Foto: Ima


Mengatur keuangan menjelang Lebaran selalu penuh kejutan, bikin hati senang namun juga membuat hati ketar ketir. Apalagi di tengah pandemi seperti sekarang.  Pemasukan dan kondisi keuangan yang serba tidak pasti, sementara kebutuhan dan biaya yang harus dibayar tetap jalan.  

Meski begitu, maunya hari Lebaran ini tetap diperlakukan spesial. Bagaimana kami bisa menggunakan baju yang istimewa, makanan yang lezat, menyediakan segala macam kudapan, minuman khas Lebaran dan rumah yang lebih bersih wangi. Artinya kita harus menyisihkan anggaran lebih untuk merayakan hari raya serta berbagi kebahagiaan bersama saudara dan tetangga.

Lalu bagaimana sih kita mengatur keuangan menjelang Lebaran? Sebetulnya mudah sih mengatur keuangan asal mau disiplin dan sepakat dengan pasangan kita. Karena seringkali ada pembelian diluar rencana padahal bisa jadi jamuan untuk hari raya sudah cukup. Saking senangnya merayakan hari Lebaran, sepertinya ada saja ingin nambah ini dan itu sehingga membeli sesuatu padahal tidak terlalu butuh. Cung yang seperti ini? (sayaaa…)

Nah, buat kita-kita yang tidak bergantung pada gaji dan THR, harus dicatat segala kebutuhan hari raya dan paska hari raya. Karena seringkali yang kita pikirkan adalah beli semua untuk Lebaran, bagi-bagi uang buat anak-anak, dan jalan-jalan/silaturahmi sambil bawa kiriman.  Seminggu kemudian tinggal makan serba tumis, makanan yang dihangatkan berkali-kali, kalau benar-benar habis baru beranjak pada semangkuk mie instan. Sepertinya kejadian seperti ini klise, ya.

Kudapan saat hari raya. Foto: Ima




Lalu apa yang harus dilakukan, sih? Hmmm, saya menulis ini bukan karena jago mengatur keuangan, ya, tapi berbagi pengalaman karena sering kebobolan karena ulah sendiri. Nah, untuk menghindari kekeliruan dalam menyediakan segala untuk menyambut hari raya bisa mencoba cara ini:

Pertama, catat menu makan untuk hari raya.

Catat mulai dari makanan berat, kudapan, teh, kopi, air galon. Setelah dapat menu makan, lanjut merinci biaya bahan baku yang dibutuhkan. Dari sini kita mendapatkan angka. Lalu simpan uang tersebut untuk sajian makanan. Perkirakan harga bahan baku lebih mahal dari hari-hari biasa untuk menghindari kekurangan anggaran.  Terlebih saat pandemi yang tidak menentu ini, atur menu yang tampak spesial namun jatuhnya akan lebih murah.  

Kedua, pertimbangkan lagi, apa perlu beli baju untuk kamu, pasanganmu dan anak-anak? Cek lemari baju, kalau untuk orang dewasa kaya saya dan suami, sepertinya bisa mix max baju lama jadi terlihat baru sudah cukup ya. Tinggal cuci bersih, kasih pewangi. Beres!

Tapi saya sendiri ingin membelikan baju buat anak biarpun hanya sepasang. Ingin membuat mereka terlihat bagus dan pantas saat merayakan hari yang spesial. Kalau hanya mau membeli baju untuk anak-anak, alokasikan berapa dan upayakan sesuai dengan yang kita siapkan.

Ketiga, rinci kebutuhan kebersihan rumah dan kesehatan. Catat mulai dari sabun mandi, sabun cuci tangan, pembersih lantai, sabun cuci, lap pel, lap piring, lap meja, hingga pewangi badan dan pewangi pakaian.

Keempat, hitung hari raya hingga 2-3 bulan berikut, biaya apa saja yang harus dikeluarkan. Cara ini sebagai bayangan agar kita harus melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Kelima, anggarkan biaya kebutuhan untuk buka dan sahur disesuaikan dengan dana yang ada.

Pada dasarnya mengatur keuangan menjelang hari raya harus lebih disiplin. Meskipun keuangan rumah tangga, tetap harus menggunakan buku catatan. Nanti akan kelihatan keluar masuk keuangan agar lebih terkontrol pengunaan uang tersebut memang sesuai kebutuhan atau banyak digunakan diluar kebutuhan. Karena kita seringkali membeli jajanan yang harganya kadang terlihat murah. Tapi ternyata setelah dikalkulasi pengeluaran harian kita lebih banyak untuk jajan atau beli kebutuhan yang tidak perlu.

Beli sesuatu yang menyenangkan boleh saja, seperti beli minum botolan dan kripik.  Tapi kalau setiap hari dilakukan, anggaran jajan ini totalnya bisa sama untuk anggaran beli sayuran, teh bahkan setengah kilo gram telur. Dengan dicatat kita bisa memantau apa saja yang pernah kita beli dan merasa cukup. Setidaknya bisa nge-rem keinginan jajan lagi dan merasa cukup dengan makanan yang ada.

Jadi intinya, catat perkiraan setiap kebutuhan harian, kebutuhan untuk hari raya dan hari-hari setelah hari raya. Ketika ada sisa anggaran, uang itu bisa digunakan untuk jajan di luar atau beli camilan di mini market sebagai teman nonton atau ngemil selepas sahalat taraweh.  Semoga sesuai yang dibutuhkan, ya.

Foto: Ima


“Mah, Bacain!” Begitu permintaan Bayan (8 tahun) sebelum tidur. Salah satu bacaan pilihan Bayan yaitu Asterix. Iya, kadang-kadang dia minta bacain komik Asterix. Komik kesukaan saya ketika masih anak-anak (tahun 1986-an). Saya ingat betul, kayanya cuma komik Asterik yang bisa menghibur saya paska operasi usus buntu. Saat itu saya kelas 3 SD. Sekarang komik ini masih dibaca sama anak-anak, menghibur saat mau tidur atau mulai bosan mengerjakan ini itu.

Kalau dipikir-pikir, saya banyak terselamatkan karena membaca, saya belajar banyak hal. Kenapa? Karena saya hidup tumbuh dalam keluarga besar, anak bungsu dari anak ke-16. Iya, 16 bersaudara. Saat saya lahir, saya sudah mempunyai keponakan yang seumur bahkan usianya lebih tua dari saya. Tahu sendiri kan, mengurus 2 anak saja butuh segelas kopi dan setangkup roti agar hati tetap fokus dan riang gembira.

Tentu saja perhatian orang tua lebih banyak tersita pada masalah-masalah besar dalam keluarga. Atensi saya terhadap sesuatu tidak terlalu mendapat perhatian laiknya ortu milenial jaman now. Saya hanya mendengar kata jangan, marah, suruhan saja dari orang tua maupun kakak-kakak. Bayangkan, Ima kecil pernah melakukan tantangan tidak makan 3 hari bisa tidak ketahuan orang tua. Tidak ketahuan oleh Amih/Bapak tidak juga oleh kakak-kakak yang banyak itu. Sampai perut melilit dan senang karena menang tantangan.

Saya serumah tidak hanya dengan kakak dan orang tua, tapi ada beberapa kamar digunakan oleh kakak dan keluarganya. Belum saudara Amih yang sesekali menginap disini, bisa sepekan atau bahkan sebulan. Rumah ini penuh sekali. Tapi Ima kecil tidak peduli, dia lebih memilih menenggelamkan diri dengan bacaan, serodotan, dan bermain di sawah sampai senja. The balangsak girl pokoknya. Saat itu saya senang sekali membaca majalah Bobo. Sengaja saya sisihkan uang jajan harian agar bisa membeli majalah Bobo tiap hari Kamis di kios seberang rumah.

Bermain dari sejak pulang sekolah hingga magrib. Begitu magrib langsung pergi ke masjid untuk mengaji. Di Masjid pun saya seringkali menenggelamkan diri membaca komik-komik bernuansa “keagamaan”. Jangan bayangkan komik keagamaan itu sebagus sekarang, berwarna dan menstimulasi otak kita menjelajah ke berbagai nilai-nilai hidup dengan cara yang asik dan penuh cinta. Tapi imajinasi kita menjelajah ke negeri surga dan neraka dangan gambar-gambar yang mengerikan. Tantangan sekali mau baca komik seperti ini.

Pulang mengaji selepas shalat Isya saya lebih senang menunggu Dunia Dalam Berita. Soalnya saya selalu tertarik dengan berita perang Iran Irak, sampai-sampai saya berfikir kalau peperangan ini terjadi dari sejak dulu dan sebuah kejadian biasa. Begitu terus sampai ketiduran di atas kursi lalu dipindahkan ke kamar oleh kakak.

Selain majalah Bobo, kakak saya suka beli komik kolaborasi Goscinny dan Uderzo. Kisah tentang masyarakat kuat di sudut belahan Galia yang tidak tertaklukan oleh Romawi. Gaya bercandaan dan kelucuan dari tingkah karakter Asterix, Obelix dan berbagai tokoh unik di Galia muncul mempengaruhi gaya bercanda saya. Hanya saya jadi orang yang beda, karena agak sulit nyambung bercanda dan ngobrol dengan teman-teman. Ya sudahlah, saya simpan kegembiraan dan kenikmatan cerita Asterix oleh diri sendiri dan saudara saya yang suka membaca komik itu.

Mimpi saya bisa keliling dunia, menjadi penulis dan senang menganalisa itu ketika mulai baca Tintin. Bagaimana tokoh Tintin seorang wartawan yang bisa memecahkan berbagai kasus pencurian dan kejadian yang menjadi teka teki. Wow, saya selalu senang memakai sweater woll juga sepertinya karena pakaian yang suka dipakai Tintin.

Imajinasi mulai dimainkan ketika mendapat buku Alice in The Wonderland. Buku ini unik, ketika masuk ke halaman tertentu kita diberi plihan untuk melanjutkan ke halaman berapa. Pilihan halaman itu akan menentukan bagaimana cerita Alice berlanjut.

Keinginan saya bisa ke Eropa dan membayangkan menjadi seorang penari, keinginan bisa menggambar pun muncul ketika membaca karya-karya HC Andersen. Saya suka sekali dengan gambar-gambarnya yang berwarna lembut dan halus. Kisah-kisahnya sering mengangkat perjuangan orang-orang terpinggirkan yang terus bertahan berbuat kebaikan lalu hidupnya berakhir lebih baik. Imajinasi dan rasa suka itu merasa terlengkapi karena dulu sesekali meminjam kaset video kartun karya HC Andersen. Seperti Gadis Penjual Korek Api, Boneka Prajurit dan Boneka Balerina, Cinderella, Peter Pan, dan banyak lagi. Keinginan saya meledak-ledak dan ingin menguasai banyak hal. Ya, menulis, ya, menggambar, ya, menari. Saya suka semua.

Aha! Saya ingat komik dari Malaysia. Saat itu kakak saya punya komik terbitan Malaysia. Saya membaca berulang-ulang dan menyimpannya sampai kertasnya melipat-lipat saking sukanya. Tokohnya kemana-mana cuma pake seluar. Paling susah pakai baju. Bahagia rasanya kalau sudah baca komik ini. Judulnya The Kampung Boy bikinan Dato Lat. Aduh, itu komik kemana, ya, perginya. Huhu… 

Foto: akun Shopee

Saking sukanya membaca, kalau di sekolah, saya lebih senang masuk ke perpustakaan dan memilih buku cerita sendirian. Saya ingat perpustakaan saat saya SD itu tempatnya kecil, cahaya ke ruang itu lebih banyak cahaya matahari. Karena beberapa keeping atapnya memakai genting kaca. Sepi, kecil, sunyi dan bertumpuk. Ada kategori-kategori buku menempel di sisi rak. Kadang mejanya berdebu dan berdempetan.

Saking suka buku, saya simpan buku-buku itu ke dalam kantung belanja bekas. Buku-buku itu saya simpan di bawah ranjang, kadang di bawah lemari, kadang di dalam lemari, kadang di atas atap, karena takut hilang. Saking sukanya, kadang saya bawa kemana-mana. Sampai suatu hari saya susun buku-buku itu di teras rumah untuk saya sewakan. Buat mereka yang mau baca harus bayar.

Terus terang, sebetulnya saya lupa-lupa ingat pernah membuat perpustakaan di teras rumah. Ingatan ini dibangunkan oleh teman saya, dia suka meminjam komik. Oh, ya, teman saya ini koleksi boneka banyak sekali. Meski saya mau beli boneka juga, sampai dewasa saya tidak pernah punya boneka. Kemanapun perginya, saya lebih memilih beli komik.

Nah, kembali pada paragrap awal. Kenapa saya merasa terselamatkan oleh bacaan. Karena melalui komik-komik yang saya baca ini, secara tidak langsung menstimulasi otak, logika berfikir, lebih mudah menganalisa berbagai masalah. Banyak pelajaran merawat diri, mandiri, mengenal karakter orang “diajarkan” dari majalah dan komik-komik. Saya baru tahu perubahan biologis dari anak-anak menuju remaja pun dari bacaan. Bagaimana menjaga diri, merawat diri, bersikap dalam menghadapi masalah justru banyak tahu dari bacaan. Ya, karena di rumah banyak sekali orang, banyak saudara, tingkat perhatian, tingkat apresiasi orang tua juga kurang karena terbelah-belah. Jadi saya yang banyak keinginan dan katanya pemberani sepertinya banyak dipengaruhi oleh bacaan dan lingkungan teman-teman.

Intinya, Ima sekarang merasa sangat bersyukur saat kecil suka membaca komik dan bacaan anak lainnya. Meski sekarang sering sedih banyak koleksi yang hilang. Kalau ada yang meminjam bisa sangat sembarangan sampai akhirnya hilang entah kemana. Hanya saja, saat itu saya lebih sering kesulitan berbahasa sosial, karena kosa kata yang muncul ketika berbahasa dengan teman-teman lebih banyak kalimat baku/tidak umum.

Menuliskan ini rasanya senang sekali, memori bahagia masa kecil dengan berbagai bacaan ini membuat saya kembali bersemangat.

Foto: Ima


Bertahun-tahun saya hidup berorganisasi sampai akhirnya hidup berumah tangga selalu membuat target, rencana dan menciptakan sesuatu yang sifatnya jangka pendek dan jangka panjang. Ketika muncul masalah yang disebabkan diluar diri, seperti sakit, orang tua ikut ikut campur, atau hal-hal besar lain, maka hidup tanpa resolusi menjadi ruang berdamai dengan keadaan. Hal terpenting terus memelihara asset diri atau kemampuan diri, lalu terus bergerak di atas rel yang sama dengan amunisi yang kadang-kadang penuh, sedikit bahkan habis sama sekali.

Sampai kapan? Sampai merasa harus mengeksekusi ide meski sederhana.

Seperti tahun 2020, saya punya resolusi menghadirkan 1 buku perjalanan hidup. Ternyata situasi pandemi pada awal-awal bulan cukup menguras sebagian mental. Sehingga resolusi tahun 2020 yaitu lebih memilih melakukan sesuatu yang membuat tubuh sehat dan jiwa lebih bahagia saja, cukup. Karena buku yang tadinya mau saya susun bisa memicu psikosomatik dan lambung saya kembali bermasalah. Akhirnya saya memilih bersunyi-sunyi, mengikuti ritme alam dan mendengarkan kebutuhan tubuh dan hati. Memilih, mengeksekusi ide, mengisi diri yang tidak terlalu menekan diri sendiri. 

Foto: Ima

Tapi tunggu sebentar, kita harus bisa membedakan antara mendengarkan diri dan malas mengerjakan. Ketika sadar bahwa tidak mengerjakan karena malas, maka segera bangkit dan menyadari bahwa: kita hanya butuh waktu sebentar kok untuk menyelesaikan (tulisan/memasak/beres-beres rumah, mendampingi anak belajar atau apapun itu), lambat laun akan selesai juga dan semua orang akan mendapatkan manfaatnya.

Lanjut, ya. Nah, Lalu apa yang dilakukan hidup tanpa resolusi, bisa? Saya fokus pada satu kegiatan yang harus tetap di atas rel, yaitu: menulis. Selebihnya memilih mengikuti kegiatan yang ada, belajar bersama anak-anak, menulis, menonton, membuat roti, menonton drama korea, mendengarkan live IG, mengikuti program orang-orang secara online, memotret, mengambil kegiatan karena diajak orang. Kalau kegiatan itu membuat hati saya senang, saya ambil, kalau tidak sreg lebih baik melepaskan.

Ternyata dengan mendengarkan tubuh dan hati, pengaruh negatif lebih tersamarkan. Semesta mendukung berbagai kegiatan yang betul-betul kami butuhkan dan sungguh-sungguh kami kerjakan. Tak menyangka, tahun 2020 yang tengah dilanda ketegangan ternyata banyak kegiatan menarik dikerjakan selama tahun 2020.

Lalu bagaimana dengan tahun 2021? Saya kembali mendengarkan kebutuhan tubuh dan hati yang disesuaikan dengan asset yang dimiliki: saya menulis, Ayah melukis dan anak-anak mengamalkan tugas belajar PJJ dan bermain dengan gembira. Intinya terus bergerak, terus berkarya, setia dan disiplin pada bidang yang kami kerjakan.

Ternyata ketika saya mengerjakan yang lain, selalu kembali pada dunia menulis di blog. Godaan untuk berhenti banyak, terutama saat kami kehabisan uang. Terlebih masuk 2020 situasi betul-betul tidak dapat diprediksi. Ketika godaan itu muncul, yang kami lakukan adalah terus berkarya, berdoa, mengasah diri dan meluruskan dari niat.

Karena rel yang kami jalani adalah menulis, melukis dan dunia anak, jadi resolusi tahun 2021 melakukan kegiatan yang sifatnya self healing alias ngobatan maneh. Mengikuti kebutuhan pikiran, hati dan tubuh. Mengikuti program yang ada dan menghadirkan kegiatan yang sesuai apresiasi diri, seperti:

1. Menulis. Menulis. Menulis. Dengan kesadaran penuh bahwa menulis di blog matakubesar sebagai media menabung amal. Sehingga ketika banyak orang yang mendapatkan manfaat dari tulisan kita, bisa menjadi amal jariah yang terus mengalir.

2. Menjadi orang tua bermain.

Memenuhi kebutuhan anak-anak, seperti, menggambar bersama, membuat puisi, membuat lirik dan musik, menghafal quran, becanda.

3. Menyiapkan anak lebih mandiri:

Seperti, mengaji dan shalat bersama, melibatkan anak-anak merawat rumah, dan memasak

4. Menyusun tulisan-tulisan di blog untuk dibukukan

5. Menyusun rencana pameran tunggal

6. Kolaborasi Live IG baca buku mingguan bareng Ayah

7. Menghindari lingkungan yang menyebabkan melukai diri 


Jadi tahun ini berjalan tanpa resolusi, hanya meletakan diri sesuai kapasitas sambil terus menerus diperbaiki dan terus menerus mengasah "asset" yang dimiliki dengan kecepatan lari marathon. Pelan tapi terus, lama-lama akan sampai pada yang kita inginkan atau bahkan melampaui pada apa yang kita rencanakan, Saya percaya, apa yang dilakukan dengan hati akan sampai pada orang-orang yang memang membutuhkan. Setiap kata, setiap langkah, akan bertemu dengan lingkungan yang satu ritme, satu vibrasi.
Saya baru dengar istilah burnout begitu Komunitas ISB memberi tema untuk one day one post (ODOP) hari ketiga. Ini apa, ya, sejenis makanan, kah? Bukan, bukan. Ternyata begitu cari-cari saya dapat penjelasannya. Burnout syndrome adalah kondisi stress kronis akibat pekerjaan yang ditandai dengan rasa lelah, kesal dengan pekerjaan dan merasakan ketidakpuasan. Kondisi ini bisa dirasakan secara fisik maupun emosional. 


Kalau membaca dari beberapa referensi yang terpercaya, sepertinya saya pernah mengalami hal yang serupa. Dalam kondisi tertentu, otak saya jadi agak sulit mencerna sesuatu yang baru. Pernah saya mencoba ikut kelas asuransi, semua materi seperti mantul entah kemana. Tapi begitu dipelajari lagi kemudian dalam keadaan hati dan pikiran lebih slow, ternyata apa yang disampaikan di kelas itu materi yang sangat mudah. Saat itu, ketika saya pelajari dalam keadaan tertekan, rasanya cepat lelah, cemas, merasa tertekan, ingin muntah dan dada terasa pengap. Menyadari pilihan yang saya ambil ditolak oleh tubuh sendiri akhirnya memutuskan untuk berhenti dan mengerjakan pekerjaan yang saya suka dan kuasai.

Lalu apa sih kaitannya burnout di tengah pandemi? Situasi pandemi banyak memungkinkan memicu burnout. Alasannya, pertama, kita harus beradaptasi bekerja dari rumah, kegiatan yang menimbulkan kerumunan diberhentikan, mengajarkan anak-anak belajar di rumah, dengan berbagai perubahan pola interaksi. Setiap hari begitu, berulang. Manusia terbiasa berinteraksi langsung dengan manusia, biasa bertemu tatap muka, kemungkinan besar akan kesulitan beradaptasi mengatasi perubahan pola hidup. Begitupun orang-orang yang masih harus bekerja keluar, mengalami dilemma antara mengerjakan kewajiban dan cemas dengan kondisi kesehatannya.

Sebetulnya saya tidak merasakan burnout selama pandemi, justru saya merasa lebih menerima mengikuti semua protokol kesehatan ditengah pro kontra dan tarik menarik situasi pandemi. Bukan menikmati ketegangannya, hanya saja semakin merasa baik-baik saja bekerja di rumah saja tanpa perlu perlawanan lagi. Meski beberapa situasi pandemi ini cukup menekan, jadi saya fikir yang perlu kami lakukan yaitu mengerjakan sesuatu yang menggembirakan, yang paling mungkin, yang paling bisa. Nikmati apa yang paling bisa dikerjakan dalam berbagai situasi yang serba terbatas.  Ya, mirip-mirip konsep bermain sambil belajar, bermain sambil bekerja. 

Kami berdua, saya menulis dan Ayah menggambar.  Setiap anak-anak belajar,  kami pun ikut belajar bersama anak-anak, saat kami merawat rumah maka anak-anak pun ikut terlibat juga. Agar suasana rumah bervariasi, kami melakukan berbagai kegiatan yang disepakati bersama.

Semesta seperti membuka jendela hidup bahwa bekerja, bermain, menikmati hal sederhana jadi istimewa dari rumah itu sangat mungkin. Walaupun sering kotar katir kekurangan, tapi ya kan rezeki kita semua sudah dijamin sama Allah. Jadi ya sudah keep it on aja, terus menulis, terus menggambar, terus mempromosikan usaha orang-orang lewat tulisan saya. Percaya The power of aksara dan the power of medsos bisa jadi bagian dari amal jariah yang terus mengalir (amin) dan rezeki mah insyaAllah ada, Allah pasti mengapresiasi semua usaha kita. Jadi gimana nih, tentang burnout? Oke, sebentar.

Katanya stress itu wajar, karena dengan stress membantu otak kita berfikir cepat dan bersegera mengambil langkah/keputusan-keputusan. Namun jika stress terus menerus tanpa jeda, lama-lama sistem syaraf akan terluka. Dalam kondisi kita bekerja pada bidang yang kita cinta pun ada masanya mengalami burnout. Saya fikir wajar, tapi akan menjadi tidak wajar jika situasi burnout berlarut-larut dan tidak segera teratasi.

Jadi saya mau berbagi sedikit pengalaman upaya self healing untuk menyelamatkan dari burnout yang ya mungkin bisa saja cocok sama teman-teman:

1. Beri jeda antara diri sendiri dengan pekerjaan kita.

Beri waktu pada diri untuk bernafas lega dengan cara mengalihkan pikiran pada hal lain. Caranya, olah nafas, lalu kerjakan sesuatu yang membuat kamu rehat sebentar. Katakanlah kamu sudah merasa enek ditengah pekerjaan yang tak kunjung selesai, maka hentikan saja, beri waktu 30 menit untuk betul-betul buat diri sendiri.

Katakanlah ambil kopi arabika kesukaan kamu, lalu seduh kopi, nikmati dengan menyadari penuh rasa kopi, pada proses seduh membayangkan pegunungan pepohonan kopi, lalu duduk tenang menikmati pepohonan di teras rumah. Sambil tutup mata dan nikmati berbagai suara di sekita tanpa perlu melawan atau merespons balik

                                         

2. Kerjakan hobi yang kamu suka.

Hobi setiap orang beda-beda, ada yang nonton film, merawat bunga, membaca buku, membuat kue, menggambar, membuat puisi, olah raga, dll. Lakukan tanpa perlu merasa bersalah, tubuh kamu butuh “nutrisi” agar bisa beraktifitas dengan riang gembira dan penuh energi.

Kalau kamu suka jalan kaki, maka lakukan. Nikmati diri sendiri sambil bawa handphone. Ketika jalan kaki menemukan objek menarik, maka tak perlu segan mengambil fotonya, dengarkan keinginan tubuh dan hati kamu. Ketika merasa sudah cukup puas, pulang dan susun lagi rencana hari itu, lalu kerjakan satu satu pekerjaan. Dengan kesadaran penuh bahwa lama-lama semua pekerjaan itu akan selesai juga.

3. Bersyukur atas tubuh yang sehat

Di tengah pandemic seperti ini apa yang paling kita syukuri? Ya, udara dan tubuh yang mampu mengerjakan sesuatu. Baik itu pekerjaan orang ataupun pekerjaan rumah. Tidak semua orang mendapat kesempatan seperti itu. Hari ini berarti, lalu kerjakan apapun sisa-sisa yang kita bisa kita lakukan.

4. Tulis atau ingat-ingat hal menyenangkan meski sederhana

Seringkali kita merasa lelah dan perasaan cemas lainnya karena berfikir berlebih bahkan berfikir pada sesuatu yang belum tentu akan terjadi. Cobalah untuk mengingat kejadian lucu, asik, sederhana namun sering kita abaikan karena ingatan negative kerap menguasai pikiran. Misalnya anak-anak bisa mandi sendiri dan menyimpan baju kotor di tempatnya, lalu ketika beli sayur mendapat diskon 1000, senang bisa menjemur badan sambil ngobrol dengan Ibu, senang karena berhasil membersihkan kulkas, dan sebagainya. Tanpa disadari ternyata persoalan kita hanya 1 dan situasi yang menyenangkan bisa jadi lebih banyak.

5. Tidur

TIdur? Iya, tidak semua orang bisa tidur dalam keadaan banyak masalah. Maka upayakan tidur sekitar 30 menitan saja. Nyalakan alarm agar tidak terlalu lama. Katanya, tidur adalah obat meredakan stress yang paling mujarab, karena syaraf kita akan dibuat istirahat.

6. Lakukan permainan anak-anak

Gunting, batu, kertas! Bikin permainan anak-anak dengan orang rumah, gunakan waktu secukupnya, biarkan jiwa anak-anak kamu keluar lalu gunakan kesempatan untuk bergembira.

7. Berhenti ingin di apresiasi oleh rekan kerja

Lakukan saja pekerjaan kamu semampu kita, karena tanpa kamu semua itu tidak akan terwujud.

Ketika pikiran kita kembali santai dan sederhana, pekerjaan yang setumpuk dan penuh tekanan itu jadi terasa ringan dan kembali berenergi. Perlu disadari juga, bahwa setiap manusia memiliki fungsi masing-masing. Ketika salah satu berfungsi, maka tujuan bersama akan terwujud dengan baik. 


Foto: Ima


Seorang guru ngaji saya pernah bilang, bahwa ilmu yang kita ketahui itu ibarat setetes air di lautan. Saya mendengar petuah ini saat masih sekolah dasar, belum ngerti maksud Kang Guru itu apa. Karena pernyataannya ini unik dan menimbulkan imajinasi visual di kepala. Lama saya selalu ingat kalimat ini, “Setetes di lautan, setetes di lautan,” saat melamun kalimat ini cukup sering mengusik sistem syaraf ingatan saya.

Ternyata kalimat ini maknanya luas sekali, tidak sekadar bermakna ilmu yang kita tahu itu sangat sedikit dibandingkan ilmu yang terkandung di alam semesta ini. Tapi kalimat ini mengajarkan pula untuk meneguhkan diri agar tetap buka hati, buka mata, buka telinga untuk memahami segala sisi. Karena kita bisa belajar dari siapapun ketika berada dalam lingkungan sosial yang beragam. Disini hati kita diuji untuk menangkap setiap “ilmu” dari siapapun itu.

Kadang-kadang merasa remuk karena merasa sudah belajar banyak, rupanya semakin melangkah lebih jauh, ilmu ini seperti tak berbatas. Selalu ada yang baru, selalu ada situasi yang mengejutkan yang menyadarkan bahwa bumi ini sungguh luas. Sepertinya tak ada ruang untuk membanggakan diri, tidak juga merendahkan diri atau bahkan merasa paling berilmu.  

Foto: Ima



Kebetulan saya pernah aktif dalam organisasi teater saat kuliah dulu, sehingga sampai sekarang komunikasi masih terjalin untuk sesekali berbagi pikiran. Melalui teman-teman pengurus itu, saya menemukan bagaimana mereka mengelola masalah dan memecahkan solusi dalam bentuk karya. Energi ini seperti menular dan selalu mengingatkan saya agar terus berkarya berapapun usia dan kondisi kita saat ini. Melalui pergerakan dan program kegiatan yang mereka lakukan, saya sering menemukan ilmunya yang luas dan meluaskan, pergerakannya selalu segar dan inspiratif. Pelan-pelan saya pelajari dan serap disesuaikan dengan kondisi saya saat ini.

Lalu saat kami membangun studio desain bersama teman-teman Ayah yang lebih muda, kami belajar memiliki sikap saat harus bekerja sama dalam mengeksekusi pekerjaan. Meski usia terpaut cukup jauh, pola komunikasi kami terasa cair. Karena komunikasi cair, proses kreatif lebih dikerjakan dengan professional dan menyenangkan. Tidak ada yang merasa lebih tua maka dia lebih jago begitupun sebaliknya. Semua proses dan ide dikomunikasikan untuk mendapatkan kesan hasil desain yang disepakati bersama.

Begitupun ketika saya masuk pada dunia tulis menulis, saya belajar banyak dari penulis yang usianya lebih muda namun kaya ilmu menulis. Saya menyadari hobi menulis saya tidak disertai dengan ilmu kepenulisan. Sehingga ketika pelan-pelan masuk dunia blog lalu menemukan komunitas blogger, disini berbagai “tuntutan” keilmuan menulis, etika bermedia sosial, keahlian mengambil foto, mengatur aplikasi blog, membangun branding, memelihara disiplin berkarya dan banyak lagi cabang lain harus dipelajari. Melalui beberapa teman yang lebih muda, saya belajar teknis mengelola blog dan bagaimana mensikapi dunia blogger yang dinamis dan penuh kejutan.

Situasi yang sering terjadi ketika kita tahu ada lingkungan lain dengan percepatan ilmu yang kita miliki, kita memilih berhenti. Atau tak jarang merasa tidak perlu belajar lagi karena sudah merasa lebih dulu berkiprah. Keadaan ini yang membuat kita terjebak karena merasa cukup banyak tahu dan besar sendiri.

Perlu disadari, pertumbuhan dan pergerakan ilmu di era sekarang ini sangat cepat. Oleh karena itu, mau tidak mau, buat saya yang melewati fase belum ada internet hingga fase informasi itu ada di smart phone menjadi tantangan tersendiri untuk membuka diri untuk terus belajar pada siapapun. Bagaimana dulu kita kesulitan mencari referensi, sekarang anak-anak muda jauh lebih memahami bagaimana mendapatkannya dan mengelolanya menjadi industri. Pergerakan hobi lalu mengoptimasi menjadi penghasilan menjadi pergerakan sosial yang lumrah. Jadi, dalam mempelajari sesuatu tidak ada kata terlambat meski dari anak muda, masalahnya adalah mau atau tidak.

Foto: Ima

Rasanya semua merasakan hal yang sama, bulan Ramadan selalu terasa beda. Tentu saja berbeda, karena setiap muslim wajib melakukan puasa pada siang selama 1 bulan penuh. Menjalani puasa sambil melakukan aktivitas seperti biasa menjadi tantangan sendiri. Seringkali hilang konsentrasi dan semangat saat mengerjakan berbagai pekerjaan. Lapar dan mengantuk sering menjadi alasan kita mengurangi aktivitas karena khawatir kelelahan lalu batal puasa.

Namun pernah tidak disadari, upaya mengurangi aktivitas itu karena dipengaruhi oleh pikiran sendiri. Muncul perasaan khawatir dan takut beraktivitas saat puasa. Padahal bisa jadi tubuh dan kesehatan kita jauh lebih baik dari yang kita perkirakan saat tubuh menjalani puasa. Oleh karena itu ada bagusnya mengolah mindset dengan mengisi energi keinginan untuk makan dengan membuat kegiatan yang menyenangkan.

Belajar pada anak-anak, mereka selalu membebaskan pikiran untuk melakukan kegiatan yang menyenangkan. Kita yang bejibun tanggung jawab bisa mulai mengisi kegiatan itu dengan energi yang menyenangkan. Hal yang harus disadari, setiap orang punya kapasitas dan keahlian yang berbeda-beda. Itulah sebabnya, apapun aktivitas yang kita lakukan sekarang, harus dilakukan dengan luas hati. Puasa merupakan ibadah yang wajib dikerjakan oleh umat muslim, sayang sekali jika kesempatan ini dijalani dengan beban dan keluh. Tanpa disadari waktu dan energi akan terlewat tanpa isi.

Puasa itu tidak mengisi perut dan menahan emosi negatif. Secara tidak sadar, umat muslim sedang diisi ulang dari rutinitas yang seringkali melupakan tujuan hidup sebagai pemelihara di muka bumi. Setidaknya menjadi pemelihara untuk lingkungan terdekat kita: keluarga. 

Foto: Ima



Ramadan waktunya menghidupkan ruang-ruang cinta yang terabaikan. Dalam dua kali Ramadan ini, kita melewatinya dalam kondisi pandemic covid 19. Manusia seolah tengah diajarkan untuk pause emosional dan play mengikuti ritme alam. Seperti juga Ramadhan, ada waktunya puasa ada waktunya makan pada waktu yang sudah ditentukan. Belajar berserah diri secara penuh pada pemilik waktu juga pemilik semesta.

Lalu apa kebiasaan yang bisa kita bangun untuk membuat Ramadhan kamu jadi terasa menyenangkan. Karena pada bulan Ramadan, kegiatan kita bernilai ibadah mendapat pahala yang berlipat. Sebelum memulai kegiatan, baca basmallah, luruskan niat, agar setiap gerak gerik kita bernilai ibadah. Nah, jadi kamu boleh mencoba berbagai kegiatan kreatif saat Ramadan, sehingga membuat hidup kamu lebih berisi:

1. Taraweh

Taraweh merupakan peristiwa yang hanya bisa dinikmati satu bulan saja selama satu tahun. Biasanya muslim melakukan shalat malam sendiri saja di rumah masing-masing. Taraweh memberi energi tersendiri karena dilakukan secara bersama-sama (berjamaah) di masjid setelah shalat isya.

Menjadi ajang silaturahmi antar teman, tetangga, saudara. Suasana ini bisa menghidupkan hati dan inspirasi, memberi semangat hidup karena kita semua sama, menunduk di hadapan Allah SWT.


2. Melakukan Kegiatan Kreatif

Pada hari biasa, biasanya kita menyeduh kopi atau melahap camilan untuk menemani aktifitas sepanjang hari. Begitu puasa, kebiasaan ini berubah sehingga siklus tubuh beradaptasi dengan kebiasaan baru. Oleh karena itu, pikiran dan hati kita perlu dipelihara agar ritme harian tetap sama. Bedanya hanya tidak makan dan minum saja.

Untuk mengatasi pikiran dari lapar dan haus, kegiatan yang kreatif bisa membuat aktifitas harian tetap asik karena pikiran dan hati kita teralihkan pada kegiatan yang mencuri perhatian. Kamu bisa membuat teknik baru menggambar, lalu praktikan bersama anak-anak.  Selain keahlian menggambar bisa terasah, anak-anak merasa senang, perasaan menyenangkan perlahan akan melupakan rasa haus dan lapar.


3. Mencoba Memasak Menu Baru Untuk Buka dan Sahur

Waktu buka merupakan saat yang ditunggu-tunggu, sementara waktu sahur merupakan waktu makan yang penting namun sering terganggu oleh rasa kantuk. Kamu bisa mulai buka-buka aplikasi menu olahan baru untuk menemani waktu makan yang special itu.

Tapi makan special disini bukan berarti harus mahal dan banyak, ya. Kita bisa mengolah makan enak tapi murah. Seperti mencoba bikin roti pita dengan cocolan saus mayonnaise, tahu diberi tepung krispi diolesi kecap dan cabe. Atau kita bisa mencoba bahan baku biasa jadi tidak biasa. Kalau kamu suka bala-bala, bisa coba bala-bala dengan saus korea agar terasa beda.

 
Foto: Ima


4. Jalan Sore

Memilih jalan sore sepertinya pilihan baik dibandingkan memilih jalan pagi. Kalau kita mulai haus, waktu menjelang buka tidak akan menunggu terlalu lama.

Jalan sore terasa menyenangkan setelah seharian kita bekerja. Buat yang bekerja di luar rumah bisa lebih rileks begitu melihat langit berwarna orange. Begitupun buat yang bekerja di rumah, jalan sore akan menumbuhkan persepsi dan inspirasi baru. Selain itu, saat Ramadan suka ada pasar sore yang menyediakan berbagai macam tajil dari masyarakat setempat. Suasana ini yang menyenangkan, kita bisa memilih berbagai aneka camilan dan menjadi ruang temu dengan tetangga.


5. Kuliner Malam Hari

Kuliner malam hari bisa jadi salah satu variasi mengisi hari-hari di bulan Ramadan. Kita bisa leluasa makan baso, burger, ayam krispi, roti bakar di tempat-tempat kuliner. Hanya perlu diingat saat pandemic seperti ini harus lebih waspada.

Memilih kuliner di rumah tentu pilihan tepat saat situasi pandemic belum kembali baik, cobalah memesan makanan melalui aplikasi online. Suasana makan di rumah pun bisa ditata sedemikian rupa, misal makannya di teras rumah, di balkon, sambil menonton film kesukaan, dan sebagainya. Apapun bisa dibikin senang apapun situasinya.


Sebetulnya kebiasaan menyenangkan itu sangat dekat dengan keseharian kita. Ketika kita masuk bulan puasa, kegiatan yang biasa kita kerjakan pada bulan-bulan lain jadi terasa istimewa karena ada waktu yang membatasi kita menjalankan kegiatan yang biasa itu jadi terasa special. Jadi, setiap waktu itu memberi kesempatan untuk kita melakukan hal-hal yang kreatif sehingga setiap waktu menjadi terasa menyenangkan apapun kondisinya. Ramadan menjadi proses “vaksinasi” yang menarik untuk membuat mental dan tubuh kita menjadi lebih baik.

Foto: Ima. Maret 2021
                                              

Perjalanan pulang kampung bertemu keluarga suami beberapa minggu lalu terasa istimewa. Tentu saja rasanya beragam karena hampir dua tahun tidak pulang terhalang pandemic. Ketika adiknya suami mengatakan akan mengirim mobil dari Pandeglang (Banten) menuju Bandung jadi kabar yang menyenangkan buat anak-anak. Itu artinya mereka dapat ketemu Bunde (nenek), melakukan perjalanan lagi, bermain di tengah lapang, sawah dan tentu bisa bermain bersama sepupu-sepupunya.

Paling seru ketika anak-anak mulai packing tas mereka masing-masing dengan membawa perbekalan. Anak-anak bersemangat sekali, kami pun beli perbekalan ke mini market yang lokasinya terselang beberapa rumah saja. Mereka memilih perbekalan sendiri, mulai dari masker, vitamin, hand sanitizer, susu Morinaga Chil Go, roti, kripik dan permen. Begitu tiba di rumah langsung packing sendiri dan segera menyimpannya di ruang depan, alasannya,”Biar cepat sampai.”

Mereka begitu bersemangat sampai membawa segala, seperti buku gambar, pensil warna, buku bacaan kesukaan mereka dan dede dino (boneka dinosaurus), sehingga setengah tas Bayan ditempati dede dino.

Saya dan anak-anak (11 dan 8 tahun) ngobrol-ngobrol kegiatan apa saja yang mau dilakukan. Lalu tercetus ingin mencari tutut ke sawah dan menggambar bersama sepupu-sepupu yang dipandu oleh Ayah. Oh, ya, kebetulan Ayah ini pengajar seni rupa untuk melatih executif function anak-anak dyslexia. Mereka anak-anak istimewa yang biasanya kemampuan IQ nya tinggi namun sering terbolak balik mengidentifikasi aksara dan kesulitan berbahasa. Nah, saat itu kami berencana akan membuat kolase bareng anak-anak dan keponakan. Sepertinya akan seru sekali.

Menurut analisa para ahli, menjaga daya tahan tubuh itu ada dua faktor yang penting yaitu menjaga asupan nutrisi dan rasa bahagia yang bisa memelihara semangat.

Foto: Ima. Maret 2021

Ketika pandemic mulai masuk ke Indonesia, saya jadi lebih ekstra peduli kebutuhan nutrisi anak-anak. Setidaknya berusaha tetap mengolah makanan yang bergizi, tetap enak dan menggembirakan anak-anak. Tentu disesuaikan dengan budget yang dimiliki dengan mengolah makanan yang murmer tapi tetap kaya gizi. Untuk mengantisipasi resiko kurang zat gizi karena kesalahan pengolahan bahan baku, saya memberi mereka tambahan madu, vitamin maupun susu seperti Morinaga Chil Go. Susu ini menarik, karena mengandung serat inulin, 9 vitamin dan 5 mineral untuk mendukung daya tahan tubuh. Kualitasnya teruji di laboratorium kalbe nutrition dan morinaga Jepang.

Nah, sedangkan untuk memelihara rasa bahagia, kami lebih banyak melakukan bersama aktivitas sehari-hari. Situasi pandemic, mau tidak mau cukup mempengaruhi kondisi anak-anak. Oleh karenanya, saya dan Ayah berusaha membuat suasana di rumah tetap asik meskipun banyak tugas sekolah dan menjaga kebiasaan anak-anak tidak tergantung pada permainan game saat jenuh. Ritmenya masih sama, pagi-pagi belajar hingga jam 12.00 siang, setelah dzuhur semacam bermain sambil belajar dan menerapkan beberapa kebiasaan baik memediasi kultur sekolah.

Kami mulai hari dengan mandi agar segar, lalu makan pagi bersama. Aktivitas mandi dan sarapan pagi ini dasar. Selanjutnya banyak yang bisa kami lakukan agar sehari-hari terasa beda, seperti merapikan kamar, bersih-bersih rumah, mendampingi belajar PJJ (pembelajaran jarak jauh), menggambar bersama, menanam tanaman bareng, menyalakan musik, download film lalu menonton bersama, mencoba resep baru. Meskipun di rumah saja, sebisa mungkin memindahkan aktivitas luar dipindahkan ke dalam rumah agar executive function anak-anak dapat terolah dengan baik.

Beberapa hari saja kami tinggal di Pandeglang, menikmati udara segar pegunungan, bersilaturahmi ke rumah Bunde dan menikmati kopi pagi di rumah adik. Sesuai rencana, selain bermain menyusur jalan perkampungan, kami jalan mengikuti pematang sawah dan mengmabil beberapa tutut yang hidup di antara padi. Anak-anak sangat antusias, apalagi Bayan (8 tahun) bersemangat mengambil sendiri tututnya lalu memasukannya ke dalam wadah.


Foto: Ahmad Nurcholis. 2021

Lalu kami membuat kolase bersama para keponakan (anak-anak adiknya Ayah) yang kebetulan seumuran dengan Aden dan Bayan. Sehingga proses pembuatan kolase begitu menyenangkan. Masing-masing membuat kolase sendiri yang diarahkan oleh Ayah. Hasilnya sangat menarik, tiap anak punya imajinasi sehingga menghasilkan karya yang berbeda-beda.

Situasi pandemi ini sepertinya semakin menyadarkan banyak orang tua. Selama ini porsi hidup lebih menjaga kewajiban mencari nafkah, kali ini kita diajak untuk menjaga pertumbuhan anak-anak dengan menstimulasi kemampuan anak-anak. Menjaga bukan berarti “ngintil” terus menerus, tapi dengan kesadaran penuh mengajarkan keahlian dasar agar menjadi pribadi mandiri. Karena suatu hari mereka akan terus tumbuh dan melangkah lebih jauh.

Anak-anak kita merupakan generasi platinum, akan berhadapan dengan perbagai perubahan zaman yang berpengaruh pada prilaku. Mereka akan beradaptasi dengan percepatan informasi, perubahan alam, situasi sosial dan beragam budaya.

Oleh karenanya, situasi pandemi ini menjadi menjaga kesempatan baik untuk membekali diri dan mengejar kteretinggalan ilmu pengasuhan yang baik. Anak-anak merupakan penerus estafet kehidupan, mereka akan melangkah dan berlaku atas “bekal” yang ditularkan melalui orang tua dan bagaimana menyerap prilaku sosial di lingkungannya.


Foto: Ima. 2021

Beberapa hari di Pandeglang merupakan kesempatan yang berharga. Ya, kami datang ke Pandeglang dan kembali ke Bandung dalam keadaan sehat. Hal yang disyukuri paling disyukuri (akhirnya) bisa menengok keluarga Ayah adalah kami bisa bertemu lagi dalam keadaan sehat. Hampir dua tahun kami sekeluarga berusaha menjaga daya tahan tubuh, memelihara mental dan mengikuti 5M (menjaga jarak, memakai masker, mencuci tangan, mengurangi mobilitas dan mengurangi kerumunan). Perlu kreativitas yang tinggi agar tubuh, hati dan pikiran memiliki daya tahan yang baik sehingga tetap berdaya dalam berbagai situasi.
Foto: Ima. 2021

Pernah pada suatu titik yang berulang-ulang saya merasa buruk rupa dan tidak bisa berharap pada siapapun. Karena buruk rupa dan tidak ada yang bisa diandalkan, saat itu saya merasa harus memperjuangkan sesuatu yang membuat saya bahagia dan berharga. Yaitu memperjuangkan bidang yang saya suka dan saya harus mendapatkan pasangan hidup yang menerima saya apa adanya, menganggap saya manusia yang ada.

Bisa jadi proses imun itu hadir karena sejak kecil saya kurang apresiasi, sering dibandingkan sebagai subjek yang kalah, lemah, jelek, bodoh. Tapi satu sisi sebagai anak bungsu, saya juga sering mendapat prilaku iri dari sekeliling. Situasi yang kontradiktif. Harus lemah ditengah kalang kabut rasa percaya diri yang kusut. Sesekali mendapatkan rezeki atau prestasi atau apapun yang baik-baik, rasanya jadi biasa saja, meski sesekali saya mencuri-curi untuk merasa senang dan bangga sebentar saja.

Kita tidak pernah minta dilahirkan melalui orang tua mana maupun hidup dilingkungan mana. Karena kita tidak pernah tahu ada misteri apa dibalik pintu dan jalan yang kita tempuh. Hingga lama-lama saya percaya setiap keanehan, kekacauan, situasi dalam tiap tahap proses hidup menjadi personal immunity (kalau boleh meminjam istilah itu).

Satu hal yang menyelamatkan saya adalah bacaan. Saat sekolah hingga kuliah (bahkan sekarang), tempat “bersembunyi” dari kekacauan mental saya adalah perpustakaan dan toko buku. Datang diam-diam, membiarkan tubuh dan mata terkoneksi pada kebutuhan hati. Setiap buku yang saya ambil dan habiskan biasanya menyembuhkan infeksi pada hati saya. Setiap kata, kalimat dalam quran, buku, komik, majalah, puisi, potongan quote perlahan menumbuhkan kembali ranting-ranting yang terpatahkan satu persatu.

Lambat laun masing-masing akan memahami bahwa setiap proses kejadian yang baik-buruk menjadi imun tersendiri. Tak perlu lagi berharap orang selain diri bersikap seperti yang diharapkan, terus saja bertahan lalu cari jalan yang membuat diri berharga. Itu cukup.

Jadi, simpulkan sendiri lalu tumbuhlah.

Masuk bulan Maret 2021, artinya sudah setahun kita semua mengalami masa pandemi yang panjang. Membiasakan diri memangkas kegiatan keluar rumah, tidak mudik saat liburan dan hari raya menjadi pilihan yang harus dilakukan. Sehingga kita semua "dipaksa" mencari jalan keluar, memaksimalkan perangkat yang ada untuk tetap berkegiatan, berkarya, bersilaturahmi, menggerakan roda ekonomi dengan fasilitas yang ada.

Saat melewati masa pandemi, berkegiatan di rumah saja menjadi situasi yang tidak normal, tentu saja demikian. Tapi buat kami yang sudah lama memutuskan segala kegiatan berpusat di rumah saja menjadi situasi yang cukup mudah. Saya pribadi tidak terlalu kaget ataupun berat menjalaninya. Hanya saja agak sedikit waspada ketika memutuskan belanja dan kontrol ke rumah sakit. Paling kesal kalau ingin jalan-jalan tapi tidak bisa ujug-ujug dan seenaknya seperti biasa. Karena memutuskan keluar rumah betul-betul harus dipertimbangan jarak, tempatnya sepi, bersih, masih banyak pohon.



Hampir 2 tahun tidak silaturahmi ke keluarga besar Ayah di Kadupandak Pandeglang. Terakhir pulang pas Idul Fitri tahun 2019 lalu, masuk bulan Maret 2020 negara Indonesia terpapar pandemi covid 19 juga. Alhasil, 2 tahun kami tidak silaturahmi ke Pandeglang.

Meskipun ingin dan kangen suasana Pandeglang, memutuskan untuk pulang ke kampung halaman Ayah menempuh 5 jam perjalanan, melewati berbagai kota (meski lewat jalan tol), banyak yang saya pertimbangkan. Sampai akhirnya kami merasa oke dan yakin untuk menempuh perjalanan dan beberapa hari tinggal di rumah Bunde-panggilan nenek di Banten.

Sekian lama, akhirnya, 11 Maret 2021, kami pulang perdana mudik ke Pandeglang ditengah pandemi. Tadinya yang pulang hanya Ayah saja menggunakan bis, karena memang ada urusan yang harus diselesaikan. Tapi saya khawatir ada apa-apa di jalan. Saya masih belum bisa lepas membiarkan dia pergi sendiri terutama kalau harus keluar kota. Karena Bi Neng-adik Ayah-mengirim Kang Asep untuk menjemput Ayah pulang menggunakan mobilnya, kami pun akhirnya bisa pulang. Senang sekali!


Suasana langit sore perjalanan di jalan tol Bandung-Serang
Foto: Ima. Maret 2021

Ya, selama ini kami biasanya pulang pakai bus, namun masa pandemi seperti ini belum berani naik kendaraan umum terlebih melakukan perjalanan antar kota. Apalagi Bandung kota yang kami tinggali ini banyak warga terpapar covid. Saya fikir selama ini mending tidak pulang itu demi keamanan bersama.

Yeah! Ditengah perasaan senang dan khawatir, saya senang bisa melakukan perjalanan antar kota lagi. Kangen suasana yang adem, pepohonan, gunung, sawah, suara ramai ngaji anak-anak santri, orang-orang yang conggah-saling tanya-, ramai suara binatang saat masuk magrib hingga malam. Subuh hari Bunde yang sudah menghangatkan dapur. Dan meneguk air kelapa yang dipetik langsung dari pohon kelapa depan rumah sebelum jam 11.00 pagi, ini enak dan seger banget. Ingat ya, katanya kelapa yang dipetik sebelum jam 11.00 pagi, rasanya lebih segar dan manis.

Sebelum kami pulang, cukup sering saya mengingatkan anak-anak dan juga Ayah untuk tetap bermasker, bawa handsanitizer dan tisue basah kemana-mana. Jangan tanya sepanjang perjalanan, tak berhenti doa, dzikir minta sehat, minta selamat, tetap sehat dan terutama tidak terkena virus itu. Ikhitar menyiapkan perlengkapan obat, vitamin, handsanitizer, tisue kering-tisue basah, sabun, masker, diberi porsi lebih banyak.


Suasana pesantren Darul Iman Kadupandak Pandeglang.
Foto: Ima. Maret 2021

Lokasi rumah keluarga Ayah itu jauh dari kota, daerah pegunungan dan ada pesantrennya. Meski perkampungan, banyak pepohonan dan pesawahan, sekarang ini penduduknya sudah semakin padat. Pola kehidupan disana, banyak yang merantau ke Jakarta,Depok, Tangerang untuk mencari nafkah lalu membangun rumah di kampung halamannya. Meskipun semakin banyak penduduknya, segala aktivitas masih biasa. Kecuali kalau harus pergi ke kota, mereka tetap menjaga dengan menerapkan protokol kesehatan yang berlaku.

Begitupun ketika pesantren mulai diaktifkan kembali, setiap santri yang masuk ke lang pesantren harus tes dulu dan melalui karantina sebelum masuk mondok sebagai upaya preventif. Beda dengan sekolah dasar negeri, tetap memberlakukan anjuran pemeritah untuk sekolah jarak jauh.

Memahami situasi ini, saya sendiri berusaha tetap mematuhi protokol kesehatan. Tidak bersentuhan ketika harus bersalaman, tetap menjaga jarak, tidak menyentuh dan menggendong anak kecil. Meski rada kagok dan saya juga sedikit merasakan ada beberapa yang kurang nyaman. Karena kehidupan sosial disana biasa saja, tidak menggunakan masker, tetap ada hajat nikahan, berbagai aktivitas kerumunan lainnya berjalan biasa saja. Meskipun begitu, karena saya dari luar kota, mau tidak mau tetap memutuskan 3M dan berusaha tidak menyentuh anak kecil maupun menggendong mereka. Itu saya lakukan demi keamanan bersama. Saya seperti elien sih (hahaha...) tapi ya bae lah, lanjut saja bermasker, kemana-mana bawa handsanitizer, dan seterusnya dan seterusnya.

Kami pulang ke Pandeglang, tepatnya di Kampung Kadupandak memberi nafas segar setelah berbulan tidak menghirup udara bebas tanpa bermasker. Eh, katanya tadi tetap bermasker sekarang tidak bermasker. Ya, kami tetap bawa masker, tapi begitu jalan ke sawah dan kebun, begitu ada orang lain, kami segera pasang masker kembali. Jalan melewati pematang sawah, berjalan di atas tanah, di bawah langit dan awan tanpa masker itu rasanya luas...
Selama ini sering lupa betapa berartinya udara bebas dan pertemuan dengan orang-orang tersayang. Pandemi mengingatkan untuk semakin dekat, mengenal, menerima lebih dalam pada yang terdekat.


Domdoman kesukaan Bayan.
Tanaman wajib petik kalau pulang ke Kadupandak adalah main domdoman.
Foto: Ima. Maret 2021

Anak-anak sudah lama merindukan suasana seperti ini. Jadi mereka berburu domdoman (ilalang), kodok, siput, melihat petani yang sedang panen, melihat lebih dekat proses pembuatan nasi yang selama ini mereka makan. Jalan kaki dari rumah Bunde ke sawah di Cakur sangat dekat, pelan kami berjalan, menikmati setiap yang dilewati. Rumah-rumah, pepohonan, jalanan, pertemuan. Ada rumah tempat jemur dan penggilingan beras, mengingatkan saya pada suasana Cigondewah tahun 1980-an. Sawah yang menghampar, air selokan jernih dan riuh, bunyi pepohonan bambu yang tertimpa angin. Benar-benar membangun mimpi. Akankah kami tinggal di sini. Membangun rumah, galeri, berkarya, diantara kebun dan sawah.
Setiap pagi Kak Dede dan Bi Neng menelepon agar sarapan dirumahnya. Dia membuatkan roti pitta lengkap dengan cocolan khas makanan Mesir. Kami menyeduh kopi, sengaja kami bawa kopi Sunda Hejo serta alat seduh dari Bandung. Kami datang setelah mandi agar segar. Karena setelah itu biasanya akan main ke tengah lapang rumput lalu jajan.

Rumah Bi Neng ini nyaman tinggal nyebrang saja dari rumah Bunde. Ruang tamu dibiarkan menggunakan karpet, karena rumah mereka pun sering dipergunakan untuk rapat dan berbagai urusan pesantren. Segala urusan langsung dan ritme pesantren dikelola dan diputuskan langsung oleh mereka berdua dan Kak Ola-adik Ayah. Hebat, ya. Tentu saja mereka mampu melewatinya, karena selain lama hidup di pesantren, juga sama-sama menggali ilmu di Mesir dan Tunisia. Namanya mengurus ritme organisasi maupun lembaga pendidikan, sudah menjadi makanan sehari-hari.

Hari Sabtu, adik dan kakaknya Ayah datang bersama keluarganya. Teh Embay sekeluarga datang dari Serpong, Bi Ade sekeluarga datang dari Tangerang. Begitu mereka datang, kami ziarah dulu ke makam Abah- Kyai Aminudin Ibrahim. Makamnya di belakang Pesantren Darul Iman, hanya melewati lapang rumput diantara pesantren, menyusur jalan kecil di belakang pesantren, kami pun sampai. Sambil berjalan saya merasa waas dengan proses Abah membangun pesantren ini sehingga bisa membangun peradaban pendidikan dilingkungannya.




Meski hanya sehari kami bisa bertemu bersama, kesempatan itu makan bersama nasi kebuli, ikan bakar, cumi-cumi dan berbagai panganan yang istimewa di rumah Bi Neng. Kerinduan dilengkapi oleh Kak Udong dengan membelikan kami setumpuk durian. Kami makan sama-sama di rumah Bunde. Sayang sekali, anak kami belum menyukai durian karena wanginya yang cukup kuat.

Pertemuan yang mahal. Ya, tentu saja mahal, karena hampir 2 tahun terhalang oleh situasi pandemi yang tidak juga berakhir. Saat memutuskan pulang tidak berharap apapun, bisa bertemu lagi kembali ditengah pelbagai pemberitaan kesehatan, membuat saya banyak bersyukur kita semua bisa bertemu kembali dalam keadaan sehat. Apapun masalah masing-masing, bisa kembali bertemu dalam keadaan sehat itu rasanya luar biasa.

Kami tidak bisa berlama-lama disana, Ayah harus kontrol lagi. Mobil Neng-Si Iteung-siap membawa kami kembali pulang. Perjalanan juga pertemuan, membekali kami untuk terus memelihara dan membangun mimpi. Tentang hidup dan cinta.

Ima. Hari kedua bulan Ramadhan 2021