Tahun Melepas

Tahun lalu, dua ribu dua puluh tiga, menjadi tahun kembali pada panggung, kembali berkesenian sekaligus menjadi tahun kehilangan yang beruntun.  Kehilangan Ibu juga kehilangan payudara kiri.  Ibu dan bagian tubuh aku yang diambil oleh pemilikNya.  Iya, keduanya diambil kembali oleh Pemilik Kehidupan.

Melepas Ibu dan melepas payudara menjadi fase berpisah yang tidak mudah. Tentu tidak mudah, sesuatu yang sudah biasa melekat dari sejak lahir.  Melewati fase shock, denial, perlahan menata pecahan yang tercecer.  Sampai pada titik menyadari penuh bahwa tubuh, hati, pikiran, segala sesuatu yang melekat dengan tubuh dan di luar tubuh, dari yang tampak hingga kasat mata, semua adalah milik Allah SWT-Maha Pemilik seisi bumi dan langit. Ya, termasuk aku.  Aku adalah milikNya.  Kelak, entah kapan, aku pun akan kembali.  Membawa segala langkah baik dan buruk. 


Saat aku berhenti menjalani hari-hari bersama Amih, ketika Amih pulang pada Pemiliknya, aku bingung.  Ketika masih ada Amih, hampir tidak ada waktu untuk diri sendiri.  Bahkan hampir setahun aku tidak ada waktu mendampingi Bayan belajar.  Menulis juga menggambar hampir tidak ada waktu, ketemu teman benar-benar mencuri waktu, semua serba terburu-buru.  Kadang mencuri waktu untuk minum kopi sejenak di Ind*mart depan rumah sambil sekalian beli pampers dewasa.  


Sekarang ketika banyak waktu, justru bingung.  Entah berkarya, aktivitas apapun menjadi tidak ada energi. Saat itu apapun yang aku lakukan selama ini terasa seperti sia-sia.  Apalagi yang bisa aku upayakan untuk Amih?  Waktu seperti ikut berhenti, sampai akhirnya aku menyadari bahwa aku masih harus terus hidup.  Mulai berobat yaitu kemo, operasi, mengisi hati kembali, merapikan pola pikir, juga memperbaiki tujuan hidup. 


Saat aku sedih dan merasa kehilangan, aku ingat saat Rasulullah kehilangan orang-orang tercintaNya sehingga disebut tahun berduka.  Jadi aku pikir, aku rasa, aku tidak apa-apa bersedih dan tidak ada energi hidup.  Saat tahun berduka itu, Rasulullah sampai diajak Allah melakukan perjalanan Isra Mi'raj, diperlihatkan segala kekuasaan Allah dalam satu malam.  Mungkin itu sebabnya, ketika kita berduka, saat itu kita pun sepertinya sedang diajak untuk berdekatan dengan Allah SWT.


Kalau disadari, kita sebagai manusia sama seperti pegunungan, pepohonan, bunga, bebatuan, air, tanah, tumbuh-bergerak sesuai fungsinya.  Sama-sama makhluk Allah.  Bedanya catatan hidup kita yang sudah tertuliskan di Lauh Mahfidz itu bisa kita imani atau kita tolak.  Kita diberi otak untuk memelihara hidup menjadi lebih baik atau sebaliknya.  Dalam diberi ujian suka dan duka, kita diajarkan untuk terus percaya dan bergantung penuh pada Allah SWT sebagai pemilik isi bumi dan isi langit. 


Dalam proses melepas ini, aku seperti, hmmm, apa ya, hmmm... diajarkan untuk mensifati air.  Terus bergerak, terus berbuat, terus belajar menerima apapun si-aku yang keras kepala-keras hati ini.  Mengikuti semua aliran yang bergerak membentuk air yang lambat, deras, berdiam, menjadi es, menguap, menetes.  Mengikuti alurNya dengan tenang dan yakin pada cara Allah mengelola kita.  Ternyata jika berhenti pada rasa takut dan terus mempertanyakan kesalahan diri/mempertanyakan perbuatan baik yang sudah aku lakukan hanya berakhir pada rasa letih.  Menyalahkan diri sendiri atau bahkan sombong.  Dua sisi yang terus tarik menarik yang tidak memberi jalan keluar sama sekali selain letih dan gelisah.


Melepas tidak mudah, tapi rasa tidak mudah ini tidak perlu dibiarkan terlalu lama.  Karena setiap diri dan apapun yang melekat pada diri adalah milik Allah.

  

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv