Ternyata bener kata Ila-kakak saya.  Dia bilang, nambah anak tidak membuat kita repot malah membuat kita tambah nyantai dan kalem menghadapinya.  Dengar pendapat ini tentu saja ragu, aneh dan bingung, anak satu saja rasanya semua hati dan pikiran tertuju pada sikap, sifat dan segala perubahan anak yang satu ini.  Nangis dikit jadi pikiran,sakit dikit jadi pikiran, beda karakter dengan anak yang lain jadi pikiran.  Rasanya berat, cape, tidak berdaya dan segudang energi negatif lainnya walaupun satu sisi membuat hati banyak senang dan tenang juga.  Begitupun kata ibu-ibu di playgrup, mereka bilang, punya anak 2-3 menghadapinya lebih santai dan kalem.  Dalam hati kecil saya langsung meng-amini, semoga apa yang mereka bilang begitu adanya saat saya mengalami.

Mempunyai anak kedua ini tanpa rencana: jadilah! Begitu kira-kira.  Awalnya khawatir tapi hanya beberapa saat saja, tiba-tiba menelusup ke hati ada perasaan riang gembira.  Aneh.  Padahal hamil dan melahirkan itu engga enak, sakit banget rasanya. Selain fisik, banyak godaan psikis yang cukup mengganggu perasaan senang.  Namanya morning sickeness.  Suasana dan perasaan morning sick ini menyebalkan.  Melahirkan juga rasanya sakit.  Kalau kata teman saya, hamil itu sakit yang diundang, jadi tidak ada asuransinya. Heuuuum... sebel!

Masa krisis udah lewat.  13 hari yang lalu anak kedua lahir dengan cara sesar, rasanya baru sekejap mata.  Waktu terasa cepat berlalu.  Melewati masa sakit yang luar biasa dan suasana horor di ruang operasi dengan beragam alat-alat kedokteran.  Saya hanya berusaha tetap tenang, itu saja. Sekarang sudah ada di depan laptop lagi, jam 03.10 subuh, tidak bisa tidur setelah beres menyusui dan membersihkan pup Ade Bayan.  Beres itu,tidak bisa tidur jadi lebih baik nulis buat blog atau merajut.  saya memutuskan untuk menulis.  Karena kalau siang menulis pasti rebutan laptop sama Devdan.  Berdamai dengan waktu tidur, tidur saat kita mengantuk saja, tidak mengenal waktu.  Mungkin bisa jadi ya kebanyakan penyakit ibu-ibu itu adalah sulit tidur.

Semakin terasa banyak kejadian dalam hidup ini yang mungkin dan tidak mungkin yang bisa kita lakukan.  Setiap kita menyadari jumlah waktu yang kita lewati, berhitung-hitung apa yang sudah kita lakukan beberapa hari yang lalu?  Seolah hidup banyak yang terbengkalai dan tersisa tanpa arti jika kita tidak benar-benar memanfaatkan kesempatan dan mengolah diri.  Waktu terasa cepat ketika kita mengikuti perkembangan anak dari waktu ke waktu.  Perubahanya hanya hitungan bulan bahkan minggu bahkan hari.  Perkembangan mereka begitu pesat, kita seharusnya bisa belajar dari perubahannya dan kita harus selangkah lebih cepat untuk mendukung kemampuanya. 

Setelah anak kedua ada dipangkuanku, lehernya masih lemah,badanya mungil sekali, kulitnya putih, matanya besar,nangisnya kecil, sering pup, dan sering tersenyum.  Saya kembali jatuh cinta.  Semakin jatuh cinta pada anakku yang pertama, semakin mencintai suamiku, semakin ingin sering bersilaturahmi dengan keluarga besar, semakin mencintai kehidupan.  Ingin rasanya kami berempat, saya, suami dan dua anakku backpacking lagi.  Melakukan perjalanan dan menikmati alam.  Hati ini terasa lebih penuh dengan benih cinta yang semakin menggelembung. 


Love you Malaki Bayan Ahmad, selamat datang di dunia.  Semoga menjadi manusia yang berilmu, berguna, beriman, sayang keluarga, sayang lingkungan, maju, selamat, bahagia, mulia dunia dan di akhirat. Amin J



Tanggal 1 Desember adalah hari AIDS sedunia, bukanlah sebuah perayaan tapi didedikasikan guna meningkatkan kewaspadaan masyarakat akan epidemi AIDS yang terus meluas.  Begitupun dengan adanya kontes menulis ODHA berhak hidup sehat, minimal mengingatkan saya tentang seluk beluk HIV dan AIDS.  Cara ini menjadi sebuah alarm penting bagi orang-orang agar lebih jeli menjaga kesehatan.  Bahkan bagi orang Indonesia sering lupa, melupakan, dilupakan dan sering harus diketuk kepalanya agar ingat bahwa, “Hey, hey… ada AIDS dan ODHA yang mesti diperlakukan serius, nih!.”  Jadi penanggalan untuk hari A, hari B ini hal yang cukup efektif agar teringat, peduli dan bergerak melakukan sesuatu.

Moment ini mengingatkan saya pada sebuah Rumah Cemara yang dibicarakan seorang teman sekitar tahun 2004-an.  Saat itu teman saya bercerita bahwa mereka membutuhkan program kegiatan dan siapa tahu saya tertarik untuk menjadi volunteer.  Saya boleh bikin kegiatan yang bisa memacu kreatifitas ODHA, seperti mengadakan pelatihan teater, diskusi buku atau apapun.  Tapi saat itu situasi kurang memungkinkan.  Dulu, selain ketidakmungkinan untuk terlibat menjadi volunteer sayapun masih belum memahami kondisi mental mereka.  Dan apa hubungan program-program kegiatan yang memacu kretifitas dengan virus yang ada dalam tubuh mereka.  Meskipun akhirnya mengerti juga bahwa wadah seperti Rumah Cemara memang dibutuhkan untuk memfasilitasi teman-teman ODHA (Orang Dalam HIV AIDS) bisa berbagi hati, pengetahuan mengenai AIDS (Acquired Immune-Deficiency Syndrome) berikut pengobatanya, melakukan aktifitasnya tetap berjalan sehingga semangat hidup tetap ada.

Tahun-tahun berjalan, ada berita bahwa mereka ikut dalam Homeless World Cup 2012 yaitu sebuah kejuaraan street soccer international dengan peserta dari kelompok minoritas, beritanya ada disini.  Sebuah gerakan bawah tanah yang membuka pikiran bahwa ditengah kehidupan yang hingar bingar ini ada kelompok yang terpinggirkan dan mereka tetap bersemangat untuk tetap berkarya.  Ini sebuah bukti, bahwa dengan semangat hidup bisa mendorong siapapun dengan kondisi apapun, tubuhnya terus bergerak, berkarya dan berdaya.  Kita yang sehat sepatutnya bisa belajar dari semangat hidup mereka sekalipun vonis hidupnya tidak lama lagi. 

Kenapa menjadi minoritas?  Bukankah mereka sakit dan butuh dukungan?  Inilah kenyataan yang terjadi di masyakarat kita.  Bisa jadi karena keterbatasan wawasan mengenai HIV dan AIDS sehingga cara pandang dan sikapnya menjadi kurang baik.  Virus ini mematikan dan yang mematikan ini tentunya bisa membuat orang takut.  Sebetulnya kita tidak perlu takut, karena proses penularan HIV AIDS ini hanya bisa tertular melalui cara-cara yang intim.  Seperti melalui hubungan intim (seksual), terjadi percampuran darah melalui penggunaan jarum suntik yang bergantian dan percampuran luka.  Selain takut, kebanyakan masyarakat kita langsung menghukum dengan beragam sudut pandang dan sikap yang mengucilkan.  Bahkan berkembang sebuah pendapat bahwa virus ini bisa menular melalui aktifitas yang mudah seperti melalui udara atau sesuatu yang mereka pegang.  Padahal penularannya tidaklah semudah penularan orang yang terkena flu atau cacar.  Kita tidak perlu takut untuk bersalaman, berpelukan, memakai gelas bekas ODHA, berenang bersama dan melakukan aktifitas bersama lainnya. 

ODHA bisa tetap hidup berdampingan dan masih berhak mendapatkan kesempatan untuk menjalankan kehidupannya karena semua aktifitas biasa tidak akan menularkan virus yang berbahaya tersebut.  Bahkan kini banyak ODHA masih asik menjalankan aktifitas kreatifnya, semakin berdaya dan masih hidup.  Sayangnya, tidak semua lingkungan sosial mampu memahami dan menerima, bahwa ODHA butuh dukungan semangat agar hidupnya terus berjalan.  Bukan hanya dikasihani dan dicaci, namun diberi kesempatan untuk tetap menjalani kehidupan dengan “sehat”, pikiran dan jiwanya tetap “sehat” juga tetap mengoptimalkan kemampuannya agar hidupnya lebih berarti.  Toh hidupnya belumlah selesai, hanya saja ada virus yang hinggap di dalam tubuhnya yang membuat pertahanan tubuhnya berkurang.   

Meskipun belum ada obat yang bisa menghentikan HIV, ODHA bisa melakukan terapi ARV (Antiretroviral) yaitu obat penekan perkembangan virus HIV.  Langkah ini membuat ODHA bisa bertahan hidup lebih lama.  Sampai saat ini obat yang bisa menyembuhkan virus tersebut belum ada, hal inilah yang bisa menjadi mimpi buruk dan seolah hidup hanya tinggal menunggu kematian.  Tapi siapa yang mampu menentukan waktu kehidupan seseorang.  Padahal siapapun akan meninggal dengan beragam kemungkinan, dalam keadaan sakit atau tiba-tiba, penempuh bahaya atau bahkan penempuh jalan aman.  Semua manusia akan mati dan tidak ada yang tahu waktu kematian itu akan tiba.  Bedanya ODHA sudah tahu bahwa hidupnya tidaklah akan lama, yang membuat hidupnya terasa lama dan tidak terhantui kematian adalah dukungan dari lingkungan sekitar bahwa hidupnya masih bisa berguna dan tidak terfokus pada kematian  Tak ada satupun manusia yang mau mengidap penyakit yang mematikan itu.  Bagi seseorang yang sehat, berat rasanya membayangkan tentang kematian, apalagi bagi seseorang yang terinfeksi HIV. 

Kita hanya harus tahu apa penyebab dan bagaimana proses penularannya.  Sehinggga kita tidak perlu parno, menghindar secara berlebihan bahkan menjaga jarak.  Hal yang perlu ditanamkan adalah HIV AIDS ini ada dan tetap menjaga harmoni pola hidup.  Merubah sudut pandang berfikir dan menerima ODHA tetap sebagai mahluksosial yang tetap bisa menjalani aktifitas sehari-hari tanpa tekanan.  Sehingga meski tidak memiliki organisasi atau komunitas, setidaknya sebagai individu mampu menjadi agen untuk orang-orang terdekat kita agar tidak bertindak ikut-ikutan membuat ODHA menjadi kelompok minoritas.