Foto: Matakubesar |
”Makan itu untuk hidup bukan hidup untuk makan.”
Saat itu, saya dan teman-teman perempuan saya sedang ngumpul sambil makan dilengkapi cemilan-cemilan yang lain. Dan sekarang makhluk itu menjadi suami saya dan kamipun tetap saling mengejek dan berdebat. Efeknya tubuhnya makin lama makin membesar karena rupanya dia menjadi food lovers juga. Dulu waktu jaman perjuangan, suami saya ini berat badannya paling tinggi 49 kg, setelah menikah beratnya pernah mencapai 70 kg dengan tinggi badan 165 cm. Kerjaan kami, menjajal Bandung menikmati kulinernya, mencoba, memasak makanan baru dan sebagainya. Benar-benar tak terkontrol.
Saat itu, saya dan teman-teman perempuan saya sedang ngumpul sambil makan dilengkapi cemilan-cemilan yang lain. Dan sekarang makhluk itu menjadi suami saya dan kamipun tetap saling mengejek dan berdebat. Efeknya tubuhnya makin lama makin membesar karena rupanya dia menjadi food lovers juga. Dulu waktu jaman perjuangan, suami saya ini berat badannya paling tinggi 49 kg, setelah menikah beratnya pernah mencapai 70 kg dengan tinggi badan 165 cm. Kerjaan kami, menjajal Bandung menikmati kulinernya, mencoba, memasak makanan baru dan sebagainya. Benar-benar tak terkontrol.
Ah, tapi ternyata suami saya ini lidahnya peka dan detil
sekali dengan bumbu, terus terang, dia banyak membantu saat saya masak
sesuatu. Misal, suatu hari saya masak
ayam kecap, lalu dia mencicip masakan itu dan menyarankan saya buat mencicip
juga. Dia menyuruh memasukan sereh, dan
sayapun mencoba masukan sereh. Lalu membandingkan rasa sebelum dan sesudah
pakai sereh. Ternyata rasanya beda,
lebih tertib dan lengkap. Dari situ,
saya berani memakai dan mencoba beberapa rempah. Saya jadi pecinta rempah.
Barangkali karena saya orang sunda, bawaan masakan di rumah
tidak begitu berbumbu. Meskipun bapak
senang dengan gule dan bersantan, tidak dengan saya. Saya lebih suka sup sayuran tanpa bumbu yang
digoreng dulu, ayam kecap, goreng ayam, lotek, dsb. Sementara suami menyukai serba bumbu, santan,
dan daging. Awalnya saya tidak suka,
tapi akhirnya mau juga mencoba makanan kesukaan dia, kaya sop Jakarta, sop
buntut, dan gurih-gurih itu.
Tapi, sekarang…
Pasangan suami istri ini yang dulunya tambun dan senang jajan,
sudah tidak lagi seperti dulu. Bahkan
sekarang pola makan dan jenis makan benar-benar berubah. Boleh dibilang makan makanan sehat, emang
dulu tidak sehat, ya? Ah, saya tidak
tahu, saya juga masih bingung. Saya
masih sesekali jajan, tapi suami saya extremely change all thing. Tidak makan daging merah, tidak kopi, tidak
pula merokok. Memutuskan tidak merokok
ini membuat saya lega. Dan dia sendiri
yang mau dan bertekad. Efeknya, saya dan
suami tidak tambun lagi, sebetulnya sesuai dengan tinggi badan kami yang
standar asia. Hehe..
Ya, suami saya kena
penyakit tumor atau kata lain dari kanker ini tumbuh di kepala kirinya, tepatnya High Grade Glioma. Nama dan sifatnya menyeramkan. Saya males
bilang penyakitnya kalau ada yang tanya karena bisa menimbulkan perasaan
bahwa seolah penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Jadi lebih baik menyebutnya ada benjolan di
kepala kirinya, deal, yah. Tanda
awalnya, tiba-tiba suami saya dapat serang kejang di malam hari, tepat beberapa
detik tertidur. Jadi kejangnya terjadi
saat dia tidur, saya menyaksikan semua proses awal hingga dia tersadar
lagi. Semua proses kejang ini membuat
menerap di ingatan dan membuat trauma yang cukup dalam. Setelah kejang, suami saya tidak mau di bawa ke
rumah sakit, dia keukeuh yakin bahwa dia kena
racun kopi, kecapean dan sebagainya.
Tapi ketika dia mengalami kejang dalam keadaan sadar, barulah mau
periksa dan tes ini itu di rumah sakit. Dia
menjadi shock sendiri melihat tubuhnya bergerak-gerak sendiri. Dari hasil tes ini baru ketahuan bahwa ada
masalah di kepalanya. Kami berdua shock!
Kata dokter penyebab benjolan itu ada di radikal bebas. Radikal bebas? Ya, katanya dari makanan yang sembarangan,
radiasi komputer dan handphone. Sebagian logika saya menolak, tapi kemudian jadi pemicu untuk mencari solusi perawatan sehari-hari karena sudah kadung terjerat penyakit ini. Sempat
beberapa bulan suami tidak berani dan sayapun tidak mengizinkan dia buka
handpone maupun laptop. Saya khususnya
jadi bingung sendiri dan sempat hati-hati, bahkan ekstrimnya jadi sangat takut
pada apapun yang bernama makanan dan benda-benda digital. Padahal keahlian dan kami mencari nafkah
didukung oleh benda digital ini. Lalu
tentang makanan, kalau tidak makanan, ya,
tubuh tidak dapat nutrisi, lalu nutrisi apa dong yang tepat. Saya sempat seolah merasa bahwa hidup ini
tidak aman, semua makanan ini seperti punya gigi yang siap menyerang kita. Ya, saya sempat phobia sama makanan. Semua acara televisi tentang adventurer food
itu jadi menakutkan dan penuh analisa.
Saya seperti alien. Lalu
bagaimana dengan kebiasaan masakan yang diturun temurunkan para orang tua kita,
lalu bagaimana dengan mie ini mie itu, lalu bagaimana dengan risoles yang enak
itu, bla.. bla… bla… saya seperti kehilangan hidup.
Dan, sekarang…
Kami tetap food lover, tapi mengutamakan buah-buahan dan
sayuran. Tidak ada telur, daging-dagingan
atau bumbu-bumbu yang serba gurih dan penyedap atau serba instan lainnya. Tidak
ada lagi. Bahkan pernah konsumsi sayuran mentah. Yah, ternyata dengan begitu tubuh kami lebih
enak dan nyaman. Terutama buat suami,
pola makan ini membantu tubuh dia bertambah baik , tetap bugar dan sehat dalam
proses.
Proses penyembuhannya memang tidak singkat, memakan waktu
dan proses yang cukup panjang. Bayangkan
dari paska kejang itu, dia tidak ada suara, sulit jalan, mentalnya
berantakan. Sekarang seperti sudah tidak
ada lagi penyakit di tubuhnya.
Sebetulnya solusi yang ditawarkan dokter syaraf dan bedah
sudah jelas, melakukan pembedahan, yaitu
bagian kepala suami di buka dan benjolannya diambil. Tapi kata doketr 50% resiko pembedahan itu
adalah ada kemungkinan kehilangan kemampuan bahasa maksudnya kemampuan
mengidentifikasi objek disekitarnya, kehilangan fungsi tangan dan kaki
kanan. Dengan pertimbangan yang panjang,
suami dan keluarga besar memutuskan untuk melakukan pengobatan yang lebih aman
meskipun memakan waktu yang lama.
Sejak keluar dari rumah sakit di awal bulan Maret, segala informasi
kami tampung, dari pengobatan herbal Jeng Ana, pengobatan anak kecil yang bisa
menyembuhkan pakai tangannya, meminta pandangan lain di rumah sakit lain,
proses ramah makan dengan pola foodcombaining.
Semua dilakukan, bahkan suami mengkonsumsi herbal Jeng Ana ini sampai 2
paket, selama 5 bulan dan 1 paket dikonsumsi selama 2,5 bulan. Eh, ya, sebelum masuk rumah sakit, suami
sebetulnya melewati proses pengobatan herbal yang lain dan self healing
dulu. Ini cerita panjang lainnya yang
memberi hikmah dan memberi kekuatan ilmu hidup yang luar biasa. Cerita langsung loncat ke awal bulan Maret,
paska keluar dari RS Borromeus.
Progress pengobatan jamu Jeng Ana sebetulnya membuat tubuh
suami makin kuat teratur, bahkan dia bisa naik sepeda dan mentalnya makin
membaik. Hanya di bulan kelima akhir,
barangkali kecapean dan ada hal yang difikirkan, lambungnya kambuh lagi. Kalau lambung kambuh, maka kondisi tubuhnya
seperti turun lagi. Sensitif terhadap
dingin dan mentalnya kembali menurun.
Yang saya lakukan berdoa dan mencari solusi, merangkai berbagai
informasi dari kiri kanan.
Akhirnya kami mencoba pengobatan akupunktur di Saketi, saat
itu 2 bulan lebih kami memutuskan tinggal sementara di Kadupandak
Pandeglang. Kondisinya mulai membaik,
rasa mual dan keluhan lain berkurang.
Setelah 2 hari konsumsi obat cina ini, di hari ke-3 datang seorang teman
yang lama sekali tidak bertemu. Namanya
Denta dan Istrinya Uum. Denta sahabat
suami waktu di masih kuliah DKV di UNIKOM Bandung, satu kelas dan satu
kos-an. Kebetulan istrinya orang
Pandeglang juga, kampungnya tidak jauh dari rumah suami di Kadupandak. Ternyata, kedatangan Denta seperti angin
segar, dia mengajak suami untuk pengobatan akupunktur di Depok. Rupanya, ibunya Denta adalah seorang ahli
akupunktur, beliau belajar langsung ke negri di Cina.
Setelah dibicarakan, saya dan suami menyambut baik
kesempatan yang diberikan Denta, dan kamipun memutuskan untuk tinggal sementara (lagi) di
rumah kakak di Serpong. Jarak
Serpong-Depok juga tidak terlalu jauh, kalalu lancar 30 menit dan kalau agak
macet bisa sampai 1 jam-an. Karena
pengobatan akupunktur wajib 12x setiap hari, lalu minggu berikutnya 1 minggu 3
kali. Sekarang sudah akupunktur yang
ke-19. Progresnya? Alhamdulillah tubuh dan mentalnya makin
membaik. Cholis bilang, mentalnya jauh
lebih baik dan positif bahkan merasa bahwa di tubuhnya seolah tidak ada
penyakit lagi.
Sebuah proses yang panjang dan melelahkan. Bagi siapapun yang sakit, hal yang paling
penting adalah tetap berfikir positif, mau berproses dan selalu optimis pada
keputusan apapun pengobatan yang kita ambil.
Dan yakinlah bahwa Allah sedang berkomunikasi dan menyampaikan
pesan-pesan kehidupan dengan cara-Nya.
Foto: Matakubesar |
Berpartisipasi pada
foodlover yang vegetarian ya Mak? :D
BalasHapusVege foodlover... halah, gimana coba hihihiii...
Hapussengangat terus ngeblognya mazz..
BalasHapus