Kecupan Pagi


pagi, dua desember dua ribu lima. saya mengecup amih dibagian pelipisnya
mata amih masih terlihat lebam. tapi rasanya pagi ini terasa cerah karena kabut-kabut itu tiba-tiba menguap entak kemana. ya, emosi kami naik dua hari yang lalu tepat jam tiga sore ... saya pun heran atas kelakuan saya yang tak saya kira begitu sulit untuk meredakan emosi. saya mengerti kata-kata yang dilontarkan oleh amih tapi hati saya sulit untuk berkompromi. seperti fuzzle yang tercerai-berai dan akhirnya harus disusun kembali agar kembali seperti semula. benar-benar sebuah akhir tahun yang kelabu.
...
tak bisa, saya tak bisa seperti dewi yang menuruti kehendak orangtuanya padahal hatinya menolak. saya mempunyai keinginan dan harapan, ketika harapan itu muncul didepan mata dan terasa lengkap karena sebuah situasi tak disangka-sangka terjadi. amih mengijinkan saya untuk menjalankan kesempatan tersebut. sepertinya bintang-bintang akan berserakan nanti malam. kebahagiaan itu ternyata hanya berlangsung beberapa jam saja. amih berubah pikiran dengan alasan saya belum menikah. kontan, saya berdiri dengan suara yang sedikit terbata-bata : ... "adakah lebih baik kita menjalankan hidup yang ada di depan mata dulu"... entahlah, selama ini saya tak pernah menjadikan daging tumbuh pada kepala saya atas ungkapan-ungkapan seperti "menikah dong!" ... "segera menikah!" ... "menikah!" ... . kalimat anjuran "untuk segera menikah" tak hanya terlontar dari amih, tapi beberapa saudara-saudara dan saya anggap sikap ini adalah sebuah perhatian dari seorang saudara. saya mengerti, saya faham betul dan saya tak mengingkari atas sebuah pernikahan.
...
saya fikir kalau memang tak mengijinkan lalu kenapa status saya selalu dijadikan alasan?
unfair!
lalu apakah saya hanya bertopang kaki menunggu "hari itu" terjadi seperti menunggu godot? kalau amih atau beberapa saudara saya tak suka dengan "ungkag-ingkig" atas aktivitas yang saya lakukan lalu membesar-besarkan ketidaksukaannya dengan alasan bahwa saya harus menikah dulu. aktivitas yang saya lakukan selama ini toh adalah dua hal yang berbeda. kenapa harus melangkah pada sesuatu yang belum jelas padahal didepan mata ada yang dapat dilakukan terlebih dulu. Bukankah aktivitas ini bermanfaat juga jika kita melakukannya dengan sepenuh hati.

buat saya
menikah
tak semudah membeli coklat
tak juga serumit yang kalian fikirkan
tentang sikap saya
kalian sama sekali tak mengenal saya
kalian tak pernah mau memahami saya
karena kalian tak pernah mau mendengarkan saya
karena bagi kalian saya adik kecil tak tahu apa-apa

love u all ...

2 komentar:

  1. Waks kenapa ya ini selalu menjadi masalah universal bagi para perempuan apalagi kalo dikaitkan dengan isu globalisasi dan gender equality. Kekhawatiran keluarga adalah suatu hal yang wajar. Walau mengesalkan ini menandakan mereka masih sangat memperhatikan dan mengharapkan kebahagiaan bagi kita. Mungkin jadi konradiksi dan dilema bagi kita sendiri karena standar kebahagiaan tiap orang tidak sama. Kalau sedang kesal daripada ribut mendingan diam saja sambil kabur pelan-2. Jurus cucunguk nyumput!!!

    BalasHapus
  2. Anonim10:36 AM

    teh ima... orang tua itu emang terkadang lucu...
    tau ga vie juga disuruh mama nikah tahun depan, dengan alasan yang hampir sama kaya teh ima, mama udah ga tahan ngeliat vie banyak kegiatan, ceritanya mungkin kawatir... tapi vie juga bingung, nikah sama siapa? ah udahlah... let it flow aja kali... ;p

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv