Berhenti Bermimpi

Jam dua satu empat puluh lima, di ruang makan Amih tidur sambil batuk-batuk.   Kepalanya tidur di bantal yang ditata sedemikian rupa di lengan sofa merah.  Dari kemarin malam hingga sekarang, Amih lebih banyak tidur.  Polanya sama, bangun lalu pergi ke toilet, solat, makan, tidur lagi di sofa.  Begitu berulang, seharian banyak dihabiskan untuk tidur. 



Hampir setiap hari saya kendalikan rasa khawatir karena kondisi fisik Amih naik turun cukup drastis.  Sesekali terlihat segar, beres-beres kamar, pergi cuci tangan ke dapur, lalu bisa tidur seharian.  Di ruang tengah, juga dapur terasa sunyi.  Tidak ada yang bisa saya lakukan selain membantu segala kebutuhan fisiknya yang semakin melemah. 


Berbeda keadaannya ketika kakak-kakak saya (anak-anaknya) datang mengunjunginya, garis wajahnya terihat lepas dan ringan.  Kalau rumah sepi, matanya terlihat redup.  Meskipun ada saya dan anak-anak saya di rumah itu.  Bukan hanya kami yang dia “butuhkan”, dia selalu ingin menunggu kedatangan kakak-kakak saya.  Dulu saya selalu merasa Amih selalu  merindukan, membanggakan kakak-kakak, saya hanya sekadar diperlukan memelihara rumah dan Amih.


Saya si pemimpi yang dari kecil ingin keluar dari rumah, keliling Indonesia dan dunia, punya banyak harapan selalu berhenti dan kembali ke rumah.  Amih selalu menjadi alasan atas apapun.  Pun ketika Holis mengajak menikah,  permintaan Amih pada Holis agar kami tinggal serumah dengan Amih.  Begitu menikah, sekuat apapun kami berencana pergi, pindah rumah, selalu ada alasan lebih kuat untuk tetap tinggal.


Seumur hidup saya hidup serumah dengan Amih.  Saya si petualang, si banyak mimpi, si senang alam,  tetapi Amih tidak memberi peluang itu.  Sampai SMA saya mengikuti larangan Amih, begitu masuk kuliah, proses berorganisasi dan berbagai kesempatan pekerjaan saya ambil dengan resiko mendapat kemarahan Amih setiap pulang ke rumah.


Sampai beberapa bulan lalu, saya masih berani mencoba ikut magang di salah satu sekolah alternatif di usia lebih dari 40 tahun.  Konsep pembelajaran yang menarik dan menstimulasi kreatifitas saya.  Saya pikir, terpenting Holis dukung, karena izin sepenuhnya ada pada suami.  Tapi setelah mengikuti magang ternyata saya gagal, saya tidak diterima di sekolah itu disampaikan oleh pimpinan sekolah dengan 4 alasan. 


Beberapa hari lalu saya tahu dari Teteh, katanya, Amih berdoa agar saya tidak diterima di sekolah tersebut.  Dugaan saya selama ini benar.  Kalau setiap saya minta izin untuk sebuah pekerjaan, apakah itu liputan atau kesempatan lain, selalu ada saja sesuatu yang menyebabkan saya tidak lolos. 

Melalui berbagai fase ini saya mencoba mengerti, kenapa saya tidak pernah berhasil mendapatkan pekerjaan yang dilakukan di luar rumah dengan jam kerja yang tetap.  Bahkan untuk membuat usaha dengan jam kerja dari pagi hingga malam pun selalu patah di tengah jalan.  Tidak hanya patah, retak, remuk.  Sehingga saya si petualang dan si tidak bisa diam ini, kerap menciptakan pekerjaan yang bisa dikerjakan di rumah. 

Mulai dari membuat kegiatan harian, mengolah diri mulai dari merawat rumah, mengasah diri di bidang literasi yang kegiatannya bisa dilakukan di rumah.  Begitu masuk pandemic,  kegiatan lain bertambah, selain menulis lepas di web blog, sekarang saya punya hobi baru yaitu menggambar.  Saya seperti menemukan “cinta” masa kecil dan remaja. 


Intinya, terus bergerak menjalani apapun yang paling mungkin dan paling bisa dilakukan.  Lalu kemudian nanti akan membawa karya-karya itu kemana dan akan menjadi apa, disyukuri dan dinikmati saja.

Dulu bentuk gambar yang sering saya bikin seperti vignette juga doodle, sekarang ini ada istilah lain yaitu zentangleart.  Semua proses tangan, hati, alat gambar mengalir dan menjadi  sesuatu.  Untuk proses kali ini, saya biarkan saja mengalir pada setiap kesempatan yang serba terbatas.  Sebagai bentuk rasa syukur pada apa yang saya bisa untuk memberi isi pada sesuatu yang paling bisa.




Dulu, dulu dugaan tentang bidang yang saya jalani yang dilakukan di luar rumah tidak direstui Amih ini hanya dugaan, tapi ternyata itu benar adanya.  Apakah harapan Amih agar aku tetap beraktifitas di rumah cara Allah menyelamatkan atau sebaliknya?  Saya sendiri tidak tahu.  Allah yang paling tahu.  Karena proses penerimaan ini bertahap sampai akhirnya saya mengerti caraNya sehingga bisa menerima penuh, terutama ketika Amih dalam situasi butuh perhatian lebih dan perawatan penuh.  


Aku si pemimpi dan si petualang ini meskipun tidak banyak harapan mendapat "restu" Amih,  tetap memelihara yang paling bisa dan paling mungkin dilakukan.  Karena hidup perlu disyukuri. 

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv