Beberapa hari lalu, seperti ada dorongan kuat buat beli cangkir. Saya pun beli satu dus isi 6. Bukan karena ingin, tapi seperti ada sesuatu yang bakal terjadi. Sepertinya saya akan perlu. Meski memang kondisi cangkir di rumah sudah tampak menyedihkan. Beberapa hilang dan ada beberapa yang pecah juga.

Selama ini kalau datang tamu beberapa orang, seringkali yang satu menggunakan cangkir corak garis-garis dan yang lain cangkir corak bunga-bunga. Tak hanya itu, kadang cangkir corak bunga dipadankan dengan pisin corak hitam. Saya khawatir muncul dugaan yang tidak-tidak. Merasa dibedakan atau bagaimana. Sekarang ini, zamannya orang-orang sensitif sekali terhadap beberapa situasi yang kerap dikait-kaitkan dengan pilihan politiknya. Oke, mungkin ini terdengar tendensius, tapi begitu adanya.

Tanpa berfikir lama, saya pun memutuskan berangkat ke supermarket sekitar Setiabudhi. Supermarket segala bangsa, segala ada, hingga urusan paku dan printilan benang jahit pun ada. Meski cangkir di Borma (baiklah saya menyebutkan nama) agak sedikit mahal dan pilihan terbatas dibandingkan di daerah Kalipah Apo. Saya tetap memilih beli di Borma dengan pilihan barang yang sedikit. Maunya memang pergi ke Kalipah Apo yang letaknya di daerah Otista. Kalau dari rumah saya dengan mengggunakan motor harus ditempuh selama 30 menit bahkan lebih dengan kondisi jalanan macet. Kapan Bandung tidak macet? Saat toko-toko masih tutup.

Jadi saya membayangkan perjalanan ke sana itu cukup jauh-macet lengkap dengan cuaca yang tak menentu. Belum godaan untuk beli alat-alat rumah tangga yang bagus dengan model yang lebih beragam dan murah. Karena daerah rame penjual alat rumah tangga, jadi di pinggir jalan suka ada jajanan seperti, lotek, batagor dan cendol. Rasanya rugi kalau kesana tidak jajan memanjakan lidah. Bisa jadi tujuan membeli cangkir dengan harga murah malah jebol dan membengkak. Kecuali kalau kamu memang niat sekali mau ke Kalipah Apo dengan tujuan beli cangkir dan tindakan intuitif lain yang menyebabkan jumlah belanjaan bertambah banyak. 



Akhirnya saya ajak Bayan sepulang dia sekolah untuk pergi ke Borma. Cukup menggunakan angkutan umum dengan membayar Rp 3000 per orang. Di supermarket kami pilih-pilih cangkir, sementara Bayan tertarik beli makanan kucing. Kucing-kucing kesayangannya yang semua bernama Lulu yang entah muncul dari mana. Kucing-kucing dengan dominasi berbulu warna hitam itu tidak bosan keluar masuk ke dalam rumah. Kadang masuk lewat pintu depan bahkan melompat lewat jendela atap rumah lalu naik ke atas lemari kadang bisa membuka lemari es. Sampai saya menutup lemari es dengan kursi atau wadah lain yang berat sehingga si Lulu tidak bisa membukanya. Saya tidak bisa ngurus kucing, tapi anak-anak suka, jadi saya biarkan mereka memberi makan kucing-kucing yang semuanya bernama Lulu.

Sepulang dari Borma, saya segera mencuci cangkir-cangkir itu. Rasanya menyenangkan ada benda baru sambil berharap hidup kami bertambah baik, berkah dan menyenangkan. Setelah kering saya susun cangkir-cangkir itu di lemari. Efek dari kedatangan benda manis bercorak bunga-bunga dengan warna soft itu, saya jadi sedikit menyusun ulang penyimpanan benda-benda lain yang ada di lemari. Semua barang di turunkan, di lap hingga lemari sedikit berkilau. Suasana baru dan nyaman di sudut lemari itu membuat hati terasa nyaman. Semoga jadi bagian wujud Cinta Allah menghibur hati saya yang sedang muram.

Muram itu disebabkan karena ada yang kirim pesan singkat, katanya dia membenci saya meski katanya sayang banget. Sekarang Saya cuma agak sedikit engga ngerti. Mungkin, sangat mungkin, bisa jadi dia menyatakan itu karena kami beda apresiasi terhadapa pilihan politik yang berdampak pada sudut pandang “keimanan” atau perbedaan madzhab.

Dua hal yang berbeda ini, benci-sayang, membuat saya bingung. Tapi ada yang menarik dari pernyataan sikapnya ini. Beberapa waktu sebelumnya, saya menemukan uraian seseorang di twitter yang mengungkapkan sifat Gemini. Saya kebetulan lahir di tanggal 16 Juni. Ada analisa pemilik akun twitter, dia bilang begini:

“Salah satu trait Gemini yang paling kuat adalah trust-emit. Dia mudah membuat orang membuka diri padanya. Bahkan membuka diri dalam arti negatif. Maksudnya begini, Gemini bahkan bisa membuat orang yang gak suka padanya mengungkapkan ketidaksukaannya secara terbuka.” Begitu kata yang punya akun bernama XYZ ini.

Herannya, setelah baca tread itu, seseorang yang saya kenal betul menyampaikan rasa bencinya tapi katanya sayang juga. Ini bikin hati saya harus menghadapi warna abu-abu. Jadi saya tidak menanggapi. Cukup nanya kenapa benci? Tapi dia jawab kenapa tidak nanya kenapa sayang? Saya bingung. Jadi tidak diperpanjang dengan penyataan atau pertanyaan lain. Biarin aja. Innalilahi wa innailaihi rajiuun, aja, serahin semua urusan sama Allah, karena yang menggerakan hati itu cuma Allah, saya cuma berusaha bersikap sesuai pikiran dan hati saja.

Tapi setelah kejadian itu, saya lalu mengingat beberapa kejadian di masa lalu. Memang benar sih, beberapa orang berterus terang atas ketidaksukaannya terhadap saya. Wajah orang-orang muncul satu persatu lengkap dengan susunan kalimat ketidaksukaanya sama saya. Ada sedikit perih. Tapi itu pilihan mereka untuk tidak menyukai saya. Jadi, saya terima sebagai bahan intropeksi dan lebih hati-hati bersikap pada orang tersebut.

Dari sekian banyak orang yang tidak suka sama saya, lalu saya bersyukur karena Allah sayang saya dengan memilihkan teman hidup yang asik. Nyaman bersikap, nyaman ngobrol, nyaman menunjukan kekesalan, nyaman makan dimanapun kami mau, nyaman ketawa, nyaman nangis, nyaman curhat, nyaman diskusi dan dia pandai merumuskan meski pemikiran saya liar.

Ketika saya mulai dianggap “ngaco” dan dianggap berfikir “berat” dalam merumuskan masalah, dia tidak pernah menunjukan kalau saya “sok pintar”, “rumit”, “merasa pang betulna”, tidak merendahkan, menyindir, tidak mempermalukan di depan orang. Sikap-sikap menghakimi yang suka muncul dari teman-teman bahkan keluarga. Holis terbuka dan merasa saya ada. Ada, rasa dihargai sebagai manusia juga perempuan. Biasanya saya kalau bicara mulai diledekin, sering dipotong ditengah pembicaraan, bahkan seperti muncul rasa iri dari mereka. Dalam kondisi seperti itu, saya suka merasa tidak aman. Jadi itu mungkin yang membentuk saya lebih terlatih mendengarkan dibanding bicara sehingga punya kesan pendiam. Lalu lebih terlatih merasakan orang yang membuka diri, sehingga saya akan merasa “bebas” bicara.

Belakangan saya jadi mudah memikirkan tapi mudah melepaskan. Setiap manusia punya hati, dia, saya, kami, kita, semua hati itu dibawah kendali Allah bukan kendali saya.

Mungkin saya udah masuk ke fase kalau saya suka dia tapi dia tidak, biarin aja, urusan patah hati bukan urusan dia tapi urusan saya. Bagus juga dia sudah terus terang dan jujur, mungkin saya harus semakin menerima tidak semua orang suka dengan sifat saya. Saya yang harus mengendalikan persepsi.

Nah, kembali ke cangkir dengan corak bunga-bunga itu. Tak lama dari pembelian cangkir, beberapa orang teman datang ke rumah. Noer yang banyak orang kenal sebagai pedagang juga petani kopi. Dia mengajak kami, saya, Holis dan Besti untuk icip-icip kopi di rumah saya. Terjadilah hari itu, gelas bunga corak berisi kopi hangat di hari Jumat pagi membuat kami lebur dalam berbagai obrolan. Seperti tidak ada akhirnya, Jumat menjadi hari ngobrol sedunia. Segala hal dibahas dari masalah kopi, sikap orang-orang di media sosial terhadap pandangan politik yang berdampak pada kacaunya hubungan sosial dan pandangan beragama, konsep pameran seni rupa hingga situasi pelayanan di rumah sakit RSCM Jakarta. Sudah lama saya tidak ngobrol se-intens itu.

Memang masing-masing hanya segelas kopi dengan camilan kue basah dan sedikit kripik. Kata Besti itu sudah membuat pipinya jadi bertambah gendut. Gendut? Mungkin dia berhalusinasi pengaruh kopi dan batagor.

Rupanya cangkir corak bunga dengan warna lembut itu membuat seorang teman yang sudah lama tidak bertemu, tiba-tiba mengirim pesan. Katanya,”Mang, ada di rumah? Saya kesana, ya”. Insting untuk membeli cangkir itu seperti ada dialog manis antar ruang jiwa. Mereka datang membawa hidup pada ruang-ruang hati yang kembali menebal setelah tergerus beberapa kejadian muram. Mengisi rindu, memberi kisah.

Teman yang memberi pesan singkat itu namanya Awan. Pagi itu untungah saya sudah lap meja-meja, cuci alat makan dan mengepel rumah. Begitu Awan beserta istri dan anaknya datang, kondisi rumah tidak begitu berantakan dan lebih rapi dari biasanya. 6 tahun yang lalu, kami berdua bersama Awan pernah melakukan pelatihan seni untuk anak-anak di Rumah Singgah Cinta. Baru tiga kali pertemuan, kami berdua tidak meneruskan karena Holis harus di rawat.

Beberapa tahun tanpa pertemuan dalam secangkir teh manis mengalir banyak kisah yang di rangkum dalam beberapa jam. Ada proses luka yang sudah terlewati, lalu kembali bertemu dalam bentuk hidup yang lebih baik dan kokoh.

Pertemuan dengan teman-teman dan terlibat dalam beberapa obrolan seperti proses detok yang menetralisir keadaan. Mungkn itu sebabnya ada sebuah kisah, yang menunjukan beberapa kalajengking berbondong pergi dari sebuah rumah setelah dikunjungi tamu yang diperlakukan layak oleh penghuni rumahnya.

Rupanya, entah bagaimana, sepertinya dorongan untuk membeli cangkir itu semacam energi tarik menarik antara diri dan semesta. Segelas minuman dalam cangkir menjadi salah satu medium yang menghubungkan satu dengan yang lainnya. Dia memberi tanda bahwa akan kedatangan teman-teman yang menggembirakan. Kedatangan mereka cara-Nya yang unik dalam menghibur hati dan melepaskan perasaan-perasaan yang mulai tidak beres. Obrolan kontemplatif menyadarkan bahwa hidup kami sangat bernilai, bahwa proses hidup kami tidak sia-sia. Hanya saja, kita perlu penghubung untuk dialog dengan Allah, maka didatangkanlah teman-teman menjawab setiap peta pemikiran yang terpecah-pecah. 

 Salam cangkir.


Usia 72 tahun bagi Ati Sriati seolah hanya sekadar angka. Karena di usianya yang terbilang tidak muda lagi, membuat beliau tetap produktif berkarya di dunia seni dan budaya. Alunan suara soprano memenuhi ruang. Tiap nada menari-nari seolah melipat garis-garis senja. Suara lengking dan gurat-gurat matang dalam setiap fibrasinya memberi energi dan imajinasi personal pada setiap penonton. 

Hari Minggu tanggal 3 November 2019 lalu, di tengah udara dingin Bandung IFI begitu ramai oleh pecinta musik klasik atau bahkan pecinta Ibu Ati (panggilan akrab Ibu Ati Sriati). Pertunjukan Konser Amal malam itu menarik dengan tajuk Nada-Nada Nan Tak Bertepi rupanya menjadi magnet dan menyentuh hati pecinta musik klasik, selain menikmati musik penonton pun tergerak melakukan amal.

Melalui kecintaannya Bu Ati pada seni ini, memberi jalan menggerakan masyarakat melakukan penggalangan dana untuk membantu Pusat Pengembangan Potensi Anak (PUSPPA) Surya Kanti Bandung. Lembaga ini merupakan badan sosial non-profit yang bergerak di bidang kesehatan anak, khusus bidang deteksi dan intervensi dini pada anak 0-5 tahun yang mengalami gangguan kesulitan belajar sehingga dapat meningkatkan potensi anak. Kegiatan utama PUSPPA Surya Kanti ini diantaranya melakukan sosialisasi konsep, seminar bagi orang tua dan penyuluhan bagi tenaga TK juga kelompok bermain.

Kita mengetahui Ibu Ati merupakan salah satu tokoh pemain teater perempuan yang aktif dan kerap menghidupkan pertunjukan-pertunjukan teater. Di bawah Studi Klub Teater Bandung (STB), beliau menjadi energi dan memberi daya lebih memelihara seni-budaya di tengah kehidupan masyarakat. 



Seni teater memiliki ikatan yang intim dengan seni musik. Seseorang pernah mengatakan bahwa seni teater adalah seni ‘rakus’. Karena ketika kamu berada di lingkungan teater, kamu akan mempelajari berbagai unsur kesenian agar menjadi satu pertunjukan panggung yang utuh. Semua unsur seni hadir, mulai dari kebutuhan make up, kostum, musik, pencahayaan, artistik, hingga kekuatan vokal-jiwa-tubuh akting si-aktor.

Dalam pertunjukan konser musik klasik yang dibawakan oleh Bu Ati, penonton mendapatkan kenikmatan semua unsur panggung itu. Kerjasama konser Bu Ati dengan Main Teater menjadi satu kesatuan kemasan pertunjukan musik yang indah. Setiap satu lagu ke lagu yang lain memberi kisah dan membawa imajinasi penonton dari satu ruang menuju ruang emosi yang berbeda-beda. Karena setiap sesi penyajian lagu, dilengkapi dengan tampilan multimedia, pergantian artistik pada setiap lagu dan pencahayaan yang membuat energi panggung menjadi berenergi. Sehingga penonton mendapatkan panggung pertunjukan musik yang berkisah.

Kesetiaan dan konsistensi Bu Ati pada musik klasik selama puluhan tahun patut mendapat apresiasi dan dukungan berbagai pihak. Prestasinya sejak remaja sebagai bintang radio dan televisi zaman ’70-an masih terjaga ketika saya mendengarkan setiap lagu yang dibawakan sebanyak 13 judul. Seperti mendengarkan satu buah album dalam satu momen dan merasakan langsung lagu-lagu yang dibawakan tanpa mixing maupun editing.

Dalam beberapa lagu, Bu Ati tidak tampil sendiri. Beliau duet dengan penyanyi yang serius mempelajari seni pertunjukan musik klasik di Belanda. Dengan suara tenornya, Farman Purnama kolaborasi dengan Bu Ati membawakan lagu Un Di, Felice, Eterea (Giuseppe Verdi) kemudian All I Ask of You (musical The Phnatom of The Opera-Andrew Lloyd Webber) dan Musica Proibita (Forbidden Music-Stanislao Gastaldon).

Bagai lengkingan burung kutilang, suara Bu Ati memeluk rasa rindu para pecinta musik seriosa. Dengan dentingan piano jemari lihai Yohanes Siem memberi jiwa. Ikut membahasakan setiap lagu lewat permainan pianonya yang khas. Dari lagu ke lagu, Heliana Sinaga berperan membawakan narasi yang mampu membuat penonton berkontemplasi pada kisah yang terjadi pada setiap lagu. 



Sebuah judul pertunjukan Nada-Nada Nan Tak Bertepi ini seperti mencerminkan proses Bu Ati yang tidak ada habisnya. Gerakan yang beliau lakukan tidak hanya sebagai bentuk karya seni, namun bisa memberi pengaruh baik pada lingkungan dan siapapun yang terlibat disekelilingnya.

Langkahnya melakukan amal pada Pusat Pengembangan Potensi Anak Surya Kanti Bandung memberi pesan yang kuat, bahwa melalui anak-anak lah kehidupan akan diteruskan. Sehingga perhatian dan pendidikan pada perkembangan anak harus mendapat perhatian lebih. Dengan cinta, kehidupan dapat dipelihara melalui potensi dan kemampuan yang kita miliki, bahkan melalui seni.