Hari ini, berulang seperti tahun yang lalu ada degup kencang yang tidak biasa. Perputaran bintang, planet, mengikuti perputaran setiap sujud, ruku, takbir.Degup takbir, lambang kekuasaan Allah yang tidak terkira, mengumandang pada tiap desir bintang hingga setiap sel makhluk yang ada di muka bumi ini. Memecahkan segala keangkuhan, kesombongan dari ilmu, harta yang dimiliki oleh manusia. Dibalik berkuasanya manusia, ada kekuasaan melebihi dari yang kita miliki.

Saya belum pernah mendapatkan kenikmatan yang pernah saya rasakan,uang yang pernah saya terima, ilmu, bermain teater, bernyanyi membeli baju kenikmatan yang tak sebanding dengan ibadah di baitullah dan Ibadah Haji. Saya menemukan cara pandang yang berbeda. Begitu banyak orang-orang dari segala penjuru dengan beragam warna kulit bahasa. Dari yang paling kaya dan tidak kaya. Dari yang paling pintar hingga gagap ilmu. Tapi semua menggunakan bungkus yang sama, berpakaian putih, hanya tanda bendera atau pernak-pernik lain yang menandakan dia kelompok sana atau dari negeri sini. Ketika adzan berkumandang semua melakukan sholat dengan takbir, doa-doa, ruku,sujud ,salam yang sama berikut jumlah sholatnya sama.

Kami begitu beragam namun ketika beribadah semua elemen tidak ada yang berbeda. Padahal jarak, budaya, bahasa, kondisi sosial berbeda namun disatukan dalam satu ibadah yang sama, sama sekali tidak berbeda.

Tak ada jenjang sosial yang tampak, semua hanya satu nada baik dari pakaian maupun bendera ibadah yang kami tuju, Allah.
tak ada puisi lagi yang dapat membandingi segala kenyaman ini
perasaan yang begitu tenang
ku temukan kau bagai oase dan pertemuan itu menumbuhkan seribu oase
dulu seribu pelarian aku cari
ternyata dia ada di depan mata,
selama ini
kau selalu disebelahku, menemani tawa, peluh dan tangisan


ternyata, itu adalah kamu
membuatku selalu tertawa
memandang bumi tandus menjadi seribu warna
bunga, aliran air, bebuahan

tak ada kata-kata yang sanggup menampung segala kenyamanan ini

untuk suamiku, ahmad nurcholis

pict: welly lennon
Dua hari lagi idul adha, biasanya kami akan sibuk memasak. Tumis kentang, merupakan makanan pokok, ayam bumbu special bikinan mak ida, capcay, kerupuk dan makanan kecil biasanya dikirim dari Ma Atik, kue ali agrem bikinan orang negla atau Ceu Eutik berikut opak dari Cigondewah. Khas dan akrab di lidah.

Ada yang menyenangkan di hari idul adha, halaman rumah kami lumayan luas untuk memotong beberapa ekor kambing. Tidak hanya milik keluarga, bahkan tetangga atau teman dari kakak suka menitip penyembelihannya di halaman rumah. Setelah shalat sunat ied, kami pergi berjiarah dulu ke makam. Kali ini tidak hanya emak, abah, pipit, teh anis aja yang akan di jiarahi tapi sekarang disana ada bapa. Sepertinya mereka lagi menikmati ayam bakar dan kangen-kangenan.

Idul adha begini, biasanya kami menyisakan daging kambing buat bapa. Sepulang dari masjid bapa langsung makan dan mendengarkan riung rendah suara kami. Becanda dan ketawa-ketawa, teriakan anak-anak semunya serba tidak terkendali. Rumah yang lumayan besar dari terasa sempit karena penuh oleh kakak, ipar, dari anak-anaknya yang masih kecil sampe yang abg bahkan yang sudah punya anak. Tapi kalau ada acara makan-makan begini biasanya kekurangan sendok, saya juga tidak mengerti padahal amih sering sekali membeli sendok.

Ini dia acara kurban, tampak kejam untuk orang-orang yang peduli biatang, tapi ini bagian dari sunnah yang mempunyai makna yang tidak sedangkal kelihatannya. Sebetulnya acara pemotongan hewan ini sama saja, hanya yang paling seru adalah Kang Tis selalu menyiapkan kanvas yang sudah dilumuri lem putih dan setiap kambing yang sudah dibelih diangkat ke atas kanvas itu lalu di cetak dengan menggunakan arang jadilah karya baru. Mungkin ada sekitar 5 (lima) tahun kebelakang kang Tis membuat karya seperti ini. Unik memang.

eh, biasanya bapa suka melihat di balkon sambil tersenyum dan kembali ke kasurnya kalau sudah cape. miss u dad!