Foto: Ima |
Sepanjang jalan gang rumah, jalan-jalan menuju sekolah anak-anak
dan beberapa sudut lain, dipenuhi dengan kertas-kertas lambang bendera merah
putih. Hampir tiap gerbang rumah,
instansi, sekolah, supermarket, menaikan bendera merah putih, semangat cinta
negeri ini seperti tumbuh begitu saja setiap menjelang 17 Agustus. Entahlah, seperti ada kerinduan akan
kemerdekaan yang nyata, ada semangat yang sama lahir di tiap pintu rumah atau
sekedar formalitas, bisa saja. Tapi setiap
tanggal 17 Agustus di hari kemerdekaan Indonesia, semua orang mempunyai energi
yang sama meskipun geraknya tak sama.
Di balik beragam masalah negeri yang sangat klise, anak-anak
tetaplah tumbuh berlarian, bersemangat, ada senyum dibalik seragamnya. Banyak pertanyaan dan kegelisahan di balik
pertumbuhan kanak-kanaknya. Para Ibu yang
melahirkan penuh cinta dan memerdekakan hidup dengan caranya, memelihara
harapan dengan doa-doa melalui masakannya, merawat rumah, bekerja dengan
caranya, ada kemerdekaan bersikap dan menuai kehidupan. Sang ayah, terus mengembangkan dan
memelihara diri untuk berdamai dengan waktu dan kreatifitas. Memelihara Iman menjadi pemimpin ditengah
keadaan yang naik turun. Dalam jiwa merdeka selalu ada
harapan, karena cinta itu tak pernah padam. Para pedagang tetap pergi di subuh hari dan menjajakan beragam jualannya. Para pekerja mengikuti ritme waktu dan perencanaan. Ruang-ruang bekerja, tetap hidup dengan seni dan degupnya tak henti.
Dibawah sadar, tertanam bahwa kita hidup di ruang-ruang yang
menyenangkan, tetangga, pola sosial yang menentramkan, budaya yang asik dan
ruang-ruang bicara dan etika yang beragam.
Kebahagiaan, penyadaran, kegembiraan, perenungan, bahwa kita hidup di
tanah yang subur. Dipenuhi pegunungan,
lelautan, hutan-hutan, danau, binatang, tumbuhan yang lengkap, air bening
mengalir begitu saja. Di bumi Indonesia
ini seolah kita tinggal menarik nafas karena apapun bisa kita makan, apapun
bisa kita minum, apapun. Sering kita
merasa gelisah dengan keadaan negeri dan kita tidak mampu melakukan apa-apa, kita
sering minder dengan keadaan negeri sendiri, sehingga lupa merawatnya, lupa
memeliharanya, lupa bersikap tegas, sehingga sulit memahami negerinya dan lambat
laun banyak hal yang rusak. Kita
merusaknya, sadar atau tak sadar.
Di setiap channel televisi terpampang logo warna merah
bertuliskan angka 70 tahun, menjadi lambang pengingat, bahwa sebentar lagi kita
akan merayakan dan melewati hari kemerdekaan yang sudah dilalui selama 70
tahun. Ah, ya, 70 tahun. Lagu
kebangsaan diulang-ulang setiap saat, lagu-lagu ini seperti menghidupkan
tumbuhan yang mengering, tanah-tanah yang lama tak disiram hujan, seperti… matahari
yang bersinar di pagi hari. Ia membangunkan
lelah, menarik bibir yang lama tak mengenal senyuman.
Setiap dawai lagu kebangsaan diputar, selalu tumbuh kembali
kesadaran bahwa kita bagian dari negeri ini.
Negeri yang subur oleh orang yang baik dan rusak oleh segelintir orang
yang rakus. 70 tahun, semakin saya
tersadar, bahwa kita tak perlu menunggu menjadi orang yang hebat untuk
melakukan perubahan, kita hanya menjadi orang yang terus melakukan sesuatu yang
terbaik dan memahami diri sendiri. Apapun
yang kita lakukan, kita menjadi bagian dari kehidupan itu, menjadi bagian
perubahan itu. Tak ada pilihan hidup
yang kecil atau besar, karena besar atau kecil seringkali dinilai dari nilai
materi yang kita peroleh. Tapi
kebahagiaan mendapatkan kemerdekaan jiwa ada didalam diri dan kita dengan jiwa
itu akan memilih kehidupan menjadi lebih baik atau perubah kehidupan ke arah lebih
buruk.
Hari itu, di hari kemerdekaan. Saya ingin mengenalkan anak-anak pada
kegiatan perlombaan di dekat rumah. Ada
lomba makan kerupuk, memasukan pensil ke botol, lomba kelereng dan banyak
lagi. Anak-anak, remaja, para orang tua
suka cita ikut serta ikut lomba itu.
Bukan hadiah yang mereka harapkan, tapi berbagi tawa riang, menyatu
dengan tetangga dan memelihara kebersamaan.
Sebuah budaya yang saling
mengikat. Hari itu, saya membebaskan
diri untuk tidak ikut lomba dan cukup berbincang saja dengan tetangga. Itu cukup menggembirakan. Pulang ke rumah rupanya ibu saya sudah
menyediakan bumbu untuk nasi kuning.
Meskipun kini memasak nasi kuning tidak terlalu banyak, tapi nasi kuning
ini memberi semangat yang berbeda.
Sebuah pesan terselubung dari Ibu, bahwa ia bahagia sudah merdeka dari
penjajahan. Jangan ada lagi perang!
@imatakubesar
Bandung, 19 Agustus 2015
Hehe. iya sih. Kalo agustusan yang ditunggu itu bukan upacaranya, tapi tumpengannya :D Kalo gak agustusan, jarang bisa makan nasi kuning gitu :D
BalasHapusMakan nasi kuningnya jadi hikmat nyak, hehe... tsaaah
Hapusah rasanya nadionalisme ini semakin menumbuh. semoga indonesia semakin baiiik.
BalasHapus:') Aaamiiiin, bu. Osok terharu mun udah masuk ke hari kemerdekaan kaya gini teh, ya.
HapusBaru baca tulisan teh Ima ...ternyata nyastra :)
BalasHapusapanan tos aya gurat seniman ti luhurna teh ida. *Nyamber
HapusTeh Ida: Tsaaaah... hheee... da, mau rileks hese kalo dalam bentuk tulisan mah, jadi yah begini adanya. Padahal jelemana bodor, nya.
HapusKang Ade: Gurat gurit ti belah mana na, hehee...
setiap upacara bendera, ketika mengheningkan cipta, gak tau kenapa ya, air mata saya suka tiba2 menggenang
BalasHapusah, Ima Teh Santi, Ima juga ngerasain gitu. Sedih sama keadaan Indonesia...
Hapus