(Potongan lirik Rehat musisi Kunto Aji)
Matahari muncul lebih cepat baru-baru ini, seolah menggelitik hati yang terpenuhi oleh berbagai berbagai hal yang telah jadi rongsokan. Wangi daun dan tanah pagi itu damaikan keadaan. Pelan tapi sungguh. Menyerap luka-luka lama pada tanah, pada bumi, pada air, lalu tumbuh menjadi wangi, menjadi senyum. Senyum pada apapun. Senyum pada ingatan usang, ingatan buruk, ingatan menekan, meski kini ingatan bukan lagi mewujud luka. Ia mewujud rasa manis seperti dalam tetesan kopi dalam seduhan vietnam drip. Pahit yang lezat.
Bertahun tiap babak hadir lengkap dengan kejutan. Ada pengap yang tak kunjung usai. Satu persatu hingga berjilid-jilid, lalu reda pada sebuah tangga, pada sebuah belokan, pada sebuah jembatan, pada sebuah pintu.
Biarkan ia reda lalu melangkah, lalu reda lalu melangkah. Ia akan hadir dalam berbagai fragmen di balik jendela. Kisah hilir mudik, kadang bergerumul kadang lengang. Setiap kejadian yang menghampiri, seperti menyesap segelas kopi sambil terpejam. Ada rasa pun ada bunyi menyusup pada setiap sudut.
Matahari datang, matahari pergi. Deras hujan lalu rintik pun reda. Di balik jendela, matahari bermain-main dengan kaca. Berkilau. Memantul. Perlahan. Setiap lapisan warna berkisah tentang tiap kejadian jiwa-jiwa para Nabi. Menghadapi satu persatu kejadian yang mengolah bodoh jadi mengerti, gelisah menjadi tenang, tergesa menjadi sabar, ragu menjadi yakin. Tentang cara memahami ilmu hidup di dalam persoalan.
Sore ini berbeda, ada wangi kopi tipis-tipis di ruang depan. Cahaya matahari menyusup sentuh sudut meja dan dinding. Ada coretan anak-anak disana. Beberapa duduk tenang sambil menyesap kopi di atas meja. Sisa-sisa lelah sesal kesal mereda begitu tegukan pertama masuk pada dada. Ia pun kembali mengemas jiwanya. Dari kebisingan dan segala rindu tak tertuntaskan. Reda yang berlapis-lapis.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan komentar Anda. adv