Pemimpin bukan Hanya Kemasan

Ditengah kegelisan saya mengikuti NaNoWriMo tahun ini dan yang pertama kalinya, tiba-tiba muncul berita di link ini (https://www.facebook.com/JAYALAH.INDONESIAKU) tentang “kondom berserakan di gedung DPRD”.  Jadi mohon maaf, mau berbelok sebentar untuk melepaskan sedikit kegelisahan tersebut.  Setelah membaca pemberitaan tersebut, entar akurat atau tidak semoga tidak benar-benar terjadi.  Mungkin ini semacam harapan emak-emak lugu yang menganggap bahwa anggota dewan kita benar-benar terhormat sikapnya.  Tidak hanya dari pakaian dan kendaraan yang mereka gunakan.

Jika ini benar, rasanya sulit membayangkannya.  Rasanya boleh dong menuntut, berharap, agar mereka berani menunjukan budaya “malu”, mau tidak mau, harus mampu menjadi orang baik. Jika pemimpin melakukan tindakan yang mereka sendiri tahu itu tidak boleh, jangan bilang bahwa mereka adalah manusia biasa dan suka melakukan kekhilafan.  Kalau kekhilafannya disangaja, buat apa jadi pemimpin kalau tidak mampu menahan diri lalu akhirnya menjadi monster bagi masyarakatnya. Berani jadi pemipin artinya berani memimpin dirinya sendiri, lho.  Resikonya, harus mati-matian menahan diri dari tindakan dan keputusan yang a-moral dan merugikan orang banyak.  Karena tindakan dan keputusan mereka ada dua hal yang mungkin, sebagai tombol bom atau tombol yang menyinari ruang gelap.  


Oke, ini masalah moral, mental masing-masing orang, mestinya saya lebih toleran. Karena mereka pasti akan punya segudang alasan.  Segudang pembenaran yang tentunya menguntungkan posisi mereka sehingga masyarakat menerima kenyataan tersebut.  Kalau pemimpin dalam konteks “kita” adalah “pemerintah” yang artinya doyan memerintah, tidak lebih pemimpin adalah majikan bagi masyarakatnya, sehingga kita akan lebih toleran karena negeri ini adalah milik mereka.  Milik para pemimpin itu dan kita numpang tinggal lalu membayar upeti agar anak cucu, cicit kita bisa hidup damai dan tentram tidak lagi nomaden seperti masyarakat jaman dulu.  Seolah pajak (upeti) ini semacam ijin buang air besar, tidur, makan, sekolah, cari uang lalu tidak peduli pemerintahnya seperti apa dibalik bungkusnya yang “layak”. 

Sama halnya ketika kita memilih makanan kemasan di supermarket, seringkali tergiur oleh kemasan dan tagline yang menarik.  Padahal bisa jadi makanan tersebut tidak begitu menjamin membuat tubuh sehat, tapi kesan yang kita dapatkan dari kemasan itu yang membuat tubuh seolah-olah sehat.  Otak seperti dicuci bahwa pemimpin dan makanan yang enak itu adalah kemasan yang layak.  Tapi begitulah memang kenyataannya.  Kemasan, pakaian yang kita pakai, bungkus kripik, botol minuman, rumah dengan model tertentu, dan lain sebagainya, memberi kesan atau sebuah bentuk penggambaran dari isi/penghuni/jiwa seseorang.  Kita begitu teryakinkan bahwa kemasan itu sebagai gambaran dari sesuatu/seseorang.  Jadi, siapa kamu, apakah kamu berani menunjukan sikap dan jati dirimu sesuai dengan kemasannya.

Anggota DPR yang artinya Dewan Perwakilan Rakyat, artinya mereka adalah orang-orang yang dipilih oleh rakyat untuk menyuarakan hati, impian, harapan masyarakat.  Tentu sebagai pemimpin harus menunjukan kemasan yang layak.  Baik dari pakaian, kendaraan, rumah tinggal,dan lain sebagainya yang menunjukan identitas bahwa mereka adalah pemimpin.  Karena, kemasan merupakan bagian penting dan duta komunikasi secara instan.  Kita bisa mengarahkan pemikiran secara serempak pada sesuatu menjadi baik atau buruk. Tapi tentu isi kemasannya juga harus menunjukan kualitas kemasan itu sendiri. Tidak salah kan saya berharap begitu.


Kembali ke kasus yang terjadi di lingkungan gedung DPR yang dilakukan oleh “penghuninya”.  Sudah selayaknya, kemasan dan kehormatan yang dipercayakan oleh masyarakat, merekapun harusnya mampu menjaga sikap dan kelakuannya.  Tulisan ini hanya sekedar melepaskan kekesalan jika situasi ini memang terjadi.  Atau, kita tidak perlu peduli dengan mereka-mereka yang menganggap dirinya pemimpin negeri lalu teruslah berkarya dan tetap merasa berdaya minimal melakukan apapun yang berarti untuk diri sendiri, keluarga, teman.

3 komentar:

  1. iya. astaghfirullah. memang sangat memprihatinkan. tapi, haruskah kita melakukan revolusi? mulai dari mana? bersama siapa? adakah kita semakin sulit mencari orang yang sipercaya. bahkan belum tentu pula bisa percaya dengan saudara. salam. mohon dukungan berupa tanggapan dalam artikel saya yg berjudul [GiveAway] Dinding Gusdi Merilis Sebuah Buku

    BalasHapus
  2. Pejabat seharusnya profesional dan bermoral

    Dengan bangga saya mengundang sahabat untuk mengikuti Kontes Unggulan Proyek Monumental Tahun 2014
    Silahkan cek syarat dan ketentuannya di http://abdulcholik.com/2013/11/01/kontes-unggulanproyek-monumental-tahun-2014/

    Salam hangat dari Surabaya

    BalasHapus
  3. Pemerintah yang hipokrit. Entahlah. Serba membingungkan. Sepertinya kita (sebagian) telah kehilangan akar.

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv