Siapapun pernah merasakan cinta, hati bergerak mengikuti
ketukan dan ritme alam. Mungkin semacam daun yang jatuh dari rantingya lalu
mendarat disuatu tempat yang tak terduga.
Cinta, ia tidak bisa memilih kapan terjatuh dan dimana. Begitupun tokoh dalam novel Tenggelamnya
Kapal Van DerWijck, mereka saling mencintai kepada siapa dan suku apa, sehingga
“percintaan” mereka dianggap melanggar adat.
Cinta dianggap sebuah kisah-kisah yang ada di dalam kitab, tidak nyata.
Novel romantis ini meraih banyak kalangan terutama bagi yang
sedang jatuh cinta maupun yang pernah merasakan pengalaman yang serupa. Novel inipun mendapat kesempatan diwujudkan
dalam sebuah film oleh Soraya Film, menarik, bisa jadi dengan cara ini generasi muda bisa mengingat bahwa kita
memiliki perjalanan panjang dan berjaya di dunia sastra. Lagi-lagi, film salah satu cara yang paling
efektif dalam menginformasikan sesuatu. Dr.Hamka sebagai penulis novel tersebut selain seorang ahli agama, beliau
dimasukan kedalam penulis karya sastra pujangga baru.
Sebetulnya novel roman ini banyak ditentang pada zamannya. Karena pengarangnya pada saat itu tidak pantas seorang ahli agama melahirkan karya novel. Berikut kutipan pendahuluan novel tersebut terbitan N.V. Nusantara Bukittinggi tahun 1961: “Sesungguhnya bagi seorang golongan agama, mengarang sebuah buku roman, adalah menyalahi kebiasaan yang umum dan lazim pada waktu itu. Dari kalangan agama pada mulanya, saya mendapat tantangan keras. Tetapi setelah 10 tahun berlalu, dengan sendirinya heninglah serangan dan tantangan itu, dan kian lama kian mengertilah orang apa perlunya kesenian dan keindahan dalam hidup manusia.”
Cerita “Tenggelamnnya kapal Van Der Wijck” sebetulnya sederhana
namun ceritanya mampu mewakili banyak pembaca.
Yaitu tentang kedukaan sepasang kekasih terpisahkan karena
perbedaan suku adat. Ayah Zainuddin
berasal dari Batipuh terusir ke Makasar lalu menikah dengan seorang
perempuan keturunan Makasar. Meskipun
begitu, Zainudin (diperankan oleh Herjunot Ali) tidak diakui sebagai suku
Minang maupun Makasar. Alhasil, ketika
Zainudin bermaksud melamar Hayati (diperankan oleh Pevita Pearce) seorang gadis
dari Batipuh mendapat penolakan dari keluarganya karena dianggap tidak memiliki
keturunan. Darisanalah persoalan dimulai,
kisah berlanjut kemudian Hayati sang gadis cantik malah
dinikahkan dengan seorang bangsawan asal Padang Panjang bernama Aziz
(diperankan oleh Reza Rahardian) dan
Zainudin merantau ke Batavia (kini Jakarta) kemudian menjadi penulis
sukses.
Mendapat kesempatan nonton film yang berasal dari novel
seakan ada “tuntutan” lebih bagi pembaca novelnya, karena muncul harapan lebih bisa menyambungkan imajinasi pembaca dengan eksekusi visual si pembuat
film. Saya sendiri pertamakali
membacanya saat SMP (sekitar tahun 1992) karena menjadi bacaan wajib dan langsung jatuh hati
pada novel ini.
Diawal pembukaan film, penonton disuguhi pemandangan
Batipuh, penggambaran tanah Minang yang elok dan memikat. Cinematografinya bagus, membuat kita
sebagai penonton dimanja dengan pemandangan menawan. Keelokan dan kekayaan alam bagai surga yang
tersembunyi. Batipuh menjadi tujuan Zainudin, selain ingin merasakan romantisme
tanah kelahiran ayahnya, iapun ingin mempelajari agama yang terkenal bagus. Gabungan keindahan alam dan pusat pendididkan
agama yang menarik, alamnyapun tidak kalah indahnya, sawah-sawah, pegunungan,
kabut, danau, dan keindahan hayati seolah terangkum dalam kecantikan Hayati,
gadis cantik di sukunya. Gadis Batipuh yang membuatnya jatuh hati.
Dialog banyak menggunakan bahasa daerah melayu dan tentu
saja dilengkapi dengan terjemahan bahasa Indonesia, saya sendiri cukup menikmati logat dan bahasa daerah ini meskipun bolak balik baca terjemahan. Dari beberapa adegan, saya cukup terbawa
kedalam adegan, saat jatuh cinta, suasana di danau, baju adat, rumah gadang, delman
sebagai alat transportasi yang khas memberi nuansa semakin kuat.
Namun dari
beberapa adegan, saya agak terganggu dengan ekspresi Zainudin kadang
kurang pas. Ekspresi dalam beberapa
emosi sedih-misalnya- yang terlalu memaksa meskipun agak tertutupi oleh
kecantikan dan kegantengan para pemerannya, seringkali malah menimbulkan kesan
lucu bukan kesan miris dan sakit hati. Sepertinya penjiwaan dengan peran kurang terkuasai, sehingga beberapa adegan para pemain seperti Zainuddin kurang
menyatu dengan perannya, dia hanya bermain gesture dan fisik, permainan hatinya
kurang keluar dan memaksakan diri. Ketika
adegan Aziz yang akan menitipkan Hayati ke Zainudin, disini terlihat kekuatan sekali akting Reza sebagai Aziz yang berdarah bangsawan, menjaga harga diri dan
berusaha rendah hati di depan Zainudin.
Sementara permainan minimalis gejolak hati Zainudin kurang dapat
tertangkap, tapi terbantu dengan pengambilan gambar dan dialognya yang memberi
arti.
Lalu ada yang menarik, saya terbawa suasana romansa Belanda yang mengusai
budaya Padang Panjang. Dengan
ditampilkannya gaya hidup Aziz yang mengendarai mobil antiknya. Bahasa Belanda melengkapi mereka ditengah berdialog begitupun imajinasi saya saat pacuan kuda. Bayangan saya, bakal
ditampilkan pula pasar rakyat yang dipenuhi penduduk lokal dengan pakaian
sederhananya dan berkesan udik, sehingga terlihat garis antara rakyat kelas
atas dan bawah. Tapi harapan itu tidak
ada, adegan ini hanya dimunculkan kelas atasnya saja. Meskipun Zainudin dimunculkan dengan pakaian
yang berkesan “norak”, masih kurang terlihat udik alami, malah berkesan udik
polesan. Saya -khususnya- masih
merasakan kostum polesan sebagai kostum, bukan polesan kostum agar terlihat alami.
Sekarang, dari musik.
Sekalipun musik menggunakan grup Band Nidji yang mampu memberi energi
pada film Laskar Pelangi. Tapi di film
ini malah -maaf- merusak suasana tempo dulu.
Musiknya memberi kesan kekinian sehingga suasana terasa ambigu. Saya menjadi sadar bahwa ini adalah sebuah
film yang dibuat tahun 2013, bukan film yang membuat penonton lupa bahwa film
ini menceritakan suasana tahun 1930-an.
Tapi, keseluruhan tiap babak film ini saya cukup menikmatinya,
setiap adegan dan rasa masih tersimpan di hati dalam beberapa hari. Masih terasa energi artistik dan kekuatan cerita itu. Dan tentunya senang novel ini
diangkat ke dalam sebuah film sehingga karyanya selalu hidup dan menyimpan hati
kebeberapa generasi. Ini hanya sedikit analisa sederhana yang bisa jadi berbeda sudut pandang bagi setiap penonton. Selamat menonton dan menikmati sisi Indonesia jaman dulu. :)
owh mantabh
BalasHapushehehee
Hapusnice movie :)
BalasHapusHuwaaaa.. mengenai ekting, ternyata reviewku sama reviewnya dirimu sama hahahaa..
BalasHapusReza is the best lah yaaa...
Reza ganteng dan penokohannya pas. Ajaib! keren banget.
Hapusreviewnya bagus..
BalasHapusKalau menurut opini pribadiku tentang akting empat pemeran utama di film TKVDW ini dari skala 1-10:
# Reza Rahardian/Aziz 10 (memang layak dia mendapat tiga kali Piala Citra/FFI, scene terbaiknya persis dengan review di blog ini)
# Ran-D Nidji/Muluk 9,5 (sangat mencengangkan keyboardis bisa akting hebat di film pertamanya, scene terbaiknya sewaktu mengajak Zainudin bangkit dari patah hati)
# Pevita Pearce/Hayati 9 (inilah akting terbaiknya selama jadi aktris, scene terabiknya sewaktu mengucapkan sumpah mati)
# Junot/ Zainudin 8,5 (Sudah cukup bagus memainkan peran orang Bugis, scene terbaiknya sewaktu menyuruh Hayati pulang ke Batipuh)
Yang berbeda dari kita adalah menurutku scoring/soundtrack dari Nidji sudah sangat bagus, karena alunan melodinya 'kelam dan megah' serta liriknya mencakup isi keseluruhan film. Tak mudah buat musisi masa kini untuk memfantasikan percintaan orang-orang tempo dulu :D
Dengan segala kelebihan dan kekurangannya, yang pasti saya senang ada produser yang mau memfilmkan kisah 'Tenggelammnya Kapal Van Der Wijck" ini, karena menyadarkan generasi Indonesia abad 21 bahwa pada masa lalu pujangga-pujangga sastra Indonesia pernah membuat karya MasterPiece.
HapusSemoga ada lagi produser yang mau membuat film berdasarkan buku terbitan era Pujangga Lama :D
Bener banget, mas Yos. Ada produser yang memilih novel ini sebuah angin segar. Seringkali kita lupa dengan masa lalu, dan film alat yang tepat untuk mengangkat kembali proses sastra negeri yang kaya raya ini. hehe.. btw, reza emang keren! hiks!
Hapus