Permisif ...

Ada sebuah kejadian yang menarik tentang seorang kawan. Kami sama-sama satu proses dalam berkarya. Teater. Katakanlah namanya Maya. Maya sudah saya anggap sebagai adik bagi saya, tidak hanya dia tapi juga beberapa teman-teman yang lain yang usianya lebih muda dari saya. Kami berangkat dari satu organisasi kampus, hanya beberapa teman-teman kemudian bergabung dengan kelompok lain untuk melanjutkan intensitas aktivitas yang berawal dari organisasi kampus tersebut.
Tidak demikian dengan saya, saya lebih single fighter seperti mengajar ekstrakulikuler di sebuah SMU swasta, TPA dan organisasi yang berkaitan dengan teater. Tak lama. Lalu saya mulai merasa hampa dan kembali ke organisasi kampus untuk ikut berlatih atau kadang-kadang kalau dibutuhkan sayapun melatih teman-teman juga. Walaupun saya juga mempunyai aktivitas di sebuah toko buku, ternyata masih juga membuat saya merasa tidak penuh. Ada sesuatu yang kurang. Terakhir kali berkarya adalah akhir tahun 2003 dengan membantu teman memberi make up untuk sebuah pertunjukan.
Lalu masuk tahun 2004, waktu mulai berjalan lambat-lambat. Saya mulai merasakan hampa yang menjadi-jadi. Belum ada ruang untuk berkarya lagi. Belum ada kesempatan lagi. Lalu sayapun mulai mencari kelompok yang bergelut dalam bidang teater tak disangka-sangka seorang teman memberi pulang untuk gabung di kelompok tersebut. Saya mulai menikmatinya. Sangat! Semangat baru dengan pola latihan yang tentu saja ada sedikit perbedaan. Lama.... rasanya lama sekali saya tak mengalami kebahagiaan yang mendalam.
Pertemuan pertama berlalu, selanjutnya pertemuan kedua lebih menyenangkan dan pertemuan ketiga kami olah vokal dengan bernyanyi-nyanyi.
Pada pertemuan ketiga, pemimpin dari kelompok tersebut mengisi materi tentang topeng. Bagaimana kami bergerak jika dipasang topeng dengan karakter A atau B atau C. Seperti ada daya magis, tubuh kamipun menyesuaikan sambil bercerm,in pada kaca yang besar. Senang sekali. Diantara kesenangan itu, pemimpin dari kelompokj tersebut memanggil saya. Lalu diapun mulai mempertanyakan style saya yang berkerudung. Diapun sambil tertawa nyinyir pesimis akan kesediaan saya untuk membuka kerudung lalu memberikan contoh pertunjukan yang cocok untuk saya. Tapi contoh pertunjukan itu memang tak mungkin kelompok tersebut yang mengadakan.
Heran! seorang yang begitu berpengalaman dalam berteater tapi tak bisa menghargai kecintaan orang lain atas kecintaannya pada bidang yang sama. Tapi saya fikir, memang di pertujukan kali itu rasanya saya tak mungkin "main", karena harus memakai kemben. Kalau persoalannya itu, saya tak keberatan karena memang masuk akal. Tapi dengan memberikan sebuah contoh pertunjukan yang "pantas" bagi saya yang berkerudung. Itu adalah sebuah penghinaan. Sama sekali tak menghargai rasa cinta atas "teater", apakah hanya dia atau beberapa orang yang lain saya yang berhak atas itu.
Tak lama terjatuh dari kekecewaan itu, Maya menghantarkan saya pada sebuah pertunjukan monolog yang ternyata lebih mengasikkan. Bagi saya, dia telah membukakan pintu bagi saya yang tengah kehilangan pegangan (cieeee...).
Kamipun akhirnya berproses bersama. Bersama dengan orang-orang baru dan orang-orang profesional. Sebuah jebakan yang mengasikan karena saya harus pentas dengan bahasa sunda. Bukankan itu adalah suatu pengalaman yang cantik karena selama ini saya selalu ingin bermain dengan bahasa sendiri dan agar lebih bisa mengenal dan pada akhirnya mengharga akar asalku. Sebulan kami latihan namun melihat hasil latihan masih juga belum memuaskan maka waktu latihanpun ditambah. Ya, sebuah latihan yang melelahkan dan menyenangkan. Karena kami latihan di Pendopo-Kopo dengan menempuh perjalanan yang cukup jauh dan memakan waktu hampir 2 (dua) jam.
Akhirnya "hari itu" datang juga. Saya benar-benar gugup, lalu sayapun berfikir untuk tidak membebani pikiran dengan orang-orang yang akan datang. Karena bermain teater itu membuat saya bahagia, jadi lupakan mereka dan buat hati kamu bahagia. Sayapun mulai pemanasan dari kepala sampai kaki sambil mendengung-dengungkan suara.
Dalam hitungan detik pertunjukan segera ditampilkan. Kolaborasi monolog sunda akhirnya dimulai juga.
Tak disangka ... beberapa penonton cukup takjub atas permainan kami. Sampai-sampai ada seorang teman kakak mengatakan pada saya : "Ternyata orang ledeng tuh gila-gila!". Begitu pula dengan teman-teman saya yang lain memberikan alasan tentang permainan saya bahwa akting saya adalah hasil latihan dari kakak saya. Dan beberapa yang lain cukup antusias atas permainan tersebut. Saya tak banyak berkata, sedih, tentu saja karena hasil ini adalah hasil jerih payah dan sharring saya, sutradara dan teman-teman produksi. satu sisi saya merasa sangat bersyukur kepada Allah, ternyata saya masih sanggup berdiri di atas panggung. Tapi satu sisi saya saya merasa sedih karena Maya tidak melihat itu secara positif. Dia membenci saya, ia ungkapkan perasaan itu terhadap temannya yang lain dan saya mendapatkan bocorannya. Benar-benar tak disangka dia akan berfikir bahwa karena jasa dialah sehingga saya bisa tampil, namun, saya-menurutnya-tidak pernah berterimakasih.

1 komentar:

  1. dunia tak lepas dari pamrih, ma.
    bagaimana pun, seseorang akan selalu ada di belakang kita. untuk lahir ke dunia sekalipun, kita butuh dua orang manusia. apalagi untuk bisa berdiri di atas panggung.

    pada akhirnya, kembali pada niatan seseorang untuk berdiri di belakang kita. apakah dia akan mendorong kita dengan cinta, atau malah menjerumuskan dengan cara mendorong dengan kasar.

    intinya: kumaha niat!
    meureun niatna neng maya teh awalna alus, tapi ninggal anjeun tiasa langkung sae, sieun kaelehkeun. hehehe.. sabar weh, nya!

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv