Pagi ini, seperti biasa dari hari Senin-Jumat ada rutinitas
tambahan yaitu mengantar Alif dan Syawa (sepupu Alif) ke TK Wisana. Tempatnya tak jauh dari rumah, di Cidadap
Girang, naik angkot sekali dan jalan kaki sedikit. Lalu mereka sekolah dari jam 08.00-11.00 WIB,
meskipun seringnya mulai dari jam 08.30 menunggu mood anak-anaknya lebih asik
untuk baris-berbaris dan memulai aktifitas.
Saya pun mengambil kesempatan selama 3 jam menunggu untuk memanfaatkan
waktu pergi ke Tidar di Jalan Sabang, membeli kertas dan charcoal untuk bekal suami. Ya, karena besok sampai tanggal 24 Agustus
dia akan istirahat di rumah kakaknya di Tangerang Selatan (Serpong). Agar aktifitasnya bisa tetap hidup dengan menggambar
sambil menunggu hasil MRI kepala di RSCM.
Sebetulnya ada beberapa titik yang harus saya selesaikan,
pertama, mengambil obatnya Bayan-adiknya Alif- di apotek Bona Farma. Harusnya dapat 2 botol obat Rimactane Syrup
untuk TBC paru-parunya Bayan, karena stok obat habis, baru ada hari ini. Lalu pergi ke ATM BNI untuk bayar BPJS online
Cholis, saya dan Alif untuk bulan ini, kemudian ke rumah yatim, terakhir ke
Tidar lalu kembali ke TK Wisana menjemput anak-anak. Waktu 2,5 jam itu ternyata bisa sangat
menarik dan dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan.
Sayapun dengan menggunakan angkot Lembang-St.Hall lalu turun
di jalan Setiabudhi, mampir ke Apotik Bona Farma mengambil obat dan bayar BPJS online
melalui ATM. Di dekat ATM ada tempat
makan Rotiku yang menyediakan makanan favorit saya dan Cholis, roti-roti, kue basah dan banyak printil
lainnya. Saya selalu kangen risoles,
karena menurut saya risoles disana paling enak se-Bandung.
Jadi saya menyempatkan diri membeli 3 buah risoles untuk dibawa
pulang. Disana, saya kembali naik angkot
Margahayu Raya-Ledeng (angkot berwarna biru), diangkot tak banyak penumpang,
jadi saya ambil kesempatan menikmati risoles.
Kulitnya tipis, tapi isinya banyak sekali. Lengkap rasanya, pagi, cuaca segar, jalanan lancar
dan sebuah risoles.
Terus saya turun di Jalan Cemara untuk membayar zakat. Lama sekali saya tidak mampir ke Rumah Yatim,
semoga jumlah yang tak banyak ini berkah dan membersihkan rezeki saya juga yang
tak banyak. Beberapa tahun saya kesini, banyak sekali perubahan dari bangunan perkembangan pengelolaannya Rumah Yatin di Jalan Cemara ini sangat menarik. Sebelum saya bayar, ada
seorang bapak-bapak yang mengeluhkan tetang anaknya yang tidak betah di
pesantrennya. Wajahnya terlihat kusut, ada
nada harapan agar anaknya bisa berubah hatinya menjadi merasa betah di
pesantrennya. Rasanya saya ingin
mengatakan, ah, tidak jadi, saya tidak ingin mengatakan apa-apa, pasti dia gelisah
sekali dengan kondisinya sekarang, semoga mereka bisa lebih tenang. Lalu, giliran saya dilayani dengan pertanyaan
pembuka dari wajah manisnya,”Bagaimana keadaan keluarga, sehat?” Saya hanya
tersenyum dan sedikit cerita.
Perjalanan lanjut ke Jalan Sabang kembali dengan menggunakan
angkot Margahayu Raya-Ledeng. Perjalanan
melewati Jl. Cemara, melewati Pasar Sederhana, Jl. Cihampelas, dan jl.
Martadinata (Jl. Riau). Jejalan lancar,
enaknya melakukan perjalanan melalui daerah ini terasa lebih lapang dan
nyaman. Udara segar, cahaya matahari
hangat, dan para supir angkot masih ramah.
Beda kondisinya saat istirahat kantor, waktu pergi kerja dan sore hari,
kita akan menemukan suasana yang lebih padat.
Di perempatan jl. Riau dan Cihapit, saya turun lalu jalan menelusuri
jalan Cihapit dan di sebelah kiri ada jalan belokan kea rah jalan Sabang. Disana berjejer tukang jualan surabi, kue
balok, toko kue Vitasari, ruang baca, dan Tidar. Saya masuk ke rumah model lama yang disulap
jadi toko tanpa mengurangi rumah kuno peninggalan jaman Belanda yang unik. Sayang tidak saya foto karena handphonenya
keburu habis batre. Beberapa lembar
kertas dan charcoal pesanan suami saya beli, sambil menungggu kertas diambil,
saya perhatikan keseluruhan ruangan ini terasa mempunyai jiwa, pemiliknya pun
pegawainya terasa memiliki ruang ini, isinya dan segala pernak pernik yang
dijual. Segala kebutuhan perupa,
crafter, maupun arsitek ada disini.
Pensil, kertas daur ulang, pasir-pasir, pita, beragam kertas, daun
kering, crayon, tinta gambar, dan banyak lagi.
Banyak energi positif yang tertangkap yang membuat saya merasa ingin
berkarya, dan berkarya. Hidup terlalu sayang
dilewatkan begitu saja.
Keluar dari toko Tidar, melangkah sambil bawa gulungan
kertas di kanan dan tas kain di kiri, saya serasa kembali muda, saya merasa
bahagia. Saya merasa sayalah yang akan
menggambar. Ada energi yang membebaskan
hati saya, kebahagiaan yang menenangkan, seolah saya kembali masa remaja dan
memilih seni rupa untuk kuliah. Jalan kaki
menuju tukang kue balok dengan harumnya yang enak sekali, rasanya ingin
langsung dimakan, tapi ingat suami dan anak-anak di rumah. Jadi urungkan niat makan di tempat. Orang-orang hilir mudik dengan kendaraan yang
mengkilap dan saya jalan kaki dipinggir menuju perempatan menanti angkot. Mestinya, di usia saya, bukan lagi waktunya
berangan-angan, mestinya profesinya sudah kuat, matang secara materi, punya kendaraan
dan rumah hasil jerih payah sendiri.
Tapi anehnya meskipun saya tidak begitu, hari itu saya bahagia. Bahagia ketika berbincang dengan pegawai
rumah yatim, menikmati risoles hangat rotiku di angkot, membeli kertas dan membawakan
kertas untuk suami dan membeli kue balok yang harum dan memakai angkot sebagai
kendaraan, langit hari itu terlihat segar dan tenang. Nikmat apa lagi yang kau dustakan?
Tiba-tiba teringat situasi 19 tahun yang lalu saat masih
SMA, seorang teman menanyakan lanjut kuliah kemana, lalu dengan ceria saya
jawab akan masuk ke seni rupa ITB. Teman
saya ini tertawa terbahak sambil mengatakan,”Hahaha… nanaonan abus seni rupa,
rek jadi naon?” (artinya: Hahaha…
apa-apaan sih masuk seni rupa, mau jadi apa?).
Hati saya rasanya sakit sekali, perasaan dan impian saya tiba-tiba
menciut. Pendapatnya sangat mempengaruhi
sudut pandang saya yang masih sempit.
Niat saya lanjut ke jurusan ini diurungkan, padahal saya suka sekali
menggambar. Lalu saya berubah pikiran
untuk mengambil jurusan Jurnalistik di UNISBA dengan alasan ingin bisa keliling
dunia (niat ini saya rahasiakan rapat-rapat), karena tidak percaya diri, di
form pendaftaran jurusan ini saya simpan di pilihan ketiga. Ternyata saya lolos di jurusan pertama yaitu ekonomi,
padahal saya tidak suka sama sekali dengan jurusan ini. Alasan saya mengambil jurusan ini karena
salah satu kakak saya bilang,”Biar gampang dapat pekerjaan.” Padahal setengah mati, saya tidak suka dengan
jurusan ini. Anehnya, saya tidak ada
keberanian untuk pindah jurusan, mulut saya seperti dikunci saat berhadapan
dengan dosen wali.
Wajah saya terpantul dari sebuah kaca angkot, terlihat lebih
tua dan sedikit kusam. Saya kembali
sadar, saya sudah hampir kepala 4, jalan
kaki dan membawa gulungan kertas. Kejadian
demi kejadian kadang selalu teringat dan disesali, tapi kali ini tidak, muncul
ketenangan dan kebahagiaan yang berbeda, saya tidak mengerti. Mestinya saya mengeluh, tapi anehnya kali ini
saya tidak merasakan itu. Kembali saya pandang
gulungan kertas A0, meskipun 19 tahun yang lalu saya tidak menjadi apa yang
saya inginkan, tapi kebahagiaan hari ini melebihi apa yang saya inginkan. Lalu
saya fikir, ternyata rasa bahagia itu adalah persoalan hati dan merasa sukses
itu adalah menghargai tiap proses yang dijalankan hingga tuntas. Dan memilih hidup adalah keberanian untuk
mengambil keputusan dan memanfaatkan yang sedang kamu jalani sekarang semaksimal mungkin. Dengan begitu, kamu
bahagia.
Bandung, 12 Agustus 2015
@imatakubesar
hmmmm sama kak, aku juga anak ekonomi yang sebenarnya tak mencintai jurusan tersebut
BalasHapusdan akupun senang menggambar, makanya lewat blog lah aku bisa memajang gambarku yang masih jelek namun dikerjakan dengan hati itu
rasa bahagia itu adalah persoalan hati dan merasa sukses itu adalah menghargai tiap proses yang dijalankan hingga tuntas, note to my self mba ima sayang,, tq sharingnya ya , selalu makna :)
BalasHapusBaca tulisan Ima itu selalu asik, enak aja gitu ..
BalasHapusNgga keliatan seperti mau kepala 4 lho, beneran.
Gustyanita: Hey, tossss!!! hehhee...
BalasHapusDesi: Sama-sama, Des ;) Maksih udah mau baca, hehehe..
Dey: Tutup muka, isin ka Teh Dey.