Pengenalan ini menyadarkan kita bahwa penggunaan aksara dari zaman ke zaman melalui proses panjang peradaban ilmu pengetahuan bersamaan dengan situasi sosial, budaya dan perpolitikan. Dengan mengetahui sejarah, kita akan lebih menghargai bahwa apa yang terjadi hari ini melalui berbagai fase.
Malam Sabtu kemarin, saya ikut menyimak obrolan bergizi seputar aksara-aksara di Nusantara. Perbicangan ringan namun membuka jendela zaman ini ditayangkan secara live oleh akun IG @merajut_indonesia dan akun IG @writingtradition.id. Kang Ridwan Maulana sebagai narasumber dari Writing Tradition, telah meneliti aksara Nusantara selama 2 tahun ini. Awalnya Kang Ridwan melakukan ini untuk kepentingan pribadi, namun beriringan dengan itu, penelitian itu justru melahirkan buku dan website yang manfaatnya jauh lebih luas.
Evi Sri Rezeki dan Ridwan Maulana di Bincang Aksara-Aksara di Nusantara. |
Ridwan menerangkan, ada cabang ilmu pengetahuan untuk mempelajari aksara, khususnya sistem tulisan pada masa lampau untuk penelitian sejarah, diantaranya:
1. Paleografi
2. Epigrafi
3. Filologi
Penelitian ini patut diapresiasi, karena membantu mendokumentasikan artefak budaya Nusantara yang bisa saja punah. Dengan tersebarnya pengetahuan mengenai aksara Nusantara, lambat laun masyarakat menyadari bahkan bisa menggunakan kembali warisan aksara dari leluhurnya.
Buku dan website dapat dikonsumsi oleh publik, dapat menjadi referensi yang bisa membuka pandangan kita berkaitan antara aksara dengan situasi bermasyarakat di Nusantara saat itu. Di era digital sekarang, aksara-aksara di Nusantara dapat diakses melalui aksaradinusantara.id.
Di dalam situs ini, mereka menyediakan berbagai 12 font aksara-aksara di Nusantara yang bisa kita download. Diantaranya aksara Bali, Batak, Iban, Incung, Jangan-Jangan, Jawa, Kawi, Lampung, Lontara, Lota, Malesung, Mbojo, Minangkabau, Pallawa, Pagon/Jawi, Rejang, Sunda.
Sehingga kita dapat menggunakan aksara yang telah disediakan di perangkat digital untuk meluaskan manfaat. Seperti untuk menulis maupun diolah menjadi karya-karya dengan menggunakan aksara yang telah disediakan di perangkat digital. Seperti yang dilakukan oleh desainer grafis yang mengolah aksara-aksara tersebut jadi desain kaos.
Keseriusan Ridwan Maulana dalam mencari bentuk-bentuk aksara Nusantara membuahkan hasil. Buku seri ensiklopedia ini tentu dapat mencerahkan pandangan banyak komunitas masyarakat. Selama ini kita sering mendengar nilai-nilai budaya, sosial dan cerita daerah didapatkan secara lisan atau dari mulut ke mulut. Selama ini budaya menuliskan kembali situasi maupun kisah-kisah sulit didapatkan karena penggunaan aksara yang terbatas dikalangan atau kasta masyarakat tertentu.
Lalu kenapa aksara-aksara di Nusantara bukan aksara-aksara di Indonesia? Nah, Bahasa-bahasa di Nusantara ini termasuk ke dalam rumpun besar bahasa Austronesia yang cangkupannya membentang dari pulau Formosa (Taiwan) di utara, Madagaskar di barat, Selandia Baru di selatan, dan pulau Paskah di timur. Cangkupannya melingkupi wilayah-wilayah kepulauan termasuk Nusantara (kecuali Papua, hanya sebagian kecil sisi utaranya), Filipina, Semenanjung Malaya, dan kepulauan Pasifik.
Istilah Nusantara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kepulauan Indonesia, sedangkan dalam Kamus Dewan bahasa Melayu Malaysia, Nusantara berarti kepulauan Melayu. Sementara itu secara harfiah, istilah Nusantara ini dalam bahasa dan konteks asalnya, bahasa Kawi, adalah kepulauan lainnya (Zoetmulder dan Ronson, 1982, dalam Evers, 2016).
Jika dilihat dari situasi saat ini, maka Nusantara mencangkup semua wilayah Indonesia modern, Malaysia, Singapura, Brunei dan sedikit Filipina selatan.
Dalam kaitannya dengan buku yang disusun oleh Ridwan Maulana, aksara-aksara di Nusantara bermakna aksara-aksara yang berkembang, pernah atau sedang digunakan di kawasan Nusantara, yang wilayahnya adalah seluruh Indonesia ditambah dengan negeri-negeri Melayu diseputarannya.
Lalu, menyambung dengan bahasa, bahasa ini direpresentasikan melalui bentuk lisan, isyarat, dan tulisan. Maka terdapat dua istiah yang hadir merupakan representasi bahasa melalui tulisan, diantaranya aksara dan sistem tulisan.
Aksara adalah unit yang terkecil yang menjadi alat yang diatur melalui ortografi dan sistem tulisan. Menurut Cook et al. (2009), aksara atau script adalah implementasi bentuk fisik dari suatu sistem tulisan, misalnya sistem tulisan bahasa Melayu menggunakan aksara Latin dan aksara Jawi.
Sementara itu, sistem tulisan berkenaan dengan bagaimana cara masyarakat menerapkan pengetahuan kebahasaan kedalam bentuk simbol-simbol tulisan yang paralel secara fonologi dan fonetik dengan pengetahuan bahasa berbentuk lisan. Sistem tulisan adalah istilah untuk bagaimana simbol-simbol tulisan terhubung dengan bahasa dan mewakili unit-unit bahasa secara sistematis (Coulmas, 1999, dalam Cook et., 2009). Istilah ini juga berarti sebuah sistem dan aturan spesifik untuk menuliskan bahasa.
Evolusi aksara setiap daerah dipengaruhi oleh banyak hal, percampuran budaya hingga peperangan. Seperti di Nusantara, setiap daerah mempunyai aksara sendiri. Berdasarkan sumber buku Aksara-Aksara Nusantara terdapat 32 aksara yang terdata, berikut ini: Aksara Bali, Batak, Bilang-bilang, Bima (kuno dan baru), Balaangmongondow, Buda, Dunging, Gagarit, Gangga Malayu, Gayo, Gorontalo, Hangeul (cia-cia), Incoung, Jangan-jangan, Jawa, Jawi (Pegon dan Serang), Kanayatn, Kanung, Kawi, Lampung, Latin, Lontara, Lota Ende, Malesung, Minangkabau, Palembang, Pallawa, Pra-nagari (Siddhamatrka), Sunda (Baku, Bubun), Rikasara Cirebon, Satera Jontal, Surat Ulu.
Aksara-aksara yang berkembang di Nusantara ini turunan Pallawa. Tradisi tulis berakar dari India (termasuk aksara Pallawa) memiliki cabang besar dengan nenek moyang aksara Brahmi. Maka, aksara-aksara tradisional Nusantara merupakan aksara rumpun Brahmik bersama aksara-aksara bersistem abugida lainnya dikawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Aksara ini masuk ke Asia Tenggara seiring penyebaran agama Hindu-Buddha. Kemudian aksara ini menjadi induk cikal bakal tradisi literasi Asia Tenggara (Nusantara pada khususnya).
Aksara yang berakar dari Brahmi disebut juga aksara Brahmik/Indik (indie-India). Namun tidak semua tulisan di Nusantara berakar dari India, sehingga dibagi beberapa kategori, diantaranya:
1. Aksara Indik
Aksara keturunan Pallawa/Brahmi bersistem abugida, memiliki kkemiripan struktur atau struktur yang dapat diperbandingkan.
2. Aksara non-indik
Aksara yang tidak memiliki akar turunan aksara Pallawa/Brahmi ataupun ciri-cirinya.
1. Aksara asing: aksara yang diadopsi dari kebudayaan lain.
2. Aksara tradisisional: aksara yang berkembang dari tradisi Nusantara yang penggunaannya diwariskan.
3. Aksara buatan: aksara yang secara jelas diketahui penciptanya dan sejarahnya, dan diakui sebagai aksara tradisional (tidak termasuk aksara yang digunakan secara individual)
4. Aksara lainnya: tidak/belum diketahui asal usulnya secara jelas akasara yang diklaim sebagai aksara tradisional namun masih dalam perdebatan asal usul dan minim bukti temuan historis.
Oleh karena itu, dalam buku Aksara-Aksara di Nusantara ini menerangkan bahwa aksara di Nusantara mengalami perkembangan, pernah atau sedang digunakan di kawasan Nusantara. Wilayahnya adalah seluruh Indonesia ditambah negeri-negeri Melayu lainnya.