lagi. Belum ada kesempatan lagi. Lalu sayapun mulai mencari kelompok yang bergelut dalam bidang teater tak disangka-sangka seorang teman memberi pulang untuk gabung di kelompok tersebut. Saya mulai menikmatinya. Sangat! Semangat baru dengan pola latihan yang tentu saja ada sedikit perbedaan. Lama.... rasanya lama sekali saya tak mengalami kebahagiaan yang mendalam.
Pertemuan pertama berlalu, selanjutnya pertemuan kedua lebih menyenangkan dan pertemuan ketiga kami olah vokal dengan bernyanyi-nyanyi.
Pada pertemuan ketiga, pemimpin dari kelompok tersebut mengisi materi tentang topeng. Bagaimana kami bergerak jika dipasang topeng dengan karakter A atau B atau C. Seperti ada daya magis, tubuh kamipun menyesuaikan sambil bercerm,in pada kaca yang besar. Senang sekali. Diantara kesenangan itu, pemimpin dari kelompokj tersebut memanggil saya. Lalu diapun mulai mempertanyakan style saya yang berkerudung. Diapun sambil tertawa nyinyir pesimis akan kesediaan saya untuk membuka kerudung lalu memberikan contoh pertunjukan yang cocok untuk saya. Tapi contoh pertunjukan itu memang tak mungkin kelompok tersebut yang mengadakan.
Heran! seorang yang begitu berpengalaman dalam berteater tapi tak bisa menghargai kecintaan orang lain atas kecintaannya pada bidang yang sama. Tapi saya fikir, memang di pertujukan kali itu rasanya saya tak mungkin "main", karena harus memakai kemben. Kalau persoalannya itu, saya tak keberatan karena memang masuk akal. Tapi dengan memberikan sebuah contoh pertunjukan yang "pantas" bagi saya yang berkerudung. Itu adalah sebuah penghinaan. Sama sekali tak menghargai rasa cinta atas "teater", apakah hanya dia atau beberapa orang yang lain saya yang berhak atas itu.
Tak lama terjatuh dari kekecewaan itu, Maya menghantarkan saya pada sebuah pertunjukan monolog yang ternyata lebih mengasikkan. Bagi saya, dia telah membukakan pintu bagi saya yang tengah kehilangan pegangan (cieeee...).
Kamipun akhirnya berproses bersama. Bersama dengan orang-orang baru dan orang-orang profesional. Sebuah jebakan yang mengasikan karena saya harus pentas dengan bahasa sunda. Bukankan itu adalah suatu pengalaman yang cantik karena selama ini saya selalu ingin bermain dengan bahasa sendiri dan agar lebih bisa mengenal dan pada akhirnya mengharga akar asalku. Sebulan kami latihan namun melihat hasil latihan masih juga belum memuaskan maka waktu latihanpun ditambah. Ya, sebuah latihan yang melelahkan dan menyenangkan. Karena kami latihan di Pendopo-Kopo dengan menempuh perjalanan yang cukup jauh dan memakan waktu hampir 2 (dua) jam.
Akhirnya "hari itu" datang juga. Saya benar-benar gugup, lalu sayapun berfikir untuk tidak membebani pikiran dengan orang-orang yang akan datang. Karena bermain teater itu membuat saya bahagia, jadi lupakan mereka dan buat hati kamu bahagia. Sayapun mulai pemanasan dari kepala sampai kaki sambil mendengung-dengungkan suara.
Dalam hitungan detik pertunjukan segera ditampilkan. Kolaborasi monolog sunda akhirnya dimulai juga.
Tak disangka ... beberapa penonton cukup takjub atas permainan kami. Sampai-sampai ada seorang teman kakak mengatakan pada saya : "Ternyata orang ledeng tuh gila-gila!". Begitu pula dengan teman-teman saya yang lain memberikan alasan tentang permainan saya bahwa akting saya adalah hasil latihan dari kakak saya. Dan beberapa yang lain cukup antusias atas permainan tersebut. Saya tak banyak berkata, sedih, tentu saja karena hasil ini adalah hasil jerih payah dan sharring saya, sutradara dan teman-teman produksi. satu sisi saya merasa sangat bersyukur kepada Allah, ternyata saya masih sanggup berdiri di atas panggung. Tapi satu sisi saya saya merasa sedih karena Maya tidak melihat itu secara positif. Dia membenci saya, ia ungkapkan perasaan itu terhadap temannya yang lain dan saya mendapatkan bocorannya. Benar-benar tak disangka dia akan berfikir bahwa karena jasa dialah sehingga saya bisa tampil, namun, saya-menurutnya-tidak pernah berterimakasih.
- By Ima Rochmawati
- On Januari 02, 2005
- 2 comments
pagi, dua desember dua ribu lima. saya mengecup amih dibagian pelipisnya
mata amih masih terlihat lebam. tapi rasanya pagi ini terasa cerah karena kabut-kabut itu tiba-tiba menguap entak kemana. ya, emosi kami naik dua hari yang lalu tepat jam tiga sore ... saya pun heran atas kelakuan saya yang tak saya kira begitu sulit untuk meredakan emosi. saya mengerti kata-kata yang dilontarkan oleh amih tapi hati saya sulit untuk berkompromi. seperti fuzzle yang tercerai-berai dan akhirnya harus disusun kembali agar kembali seperti semula. benar-benar sebuah akhir tahun yang kelabu.
...
tak bisa, saya tak bisa seperti dewi yang menuruti kehendak orangtuanya padahal hatinya menolak. saya mempunyai keinginan dan harapan, ketika harapan itu muncul didepan mata dan terasa lengkap karena sebuah situasi tak disangka-sangka terjadi. amih mengijinkan saya untuk menjalankan kesempatan tersebut. sepertinya bintang-bintang akan berserakan nanti malam. kebahagiaan itu ternyata hanya berlangsung beberapa jam saja. amih berubah pikiran dengan alasan saya belum menikah. kontan, saya berdiri dengan suara yang sedikit terbata-bata : ... "adakah lebih baik kita menjalankan hidup yang ada di depan mata dulu"... entahlah, selama ini saya tak pernah menjadikan daging tumbuh pada kepala saya atas ungkapan-ungkapan seperti "menikah dong!" ... "segera menikah!" ... "menikah!" ... . kalimat anjuran "untuk segera menikah" tak hanya terlontar dari amih, tapi beberapa saudara-saudara dan saya anggap sikap ini adalah sebuah perhatian dari seorang saudara. saya mengerti, saya faham betul dan saya tak mengingkari atas sebuah pernikahan.
...
saya fikir kalau memang tak mengijinkan lalu kenapa status saya selalu dijadikan alasan?
unfair!
lalu apakah saya hanya bertopang kaki menunggu "hari itu" terjadi seperti menunggu godot? kalau amih atau beberapa saudara saya tak suka dengan "ungkag-ingkig" atas aktivitas yang saya lakukan lalu membesar-besarkan ketidaksukaannya dengan alasan bahwa saya harus menikah dulu. aktivitas yang saya lakukan selama ini toh adalah dua hal yang berbeda. kenapa harus melangkah pada sesuatu yang belum jelas padahal didepan mata ada yang dapat dilakukan terlebih dulu. Bukankah aktivitas ini bermanfaat juga jika kita melakukannya dengan sepenuh hati.
buat saya
menikah
tak semudah membeli coklat
tak juga serumit yang kalian fikirkan
tentang sikap saya
kalian sama sekali tak mengenal saya
kalian tak pernah mau memahami saya
karena kalian tak pernah mau mendengarkan saya
karena bagi kalian saya adik kecil tak tahu apa-apa
love u all ...
- By Ima Rochmawati
- On Januari 02, 2005
- No Comment
... emmm
sekedar untuk menghirup udara pagi
menatap bebintang di kerembangan malam
lihat
dedaun berdecak ringan
batang bunga melambai sayu
meminjam tanah tuk tetap berdiri
... pssstttt
hentikan derik gigimu
bayangku kini kaku
...
biarkan langkahku melagu
biarkan detakku melaju
sesaat memaku
...
maukah kau pinjamkan tanahmu untukku
untuk detakku
untuk det
untuk
untu
unt
un
u
...
kau tetap menderikkan gigimu
sekedar untuk menghirup udara pagi
menatap bebintang di kerembangan malam
lihat
dedaun berdecak ringan
batang bunga melambai sayu
meminjam tanah tuk tetap berdiri
... pssstttt
hentikan derik gigimu
bayangku kini kaku
...
biarkan langkahku melagu
biarkan detakku melaju
sesaat memaku
...
maukah kau pinjamkan tanahmu untukku
untuk detakku
untuk det
untuk
untu
unt
un
u
...
kau tetap menderikkan gigimu
- By Ima Rochmawati
- On Januari 01, 2005
- No Comment
Langkah kaki
Membawa ketrotoar-trotoar kota
Tak ada lagi lara
Tak ada lagi kebahagiaan
Jiwaku tak nyata
Terhembus knalpot dan sinar lampu
Rayuan mesin serta merta mendesing
Membiarkan badanku melangkah
Tapi tidak jiwaku
Ia terperangkap
Sebuah lingkaran putih mendekap dadanya
Lalu membawanya terbang
Tak ada air mata
Tak ada cercah sinar
Lenyap
Termakan kala
Membawa ketrotoar-trotoar kota
Tak ada lagi lara
Tak ada lagi kebahagiaan
Jiwaku tak nyata
Terhembus knalpot dan sinar lampu
Rayuan mesin serta merta mendesing
Membiarkan badanku melangkah
Tapi tidak jiwaku
Ia terperangkap
Sebuah lingkaran putih mendekap dadanya
Lalu membawanya terbang
Tak ada air mata
Tak ada cercah sinar
Lenyap
Termakan kala