Harapan-Harapan Besar?

Air.  Foto: Ima

Hidup adalah proses berdialog menangkap Langit.  
-Ima

Harapan besar? Banyak hal baik yang terlintas, membuat saya jatuh hati, dan menetap dalam hati saya. Tentu berkaitan tentang pencapaian materi, kebermanfaatan pilihan hidup dan pengakuan. Bertahun-tahun dipertahankan, diperjuangkan, sampai hampir titik puncak harus dilepaskan. Melangkah lagi, terus begitu hingga ambruk, jatuh, berulang-ulang. Harapan itu belum juga terwujud.

Sampai pada suatu titik, saat ini saya kesulitan memahami harapan besar saya apa. Bahkan sesekali saya menduga, jangan-jangan harapan itu tidak disukai oleh Allah. Sehingga yang muncul bukannya kebahagiaan dan kesuksesan, namun patah dan runtuh berulang-ulang. Ketika tema one day one post kali ini tentang harapan-harapan besar saya apa, mendadak kosong karena sekarang ini saya pada fase merasa cukup dan mempertahankan sisa-sisa keikhlasan (pinjam judul lagunya Payung Teduh).

Pertanyaan harapan besar ini nadanya sama dengan pertanyaan saya tentang kenapa harus saya yang harus tinggal di rumah ini? Saya yang punya harapan keluar dari rumah ini, segala upaya dilakukan untuk pindah, keluar, ternyata berbagai situasi selalu menarik saya kembali tinggal di rumah ini. Lagi-lagi, jangan-jangan harapan besar itu harus digali disini, di rumah ini. Jangan-jangan banyak yang harus diperbaiki dulu, rumah ini ibarat hati yang harus sering-sering dipelihara, dirawat dan diperbaiki.

Harapan itu ada, dia hadir seperti akar yang terus menerus mengalirkan energi ke setiap unsur sel otak dan hati. Kadang begitu realis tapi begitu surealis, keduanya hadir kadang-kadang semu kalau tidak ingat kekuatan Allah. Ya, tentu saja saat muncul harapan itu, sesekali kehabisan bahan bakar, kehabisan akal sehat, kehilangan frekuensi dengan Allah. Hidup saya selalu dikondisikan oleh semesta, ibarat benda yang bergantung pada hembusan angin dan aliran air. Mengalir mengayuh mengikuti setiap denyut jantungnya, bergerak menyatu menjadi bagian dari pergerakan itu.

Saat ini saya (kembali) belajar tidak mudah tergoda untuk mengerjakan yang lain. Cukup melakukan sesuatu yang saya bisa lalu terus melangkah menggunakan kemampuan yang ada. Apalagi yang bisa dilakukan oleh manusia selain terus berusaha. Meski kondisi saya tidak berlebihan tidak juga kekurangan (lebih banyak kekurangannya sih sebetulnya) tapi yang saya suka, hati saya tetap tenang.

Saat ini kami sedang menguatkan pikiran dari kekhawatiran yang dimunculkan oleh diri sendiri dan penilaian orang lain. Mengambil keputusan bergerak di dunia seni secara utuh, awalnya membuat saya panas dingin. Tentu hal ini berkaitan memenuhi kebutuhan pendidikan, sandang, pangan dan papan keluarga. Kehidupan kami sebelum Ayah sakit, meski masih beririsan dengan dunia kesenian namun ada usaha lain yang bisa mengimbangi kekurangan biaya.

Menangkap awan.  Foto: Ima

Ketika Ayah sakit, kami seolah diajarkan untuk fokus bergerak pada bidang yang kita kuasai dan biarkan semesta mengarahkan jalur-jalur dan pintu rezekinya seperti apa. Bertahun-tahun, saya dan Ayah tidak punya banyak pilihan, situasinya selalu kembali pada saya menulis dan Ayah menggambar..  Kesempatan usaha lain betul-betul tidak ada.  Sejak saat itu, saya selalu merasa bahwa harapan itu ya saat ini, percaya kita hanya perlu sadar setiap manusia memiliki fungsi dan keahlian masing-masing. Hal ini yang membuat manusia merasa cukup, ketika rasa cukup itu hadir selalu ada jalur yang dibuka. Masalahnya, kita ambil lalu bersikap amanah atau menolak jalur tersebut.

Saya harap Ayah bisa pameran karya drawing ke berbagai kota dan beberapa Negara. Mungkin diberi kesempatan juga bisa menggali ilmu lagi dengan cara apapun melalui jalan yang dibuka seperti apa. Seperti residensi atau apapun itu. Sementara saya sendiri menuliskan setiap proses keilmuannya, konsep dan berbagai dokumentasi lainnya. Semoga dicukupkan, menularkan manfaat dan menjadi amal yang terus mengalir hingga kehidupan kami kelak. Entah bagaimana, Allah maha tepat perhitunganNya.

Sebelumnya, saya mempunyai harapan bisa mewujudkan pameran drawing tunggal Ayah. Tidak hanya pameran, ingin dilengkapi dengan catatan proses art therapi yang kurang lebih 4 tahun dilakukan oleh Ayah. 

Saya ingin mewujudkan pameran ini diperuntukan bagi orang-orang baik yang terus mengalir, menambal setiap jalur kami yang ambrol dan bolong. Sebuah rasa syukur dan bentuk terima kasih, kebaikan yang teramat banyak yang tidak bisa kami balas dalam bentuk apapun. Dengan kami bertahan hidup, Ayah yang kembali sehat dan berkarya menjadi bentuk terima kasih yang ingin bisa segera kami wujudkan. Tanpa hati yang dianugerahkan pada mereka, rasanya tidak mungkin kami bisa bertahan sejauh ini.

Untuk saya sendiri, saya punya harapan meluaskan manfaat menulis sehingga bisa menjadi mata pencaharian yang mencukupkan segala kebutuhan anak-anak dan meluaskan kehidupan. Meski masih berjalan pelan menjalani proses menulis di blog dan media sosial, harapan saya langkah ini dapat menguatkan fondasi kehidupan kami. 

Kalau difikir-fikir proses hidup kami unik dan berliku, meremas dan tarik menarik berbagai unsur hati. Namun lama kelamaan, situasi ini membawa kami percaya bahwa setiap proses yang menghasilkan sesuatu yang menggembirakan ataupun yang mengecewakan sebagai bentuk mengolah mengaitkan rasa. Rasa yang terus mengait dan menggenggam Pemilik Hidup. Harapan itu ada, setiap proses yang dijalaninya memberi nilai hidup yang mahal. Ketika sampai, menjadi cukup, bukan kita yang kuasa tapi Dia yang menjadikannya.

1 komentar:

  1. Harapan, kadang terkabul dan kadang tidak terkabul. Tulisan yang menarik Mbak, perlu semangatdan kerja keras untuk mewujudkan harapan

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv