Buku Aksara-Aksara di Nusantara 
seri ensiklopedia. (Foto: Evi Sri Rezeki)

Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI) lewat program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara (MIMDAN
) mengadakan acara menarik, mereka bincang-bincang tentang aksara-aksara di Nusantara. Perbincangan yang membawa ingatan kita kembali pada pelajaran sejarah masa sekolah. Saat itu rasanya ilmu pengetahuan di masa lalu menjadi kuno dan tidak relevan lagi dengan kebutuhan komunikasi tulisan zaman sekarang. Banyak ditemukan tulisan-tulisan zaman dulu menggunakan jenis sistem logosilabaris adalah aksara yang berupa simbol, seperti tulisan Mesir dan Cina. Lalu media penulisannya banyak ditemukan di gua, batu dan kulit.


Pengenalan ini menyadarkan kita bahwa penggunaan aksara dari zaman ke zaman melalui proses panjang peradaban ilmu pengetahuan bersamaan dengan situasi sosial, budaya dan perpolitikan. Dengan mengetahui sejarah, kita akan lebih menghargai bahwa apa yang terjadi hari ini melalui berbagai fase.

Malam Sabtu kemarin, saya ikut menyimak obrolan bergizi seputar aksara-aksara di Nusantara. Perbicangan ringan namun membuka jendela zaman ini ditayangkan secara live oleh akun IG @merajut_indonesia dan akun IG @writingtradition.id. Kang Ridwan Maulana sebagai narasumber dari Writing Tradition, telah meneliti aksara Nusantara selama 2 tahun ini. Awalnya Kang Ridwan melakukan ini untuk kepentingan pribadi, namun beriringan dengan itu, penelitian itu justru melahirkan buku dan website yang manfaatnya jauh lebih luas.

Evi Sri Rezeki dan Ridwan Maulana 
di Bincang Aksara-Aksara di Nusantara.


Ridwan menerangkan, ada cabang ilmu pengetahuan untuk mempelajari aksara, khususnya sistem tulisan pada masa lampau untuk penelitian sejarah, diantaranya:

1. Paleografi

2. Epigrafi

3. Filologi

Penelitian ini patut diapresiasi, karena membantu mendokumentasikan artefak budaya Nusantara yang bisa saja punah. Dengan tersebarnya pengetahuan mengenai aksara Nusantara, lambat laun masyarakat menyadari bahkan bisa menggunakan kembali warisan aksara dari leluhurnya.

Buku dan website dapat dikonsumsi oleh publik, dapat menjadi referensi yang bisa membuka pandangan kita berkaitan antara aksara dengan situasi bermasyarakat di Nusantara saat itu. Di era digital sekarang, aksara-aksara di Nusantara dapat diakses melalui aksaradinusantara.id.

 
Web file aksara di Nusantara. 2021


Di dalam situs ini, mereka menyediakan berbagai 12 font aksara-aksara di Nusantara yang bisa kita download. Diantaranya aksara Bali, Batak, Iban, Incung, Jangan-Jangan, Jawa, Kawi, Lampung, Lontara, Lota, Malesung, Mbojo, Minangkabau, Pallawa, Pagon/Jawi, Rejang, Sunda.

Sehingga kita dapat menggunakan aksara yang telah disediakan di perangkat digital untuk meluaskan manfaat. Seperti untuk menulis maupun diolah menjadi karya-karya dengan menggunakan aksara yang telah disediakan di perangkat digital. Seperti yang dilakukan oleh desainer grafis yang mengolah aksara-aksara tersebut jadi desain kaos.

Keseriusan Ridwan Maulana dalam mencari bentuk-bentuk aksara Nusantara membuahkan hasil. Buku seri ensiklopedia ini tentu dapat mencerahkan pandangan banyak komunitas masyarakat. Selama ini kita sering mendengar nilai-nilai budaya, sosial dan cerita daerah didapatkan secara lisan atau dari mulut ke mulut. Selama ini budaya menuliskan kembali situasi maupun kisah-kisah sulit didapatkan karena penggunaan aksara yang terbatas dikalangan atau kasta masyarakat tertentu.

Lalu kenapa aksara-aksara di Nusantara bukan aksara-aksara di Indonesia? Nah, Bahasa-bahasa di Nusantara ini termasuk ke dalam rumpun besar bahasa Austronesia yang cangkupannya membentang dari pulau Formosa (Taiwan) di utara, Madagaskar di barat, Selandia Baru di selatan, dan pulau Paskah di timur. Cangkupannya melingkupi wilayah-wilayah kepulauan termasuk Nusantara (kecuali Papua, hanya sebagian kecil sisi utaranya), Filipina, Semenanjung Malaya, dan kepulauan Pasifik.

Istilah Nusantara dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah kepulauan Indonesia, sedangkan dalam Kamus Dewan bahasa Melayu Malaysia, Nusantara berarti kepulauan Melayu. Sementara itu secara harfiah, istilah Nusantara ini dalam bahasa dan konteks asalnya, bahasa Kawi, adalah kepulauan lainnya (Zoetmulder dan Ronson, 1982, dalam Evers, 2016).

Jika dilihat dari situasi saat ini, maka Nusantara mencangkup semua wilayah Indonesia modern, Malaysia, Singapura, Brunei dan sedikit Filipina selatan.

Dalam kaitannya dengan buku yang disusun oleh Ridwan Maulana, aksara-aksara di Nusantara bermakna aksara-aksara yang berkembang, pernah atau sedang digunakan di kawasan Nusantara, yang wilayahnya adalah seluruh Indonesia ditambah dengan negeri-negeri Melayu diseputarannya.

Lalu, menyambung dengan bahasa, bahasa ini direpresentasikan melalui bentuk lisan, isyarat, dan tulisan. Maka terdapat dua istiah yang hadir merupakan representasi bahasa melalui tulisan, diantaranya aksara dan sistem tulisan.

Aksara adalah unit yang terkecil yang menjadi alat yang diatur melalui ortografi dan sistem tulisan. Menurut Cook et al. (2009), aksara atau script adalah implementasi bentuk fisik dari suatu sistem tulisan, misalnya sistem tulisan bahasa Melayu menggunakan aksara Latin dan aksara Jawi.

Sementara itu, sistem tulisan berkenaan dengan bagaimana cara masyarakat menerapkan pengetahuan kebahasaan kedalam bentuk simbol-simbol tulisan yang paralel secara fonologi dan fonetik dengan pengetahuan bahasa berbentuk lisan. Sistem tulisan adalah istilah untuk bagaimana simbol-simbol tulisan terhubung dengan bahasa dan mewakili unit-unit bahasa secara sistematis (Coulmas, 1999, dalam Cook et., 2009). Istilah ini juga berarti sebuah sistem dan aturan spesifik untuk menuliskan bahasa.



Evolusi aksara setiap daerah dipengaruhi oleh banyak hal, percampuran budaya hingga peperangan. Seperti di Nusantara, setiap daerah mempunyai aksara sendiri. Berdasarkan sumber buku Aksara-Aksara Nusantara terdapat 32 aksara yang terdata, berikut ini: Aksara Bali, Batak, Bilang-bilang, Bima (kuno dan baru), Balaangmongondow, Buda, Dunging, Gagarit, Gangga Malayu, Gayo, Gorontalo, Hangeul (cia-cia), Incoung, Jangan-jangan, Jawa, Jawi (Pegon dan Serang), Kanayatn, Kanung, Kawi, Lampung, Latin, Lontara, Lota Ende, Malesung, Minangkabau, Palembang, Pallawa, Pra-nagari (Siddhamatrka), Sunda (Baku, Bubun), Rikasara Cirebon, Satera Jontal, Surat Ulu.

Aksara-aksara yang berkembang di Nusantara ini turunan Pallawa. Tradisi tulis berakar dari India (termasuk aksara Pallawa) memiliki cabang besar dengan nenek moyang aksara Brahmi. Maka, aksara-aksara tradisional Nusantara merupakan aksara rumpun Brahmik bersama aksara-aksara bersistem abugida lainnya dikawasan Asia Selatan dan Asia Tenggara. Aksara ini masuk ke Asia Tenggara seiring penyebaran agama Hindu-Buddha. Kemudian aksara ini menjadi induk cikal bakal tradisi literasi Asia Tenggara (Nusantara pada khususnya).

Aksara yang berakar dari Brahmi disebut juga aksara Brahmik/Indik (indie-India). Namun tidak semua tulisan di Nusantara berakar dari India, sehingga dibagi beberapa kategori, diantaranya:

1. Aksara Indik

Aksara keturunan Pallawa/Brahmi bersistem abugida, memiliki kkemiripan struktur atau struktur yang dapat diperbandingkan.

2. Aksara non-indik

Aksara yang tidak memiliki akar turunan aksara Pallawa/Brahmi ataupun ciri-cirinya.



Dari dua kategori ini dibagi menjadi 4 golongan:

1. Aksara asing: aksara yang diadopsi dari kebudayaan lain.

2. Aksara tradisisional: aksara yang berkembang dari tradisi Nusantara yang penggunaannya diwariskan.

3. Aksara buatan: aksara yang secara jelas diketahui penciptanya dan sejarahnya, dan diakui sebagai aksara tradisional (tidak termasuk aksara yang digunakan secara individual)

4. Aksara lainnya: tidak/belum diketahui asal usulnya secara jelas akasara yang diklaim sebagai aksara tradisional namun masih dalam perdebatan asal usul dan minim bukti temuan historis.

Oleh karena itu, dalam buku Aksara-Aksara di Nusantara ini menerangkan bahwa aksara di Nusantara mengalami perkembangan, pernah atau sedang digunakan di kawasan Nusantara. Wilayahnya adalah seluruh Indonesia ditambah negeri-negeri Melayu lainnya.
Saya dan kedua kakak saya, Teh Atik dan Teh Ida
berfoto di pintu masuk los-los basahan Pasar Baru Bandung (Oktober 2021)


Dulu tiap subuh saya ke sini (Pasar Baru Bandung) bantu Bapak dan Amih jual ayam. Dari masih sekolah dasar saat bangunan Pasar Baru masih peninggalan bangunan Belanda, lalu zaman kuliah pun ikut bantu Bapak saat pasar dipindahkan sementara ke jalan pasar baru belakang, terus mengalami kemerosostan jualan di bangunan baru. Allahumafirlahu warhamhu waafihi wa’fuanhu… Bapak, nuhun

Bapak saya pedagang ayam di Pasar Baru. Saya selalu suka kalau diajak Amih ke Pasar. Pergi ikut Amih selepas shalat subuh, lalu naik mobil bak dijemput Mang Giman. Mang Giman jemput Amih setelah mengirim ayam-ayam ke warung-warung nasi pelanggan Bapak. Sementara, Bapak berangkat dari rumah jam 22.00 WIB menuju gudang di Gang Abdur Rahim (Pasir Kaliki), dulu Bapak nyewa tempat ini dari Gudang PJKAI. Sekarang lokasi ini sudah jadi pintu masuk Paskal Square.

Sejak kecil, saya lebih suka diajak Amih ke pasar dari pada pergi ke sekolah. Pernah suatu subuh saya nangis karena Amih pergi diam-diam, lalu saya digendong kakak menyusul Amih. Saya pun pergi ikut Amih ke pasar.

Saya suka pasar, suka lihat lampu berwarna orange, suara mesin kelapa, orang-orang yang hilir mudik, tumpukan ayam, lihat Bapak yang bersemangat menyortir ayam. Bapak berbalut kaos swan, celana pangsi, dan kopyah rajut warna putih. “Pak, Haji!” Begitu panggilan pelanggan Bapak.

“Ima, entong motongan hayam! Maneh mah budak sakola, nyepeng spidol weh jeung bon!” (Ima, jangan memotong ayam, kamu anak sekolahan, pegang spido dan bon saja) Terus dia ketawa. Bapak tidak mau anak-anaknya meneruskan usaha bapaknya, dia pengen kami jadi anak sekolahan, jadi anak yang kerja kantoran. Berbaju rapi, wangi, sekolah di ITB.

Ya, begitu seterusnya, begitu saya beranjak dewasa pun, saat saya ingin dapat tambahan uang kuliah, jadi saya pergi ke pasar bantu Bapak. Tapi tetap saja, Bapak tidak pernah mengizinkan saya potong ayam, dia hanya mengizinkan menyortir ayam, memasukan ayam yang sudah dipotong ke dalam kresek, menyiram dan membersihkan los ayam, begitu seterusnya setiap hari.

Bapak dan Amih pasangan yang disiplin untuk urusan shalat, puasa dan bekerja. Hampir tidak pernah terlambat, selalu tepat waktu. Amih dan Bapak tidak pernah berlebihan memberi, itu yang saya rasakan. Baju sehari-hari sering dipakai tukeran, tidak pernah kami diajak makan ke restoran mewah di akhir pekan, atau diajak jalan-jalan ke tempat wisata. Dari SMP-SMA sekolah di daerah Panatayuda pulang pergi sendiri naik angkot dari Ledeng ke Panatayuda memakan waktu 30 menit menuju sekolah. Begitupun saat kuliah dan bekerja hingga sering pulang larut malam naik angkutan kota sendirian.

Saat kuliah, muka saya penuh jerawat, karena memang tidak punya skin care. Untuk minta ke Amih segan, karena kebutuhan Amih banyak memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Ya, kami 16 bersaudara. Saat saya lahir sudah punya keponakan dan ada keponakan yang seumuran. Tak hanya itu, beberapa kakak sedang membangun keluarga kecilnya, ada kakak yang remaja, bahkan sedang kuliah. Jadi kebutuhan Amih banyak juga. Kalau saya butuh sepatu atau skin care, saat itu tidak terlalu diperlukan/dipentingkan jadi tidak langsung dibelikan karena Amih baru saja bayar SPP, bayar semesteran, pajak, pungutan ini itu, bahkan kebutuhan lain yang lebih besar.

Kembali tentang Bapak dan Amih, mereka pasangan solid. Bapak yang tidak pernah absen berdagang, bisa jadi hanya libur saat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha saja. Selebihnya tetap buka. Bapak tidak mau tahu uang itu digunakan untuk apa saja. Semua yang urus Amih. Kebetulan saja, Amih pinter membagi pendapatan untuk berbagai kebutuhan yang super duper banyak.

Pernah Bapak bilang begini sama Amih,”Mih, mun meunang menta, Bapak mah mendingan maot tiheula, soalna Bapak mah teu bisa ngurus budak.” (Mih, kalau boleh meminta, Bapak lebih baik meninggal lebih dulu karena tidak bisa mengurus anak) Begitu yang sering saya dengar kalau mereka sedang berbincang. Ya, Bapak bekerja ke gudang jam 22.00 WIB untuk melakukan proses penyembelihan ayam. Dia khawatir ayamnya tidak halal karena proses penyembelihan ini menjadi tangggung jawabnya. Lalu mulai membuka los di Pasar Baru untuk langganan harian.

Bapak saya, Mochammad Mas'ad.
Foto diambil saat ibadah haji tahun 1982.

Buat Bapak, bekerja adalah ibadah, mungkin itu sebabnya Bapak bertumbuh menjadi pekerja yang konsisten, disiplin dan punya militansi tinggi. Beliau hanya tahu bekerja, selebihnya Amih yang mengurus. Jangan tanya Bapak tentang ayah parenting, saya tidak pernah tahu cerita detil atau pembelajaran etika dan sebagainya dari Bapak. Saya tidak pernah mendapat pelajaran itu, tapi saya belajar dari kegiatannya sehari-hari dari bangun tidur hingga tidur lagi.

Selain itu saya diajarkan oleh Amih dan kakak-kakak bagaimana merawat Bapak. Mulai gosok WC, menyiapkan makan, menyiapkan air panas, mengantar Bapak ke depan rumah, menyiapkan kebutuhan buat ke pasar, melap meja dan menyapu bekas makannya. Meskipun begitu, tetap saja saya tidak mendapatkan apresiasi, biasa saja. Sehingga saya tumbuh menjadi manusia yang biasa tidak mendapat apresasi dan aneh sendiri ketika mendapat apresiasi.

Bertahun kemudian, saya diminta Amih untuk berhenti kerja di Tobucil (toko buku berbasis komunitas yang saat itu di Imam Bonjol). Amih terlalu khawatir saya bekerja di Tobucill dan tetap berproses teater yang membuat saya sering pulang larut malam. Jadi Amih menyuruh saya keluar dari Tobucil dan berhenti main teater, saya boleh tetap bekerja dan main teater asal mau menikah. Kalau tidak mau menikah dengan yang dijodohkan, saya harus berhenti dari segala kegiatan lalu jual ayam. Saya ambil opsi kedua, yaitu, jual ayam di Sersan Surip.

Terus terang saja, awalnya saya kesulitan. Karena Bapak tidak pernah mengajarkan dan mengizinkan saya memotong ayam. Dia hanya membolehkan saya pegang spidol, bon dan memasukan ayam yang sudah dipotong ke dalam plastik. Berbekal kekuatan visual dan bertahun tahun melihat para pekerja Bapak yang memotong Ayam, saya nekat! Ternyata, saya bisa memotong ayam, dibelah dua, dibagi empat, dibagi delapan, dibagi sepuluh, hingga dibagi 12. Saya belajar banyak dari konsekwensi saya memilih jual ayam daripada harus dijodohkan.


Saya tidak tahu, apakah Bapak setuju atau tidak. Tapi dia pernah melihat saya sesaat di seberang jalan, lalu segera pergi lagi. Kami memang tidak pernah ngobrol. Bapak tipe pendiam, kesulitan berbahasa. Sejak kecil saya selalu ingin dekat dengan Bapak. Selalu berangan-angan bisa dekat dengan Bapak seperti dr.Huxtable yang ada di serial keluarga Huxtable di RCTI, tokoh bapak yang suka becanda, dekat dengan anak-anaknya, fleksible.

Upaya saya ingin dekat dengan bapak dengan membacakan Koran tiap pagi, bawakan makan, minum, air panas, membersihkan bekas makannya, menyiapkan isi kaneron untuk bekal ke pasar (kaos, baju koko, sarung, pangsi, bon dan spidol), setiap hari. Tapi tidak pernah terjadi dialog, apakabar? Bagaimana sekolah? Apa kamu bahagia? Tidak. Kadang kami duduk satu meja, lalu makan jeruk bersama-sama dalam diam. Pernah suatu hari Bapak bilang begini,”Geus atuh imah teh tong disapuan wae, ke ge kotor deui.” (Sudah dong, jangan menyapu saja, nanti juga kotor lagi) Saya cuma tersenyum sambil meneruskan beres-beres.

Buat Bapak, bekerja adalah ibadah. Ibadah disini ibarat menangkap matahari sebagai salah satu energi hidup bumi. Ya, Bapak tidak sempurna seperti bapak-bapak yang lain. Tapi proses hidupnya sepenuhnya diberikan untuk mendatkan energi hidup, kebahagiaan hidup anak-anaknya agar mendapatkan pendidikan yang layak, tempat tinggal, mengenal Tuhannya-Allah dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Beliau mampu menumbuhkan anak-anaknya dalam setiap tarikan nafas doanya, dalam diamnya, bertahan dalam pekerjaannya, menyatu bersama segala luka batinnya.

Nuhun Bapak, selamat hari Bapak, semoga energi bekerja dan ibadahnya terus mengalir menjadi amal yang tidak pernah putus.  Allahumma firlahu warhamhu wa'afihi wa'fuanhu...


Selamat datang diriku sendiri, ya, selamat datang kembali di panggung pertunjukan teater.  Buat saya ini kejutan sekali.  Karena, rasanya seperti mimpi mendapat kepercayaan menjadi pemain dalam garapan teater.  Bisa jadi proses ini jadi semacam semesta mendukung.  Semula dari "kesadaran" yang dibangunkan oleh sahabat-sahabat saya tentang pertunjukan yang pernah kami garap, banyak tidak ada dokumentasi dan euforia masa lalu lainnya. 


Sebelumnya, bulan Oktober semacam momen mengingatkan saya pada kejadian saat kami tinggal di rumah Teh Embay karena masalah kesehatan suami.  Tidak hanya masalah fisik, namun situasi rumah kami yang mempengaruhi kondisi psikis.  Tentang bulan Oktober tahun 2014, Holis menemukan kegiatan inktober yang menstimulasi semangat berkarya lagi di tengah tubuh yang sedang layu. 


Tahun ini, 2021, artinya 7 tahun lalu, aktivitas mengikuti Inktober dilakukan lagi.  Lebih menyenangkan karena situasi yang lebih baik dibanding 7 tahun lalu.  7 tahun lalu memikirkan Holis segera sembuh dan kembali beraktivitas, sementara tahun ini bagaimana aktivitas ini bisa berjalan lancar.  Holis dengan kegiatan mengajar gambar dan mengelola kegiatan kumpulan pelukis.  Sementara saya  bergulat di dunia blogger yang up and down, mengarsipkan kegiatan dalam tulisan dan ikut berproses menggarap teater yang disutradarai Kang Irwan Guntari.  Kemanapun kami melangkah, berkesenian selalu kembali.


Kejutan?  Banget.  Buat saya kehormatan bisa diajak lagi oleh Kang Irwan lagi untuk main dalam garapan teater lagi.  Artinya, beliau masih percaya pada kemampuan seni peran yang bertahun lalu saya jalani.  Bertahun lalu pun, saya pernah terlibat dalam garapan Mogok Asmara (saduran naskah Lysistrata karya Moliere).  Disana saya berperan sebagai Lysistrata atau dialih nama lokal menjadi Lisma.


Garapan kali ini mengangkat tokoh perempuan Sunda yang berjasa dibidang pendidikan, yaitu Dewi Sartika.  Naskah pertunjukan kisah perjalanan Dewi Sartika ini dibuat oleh Rosyid E Abby, seorang wartawan dan pengelola rubrik budaya di harian Pikiran Rakyat.  Naskah yang menarik ini membuat saya mau terlibat, lebih dari itu teman main saya melibatkan aktor tangguh di Bandung diantaranya Irwan Jamal, Teh Winny Soemantri, Dedi Warsana, Heksa Ramdhono dan Atalarik Syah.  Kami berenam mendapat kehormatan main teater bersama aktris kawakan yaitu Teh Paramitha Rusadi.



Situasi pandemic masih naik turun, meski begitu, buat saya sendiri, rasanya baru garapan kali ini saya lebih lepas dan tenang dalam menjalaninya.  Mungkin karena Holis-suami saya- mendukung dan memberi kepercayaan penuh saya terlibat dalam proses garapan teater.  Sementara dulu saya kesulitan mendapat izin Amih sehingga harus sembunyi-sembunyi untuk melakukan latihan hingga pertunjukan.  Ya, dulu Holis teman karib termasuk cuku psering berkarya bareng dalam menggarap berbagai pertunjukan.  Dia tahu bagaimana saat saya di atas panggung, proses “kerja” dan komitmen saat menggarap pertunjukan. 


Proses panjang dan penuh kehati-hatian dalam menjalani latihan menjadi bumbu ditengah pandemi.  Namun saya belajar banyak dari sutradara, semua aktor, tim produksi seperti Teh Ade, Vanya dan Oko mengenai tingkat respek dan proses interaksi satu sama lain.  Sehingga saya merasa chemistry berada dalam tim Dewi Sartika ini lebih enak.


Tulisan ini saya buat sebagai catatan sederhana yang mengingatkan bahwa saya pernah melalui tahap beberapa kali pertemuan latihan lalu berhenti karena ada pembatasan interaksi (PPKM) oleh pemerintah, lalu setiap pemain mendapat makanan sehat, vitamin, masker hingga pada fase syuting karena izin pentas di gedung pertunjukan masih belum dibuka.


Pernah kami latihan di gedung pertunjukan, pintu masuk gedung dijaga oleh polisi, seluruh tim yang masuk pertunjukan harus isi data dan tes suhu badan.  Begitupun ketika syuting, setiap pemain harus melalui tahap swab dan mengisi data.  Akhirnya proses syuting berjalan cukup lancar, selama dua hari kami tidak bisa kemana-mana kecuali di gedung dan tempat peristirahatan. 


Dalam Dewi Sartika ini saya lebih banyak interaksi dengan Dewi Sartika yang dimainkan oleh Paramitha Rusadi.  Berdekatan dan berinteraksi dengan Teh Mitha ini seperti mengalir begitu saja, mungkin karena Teh Mitha begitu familiar di layar kaca dan beliau pun rendah hati dan menyenangkan.  Jadi saya sendiri tidak merasa insecure dan nyaman jadi diri sendiri.  Saya menjadi tokoh apa?  Tunggu tanggal mainnya, ya.