“Ima, biar Bayan di
urus sama Amih sampai Cholis sembuh.
Bukan apa-apa, selain Amih ada yang menemani, biar Ima tidak terlalu
capek mengurus suami yang lagi sakit.
Amih engga bisa ngurus Cholis setidaknya Bayan yang Amih urus, Bayan mah
soleh. Amih bisa membayangkan bagaimana
hati, pikiran dan tenaga Ima harus dibagi.
Ima juga harus sehat dan tenang menghadapinya. Jadi, biar Bayan disini lagipula tidak
seharian Amih yang ngurus, ada kakak-kakak Ima yang selalu datang dan berbagi
tugas.”
Foto: Zico |
Suaranya yang setengah parau menandakan usianya kian tua,
tapi energi membantunya tidak setua usianya.
“Mengurus Bayan?” Dalam benakku. Sifat dasar Amih punya energi besar untuk selalu ingin membantu orang lain, apalagi tingkat perhatian pada anak-anak dan
keluarga kecilnya. Mestinya selain
mengurus suami, saya harus bisa sambil mengurus Amih, tapi situasi malah
sebaliknya. Ujian besar untuk saya dan keluarga
besar, akhirnya membuat kami harus pindah dari Bandung ke Serpong, merelakan
Bayan yang saat ini berumur dua tahun, di urus Amih dan kakak-kakak di Bandung. Sementara saya bisa konsentrasi menemani
suami yang tengah melakukan pengobatan dan tinggal sementara di rumah kakaknya
suami.
Ini salah satu perhatian yang berikan Amih kepada anak
bungsunya. Disaat saya mengalami situasi sulit seperti sekarang, rasanya Amih
selalu berusaha membantu. Meskipun kami
bukan anak kecil lagi, sepertinya buat Amih, anak tetaplah anak meskipun mereka
sudah bercucu. Kebaikan Amih ini tidak memandang anaknya
lebih tua atau lebih muda, tidak pada anak sulung, tengah ataupun bungsu,
sikapnya sama tapi bentuk pendekatannya disesuaikan dengan pribadi
masing-masing anak. Hanya Amih seringkali
dihadapkan pada beberapa anak yang selalu merasa cemburu, ketika beberapa sikap
Amih dianggap lebih sayang pada si-A atau si-B dan mengabaikan si-C dan
si-X. Dalam menghadapi ini, Amih selalu
berusaha tenang, shalat, mengaji, dan berdoa khusus untuk anaknya yang sedang merasa
cemburu dan menjauhinya. Kalau dalam
situasi ini, beliau selalu mendatangi rumah anaknya agar hatinya melembut. Rasa cemburu diantara kami seringkali muncul,
apalagi ketika salah satu anak berprestasi sementara anak yang lain sedang
mengalami keterpurukan.
Hal ini yang menyebabkan pergesekan diantara kami, Amih
selalu mencoba bertahan agar tidak mengeluarkan air matanya dan berusaha tetap
mendekati anak-anaknya yang sedang diuji rasa cemburu. Bisa jadi perasaan cemburu ini tumbuh dari Amih
juga, karena suka membanggakan anak atau cucunya yang sedang berprestasi, bukan
bermaksud merendahkan anaknya yang lain tapi dia menganggap cara begitu bisa
menumbuhkan semangat buat anaknya yang sedang mengalami keterpurukan atau
stagnan dalam hidupnya. Tapi tidak semua
anak mampu menyerap maksud baik dibalik semua itu. Suatu hari, disaat masalah begitu menumpuk, Ima
tanya Amih bagaimana cara menghadapi persoalan yang datang dan pergi, beliau
menjawab,
”Ini!.” Sambil
mengangkat Al-Qur’an, “Kalau tidak ada ini Amih mungkin akan sering stress dan
sakit”. Bisik saya, catat itu Ima, ini
bekal untuk hidupmu.
Rasanya Amih tidak pernah absen untuk menghadiri acara-acara
yang dilakukan oleh anak-anaknya. Dari
acara pembukaan pameran lukisan, selalu menonton pertunjukan yang
diselenggarakan anaknya, penghargaan acara kantor anaknya, ekahan, menikahkan
cucu-cucunya, sunatan dan tidak jarang ia selalu punya tabungan untuk menambah
kebutuhan anak-anaknya untuk acaranya ini. Dia selalu merasa berarti dan berguna jika
sudah membantu anaknya.
Melalui Amih saya belajar untuk bisa menabung dan ngajeujeuhkeun jumlah uang yang masuk. Dia tidak pernah melakukan sesuatu yang sifatnya bersenang-senang, seperti yang sering saya lakukan misalnya makan di restoran A, nonton di bioskop N, jalan-jalan ke kota H dan menginap di hotel W. Dia selalu menyimpan kelebihan uangnya lalu membuat sesuatu seperti rumah dan membeli sawah, bukan untuk dirinya tapi untuk anak-anaknya. Karena dia selalu berfikir, anaknya 16 orang dan harus bisa hidup baik dengan keluarganya. Impian dan harapannya ini diiringi dengan kerja kerasnya bersama Bapak, tiap hari pergi ke pasar untuk berjualan ayam. Dari sini, saya mengenal Pasar dan ada romantisme berbeda menumbuhkan saya sebagai orang pasar. Setiap subuh selalu tumbuh semangat bergerak, cepat, semangat dan mencari rahmat Allah. Begitu yang Amih bilang setiap saya ikut ke Pasar,
”Lihat Ima,
orang-orang berjalan begitu cepat, bergerak, semangat untuk mencari Rahmat
Allah. Ima juga jangan tidur aja,
secukupnya, pas bangun harus gesit, Ima harus bergerak, tiru semangat orang
pasar.”
Amih, begitu pangilan Ibu dari anak-anaknya. Di usianya ke 80-an, raut mukanya tetap cerah
dan terlihat muda. Seringkali saya
terbangun di sepertiga malam karena Amih tengah mengambil air wudhu atau
memeriksa kunci pintu. Sebagai anak
tunggal, dia perempuan yang tangguh, lahir dari Abah dan Emak seorang pejuang
dan keluarga pedagang. Melalui Amih,
saya belajar “mengalah” disaat ada pergesekan dengan orang lain, mimpinya unlimited, super sabar, menahan diri dan
mempertahankan silaturahmi. Perempuan
yang selalu khawatir terhadap keenambelas anak-anaknya tanpa melihat anak
laki-laki ataupun perempuan. Hati Amih
tidak hanya untuk enam belas putra putrinya, tapi semakin meluas dan terbagi untuk
16 mantu dan hampir 100 cucu-cicitnya. Beliau
tidak pernah berhenti khawatir dan memikirkan satu persatu dari anak, mantu,
cucu dan cicitnya.
Foto tahun 1985-an, di foto ini kurang 4 orang lagi. |
Melalui Abah, kakek kami, Amih diajarkan tertib melakukan
shalat. Cara Amih menularkan tertib
shalat ini lupa seperti apa. Tapi
situasi yang saya ingat, saat kami nonton TVRI bersama-sama dan adzan
berkumandang, seperti biasa kami tetap tertahan di depan televisi saat itu
hanya TVRI tontonan yang ada. Tapi
begitu Amih datang semua langsung berdiri dan segera pergi ke WC untuk
mengambil wudhu dan shalat. Padahal,
Amih tidak marah bahkan tidak mengeluarkan satu patah katapun hanya
mendehem. Amih seperti alarm saat waktu
shalat tiba.
Banyak hal ingin diceritakan, cerita-cerita hidup Amih yang
luar biasa, tapi tidak akan cukup 500 kata.
Tapi intinya cara Amih menghadapi hidup jadi bekal hidup saya meskipun sering naik turun. Melalui Shalat, kami diajarkan merendahkan diri pada
Allah dan keberadaan kita sebagai manusia, melalui mengaji kami diajarkan untuk
sabar atas ketentuan Allah dan selalu mendapat jalan serta solusi masalah, melalui doa kami diajarkan untuk tak pernah
berhenti berharap atas Ridha Allah, melalui kehidupan di pasar kami diajarkan
untuk terus bergerak, bergerak, bergerak, konsisten dan militan pada pilihan
hidup. Terima kasih Amih, dibalik
tubuhmu yang kecil tapi menyimpan keluasan hati untuk langkah-langkah kecil untuk sesuatu yang besar. Untuk keluarga dan masa depannya.
Imatakubesar
Serpong. 3 Nopember 2014.
Terima kasih atas partisipasi sahabat dalam Kontes Unggulan : Hati Ibu Seluas Samudera
BalasHapusSegera didaftar
Salam hangat dari Surabaya
Terimakasih, Pakdhe, kelengkapan segera menyusul.
BalasHapusSubhanalloh, titip salam untuk Amih ya Mbak :)
BalasHapusIyah Helda, Makassssiiiiiiih pisaaaaan :*
Hapusasw. salam kenal untuk amihnya yang sangat luar biasa.... :)
BalasHapusWaalaikumsalam, Salam kenal Ima, eh nama kita sama, hihiii..
Hapussemoga Amih sehat selalu ya mbak Ima :) aamiin ya Allah
BalasHapusAaaamiiiiin... Mbak Dame dan keluarga juga sehat selalu, yah...
Hapuswaahh mba ima ada 16 bersaudara ya mba? seru nian keluarganya :)
BalasHapusIyah, seru sangat, kalau lagi ngumpul udah mirip acara lebaran aja. Cemburu cemburuan abis itu baik baikan lagi, kesel tapi pas ketemu kangen lagi, hahaha... dari yang suka becanda sampe yang sangat suka becanda ada. Seru pokonya
HapusSalam takzimku buat Amih, Mbak. Membaca cerita Amih, aku jadi inget almarhumah mertuaku. Sifat-sifatnya mirip. Gesit, gigih mempertahankan silaturahim, senang membantu orang. Sukses buat kontesnya.
BalasHapusSalam buat Amih, ya mbak :)
BalasHapuskelembutan Amih bisa terpancar dr Mbak Ima :)
Mba Haya: Terimakasih Mba Haya, peluk hangat buat Mba Haya :*
BalasHapusMelly: Aduuuuh, masih jauuuuuh saya mah. glek!
16 orang? Wow... luar biasa. Kagum dengan Amih. Tak heran jika salah satu anaknya seperti Ima.
BalasHapus