Ramadhan tahun 2015 ini, saya baru saja menginjakan hari ke-2
di usia ke-37 tahun. Amih dan kakak
bilang, dia fikir usia saya masih 25 tahun, jangan dulu protes, bukan karena
awet muda tapi dia selalu menganggap anaknya atau adiknya ini masih anak remaja
yang bandel. Padahal sudah menjelang 40
dan sudah punya anak, sambil bercanda kakak saya bilang,”Hirup teh tereh
eungeusan,nya.”* Bagi mereka, saya selalu menjadi anak kecil, mungkin karena
saya adik yang paling kecil, saya tidak pernah memusingkan hal ini yang penting
tetap saling sayang. Usia kakak saya ada
yang sudah mencapai 65 tahun, 60 tahun, 59 tahun, 55 tahun, 50 tahun… hmmm… waktu
cepat sekali lewat, rasanya baru kemarin kami melewati banyak hal, tawa, muda,
makan, becanda, berantem, iri-irian, pundung, marah, kesel, sayang lagi.
![]() |
When The Loves Began, Drawing By Cholis |
Saya selalu ingin bisa naik haji lagi sebelum usia 40 tahun,
bukan apa-apa, karena di sana butuh fisik yang sehat dan kuat untuk thawaf,
sa’i, jalan kaki kesana kemari, berhadapan dengan orang banyak dan cuaca yang
ekstrem. Meskipun belum tercapai, saya
percaya perhitungan Allah maha tepat dan percepatan Allah tentang
pencapaian. Menjelang usia 37 tahun ini
rasanya masa yang paling berat, Allah
mengajarkan kehidupan dengan cara-Nya. Tentang
sakit, rezeki, kasih sayang, putus asa, ketakutan, rindu, keindahan, rasa
syukur, kebaikan, lelah, marah, sakit hati, lemah, semangat, tenang, doa,
anak-anak, suami, keluarga, teman, alam, keputusan, keyakinan, perjalanan,
keajaiban, penerimaan pada hidup… hidup yang luar biasa. Saya percaya, setiap orang mempunyai perjalanan
hidup yang luar biasa tentang cara Tuhan “berbicara” mengenai kehidupan pada
setiap manusia.
Saya jadi ingin flashback, bulan Ramadhan tahun lalu, kami
memutuskan pindah ke Kadupandak Pandeglang Banten. Tepatnya di rumah orang tua suami. Bulan Juni tanggal 16, saya mendapat kejutan
ulang tahun pagi-pagi sekali berupa kue.
Ada nyanyian dan shalawatan, dikelilingi oleh kakak dan adik-adik suami
yang baik hati. Sebelum memberi kejutan,
mereka bertanya melalui Ayah tentang hadiah yang paling diinginkan oleh
saya. Ayah jawabnya bingung, karena keinginan
saya adalah ingin Ayah sehat. Akhirnya
mereka membeli kue, makan dan doa bareng.
Saat itu, kondisi Ayah tidak sebaik sekarang. Di bulan yang sama tahun lalu, kondisi ayah
belum sepulih sekarang. Belum ada gambar
dan karya. Baru aktifitas fisik seperti
bersepeda dan aktifitas merawat tanaman.
Bahkan lebih banyak menonton dan pasif karena memang tubuh dan otaknya
belum bisa diajak kerjasama terlalu jauh.
Pernah suatu pagi, saya dan suami duduk di bawah pohon teh setelah
mendapat hasil MRI kedua dari RS Borromeus.
Hasilnya tidak baik, ukuran benjolan di otaknya besar.
Saya:“Ayah, ternyata Allah engga ngasih hadiah ulang tahun. Doa Ima, pengen di kasih hadiah Ayah sehat
lagi”
Ayah:”Belum Mah, tenang aja, sebentar lagi, sebentar lagi
Ayah sembuh. Kita sekarang sedang di
tangga yang paling atas dan gerbangnya sudah mulai kelihatan.”
Saya:”Gerbang apa ayah?”
Ayah:”Gerbang kehidupan yang lebih baik, jawaban dari
doa-doa.”
Time flies. Saat itu,
waktu terasa menekan. Awan-awan terasa
semakin berat terlihat, langit, pesawahan terasa lebih meluas. Tapi cahaya pagi begitu riang dan
hangat. Ada keindahan dan ketenangan
yang berbeda disaat vonis dokter datang.
Kehidupan dan kematian seperti berdampingan, mengikuti kemanapun kami
melangkah. Kegelisahan akan kematian
seperti dihancurkan, karena kematian itu pasti, tapi kehidupan harus
dipertahankan. Saya seperti hidup di dimensi entah apa, kaki menginjak ditanah tapi tak terasa, tubuh terasa sakit tapi seperti memuai.
Ayah:”Ayah, pasti sembuh.
Insya Allah. Mamah tenang aja. I love you.”
Saya: “I love you too, Ayah.”
Yah, kematian itu pasti tapi kehidupan wajib
dipertahankan.
Ketakutan demi ketakutan dilewati, kelelahan demi kelelahan
dilewati, pengorbanan demi pengorbanan dilakukan, keputusan demi keputusan
dijalankan, kebaikan demi kebaikan berdatangan, kerinduan demi kerinduan
dipelihara, keyakinan demi keyakinan dijalankan. “Penyakit harus diobati jika tidak sama saja
dengan bunuh diri.” Kata-kata itu
terngiang dari sebuah ceramah di radio.
Bulan ini di tahun 2015 situasinya berbeda, Ayah sudah
melewati operasi otak dengan tehnik awake craniotomy tanggal 24 Maret 2015 dan
kondisinya lebih baik. Ayah sekarang
sudah mulai menggambar di ukuran A3 dan A2, sebuah progress penyembuhan cepat. Bahkan yang membuat saya “malas” melihatnya,
dia membuat grid agar gambarnya akurat. Baru tinggal 1 bulan lebih sudah bisa menggambar. Dulu, satu gambar saja membuat tubuhnya
menjadi sangat lelah. Rupanya, hadiah
itu datang setahun kemudian.
![]() |
Proses Ayah Cholis menggambar. |
![]() |
Proses Ayah menggambar 2015, proses penyembuhan. |
37 tahun, waktu yang tidak sebentar. Terima Kasih Allah, atas setiap tahap
kehidupan yang Kau perlihatkan, sangat indah.
Bandung, 19 Juni 2015
@Imatakubesar
#Travelcholistic #CatatanRamadhan2015
*Arti Sunda: Hidup itu selesai sebentar lagi, ya.
Wah teteh... terharu bacanya. Kado terindah di hari ultah, ya. Semua indah pada waktunya. Sehat selalu buat teh Ima dan keluarga, ya. Salam buat Bayan :)
BalasHapusEfi... hadiah terindah, Fi. Ga nyangka aja ternyata doa kita dikabulkan, terasa lama, tapi dikabulkan...
HapusAh, jadi nangis. *peluk* Episode hidup itu memang harus tetap kita jalani walau hati membiru dan lebam karenanya. Kesabaran, doa, dan semangat harus jadi penguat hati kita. :')
BalasHapusSo sweet, Bet :')
HapusHalooo Imaaa. Selamat pagi. Saya tahu Ima perempuan yang kuat, seperti kesan yang tampak ketika ngobrol dan bercerita saat melangkah bersama saya di jalan setapak bersemak itu. Saya percaya bahwa Ima menjalani kehidupan dengan senyum, karena tahu bahwa senyuman membuat masalah berat jadi terasa agak ringan, dan juga menularkan energi positif kepada sekitar. Selalu ada hal baik yang bisa diambil dari perjalanan kehidupan, yang membuat kita terus menjadi lebih baik dan lebih baik lagi. Keep smile. Hidup ini indah.
BalasHapusBu Vi, karena hidup itu terlalu indah untuk dilewati dengan keluhan kan, Bu.
Hapus