Teman, Terima Kasih Atas Kehidupannya

Dua minggu yang menyenangkan. Pertama, karena saya bisa jalan-jalan lagi sama salah satu teman dekat saya. Kami nonton film di bioskop, makan sore dan cerita tentang banyak hal. Terutama tentang memelihara hati dan rezeki. Kami punya beban yang sama, meski berbeda masalah. Namanya Ina, kami satu sekolah sejak SMP-SMA, lalu sesekali masih suka bertemu dan cerita tentang banyak hal. Dia yang sering main ke rumah, saya malah termasuk tipe teman yang jarang main ke rumah teman. 




Ya, mungkin saya termasuk anak remaja yang beruntung karena melewati masa remaja yang menyenangkan meskipun tidak pernah punya pacar. Tidak punya pacar? Iya, waktu jaman SMP maupun SMA rasanya tidak pernah ada yang suka sama saya, mungkin karena saya orangnya termasuk cuek dan tidak begitu menarik.

Masa remaja saya habiskan mendengarkan musik, main sendiri ke perpustakaan, main ke rumah teman untuk ikut tidur, makan baso, dengerin musik dan makan. Hahahaaaa... Biasanya saya main ke rumah Ina, Ida, Yuni. Teman saya masih banyak yang lain. Kebanyakan laki-laki, mungkin karena saya lebih ‘maskulin’, cuek dan males dandan. Mereka bertiga termasuk yang paling sering, yang lainnya sesekali banget. Di ketiga rumah ini yang bikin saya males pulang. Ngapain? Masak-masak, makan-makan, beli baso, dengerin musik, tidur, curhat tentang percintaan. Biasanya saya bagian pendengar dan sedikit ngasih pendapat. Pengalaman percintaan saya nol lah, tapi saya tukang baca cerpen dan tips tips ala psikolog di majalah remaja. Jadi, sebagian bacaan saya banyak ngasih masukan buat mereka para pecinta. Jadi kalau ngasih pendapat suka rada tegaan, eh, bahkan termasuk ngasih masukan buat hadiah ulang tahun pacarnya, lho. 


Yang curhat tentang pacar ada beberapa orang, saya senang-senang aja dengar cerita mereka. Bagaimana mereka senang, sedih, gelisah menghadapi pacar dan orang-orang yang suka sama mereka. Saat itu, saya ga tertarik punya pacar, ngeceng sih iya dan suka sama fisik lawan jenis mah standar lah, suka begitu lihat tapi saya lebih senang pergi-pergi sendiri sebenernya.

Waktu remaja, saya punya mimpi bisa keliling dunia. Saat itu berandai-andai punya pacar, dia orang yang suka travelling dan penikmat kesenian. Dulu, saya mau keliling dunia tapi dibayar dan itu menjadi satu bagian pekerjaan. Tapi tahun 90-an, belum terbayang profesi apa yang membuat saya bisa seperti itu. Belum terbayang bahwa menulis ataupun dunia kesenian bisa membuat kita membawa kita kemana-kemana. Jadi begitu tadinya saya mau daftar seni rupa lalu teman saya bilang begini,”Kamu mau daftar ke Seni Rupa? Entar lu mau jadi apa?” Teman saya ini tertawa sangat kencang, menyepelekan tepatnya, atau mungkin saya terlalu peka. Pendapatnya ini membuat saya terdiam cukup lama, menggoyahkan niat dan semangat.

Mengingat momen itu, saya yang sekarang merasa bahwa keputusan saya waktu remaja adalah keputusan yang bodoh karena asal milih jurusan kuliah dengan tujuan agar mudah dapat pekerjaan. Camkan ini, tujuan kuliah untuk dapat pekerjaan itu niat yang salah (setidaknya buat saya, sambil makan sepotong donat). Karena dalam proses belajarnya, saya sama sekali tidak menikmatinya. Tapi ya namanya ilmu, ada aja yang kepake buat kebutuhan sehari-hari. Jadi ya ga ada yang kebuang lah, setidaknya sedikit banyak mengasah nalar saya yang pas pas an dan proses spiritual, kesabaran dlaam menjalani proses belajar, hehehe... Kalau kata Amih saya mah, ilmu teh cahaya, kalau cari ilmu, kita ga bakal ‘miskin’. Maksudnya apa? Kamu dateng aja ke rumah, ngobrol langsung sama Amih.

Hal yang menyenangkan kedua adalah, ketemu sama teman-teman jaman kuliah dulu. Mereka berdua ini, Ine dan Rini bukan temen sekelas tapi temen di unit kegiatan mahasiswa teater-semacam ekskul lah kalau sekolahan mah. Tapi di ruang ini, saya dipertemukan dengan orang-orang yang unik. Justru di unit ini saya belajar solidaritas, peka, sensitif, cepat tanggap, unak anik organisasi kepake banget sampe kapanpun. Melalui mereka saya belajar hidup, menghadapi hidup dan memetik banyak makna pertemanan. Sampe saya bingung, kenapa Rini begitu takut kehilangan teman. Sementara, saya cuek aja. Sedih sih, tapi saya percaya, setiap kejadian dipersiapkan untuk sesuatu yang belum kita tahu ke depan. Ya, disini saya belajar banyak, bahwa beda orang beda sikap dan kita mesti bisa beradaptasi menghadapi perbedaan biar komunikasi tetap asik.

Kami super jarang ketemu. Padahal, hampir tiap hari Rini lewat rumah saya menuju Lembang, itu kantor unit yang dia kelola. Dan Ine, rumahnya deket pisan, tapi ya gitu kami nyaris sulit ketemu. Paling saling sahut di medsos, eh besoknya kita ketemu di rumahnya Ine Cuma buat makan pempek bikinan dia. Cuma buat makan pempek, ikut nyeduh kopi dan melahap berpotong-potong kue. Niatnya Cuma sejam di rumah Ine, eh molor 3 jam. Ya, mungkin kami jarang ketemu, jarang berkomunikasi juga, tapi ga tau ya hati tetap nyangkut aja.

Entahlah, dalam minggu-minggu ini rasanya ada sesuatu yang harus diperbaiki, terutama masalah silaturahmi. Ya, bukan berarti saya gak mau silaturahmi, tapi keadaan bikin saya susah bergerak. Bener-bener harus milih, ga bisa dilakuin semua. Semua orang gitu juga kali ya, apalagi buat yang udah berumah tangga, bekerja atau salah satu keluarga kita sakit. Otomatis keadaan mengubah beberapa kebiasaan, kita jadi harus beradaptasi dengan diri dan situasi. Ketika ada teman-teman yang ngajak ngumpul atau ada acara yang mengharuskan saya datang. Terpaksa cancel dan selalu menambahkan harapan,”Ya, semoga kita bisa ketemu dengan keadaan yang lebih baik.” Harapan itu beberapa hari ini, ya, saya bisa ketemu dengan beberapa teman-teman dengan situasi yang sesuai dengan harapan itu. Saya percaya, kata adalah doa, doa menggerakan segala unsur kehidupan. Kuncinya sabar dan tawakal.

Meski saya tahu, proses itu terasa begitu lambat, dalam menjalani setiap proses yang kadarnya berat, saya seperti bermain-main di atas perahu. Merasakan gerakan air yang lambat dan deburan ombak yang sesekali menghempas dinding perahu, merasakan angin, langit, ikan-ikan yang mendekat dan menjauh, burung burung yang berbondong, daratan yang entah dimana, suara yang sunyi. Di titik itu, tak ada pilihan selain berdiri di atasnya, mengikuti pergerakan dan bertahan.

Ya, kemarin saya semeja lagi dengan Ine dan Rini di rumah Ine dengan keadaan yang lebih baik. Menikmati pempek dan mendengarkan cerita tentang kegiatan mereka, menyeduh kopi, makanan dan tentang tubuh kami yang semakin gemuk.

Hal yang menyenangkan ketiga adalah kammi kedatangan suami dan anak teman dari Tangerang. Suami atau Ayah si anak mengantar anaknya ke Bandung mau tes Seni Rupa di ITB. Rencananya, sehari sebelum tes, mereka mau menginap di rumah kami. Rupanya si anak ini senang juga mau menginap di rumah karena bisa ketemu dengan suami saya yang suka apload hasil gambar di Instagramnya.

Ternyata rencana diubah, mereka tidak jadi menginap. Mereka mau langsung berangkat jam 03.00 wib dari Tangerang menuju ITB. Saya langsung ded deg an, karena yang saya tahu, daftar di ITB itu komitmen waktunya sangat ketat. Tidak bisa telat. Saya Cuma bisa menangkan teman dan berharap lancar perjalanannya.

Namun yang terjadi sesuai dugaan saya, mereka baru nyampe di terminal Leuwi Panjang jam 11.00 siang. Hiks... saya Cuma engga bisa membayangkan gimana perasaan si anak. Kecewa lah pasti.

Akhirnya, mereka berdua memutuskan datang ke rumah. Ketemu kami. Saya siapkan makanan dan kopi yang spesial. Setidaknya bisa membuat hatinya reda. Tadinya saya sangat kecewa dengan keputusan Ayahnya yang akan mengantar si anak sehari sebelum tes. Tapi begitu bertemu, hati saya berkata lain. Ayah ini begitu bersemangat mengantar anaknya dan ngobrol banyak dengan kami dan ngobrol banyak tentang dunia seni rupa, tempat kuliah dan gambaran kasar tentang masa depannya.

Saya lihat, anaknya begitu tenang. Dia kuat. Saya lihat, semangatnya tetap ada dan terlihat senang bisa menggambar bareng di studio kami. Studio studio an, ruang tamu yang disulap jadi ruang menggambar, jadi masih ada rasa-rasa ruang tamunya. Hehehe... gapapa, Ma, yang penting kan ada tempat buat berkarya. Begitupun dengan Ayahnya, dia tak berhenti memberi semangat dan senang karena pertemuan kami seperti berada di kelas kuliah. Hahhaaaa... ada lah 6 sks. Sayangnya, mereka tidak menginap karena esok hari si Ayah harus masuk kerja.

Kedatangan mereka ke rumah memberi udara yang berbeda. Ada kehidupan yang “kaya” dari diri si Anak dan si Ayah ini yang memberi gambaran besar kehidupan kami nanti. Hubungan batin yang tak biasa, ada semangat di kedua sorot mata Ayah dan Anak. Ya, saya tahu, meskipun dia gagal ikut tes di SR tapi keduanya begitu tenang.

Pertemanan adalah rezeki, ia menyuburkan hati, meluaskan pandangan, membuka ruang-ruang hidup. Hidup saya banyak “terselamatkan” oleh mereka, baik dalam menyampaikan sikap, opini, laku luar. Sehingga dengan waktu, beberapa sifat teman-teman banyak mempengaruhi saya bagaimana dalam bertingkah laku, berkomunikasi dan proses menata ego. Berteman itu naluri yang bicara, ada yang langsung merasa klik dan nyaman, ada yang butuh proses panjang, ada yang sering bertemu tapi seperti ada jarak dan banyak lagi. Ya, apa lagi ya, yang jelas saya merasa beruntung menjadi bagian dari pertemanan kalian.

@imatakubesar

6 komentar:

  1. Memang menyenangkan bisa punya sahabat yang selalu menyayangi kita kapanpun dan apapun kondisi kita. KEren mbak!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih, saya juga ngga nyangka punya temen2 yang asik. Alhamdulillah..

      Hapus
  2. Sedih juga ya si anak gak jadi daftar SR. Tapi syukurlah kalau anaknya bisa lebih tenang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sedih banget Teh Mita, tapi dia ga berhenti latihan. Dia berkala mengirim hasil gambar lewat whatUp. Seneeeeeng bangeeet.

      Hapus
  3. Pertemanan itu rezeki dan menyuburkan hati, yup! setuju Mbak :)

    BalasHapus
  4. Alhamduillah banyak teman banyak rejeki ya mba :)

    BalasHapus

Silakan meninggalkan komentar Anda. adv