4
Waktu menunjukkan pukul 02.35 wib. Deru mesin bis meninggalkan letih juga kantuk. Lampu-lampu redup di perempatan jalan sunyi dan menyisakan sampah. Beberapa menumpuk, tertidur. Di pinggir jalan beberapa laki-laki saling berteriak dan tertawa. Sementara itu wajah-wajah letih meski tidak jiwanya, turun di atas bis menggerakan kaki menuju mobil bercat hijau, pulang. Beberapa membawa tas berukuran besar, beberapa yang lain tas selempang. Di ujung malam, terjaga, saling menjaga, memelihara kewarasan. Pulang pada rindu, pulang pada pelukan, pulang pada tawa riang.
1
Perjalanan 2,5 jam tidak terasa. Di luar, langit lebih kelam dari biasanya, nyaris hujan tapi tidak. Awan menaburkan petir sesekali, beberapa kelelawar menyembunyikan diri di bawah dedaunan rindang. Sebuah bis dengan beberapa lampu menyala, menjadi satu-satunya cahaya yang bergerak kencang. Sementara lampu-lampu rumah menjadi tanda pemiliknya tengah terlelap di balik selimut, diatas karpet atau di ujung ruang tamu meredakan lelah.
Kursi kecil, ujung lutut menempel pada jok kursi depan. Suara dengkur di tiap kursi, ada yang lembut ada yang keras. Ku coba menutupkan mata, melemaskan bahu juga syaraf-syaraf kepala. Desir musik tahun 90-an membawa ingatan, memelihara jiwa yang sama. Wangi mesin bis, wangi debu dan wangi matahari yang menempel di setiap bahu. Semangat yang sama di usia 20-an dan kini menuju 40 meski visi berbeda. Hati tidak selembek dulu, kini belasan luka, mata-mata tajam, mulut-mulut berbisa tak lagi membuat air mata tumpah, bahkan tak lagi membuat jatuh tersungkur.
Air botol mineral dan kripik rasa rumput laut, membawa dua perempuan berbincang tentang hidup. Jarum kompas membawa kami menuju beragam ruang, beragam kepentingan, beragam warna. Ada keriput di sudut matanya, ada luka di senyum kecilnya. Memahami, menganalisa, menuliskan pada setiap kata, melebur, menyatu. Setiap huruf, setiap jari, setiap deru nafas, setiap jiwa menjadi ruang-ruang hidup. Tulang rusuk menjadi fondasi, lupa merawat kulit, tak lagi akrab dengan lulur.
Tapi. Hidup haruslah terus berjalan. Menghidupkan hidup, meluaskan raga, meleburkan rasa.
Segala hal telah dipertaruhkan, tak perlu lagi ada keluh apalagi mundur, karena waktu tetaplah maju, entah sampai kapan.
2
Di balik jendela, gelap. Hanya bayangan penumpang yang tengah meredakan diri. Sesekali matanya gusar. Tak ada yang diingat dari raut wajahnya selain tangannya yang melindungi jantung dari AC yang berhembus kencang.
Ah, aku lupa bawa earphone mendengarkan dentingan gitar dan membuat suasana tengah malam di dalam bis tidak begitu menggemuruh. Perempuan dengan sejuta pikiran, nyenyak. Mungkin juga tak sepenuhnya nyenyak.
3
Usia. Pernikahan. Beranak pinak. Bekerja. Pertaruhan. Perputaran waktu. Membawa kita pada beragam warna. Seperti pohon yang bertumbuh, seperti perahu yang berlayar ke tengah lautan, seperti bunga-bunya yang tumbuh bermekaran lalu mati lalu kembali tumbuh.
Ada ruang-ruang sunyi, berisik yang tak juga henti, ombak yang membawa kita pada setiap dermaga, memabukan juga membuat tenggelam. Seperti juga musik hidup dengan denting yang mengalun hingga hentakan tinggi, bermain dengan ketukan, meredakan, bahkan seperti refrain, mengulang-ulang teks. Lalu, kita pun, tertawa. Menertawakan diri yang bodoh, menertawakan ketakutan, menertawakan keberdayaan yang sering tidak kita sadari.
Hah! Selamat datang waktu yang menua, tapi tidak jiwa kita. Selamat datang hati yang cepat berdebar tapi semakin peka. Selamat datang rasa tenang ditengah ombak yang berdebur-debur. Kalau lelah, tidurlah.
Bandung, 19 Oktober 2017
@imakubesar
Waktu menunjukkan pukul 02.35 wib. Deru mesin bis meninggalkan letih juga kantuk. Lampu-lampu redup di perempatan jalan sunyi dan menyisakan sampah. Beberapa menumpuk, tertidur. Di pinggir jalan beberapa laki-laki saling berteriak dan tertawa. Sementara itu wajah-wajah letih meski tidak jiwanya, turun di atas bis menggerakan kaki menuju mobil bercat hijau, pulang. Beberapa membawa tas berukuran besar, beberapa yang lain tas selempang. Di ujung malam, terjaga, saling menjaga, memelihara kewarasan. Pulang pada rindu, pulang pada pelukan, pulang pada tawa riang.
Foto: Ima. 2017 |
Perjalanan 2,5 jam tidak terasa. Di luar, langit lebih kelam dari biasanya, nyaris hujan tapi tidak. Awan menaburkan petir sesekali, beberapa kelelawar menyembunyikan diri di bawah dedaunan rindang. Sebuah bis dengan beberapa lampu menyala, menjadi satu-satunya cahaya yang bergerak kencang. Sementara lampu-lampu rumah menjadi tanda pemiliknya tengah terlelap di balik selimut, diatas karpet atau di ujung ruang tamu meredakan lelah.
Kursi kecil, ujung lutut menempel pada jok kursi depan. Suara dengkur di tiap kursi, ada yang lembut ada yang keras. Ku coba menutupkan mata, melemaskan bahu juga syaraf-syaraf kepala. Desir musik tahun 90-an membawa ingatan, memelihara jiwa yang sama. Wangi mesin bis, wangi debu dan wangi matahari yang menempel di setiap bahu. Semangat yang sama di usia 20-an dan kini menuju 40 meski visi berbeda. Hati tidak selembek dulu, kini belasan luka, mata-mata tajam, mulut-mulut berbisa tak lagi membuat air mata tumpah, bahkan tak lagi membuat jatuh tersungkur.
Air botol mineral dan kripik rasa rumput laut, membawa dua perempuan berbincang tentang hidup. Jarum kompas membawa kami menuju beragam ruang, beragam kepentingan, beragam warna. Ada keriput di sudut matanya, ada luka di senyum kecilnya. Memahami, menganalisa, menuliskan pada setiap kata, melebur, menyatu. Setiap huruf, setiap jari, setiap deru nafas, setiap jiwa menjadi ruang-ruang hidup. Tulang rusuk menjadi fondasi, lupa merawat kulit, tak lagi akrab dengan lulur.
Tapi. Hidup haruslah terus berjalan. Menghidupkan hidup, meluaskan raga, meleburkan rasa.
Segala hal telah dipertaruhkan, tak perlu lagi ada keluh apalagi mundur, karena waktu tetaplah maju, entah sampai kapan.
2
Di balik jendela, gelap. Hanya bayangan penumpang yang tengah meredakan diri. Sesekali matanya gusar. Tak ada yang diingat dari raut wajahnya selain tangannya yang melindungi jantung dari AC yang berhembus kencang.
Ah, aku lupa bawa earphone mendengarkan dentingan gitar dan membuat suasana tengah malam di dalam bis tidak begitu menggemuruh. Perempuan dengan sejuta pikiran, nyenyak. Mungkin juga tak sepenuhnya nyenyak.
3
Usia. Pernikahan. Beranak pinak. Bekerja. Pertaruhan. Perputaran waktu. Membawa kita pada beragam warna. Seperti pohon yang bertumbuh, seperti perahu yang berlayar ke tengah lautan, seperti bunga-bunya yang tumbuh bermekaran lalu mati lalu kembali tumbuh.
Ada ruang-ruang sunyi, berisik yang tak juga henti, ombak yang membawa kita pada setiap dermaga, memabukan juga membuat tenggelam. Seperti juga musik hidup dengan denting yang mengalun hingga hentakan tinggi, bermain dengan ketukan, meredakan, bahkan seperti refrain, mengulang-ulang teks. Lalu, kita pun, tertawa. Menertawakan diri yang bodoh, menertawakan ketakutan, menertawakan keberdayaan yang sering tidak kita sadari.
Hah! Selamat datang waktu yang menua, tapi tidak jiwa kita. Selamat datang hati yang cepat berdebar tapi semakin peka. Selamat datang rasa tenang ditengah ombak yang berdebur-debur. Kalau lelah, tidurlah.
Bandung, 19 Oktober 2017
@imakubesar
Jangan lupa Mak, dengan semakin bertambahnya usia bertambah pula pengalaman kita melihat matahari terbit dan indahnya pelangi....
BalasHapusAAaaaaaahhhh... Iya bangeeeeeet...
Hapuswah kesadaran Ima bagus banget :)
BalasHapusKesadaran gimana, teh? Wiiiw... wwwiiiw... jadi pengen ngobrol sama teteh, siapa tau ada sesuatu lain yang bisa digali.
HapusJadi inget perjalanan naik bus kalau ke Sukabumi,inimah
BalasHapusLetsss goooh, kita ke Sukabumi lafi cari moci enak.
HapusPerjalanan memang terkadng menjadi tempat yang pas untuk merenung bagi saya
BalasHapusIya, Bun. Perjalanan membuat kesadaran atas waktu, atas kehidupan bertambah disyukuri.
HapusSelamat menua bersama waktu dengan kisah yang selalu punya alasan untuk disyukuri.
BalasHapusWiiiiw... Didi main ke blog Ima, Makasih yaaa :)
HapusSelalu suka pemilihan diksi teh Ima, yang selalu hanyut dalam tulisannya
BalasHapusMari hanyut dan mereda di dermaga menikmati matahari terbit.
HapusTeh keren pisan tulisannya, jadi berasa ngalamin sendiri
BalasHapusMakasih Firda, pendapatnya memotivasi saya buat menulis lagi. :*
HapusGeura nyieun buku, bi ima. Ngeprint sorangan weh print by demand kitu :)
BalasHapusPengeeeen... Semoga, semoga, semogaaaa, insyaAllah, aaamiiiiin...
HapusLangsung adem baca tulisan Teteh 😍
BalasHapusWeitssss... Asiiiik... Makaciiih...
HapusDua relung jiwa dan gemericik nyanyian udara bersatu dalam hembusan nafas rasa pongah, pongah akan diri bahwa kita mampu menjadi alibi dari ketiadaan demi menerjang ketidakmungkinan.
BalasHapusTerima kasih sahabat relung rasa, kalimatmu bak setetes air zamzam di tengah rasa sunyi.