Memetik Jodoh

Foto: Holis


Pepesan

Siang ini begitu teduh. Suhu udara hanya 23 derajat. Mereda dari tanggung jawab antar jemput anak-anak, menyiapkan makan siang, dan begitu lihat tumpukan baju yang belum dilipat, saya alihkan menyalakan laptop, musik dan membuka microsoft word. Memaafkan diri sendiri karena belum tuntas membereskan tumpukan baju.

Beberapa hari lalu ada obrolan menarik antara saya dengan Ayah (suami), tentang memilih teman hidup. Tentang betapa ajaibnya proses berjodoh antara saya dan dia. Bertahun-tahun kami berteman, justru memutuskan lebih dari sekedar berteman hingga menikah hanya hitungan bulan.

Saya bilang sama Ayah, kita berdua pernah mengalami situasi mencintai seseorang. Mungkin beberapa kali. Kami pernah mengalami diantara yang pernah dekat, ada yang kita cinta tapi ada diantaranya cocok diajak nikah dan tidak cocok diajak nikah. Cinta iya, tapi jika menikah saya punya keyakinan dengan kepribadian dan situasi masing-masing keluarga tidak akan bisa asik melewati masalah dengan baik. Sama halnya seperti berteman, dari sekian teman ada yang asik diajak diskusi, ada yang cocok untuk curhat, hanya diajak jalan-jalan, bahkan ada teman yang senang-senang saja. Diantara beberapa orang itu, paling ada satu atau dua orang yang benar-benar kita nyaman dan terbuka dalam segala hal.

Begitupun dalam memilih pasangan hidup, ada orang yang kita cinta tapi setelah berproses saya menemukan beberapa sifat yang saya fikir dengan sifat dia dan saya, kami tidak akan sanggup melewatinya ketika ada dalam ikatan pernikahan. Seolah batin saya mengatakan, dia tidak akan bisa menghadapi situasi masalah “X” dan ini tidak akan menjadi baik hubungan saya dan dia.

Cinta-buat saya-menjadi alasan penting. Dengan cinta berbagai interaksi dapat dijalankan dengan tulus, ikhlas. Sama seperti mencari ilmu yang disuka, kita akanbersungguh-sungguh mempelajarinya meskipun berat dan bekelok. Tapi memang ada situasi ketika bertemu dengan seseorang yang kita cinta tapi kalau dianalisa ulang tidak akan baik jika menikah dengannya. Melepaskan menjadi keputusan yang baik, karena saya punya prinsip cinta itu pun harus logis terutama masalah akhlak (karakter), mental dan bekal agamanya.

Oh ya, dulu setiap saat saya mulai merasa yakin dengan seseorang, saya suka mengajaknya ke rumah dan mempertemukan dengan keluarga. Alasannya sederhana, saya anak ke-16 dari 16 bersaudara dengan pembawaan masing-masing. Karakter keluarga yang kompleks dan gaya hidup yang pastinya berbeda. Dari sana saya bisa menganalisa apakah dia percaya diri, equal, menyatu dengan keluarga, atau terlihat kaku/berjarak, bahkan malah mundur.

Melihat kondisi ini, saat itu saya keukeuh jika menikah nanti, pernikahan tidak hanya menyatukan saya dan dia tapi menyatukan keluarga kami. Energinya terlalu besar jika dihabiskan untuk memperkokoh rasa percaya diri pasangan dan mendorong-dorong untuk maju. Padahal yang dibutuhkan fondasi mental yang kuat antar saya dan dia, prinsip hidup yang sama. Persoalan yang mungkin terjadi dalam pernikahan itu bisa dari dalam dan dari luar. Sehingga ketika ada persoalan dari luar, saya dan dia bisa menyelesaikan bersama.



Proses

Begitu Ayah saya ajak ke rumah (saat itu masih penjajakan), ada kejadian yang menarik, langka terjadi. Ayah bisa ngobrol dengan salah satu kakak saya yang paling pendiam dan terlihat (agak) judes. Ternyata mereka bisa lho diskusi tentang berbagai hal dan tertawa bersama. Ini membuat saya heran sekaligus senang. Tidak hanya saya yang heran tapi Amih saya juga heran. Tak hanya itu, begitu bertemu dengan keponakan saya yang masih kecil-kecil. Keponakan saya langsung bisa lengket dan main tebak-tebakan. Ini semacam, Alhamdulillah... akhirnya. Ini menjadi poin tinggi untuk berkata, iya, kita lanjut.

Foto: Sugi

Memutuskan Ayah menjadi pasangan hidup itu bukan karena harta, kedudukan, atau lainnya bersifat duniawi. Karena saat itu, melihat kondisi dia sama sekali tidak mapan. Secara sumber penghasilan pun tidak ada yang bisa diperhitungkan yang jelas untuk menjamin kelangsungan hidup kami.

Alasan menerimanya mungkin terbilang klise, ada dorongan rasa percaya yang cukup kuat membuat saya memutuskan dia jadi pasangan hidup saya. Rasa yakin itu juga diperkuat karena saat itu saya menjalani shalat hajat selama beberapa hari. Tepat setelah shalat hajat di hari ke-6, Ayah mengirim saya sms, tepat di hari ke-6 bulan Syawal, sms itu mengajak saya menikah. Entah itu jawaban dari doa-doa saya atau bukan, tapi setelah saling berkirim sms itu saya segera membuka Al Quran ternyata pas di surat Ar Rahman. Saya baca semua, seolah Allah tengah berdialog,”Ima, nikmat apalagi yang kau dustakan?”



Syukur

Mungkin karena kami berteman cukup lama, melihat beberapa poin karakter dari Ayah terlalu sayang untuk ditolak. Dia terlalu baik, dia sosok yang menyenangkan. Saat itu saya sangat dilematis, tapi niat saya ingin hidup lebih baik sehingga saya begitu yakin bahwa saya bisa hidup aman, nyaman, menyenangkan, bersama Ayah. Sekarang sering menyadari, bahwa Ayah penyembuh cerita panjang luka-luka saya.

Kalau masalah finansial jadi bahan pertimbangan, ada beberapa yang mau dijodohkan dengan kondisi yang sudah (tampak) jelas, baik dari pekerjaan maupun penghasilannya yang stabil. Bahkan ada yang menjanjikan akan membawa saya umrah setelah menikah. Herannya hati saya tidak tergerak, karena pernikahan bukan sekedar masalah keuangan sekalipun itu menjadi poin penting. Saat itu saya percaya, saya harus suka, tenang dan nyaman dengan orang tersebut. Sebagai partner hidup keduanya akan menjalankan masing-masing fungsi suami istri dengan ikhlas.


                                 
                                                               Foto: Ima



Baiklah, mungkin saya terlalu berteori dan melibatkan perasaan. Prinsip saya waktu itu bahwa menikah prihal membangun jiwa dan kehidupan yang nyaman di dalamnya. Keduanya harus saling ikhlas, ini maksudnya harus ada cinta di dalamnya. Saya ingin menikah dengan partner hidup bukan menganggap bahwa dia pemimpin dan saya pengikut. Kami sejajar.

Buat saya menikah artinya hidup bersama partner hidup untuk membangun kehidupan bersama, saling menguatkan, saling memajukan, teman bicara, bercerita, teman diskusi, teman yang tidak hanya bisa hidup bersama dalam keadaan senang tapi juga dalam keadaan sebaliknya. Dengan begitu fondasi keluarga akan berdampak kemana-mana, spiritual, hubungan kedua pasangan, hubungan sosial dengan keluarga maupun lingkungan dan dampak finansial. Ternyata prinsip saya dan Ayah sama, bahwa dia mencari partner hidup.

Saat itu saya fikir dalam pernikahan pasti akan mengalami susah dan senang, siapapun bisa menerima dalam keadaan senang, tapi tidak semua orang bisa menerima ketika dalam keadaan susah. Jadi saya butuh teman hidup yang bisa menyelesaikan masalah bersama-sama dan melewati suka-kesulitan dengan hati luas. Semua orang bisa diajak senang bersama tapi tidak semua bisa melewati kesulitan bersama. Saat sulit, disinilah keduanya diuji untuk saling menguatkan. Saya punya keyakinan, pernikahan itu dua orang manusia yang hidup satu rumah. Tidak hanya fisiknya, tapi keduanya bisa bergerak bersama, saling memberi kenyamanan.

Tak hanya itu, saya dan Ayah juga mencoba bicara masalah sumber penghasilan yang akan menghidupi kehidupan kami nanti. Meski awalnya agak canggung, kami berdua mulai membangun rencana dan tentu menjalankan usaha yang sudah ada. Dia lalu merunutkan beberapa yang sedang dia lakukan dan usaha yang akan dilakukan. Mulai studio desain yang sedang dia bangun bersama temannya, hingga keinginannya mengajar di beberapa kampus. Lihat semangatnya yang diikuti langkah nyata saya percaya bahwa kami bisa saling dukung dan bertahan.

Ini semakin saya sadari ketika sekarang saya berada di dalam kehidupan pernikahan sekarang. Kami selalu saling dukung impian masing-masing. Kadang sering saya syukuri bahwa dibalik luka di masa lalu merupakan cara Allah menguatkan jiwa dan menyelamatkan hidup masing-masing menjadi lebih baik.



Prinsip=Doa

Prinsip saya mungkin berlebihan, permintaan saya terlalu banyak sama Allah. Tapi saya percaya, Allah Maha Kaya dan Maha Pemilik Cinta. Saya percaya setiap kita memikirkan sesuatu, Allah akan kasih tanda dengan memberi berbagai masalah maupun keadaan yang membuat kita mengolah masalah itu jadi langkah yang mesti kita putuskan dan jalankan.

Begitu Abah (saat itu calon mertua) menanyakan prihal mas kawin, saya bilang terserah Ayah punyanya berapa. Saya ikuti nasehat Amih, karena menurut Amih jangan minta dan menuntut calon pasangan kita dengan mas kawin dengan jumlah tertentu. Saya tidak mengerti maksud Amih apa. Hanya saja memang tak lama setelah hari pertemuan dengan Abah, Ayah dapat pekerjaan membuat CD Interaktif dengan bayaran yang cukup tinggi dan mendapat pekerjaan mengajar. Ayah langsung memberi semua hasil projek itu ke saya untuk beli mas kawin, tapi saya tidak menerima semua, saya kembalikan beberapa juta rupiah untuk dia pegang sebagai simpanan buat kebutuhan dia dan tabungan kami paska menikah.

Setiap orang pasti punya proses berbeda dalam menemukan jodohnya. Saya termasuk sulit dapat jodoh yang sesuai prinsip sehingga mungkin ini yang membuat saya telat menikah. Tapi satu sisi, proses yang panjang itu memberi banyak hikmah pelajaran hidup yang bisa kita petik. Cara Allah memang luar biasa, polanya selalu unik bagaimana Dia menguatkan hati serta membangun persepsi dalam menghadapi situasi.

6 komentar:

  1. Kok mata aku mendadak berembun. Mau dilap dulu ah, biar cekas...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Teh Yeniiii... perhitungan Allah Maha Tepat. Peluuuuk :*

      Hapus
  2. jadi pengen nulis juga tentang ini 😆.. anyway thx tulisannya 😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Asiiik, ditunggu tulisannya, Teh Andrie. Mention aku, yah klo udah posting.

      Hapus
  3. Ulalala... Inspiratif banget Teh

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv